Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M 202 Erasiah/Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014 TOKOH EMANSIPASI WANITA ISLAM DI MESIR PADA ABAD KE 19 M Erasiah Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang Email : [email protected] Abstract Egypt is one of the areas that are already well-known as a bag of pre- Islamic civilization of the world set foot there. That's the right word destined for the territory of the Nile valley civilization heritage of this. People with the name of the bag this civilization to this day still attached either at one of the area located in North Africa. In Egypt it is born leaders of Islamic thinkers who have ideas that are very brilliant and influential to this day in the Islamic world. Of the many characters who have ideas that are very brilliant, then on this occasion intends to discuss at length about the emancipation of women leaders in Egypt in the 19th century AD. Keywords: women andemancipation A.Pendahuluan Kajian-kajian tentang emansipasi wanita dari dahulu sampai sekarang sangat banyak sekali, baik berbicara tentang peran wanita di bidang politik, sosial maupun budaya. Tulisan ini mengkaji tokoh emansipasi wanita di Mesir pada abad ke 19 M. Topik ini sangat penting untuk dikaji sebagai sebuah realitas sejarah yang menghiasi Mesir pada abad ke 19 M. Apalagi Mesir adalah sebuah wilayah taklukan Turki Usmani, namun di bawah himpitan politik muncul tokoh yang memberikan perhatian besar terhadap peran wanita sebagai seorang anggota masyarakat yang patut dipertimbangkan dan dihargai. Tokoh-tokoh tersebut lahir di Mesir pada abad ke 19 M dan sangat berharap serta berkeinginan agar wanita dipandang sebagai 203 Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M masyarakat yang mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan suatu bangsa. Bagi mereka, wanita adalah anggota masyarakat yang harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki terutama di bidang pendidikan. Kenapa bidang pendidikan? karena wanita adalah calon seorang ibu yang akan membimbing dan memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak di rumah. Di antara tokoh tersebut yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah al-Thahthawi (1801-1873 M) dan Qasim Amin (1863-1908 M). Mereka sama-sama putra Mesir dan hidup pada tahun yang berbeda. Akan tetapi melihat dari kondisi zaman, mereka berdua hidup di zaman yang sama, yaitu di saat Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Turki Usmani di satu sisi dan campur tangan dunia Barat di sisi lain. Walaupun Mesir dijajah secara resmi oleh Inggris pada tahun 1882 M, tetapi semenjak ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798 M, secara tidak langsung Mesir sudah berada di bawah pengaruh bangsa Barat. Untuk lebih jelasnya tentang kedua tokoh ini beserta pemikirannya tentang emansipasi wanita akan dijelaskan sebagaimana berikut. B. Al-Thahthawi 1. Riwayat Hidup Al-Thahthawi Al-Thahthawi lahir di Tahta provinsi Suhag daerah dataran Tinggi Mesir pada tahun 1801 M dan wafat di Kairo pada tahun 1873 M (Muhammad Imarah, 2007: 182). Nama lengkapnya adalah Rafi’at ibn al-Mahrun al-Sayyid Badhawi Rafi’ Al-Thahthawi al-Huseini. Dia belajar dan menghafal al-Qur’an di bawah bimbingan ayahnya semenjak kecil. Adapun pendidikan agama diperolehnya dari saudara-saudara ibunya, karena ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir, harta orang tua al-Thahthawi termasuk di dalamnya (Harun Nasution, 2003: 34). Al-Thahthawi pergi ke Kairo pada tahun 1817 M ketika berumur 16 tahun dengan tujuan memasuki sekolah al-Azhar. Tujuan tersebut tercapai karena dia diterima sebagai mahasiswa di al-Azhar. Bahkan 204 Erasiah/Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014 karena kecerdasan dan ketajaman otaknya membuat dia menjadi murid kesayangan salah seorang gurunya, yaitu Syaikh Hasan al-‘Attar seorang ulama Azhar (Saifullah, 1999 : 41). Gurunya ini adalah salah seorang yang paling berpengaruh dan banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis. Dia telah mengarahkan al-Thahthawi kepada jalan pembaharuan dan ijtihad dalam belajar. Di samping itu al-Thahthawi juga dikenalkan tentang kemajuan Barat dan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis oleh gurunya tersebut. Selama lima tahun al-Thahthawi di al-Azhar, akhirnya pada tahun 1822 M dia dapat menyelesaikan studinya. Kemudian dia mengajar di al-Azhar selama dua tahun dan setelah itu dia pindah jabatan sebagai imam dan penceramah militer (Muhammad Imarah, 2007: 182). Kehebatan yang dimiliki oleh al-Thahthawi telah membuat dia dipercaya sebagai imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim oleh Muhammad Ali sebagai Gubernur Mesir ke Perancis untuk melanjutkan pendidikan. Sesampai di sana tepatnya di Paris, al- Thahthawi menggunakan kesempatan yang ada di samping sebagai imam yang diamanatkan oleh gubernur. Dia belajar bahasa Perancis yang dalam waktu singkat dapat dikuasai dengan baik. Kemampuan yang diperoleh tersebut membuat dia bisa membaca dan mempelajari buku-buku sejarah, filsafat Yunani, ilmu hitung, logika dan bahkan pemikiran para pemikir bangsa Perancis Abad ke-19 M. Seperti karya Voltaire, Condillac, Rouseau dan Montesque (Ris’an Rusli, 2013: 68). Kondisi ini menyebabkan al-Thahthawi mempunyai pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Bahkan ketika dia bosan membaca dan belajar, dia berjalan-jalan mengamati kondisi sosial Perancis dan metode pendidikannya. Dia menyaksikan langsung bagaimana kebebasan yang didapatkan oleh wanita-wanita Perancis terutama di bidang pendidikan. Mereka bisa duduk bersama dengan laki-laki dalam satu ruangan untuk menimba ilmu pengetahuan. Lima tahun lamanya al-Thahthawi di Perancis menyaksikan setiap hari kebebasan yang dimiliki oleh wanita-wanita Perancis yang tidak dia temui di daerah asalnya. Itulah bagian kondisi sosial Perancis 205 Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M yang sangat menopang dan mendukung al-Thahthawi belakangan berpikir tentang saudaranya-saudaranya yang perempuan. Walaupun demikian sebagai seorang agamais al-Thahthawi tidak lupa akan ikatan dengan pendidikan al-Azhar. Tiba waktunya al-Thahthawi kembali ke Mesir dan sesampai di Mesir dia memangku jabatan penerjemah di sekolah kedokteran dan di sekolah militer di Tharrah (Husayn Ahmad Amin, 2003: 280). Di samping itu dia juga diberi kepercayaan oleh gubernur sebagai guru bahasa Perancis dan berbagai jabatan Kepala Sekolah. Jabatan kepala sekolah tersebut di antaranya adalah Sekolah Persiapan Kedokteran, Sekolah Altileri pada tahun 1833 M yang banyak menterjemahkan buku-buku tentang teknik dan kemiliteran. Ketika berdiri Sekolah Penerjemah di Mesir pada tahun 1835 M yang mencetak tenaga-tenaga profesional dalam menterjemahkan karya-karya asing ke dalam bahasa Arab, kepemimpinan sekolah ini juga dipercayakan kepada al-Thahthawi. Pada tahun 1836 M sekolah ini berganti nama dengan Sekolah Bahasa-bahasa Asing dan al- Thahthawi tetap sebagai pemimpin sekolah tersebut. Bahasa-bahasa yang diajarkan di sekolah tersebut adalah bahasa Arab, Perancis, Turki, Persia, Itali, dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah dan ilmu bumi. Seiring berjalannya waktu dan tuntutan akan kebutuhan masyarakat maupun Negara, semenjak tahun 1844 M sekolah ini pun meningkat seperti sebuah universitas yang mempunyai berbagai jurusan dan fakultas. Di antara fakultas-fakultas tersebut adalah fakultas Adab, Hukum dan Dagang. Al-Thahthawi tetap sebagai pemimpin sekolah ini, di samping mengajar dan meneliti buku-buku yang diterjemahkan oleh murid-muridnya dengan dibantu oleh tenaga-tenaga guru asing dan Mesir (Ris’an Rusli, 2013: 69). Pada saat Muhammad Ali meninggal pada tahun 1848 M, Mesir dipimpin oleh Abbas Pasya cucu Muhammad Ali. Gubernur Mesir yang baru ini menutup sekolah Bahasa-bahasa Asing yang dikepalai oleh al-Thahthawi. Dengan alasan yang kurang jelas, Gubernur Mesir ini tidak senang kepada al-Thahthawi dan sebagai akibatnya al- Thahthawi dia pindahkan ke Sudan sebagai Kepala Sekolah Dasar di 206 Erasiah/Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014 sana (Harun Nasution, 2003: 36). Ini berarti karir dan usaha yang dilakukan oleh al-Thahthawi selama ini mengalami fase-fase yang suram, karena keinginannya untuk memajukan dan membangkitkan bangsa Mesir dari kemunduran selama ini mulai terhalang-halangi oleh penguasa yang kurang respek kepadanya. Akan tetapi pada tahun 1854 M, Allah memberi jalan kembali kepada al-Tahthawi untuk melanjutkan karir sebagai seorang ilmuan yang pantas untuk dikenang dan dibanggakan di mana-mana. Abbas Pasya meninggal dan digantikan oleh Said Pasya sebagai Gubernur Mesir. Gubernur yang baru ini memanggil al-Thahthawi kembali ke Kairo dan diangkat menjadi kepala Sekolah Militer untuk urusan bahasa asing dan penerjemahan. Kemudian pada tahun 1863 M ketika Khadevi Ismail penguasa Mesir mendirikan Badan Penerjemahan Undang-undang Perancis, al-Thathawi dipercaya memimpinnya (Ris’an Rusli, 2013: 70). Di samping karir-karir yang dijalani al-Thahthawi sebagai imam utusan mahasiswa-mahasiswa di Perancis, penerjemah, guru dan kepala sekolah, dia juga pernah menjadi pemimpin sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Muhammad Ali. Surat kabar tersebut bernama al-Waqa-i’ul Misriyah dan di bawah pimpinannya surat kabar tersebut bukan hanya memuat berita-berita resmi, tetapi juga memuat tulisan pengetahuan-pengetahuan tentang kemajuan Barat. 2. Pemikiran al-Thahthawi Berdasarkan riwayat hidup yang tertuang di atas, jelaslah bahwa al-Thahthawi sangat kagum dengan kemajuan Barat yang secara historis juga pernah dicapai oleh umat Islam di masa silam terutama masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Akan tetapi semua kemajuan itu sekarang sirna dari umat Islam dan umat Islam sibuk dengan urusan akhirat bahkan ada yang mengatakan pintu ijtihad tertutup. Sementara di Barat telah mencapai puncak kemajuan sebagai pembawa mereka untuk bisa melanglang buana ke dunia Timur khususnya dunia Islam. Tidak hanya sampai di situ mereka bahkan menjajah dunia Islam. 207 Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M Menyaksikan kondisi umat Islam seperti itu, terfikir oleh al- Thahthawi untuk melakukan pembaharuan pemikiran di dunia Islam. Apalagi al-Thahthawi telah menyaksikan dan merasakan langsung seperti apa metode dan kurikulum yang ada di al-Azhar selama 7 tahun. Kemudian kecerdasan dan ketajaman otak Al-Thahthawi telah membuat dia menjadi murid kesayangan salah seorang gurunya, yaitu Syaikh Hasan al-‘Attar seorang ulama Azhar (Saifullah, 1999: 41). Gurunya ini adalah salah seorang yang paling berpengaruh dan banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis. Gurunya tersebut mengarahkan al-Thahthawi kepada jalan pembaharuan dan ijtihad dalam belajar. Di samping itu al-Thahthawi juga mengenal kemajuan Barat dan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis melalui gurunya ini. Sementara ketika dia di Perancis, seperti disebutkan di atas, di waktu dia bosan membaca dan belajar, dia berjalan-jalan mengamati kondisi sosial Perancis dan metode pendidikannya. Sekembalinya ke Mesir, al-Thahthawi melihat dunia Islam sangat unggul dengan ilmu-ilmu syari’at dan akal, tetapi sudah melupakan ilmu-ilmu umum. Sebagaimana yang dikutip oleh Ris’an Rusli dalam tulisan Albert Hourani (Ris’an Rusli, 2013: 67), bahwa salah satu jalan untuk meraih hal itu menurut al-Thahthawi adalah melalui pendidikan dan pengajaran dan membina generasi yang dinamis dan berfikir maju. Menurutnya, pendidikan itu penting pada suatu bangsa tanpa membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Pemikirannya ini telah dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul al-Musyidul-Amin lil Banati wal-Banin (Petunjuk bagi Pendidikan Putra dan Putri). Katanya dalam buku tersebut, pendidikan dasar harus menyeluruh/ universal dan sama bentuknya untuk semua golongan. Begitu juga dengan pendidikan menengah harus mempunyai kualitas tinggi dan anak-anak perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama dengan anak laki-laki (Thahthawi, 2012: 15). Pemikiran ini didasarkan al-Thahthawi pada prinsip bahwa tujuan pendidikan menurutnya adalah untuk pembentukan kepribadian 208 Erasiah/Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014 tidak hanya untuk kecerdasan (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005: 37). Pendidikan juga berupaya menanamkan hub al-watan/ rasa patriotisme (Thahthawi, 2012: 15). Patriotisme merupakan dasar utama yang membawa seseorang untuk membangun masyarakat maju dan berperadaban. Patriotisme yang dimaksudkan al-Thahthawi adalah cinta pada tanah tumpah darah yaitu Mesir, bukan seluruh dunia Islam. Untuk itu kemerdekaan harus diwujudkan demi menciptakan masyarakat yang sejati, aman, damai dan tentram. Pendidikan bagi al-Thahthawi harus bersifat universal. Kemudian pendidikan juga harus diberikan kepada segenap golongan masyarakat, untuk semua tingkatan usia tanpa membedakan jenis kelaminnya. Dengan demikian masyarakat yang terdidik akan lebih mudah dibina dan sekaligus dapat menghindarkan diri masing-masing dari pengaruh negatif. Pemikirannya tersebut dapat dinilai sebagai rintisan bagi pemikiran pendidikan yang bersifat universal yang sekarang terkenal dengan istilah “education for all”. Lebih lanjut dia jelaskan bahwa pendidikan bagi kaum perempuan sangat penting, karena kaum perempuan adalah calon ibu rumah tangga dan harus disiapkan dengan pendidikan secara dini dalam segala aspek kehidupan, supaya perempuan dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi mitra suami dalam kehidupan sosial dan intelektual. Kemudian perempuan sebagai istri memiliki keterampilan untuk bekerja dalam batas-batas kemampuan mereka sebagai perempuan. Keterampilan yang dimiliki oleh ibu rumah tangga, akan dapat memanfaatkan waktu luangnya dengan berbagai kegiatan yang berfaedah. Sementara tentang kurikulum untuk pendidikan perempuan, al- Thahthawi menganjurkan agar kurikulum untuk pendidikan kaum perempuan terdiri dari pelajaran membaca, menulis, berhitung dan berbagai keterampilan seperti menyulam dan menjahit. Semua ini perlu didapatkan oleh perempuan di mana pun. Sekalipun ia tidak secara jelas mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka, namun dari pendapat tersebut hal itu cukup tersirat. Bila 209 Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M ulama memahami dunia modern, maka mereka akan terdorong untuk berfikir tentang hukum-hukum syari’at yang selama ini mereka fatwakan apalagi tentang persoalan wanita. Al-Thahthawi juga menerangkan dalam bukunya tentang syarat-syarat dan bentuk-bentuk ijtihad dalam Islam pada masa lampau. Menurut al-Thahthawi, kemajuan Barat bukan merupakan sesuatu yang membahayakan. Kebangkitan Perancis dan Eropa bukan untuk kekuatan politik dan ekspansi, melainkan semata-mata demi ilmu pengetahuan dan kemajuan bidang materi. Mesir harus mengambil pengetahuan modern tersebut karena pengetahuan Barat pada mulanya merupakan pengetahuan Islam. Langkah yang diambil ini, berarti sesungguhnya berarti Mesir telah mengambil kembali kepunyaannya sendiri. Cara yang terbaik adalah melalui pergaulan atau mengundang mereka datang ke Mesir untuk mengajarkan ilmu- ilmu yang mereka miliki. C.Qasim Amin 1. Riwayat Hidup Qasim Amin Qasim Amin lahir pada bulan Desember tahun 1863 di Iskandariah, Mesir, yang terkenal dengan nama Harrah sepuluh tahun sebelum wafatnya al-Thahthawi. Qasim Amin wafat tahun 1908 M pada usia yang masih muda, yaitu ketika berumur 45 tahun. Ayah Qasim Amin bernama Muhammad Beik Amin, seorang keturunan Turki dan seorang Komandan di Harrah pada masa pemerintahan Khadiw Ismail. Ibunya seorang keturunan Mesir kelahiran al-Sha’id (Ris’an Rusli, 2013: 133). Ayahnya menikah dengan ibunya dari anak putri Ahmad Beik Khatab atau saudara kandung Ibrahim Pasha Khatab. Mereka memiliki beberapa orang anak, yang pertama adalah Qasim Amin (Juwairiyah Dahlan, 2004:16-19). Secara kedudukan social, keluarga Qasim Amin tergolong kepada keluarga tingkat menengah. Pendidikan dasar diperoleh Qasim Amin di Madrasah Ra’su al- Tin di Iskandariyah yang merupakan salah satu madrasah termasyhur 210 Erasiah/Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014 saat itu. Setelah selesai belajar di madrasah tersebut, Amin melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di Madrasah al- Tajhiziyah di Hilmiyat. Setelah tamat dari madrasah ini, dia melanjutkan studinya ke Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi Hukum) dan memperoleh Lisance pada tahun 1881 M pada usia 18 tahun. Tidak lama setelah itu, dia dikirim oleh pemerintah ke Paris untuk menekuni studi hukum pada Universitas Montpellier (Ris’an Rusli, 2013: 133-134) dan selesai tahun 1885 M. Selama berada di Paris, ternyata Qasim Amin tidak hanya menggunakan waktunya untuk belajar di universitas tersebut. Akan tetapi dia juga memanfaatkannya untuk mempelajari karya-karya tulis dalam berbagai bidang ilmu. Di antara ilmu yang dipelajarinya adalah etika, sosiologi, ilmu jiwa dan lain-lain (Diana & Fiftah, philosopher Commoniti.blogspot.com./2013/06/qasim-amin-feminimisme.html: 3). Sewaktu di Paris, dia bertemu dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti al-Afghani dan Muhammad Abduh. Pertemuannya itu telah melahirkan diskusi hangat, terutama tentang prospek masa depan umat Islam secara umum dan bangsa Mesir secara khusus. Belakangan diketahui bahwa Qasim Amin termasuk salah seorang murid dari Muhammad Abduh tokoh pembaharu yang sangat rasional. Selesai pendidikan di Paris, ketika Qasim Amin kembali ke Mesir, dan dia mendapatkan pekerjaan di Niyabah al-Ammah (Kejaksaan Agung dan Peradilan). Kemudian pada 1892 M dia diangkat menjadi Hakim Agung di Mahkamah al-Isti’naf (Ris’an Rusli, 2013: 134). Kemudian bersama-sama dengan temannya Sa’ad Zaglul dia mendirikan al-Jami’ah al-Misriyah. Di samping itu dia juga aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan. Sebagai seorang intelektual, Qasim Amin telah menghasil karya- karya yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan) terbit tahun 1899 M, dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern) 1906 M, dan Gagasan tentang Kebebasan dan 211
Description: