Al-Ulum 83 Volume 18 Number 1 June 2018 Page 83-109 Pola Komunikasi Politik: Studi Pilkada Gubernur Gorontalo Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin Universitas Bina Nusantara Jakarta , IAIN Sultan Amai Gorontalo [email protected], [email protected], Abstract: This study is about to reveal how political communication of Golkar Party actors in Gorontalo Governor Election of 2011. The results of this study indicate that the strength of Golkar's political communication performance in Gorontalo Governor Election in 2011 is on party communicators and actors. Where the model of political communication occurs at several levels, namely; (a) the individual level, Rusli Habibie- Idris Rahim managed to manage the impression in each of them well. (b). At the group level, it is clear how Rusli Habibie-Idris Rahim managed to manage his political communications with harmonization in policy sharing and political talks. (c) at the organizational level impacted further from the group level, ie how Golkar and PPP determine the political direction of the party that position itself as the defender of the people; and (d) At the mass level, the Golkar Party is melting in coalition partners with the PPP, so the Gorontalo public sees any positive value from Golkar and PPP. Golkar and PPP always get a positive score. This is because Rusli Habibie-Idris Rahim always advances as a public policy advocate. Abstrak Studi ini mengungkap komunikasi politik aktor Partai Golkar dan PPP dalam Pilkada Gubernur Gorontalo 2011. Ditemukan bahwa kekuatan kinerja komunikasi politik partai Golkar dan PPP dalam Pilkada Gubernur Gorontalo 2011 pada komunikator dan aktor partai. Model komunikasi politiknya melalui beberapa level, (a) Level individual, Rusli Habibie-Idris Rahim berhasil mengelola kesan dalam dirinya secara baik. (b). Level kelompok, terlihat bagaimana Rusli Habibie-Idris Rahim berhasil mengelola komunikasi politiknya melalui harmonisasi dalam berbagi kebijakan dan pembicaraan politik. (c) Level organisasi, yakni bagaimana Golkar dan PPP menentukan arah politik partainya sebagai pembela rakyat; dan (d) Level massa, Partai Golkar menjadi lebur dalam mitra koalisi dengan PPP, sehingga publik Gorontalo melihat setiap nilai positif dari Golkar dan PPP karena Rusli Habibie-Idris Rahim selalu maju sebagai pembela kebijakan publik. Kata kunci: Komunikasi, Politik, Pilkada, Gorontalo Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin 84 A. Pendahuluan Semenjak Gorontalo ditetapkan menjadi provinsi pada tahun 2000, maka pesta demokrasi terutama pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur telah 4 empat) kali dilaksanakan. Sebelumnya pemilihannya dilakukan oleh DPRD pada tahun 2001, mun sejak diberlakukannya Pilkada langsung di Indonesia berdasarkan UU No. 32 Tahun 20041, maka tiga Pilkada Gubernur Gorontalo pemilihannya langsung oleh masyarakat yakni pada tahun 2006, 2012, dan 2017. Pilihan untuk melangsungkan pemilihan kepala daerah secara langsung tidak terlepas dari norma yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan secara demokratis.2 Pergeseran pemilihan yang sebelumnya dilakukan oleh DPRD beralih menjadi pemilihan langsung oleh masyarakat menuntut masing- masing partai politik, baik aktor maupun kandidatnya untuk lebih kreatif terutama dalam mengoptimalkan fungsi komunikasi partai politik. Bahkan para aktor politik dituntut menjadi aktor politik kontemporer untuk bisa mencitrakan diri sebaik mungkin. Aktor politik kontemporer diharuskan mengembangkan strategi media yang sukses demi tujuan popularitas bagi pencapaian target audiensi.3 Komunikasi politik menjadi hal yang penting bagi para aktor dan kandidat yang akan maju dalam Pilkada terutama partai politik. Sebab keberhasilan partai dalam pemilukada sangat ditentukan sejauh mana komunikasi politiknya berfungsi. Selain itu juga berfungsinya komunikasi politik dengan baik akan menjadikan partai tersebut mampu bersaing dalam alam demokrasi yang semakin kompetitif. Pengelolaan komunikasi politik partai saat ini sangat penting untuk mengkomunikasikan ide dan gagasan partai kepada khalayak sebagai sebuah dinamika demokrasi. Karena parpol dalam sistem politik merupakan pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, bahwa tidak akan pernah terwujud demokrasi tanpa partai politik. Namun parpol yang 1Evi Ariadne Shinta Dewi, Konstruksi Makna Kandidat Politik Dalam Pemilu Kepala Daerah Bagi Masyarakat Kota Bandung (Perspektif Komunikasi Politik dalam Jurnal Komunikasi Volume 9 Nomor 2 Tahun 2017 h.89 2Hardiyanto, dkk, Pemilihan Umum Kepala Daerah Periode 2015/2020 (Studi Politik Hukum Calon Tunggal) dalam Jurnal Varia Justicia Volume 12 Nomor 1 Tahun 2016, h. 210 3Syamsul Asri, Aktor Politik Kontemporer dalam Konteks Psychocultural, dalam Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 4 https://DOI 10.30603/au.v18i1.327 Pola Komunikasi Politik: Studi Pilkada Gubernur Gorontalo 85 diharapkan adalah parpol yang sehat dalam arti bahwa partai tersebut memainkan fungsi idealnya dalam sistem politik negara, karena dengan parpol yang sehat memungkinkan dapat melaksanakan fungsi-fungsi politiknya.4 Di mana fungsi-fungsi parpol tersebut adalah sebagai sarana sosialisasi politik, rekrutmen politik, pengatur konflik, dan komunikasi politik.5 Fungsi-fungsi parpol tersebut hanya dapat dipahami melalui pengartikulasian kepentingan (interest articulation). Misalnya saja fungsi partai sebagai sarana sosialisasi politik (political socialization) adalah untuk membangun citra (image) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Fungsi partai sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik (political recruitment) berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan baik kepempimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional. Fungsi partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) adalah menyalurkan berbagai kekuatan ideologi maupun kelompok-kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat. Sementara itu fungsi partai sebagai sarana komunikasi politik (political communication) adalah mensosialisasikan ide, gagasan, visi dan kebijakan partai kepada masyarakat, termasuk juga kepada lembaga pemerintahan.6 Keberhasilan parpol melaksanakan fungsi-fungsinya akan memberikan keuntungan politik bukan saja bagi parpol, namun juga bagi aktor-aktor parpol itu sendiri. Untuk melihat sejauhmana parpol mengoptimalkan fungsi-fungsinya terutama fungsi komunikasi politik adalah pada saat pelaksanaan Pemilu. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan bagian penting kehidupan bernegara Indonesia di era Reformasi.7 Pada era Reformasi hampir semua aktor (politisi) maupun parpol dapat melaksanakan fungsi komunikasi politik secara baik. 4Adman Nursal, Political Marketing, Strategi Memenangkan Pemilu; Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden (Jakarta; Gramedia, 2004), h 15-17. 5Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2005), h. 55-70. 6Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta, Grasindo: 1999) h. 161- 171 7Cucu Sutrisno, Partisipasi Warga Negara dalam Pilkada dalam Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Volume 2 Nomor 2 Tahun 2017, h. 36. Lihat pula, Pandri S. Itiniyo, Peran Partai Politik dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Ditinjau dari UU No. 2 Tahun 2011 dalam Jurnal Lex Privatium Volume IV Nomor 3 Tahun 2016, h.28 Al-Ulum v18i1. ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213 Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin 86 Komunikasi politik terutama oleh aktor-aktor parpol sangat berperan dalam memenangkan partainya. Pelaksanaan komunikasi politik secara optimal sangat menentukan keberhasilan dan dukungan dari masyarakat sebagai pemilik suara. Berbagai keberhasilan yang diperoleh oleh masing-masing parpol maupun aktor politik dalam pemilu sangat ditentukan sejauhmana komunikasi politik dapat dilaksanakan secara optimal. Ini berarti bahwa optimalisasi komunikasi sama penting dengan tujuan politik yang ingin dicapai. Hal ini juga dikemukakan Deddy Mulyana8, dengan mengatakan bahwa apabila komunikasi dapat dioptimalkan dengan sebaik-baiknya akan memberikan hasil yang baik, termasuk akan mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari komunikasi itu sendiri. Sebenarnya keberhasilan komunikasi oleh aktor-akot politik bukan saja akan mewujudkan tujuan politik dari aktor-aktor itu sendiri, namun keberhasilan tersebut dapat mewujudkan tujuan politik yang lebih besar, yaitu dukungan masyarakat terhadap parpol maupun aktor-aktor politiknya dalam mengikuti pemilihan gubernur, pilpres, dan sterusnya. Perubahan pemilihan kepala daerah secara langsung adalah suatu perjuangan politik dari seluruh komponen masyarakat Indonesia terutama peran dari para aktor-aktor politik di DPR yang berhasil melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Pemilu. Sementara itu keberhasilan para aktor-aktor partai tersebut adalah tidak lepas dari fungsi komunikasi politik yang lakukan secara optimal. Banyak cara untuk mencapai tujuan politik antara dengan perebutan pengaruh, di mana komunikasi merupakan cara yang paling demokratis dibandingkan dengan cara lainnya seperti melalui uang, jabatan, dan militer. Pandangan ini sangat tepat, apabila dihubungkan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo Periode tahun 2012-2017. Sebab keberhasilan komunikasi partai politik dalam Pilkada ternyata tidak hanya ditentukan oleh figur/kandidatnya, namun bagaimana pengelolaan komunikasi politik oleh aktor-aktor partai, sehingga mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dalam perspektif ini, maka menarik untuk dikaji bagaimana komunikasi politik para kandidat maupun partai politik dalam pilkada 8Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 1. https://DOI 10.30603/au.v18i1.327 Pola Komunikasi Politik: Studi Pilkada Gubernur Gorontalo 87 Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo tahun 2011. Terutama komunikasi politik para aktor politik dari pasangan Rusli Habibie dan Idris Rahim. Sebab pasangan ini mampu mengalahkan pasangan incumbent, yaitu Gusnar Ismail dan Tony Uloli, bahkan pasangan ini didukung penuh oleh gabungan partai dan partai penguasa serta mesin birokrasi. Namun dalam realitasnya pasangan ini tidak berhasil memenangkan pilkada saat itu (tahun 2011). Disinilah pentingnya pengkajian ini dilakukan, yaitu ingin menganalisa bagaimana komunikasi politik para aktor Partai Golkar dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo tahun 2011. Artikel ini merupakan intisari dari hasil penelitian lapangan, yaitu melihat bagaimana komunikasi politik aktor Partai Golkar dalam pemilihan Gubernur Provinsi Gorontalo. Analisis data dilakukan secara kualitatif atas data yang bersifat deskriptif, serta gambaran yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diamati. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Gorontalo. Alasan mendasar dipilihnya kota sebagai lokasi penelitian ini lebih dikarenakan aktor Partai Golkar dan PPP termasuk kandidat Gubernur (Rusli Habibie dan Idris Rahim) berdomisili di Kota Gorontalo. Selain itu tempat/kantor yang digunakan untuk menyusun berbagai strategis kampanye politik pasangan ini banyak dilakukan di Kota Gorontalo. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis yang dihasilkan akan dijelaskan dengan kalimat- kalimat deskriptif, yang diharapkan mampu memberikan kejelasan dan menjawab permasalahan dalam penelitian. B. Diskursus Komunikasi Politik Secara umum, komunikasi politik lazim dikaitkan dengan pembicaraan politik atau penyampaian pesan politik verbal maupun non verbal yang dapat mempengaruhi rakyat maupun pemerintah dalam suatu sistem politik.9 Istilah komunikasi politik mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan Gabriel Almond (1960) dalam bukunya yang berjudul The Politics of the Development Areas, dia membahas 9Eko Harry Susanto, Dinamika Komunikasi Politik dalam Pemilihan Umum, dalam Jurnal Kajian Komunikasi Volume 1 Nomor 2 Desember Tahun 2013, h.164 Al-Ulum v18i1. ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213 Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin 88 komunikasi politik secara lebih rinci.10 Proses komunikasi yang dilakukan dalam interaksi antar manusia terdapat dalam berbagai dimensi kehidupan. Lingkup komunikasi juga menembus dimensi politik.11 Komunikasi politik merupakan sebuah studi yang multi disiplin ilmu, terutama dalam kaitannya antara proses komunikasi dan proses politik. Dalam konteks politik mengacu pada pendapat Graceau dalam Dan Nimmo(2005), proses politik merupakan pola interaksi yang menghubungkan antara warga negara dengan pembuat keputusan baik dalam konteks, kesetaraan, kerjasama ataupun dalam konteks konflik.12 Hal ini dapat dimaknai bahwa pola interaksi antara warga negara dengan pemerintah dalam suatu arena kebijakan merupakan sebuah proses komunikasi dalam konteks politik. Sedangkan menurut Alfian (1993) sebagaimana dikutip Yudhatama menyatakan bahwa komunikasi politik merupakan bagian dari sistem politik yang mengkonversikan aspirasi dan kepentingan para pihak menjadi berbagai kebijakan.13 Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.14 Komunikasi politik (political communication) dapat dipahami dalam beberapa definisi. McQuail15 misalnya mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan “all processes of information (including facts, opinions, beliefs, etc) transmission, exchange and search engaged in by participants in the course of institutionalized policital activities”. 10Yusa Djuyandi, Komunikasi Politik Tim Pemenangan Hendra Hemeto dalam Pemilihan Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Gorontalo Periode 2016-2021 dalam Jurnal Wacana Politik Volume 2 Nomor 1 Tahun 2017, h.13 11Rosiana Eka Putri, Komunikasi Politik (Model Komunikasi Politik Antar Fraksi dalam Pembentukan Norma UU Pilkada secara Demokratis, dalam Jurnal Jurisprudence Volume 5 Nomor 1 Maret Tahun 2015, h. 52 12Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, h. 83 13Iranda Yudhatama, Komunikasi Politik dan Partisipasi Warga dalam Arena Perencanaan dan Penganggaran Dana Keistimewaan DIY dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 15 Nomor 3 Tahun 2017, h. 207 14Budiyono, Media Sosial dan Komunikasi Politik : Media Sosial sebagai Komunikasi Politik Menjelang Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 dalam Jurnal Komunikasi Volume 11 Nomor 1 Tahun 2016, h. 48 15Dennis McQuail, “Political Communication” dalam Maurice Kogan (ed), Encylopedia of Government and Politics Vol. 1. (London: Routledge, 1992), h 472-473. https://DOI 10.30603/au.v18i1.327 Pola Komunikasi Politik: Studi Pilkada Gubernur Gorontalo 89 Dalam uraian ini McQuail mengatakan bahwa sebenarnya semua proses penyampaian informasi – termasuk fakta, pendapat-pendapat, keyakinan- keyakinan dan seterusnya, pertukaran dan pencarian tentang itu semua yang dilakukan oleh para partisipan dan konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga. Tentunya pandangan McQuail ini menekankan pada beberapa hal yang penting, yaitu komunikasi politik menandai keberadaan dan aktualisasi lembaga-lembaga politik, komunikasi politik merupakan fungsi dari sistem politik, dan komunikasi politik berlangsung dalam suatu sistem politik tertentu. Berkaitan dengan komunikasi politik sebagai suatu sistem politik, Gabriel Almond16 mengemukan bahwa komunikasi adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.” Artinya bahwa komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik. Lebih lanjut Almond berpendapat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik di suatu negara.17 Sementara itu Dan Nimmo18 mengatakan bahwa: “Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict.” Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, media, khalayak, dan akibat. Sedangkan Meadow19 memberikan penegasan bahwa istilah komunikasi merujuk pada “any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the 16 Gabriel A. Almond dan James S. Coleman (Eds), The Politicis of the Developing Areas, (Princeton University Press, Prenceton, New Jersey, 1960), h 30-35. 17Eko Harry Susanto, Komunikasi Politik dan Jajak Pendapat dalam Pemilihan Kepala Daerah, dalam Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Tahun 2016, h.177 18Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, h 75-78. 19Robert G. Meadow, Politics As Communication, (Noorwod, NJ: ABLEX Publishing Company, 1980), h 4. Al-Ulum v18i1. ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213 Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin 90 political system.” Artinya bahwa segala bentuk pertukaran simbol atau pesan yang sampai tingkat tertentu dipengaruhi atau mempengaruhi berfungsinya sistem politik. Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa komunikasi politik adalah penyampaian pesan politik (pesan verbal maupun non verbal), yang dapat mempengaruhi rakyat ataupun pemegang kekuasaan dalam suatu sistem politik. Atau dalam arti lain komunikasi politik merupakan jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan yang dapat memfungsikan sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti dalam rangka mencapai tujuan politik. Komunikasi politik diperan oleh aktor komunikasi yang sering disebut “Komunikator Politik”. Komunikator politik pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang politik, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara. Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela. Jadi komunikator politik adalah pihak yang memanipulasi komunikasi untuk meraih keuntungan politik yang sebesar-besarnya, baik itu hanya melibatkan dirinya sendiri maupun pihak lain yang memiliki ide dan pandangan yang sama. Komunikator politik utama memainkan peran sosial yang utama, teristimewa dalam proses opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai opini publik”, yakni opini publik seluruhnya dibangun di sekitar komunikator politik.20 Komunikator politik terdiri dari tiga kategori: politisi, profesional, dan aktivis. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dan sebagainya. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang uncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi 20Dan Nimmo, Komunikasi Politik , h. 34 https://DOI 10.30603/au.v18i1.327 Pola Komunikasi Politik: Studi Pilkada Gubernur Gorontalo 91 konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).21 Aktivis sebagai komunikator politik dibagi dua; (a) jurubicara (spokesman/spokeswoman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis. Dan (b) Pemuka pendapat (opinion leader), yaitu orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik. C. Interaksi Simbolik Dalam Komunikasi Politik Fenomena komunikasi politik dapat dilihat dari pandangan teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya padadiri masing-masing yang terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.22 Sebab dalam proses pemilihan pemimpin (mulai dari presiden sampai di level paling rendah) pertukaran pesan dilakukan melalui berbagai atribut atau simbol-simbol dari masing-masing partai politik maupun aktor politik. Misalnya, pada saat kampanye simbol-simbol, bendera partai banyak menggunakan gambar/foto dari para aktor politik. Penggunaan simbol-simbol tersebut menurut Eep Saefullah Fattah dalam Lely Arrianie (2010)23 adalah ingin terlihat menonjol. Di mana penonjolan semacam ini ternyata sangat bersifat simbolik sehingga teori interaksi simbolik sebagai pendekatan yang bermanfaat untuk menggali berbagai pengertian tentang kehidupan kelompok manusia dengan fokus sentralnya tentang interaksi dan komunikasi politik yang dilakukan untuk mempertukarkan pesan-pesan politik dalam pemilihan Presiden pada Pemilu 2009. Teori interaksi simbolik pada dasarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar, yaitu perspektif fenomenologis, di mana tokoh utamanya adalah George Herbert Mead. Dalam bukunya yang 21Dan Nimmo, Komunikasi Politik , h. 30 22Oki Cahyo Nugroho, Interaksi Simbolik dalam Komunikasi Budaya dalam Jurnal Aristo Volume 3 Nomor 1 Tahun 2015, h. 4 23Lely Arrianie, Komunikasi Politik: Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik (Bandung, Widya Padjadjaran: 2010) h. 28 Al-Ulum v18i1. ISSN 1412-0534, E ISSN 2442-8213 Erwin Jusuf Thaib & Abdul Razak Mozin 92 berjudul Mind, Self and Society, Mead24 mengungkapkan bahwa keseluruhan sosial mendahului pemikiran individu baik secara logika maupun secara temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri adalah mustahil secara logika tanpa di dahului adanya kelompok sosial. Menurut Mead kelompok sosial muncul lebih dulu, dan kelompok sosial menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran diri. Esensi dasar dari teori Mead25 adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Jay G. Blumler (1979) mengintegrasikan gagasan- gagasan interaksi simbolik dengan John Dewey, William I. Thomas dan Charles H. Cooley. Gagasan mereka tersebut mengungkapkan bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Hal ini didasarkan pada tiga asumsi, yaitu : Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanistis, tidak pula bergantung bagaimana eksternal; alih-alih, respons mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefenisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi, individulah yang dipandang aktif menentukan lingkungan mereka sendiri.26 Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, dan gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Artinya, logis antara nama atau simbol dengan objek yang dirujuknya meskipun kita terkadang sulit untuk memisahkan kedua hal itu. Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia. 24George Ritzer, Sosiologi Ilmu Penegtahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012) h.272-273 25Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2001) h. 68-73 26Salomon Gavriel, Of Mind and Media, How Culture’s Symbolic Forms Affect Learning and Thinking dalam Bloomington Volume 78 Iss. 5 Tahun 1997 h. 375-380 https://DOI 10.30603/au.v18i1.327
Description: