ebook img

SENARAI ANTROPOLOGI PERKOTAAN Kota merupakan ruang sentra kehidupan yang dapat ... PDF

129 Pages·2016·4.3 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview SENARAI ANTROPOLOGI PERKOTAAN Kota merupakan ruang sentra kehidupan yang dapat ...

Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. SENARAI ANTROPOLOGI PERKOTAAN Kota merupakan ruang sentra kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang maupun pendekatan keilmuan. Kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan termanifestasi dalam perilaku, tindakan, maupun aktivitas kehidupan menjadi akses telaah antropologis. Kehidupan masyarakat juga dapat dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Antropologi Perkotaan berasal dari dua istilah atau konsep, yaitu antropologi dan perkotaan. Makna dari istilah atau konsep antropologi perkotaan adalah pendekatan- pendekatan antropologi mengenai berbagai problematika kehidupan manusia sebagai kesatuan sosieti (masyarakat) maupun komuniti di wilayah perkotaan. Problematika perkotaan dimaksud merupakan permasalahan yang muncul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat kota, dan sekaligus menjadi ciri dari keberadaan kota itu sendiri yang membedakannya dengan kehidupan masyarakat di wilayah perdesaan. Dalam peradaban modern, dominasi kota terhadap masyarakat perdesaan telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. Pertama, kontak desa dan kota telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan dengan sebelumnya. Kedua, penduduk kota semakin besar bila dibandingkan dengan desa. Persoalan yang lebih kompleks dan sulit diketahui memicu keunggulan masyarakat perkotaan daripada orang desa secara kualitas maupun kuantitas. Dimaksud kualitas di sini adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya. Masyarakat Perkotaan Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau status hukum. Beberapa definisi (secara etimologis) “kota” dalam bahasa lain yang agak tepat dengan pengertian ini, seperti dalam bahasa Cina, kota artinya dinding, dan dalam bahasa Belanda (kuno): tuiin, bisa berarti pagar. Dengan demikian, kota dapat diartikan sebagai teritori atau ruang berbatas. Selanjutnya masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat serta ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu: 1 Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. 1) Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. 2) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. 3) Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas- batas yang nyata. 4) Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa. 5) Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. 6) Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab masyarakat kota biasanya lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru. Selain itu, setidaknya ada 6 (enam) kondisi yang dapat ditemukan sebagai karakter perangkat kehidupan masyarakat perkotaan: a) Pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas b) Organisasi sosial leboh berdasarkan pekerjaan dan kelas sosialdari pada kekeluargaan c) Lembaga pemerintahan lebih berdasarkan teritorium dari pada kekeluargaan d) Suatu sistem perdagangan dan pertukangan e) Mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi f) Berteknologi yang rasional Makin besar pertambahan penduduk, makin menjadi jelas corak kekotaan suatu tempat. Dalam rangka urbanisasi, tampaknya dipedesaan yang letaknya mengelilingi wilayah perkotaan, kepadatan penduduk mendorong manusia mencari nafkah dari bidang non-agraris seperti perdagangan, industri, dan perkantoran. Ikatan sosial berdasarkan tradisi menjadi lemah, luntur atau menghilang. Dengan demikian perubahan-perubahan tersebut mengubah ikatan antar manusia, begitu pula bentuk- bentuk kehidupan dan pertanyaan serta sikap rohaninya. Masyarakat Kota Sebagai Community Pernyataan dimaksud memiliki pengertian tentang keberadaan suatu kelompok individu sebagai warga dengan teritorial tertentu. Dengan demikian, suatu community (komuniti/komunitas) dengan teritori dimaksud bercirikan sebagai berikut: 1) berisi kelompok manusia; 2) menempati suatu wilayah geografis tertentu; 3) mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 4) memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 5) para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 6) mampu berbuat secara kolektif menurut cara 2 Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. tertentu. Komuniti dengan teritori tersebut dapat dibagi lagi berdasarkan ruang aktivitas kehidupannya menjadi empat jenis ruang komuniti: Rural, Fringe (pinggiran), Town, dan Metropolis. Kultur Perkotaan Secara lebih khusus, ‘kultur’ dapat juga dirumuskan sebagai tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk merumuskan maupun menciptakan ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya, dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu. Dengan demikian, komunitas kota dapat dikatakan memiliki intensitas progres ‘kultur’-itas yang tinggi. Komunitas kota lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi ‘relation base emotional oriented’. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga setiap individu diharuskan menciptakan jalur eksistensi kehidupannya. Begitu banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement), maka, gaya hidup masyarakat kota lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas kota adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) yang cenderung mengakibatkan individu kehilangan identitas pribadinya (self identity). Peran penting kota yang mengawal kehidupan masyarakat adalah ketika kota menjelma sebagai pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban. Kota kemudian menjadi ruang (ekspektasi)peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan konsep ‘civilized’ yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia. Kota dan Kelompok Kerabat Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya), maka, organisasi keluarga juga cenderung berkembang menjadi organisasi regional guna menghadapi situasi anomik, individualisme, dan lainnya yang bersifat disintegratif. Dengan kata lain, alasan fundamental pembentukan asosiasi regional adalah karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif bagi kepentingan kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan. 3 Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Asosiasi-asosiasi kerabat bersifat regional tersebut juga bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Akan tetapi, keberadaannya turut mendukung eksistensi status ‘urban’ dengan implikasi munculnya kesadaran atas ‘kelas’ (sosial-ekonomi), berbeda dengan ‘rural sosieti’ yang relasi antar individunya lebih berdasarkan pada kesadaran ‘etnisitas’. Kota dan Kemiskinan Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para antropolog adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam kota-kota besar. Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya. Kemiskinan di wilayah perkotaan umumnya berkaitan dengan kawasan pemukiman kumuh di perkotaan. Ada beberapa pendekatan utama yang sering diacu guna menangani masalah pemukiman kumuh tersebut, terutama oleh pihak pemerintah, yaitu: a) Sikap laisser fair, di sini pemerintah membiarkan bangunan perumahan liar mengikuti permainan ekonomi, b) Alamist approach, pendekatan yang memandang kehadiran pemukiman kumuh yang dihuni oleh kelompok warga miskin di perkotaan sebagai ancaman; c) Pendekatan parsial (partial approach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit, d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah membangun perumahan berskala besar untuk kaum ekonomi lemah, dan e) Pendekatan progresif (progressive approach), pemecahan bersama penghuninya. Urbanisasi PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut : a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota. 4 Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier. c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota. d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi. Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Sikap Manusia Terhadap Kota Dalam menilai kota terdapat polarisasi, yakni golongan kolot, yakni para lokalis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgia. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi lokalis, ini berarti perlindungan terhadap yang ada sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif. Kota dan Proses Pengasingan Dalam masyarakat modern di kota-kota besar sering terjadi apa yag disebut proses keterasingan (alienation). Proses terjadi karena orang tidak mempunyai perasaan ikut memiliki fasilitas, lembaga, dan kesempatan. Sehingga karena itu orang-orang terasing tersebut merasa tidak menjadi bagian dari masyarakat kota. Perasaan keterasingan menyebabkan hilangnya rasa tanggung jawab bahkan ketidakperdulian. Tidak adanya tanggung jawab dan kepedulian tersebut menimbulkan sikap non-partisipasif. Itulah sebabnya kota-kota besar itu cenderung kotor. Sebab warganya tidak merasa ikut memiliki dan karena itu tidak merasa berkewajiban untuk memelihara berbagai faslitas publik yang telah disediakan oleh pemerintah. Gejala kekotoran berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan kemiskinan. Kota dengan demikian diperlakukan sebagai konteks atau variabel yang menjelaskan keberadaan permasalahan yang ada di dalam kehidupan perkotaan, dan kota adalah juga sebagai permasalahan perkotaan itu sendiri. 5 Mata Kuliah : Antropologi Perkotaan Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Sumber Pustaka Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional. Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company. Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni. Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Spreiregen, P. D. (1965). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company. 6 Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan: Kajian Kasus di Jakarta Achmad Fedyani Saifuddin (Universitas Indonesia) Abstract This study looks into the internal process of the urban poverty of Jakarta in terms of the flowering phenomena of building and maintaining specific social relations among the poor to fulfill their basic economic needs. These complex social relations and exchanges among the poor and non-poor—called social integration of the poor—make the boundaries between the two social categories blurred and flexible. The paradox of social and economic statuses of the people involved has made this integration possible. This phenomenon will make poverty reduction programs in Indonesia face more complicated problems. Key words: Urban poverty; specific social relations; poverty as process; poverty paradox; social integration. Pendahuluan memandang kemiskinan sebagai gejala absolut; Masalah kemiskinan tak habis-habisnya dan, kedua, cara berpikir yang memandang dibicarakan orang karena—khususnya di In- kemiskinan sebagai gejala relatif. Cara pandang donesia—fenomena kemiskinan semakin relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, meluas dalam satu dekade terakhir. Semenjak yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan krisis moneter pada tahun 1997, Indonesia cara pandang (model) struktural. Kemudian, belum mampu keluar dari kemelut ekonomi bermula pada tahun 1990an, terjadi perkem- tersebut, dibandingkan misalnya negara- bangan baru dalam pendekatan terhadap negara lain yang juga mengalami krisis yang kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sama seperti Malaysia, Thailand, dan Korea sebagai proses. Cara pandang yang terakhir Selatan. Tiga negara tersebut terakhir telah ini semakin menguat dalam dua dekade terakhir, berhasil pulih, dan bahkan mengalami kemajuan meski di Indonesia baru saja dikenal. Secara yang signifikan dalam tahun-tahun terakhir. singkat, penulis uraikan cara pandang di atas Masalah kemiskinan juga sudah sangat satu per satu di bawah ini. banyak dibicarakan orang, khususnya oleh para Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan ahli ilmu sosial. Hingga tahun 1980an, tulisan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan ilmiah ilmu sosial diwarnai oleh dua cara berpikir sebagai kondisi serba berkekurangan materi, dominan, yakni: pertama, cara berpikir yang hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 309 memiliki sarana untuk mendukung kehidupan kehidupan orang miskin, maraknya gejala hidup sendiri. Para ahli sependapat bahwa setiap or- bersama tanpa menikah, maraknya gejala tindak ang yang berkekurangan materi dan sarana kriminal, banyaknya anak-anak yang ditinggal- untuk tetap hidup termasuk dalam kategori kan orang tua. Selanjutnya, orang miskin miskin, meskipun batas yang disebut semakin jauh dari partisipasi dan integrasi ke “kekurangan” itu bisa bergeser sesuai dengan dalam masyarakat yang lebih luas. Orang miskin ukuran kesepakatan pada ahli dan pembuat dipandang sebagai satuan sosial yang diskret, kebijakan mengenai “kebutuhan minimum” yang menyandang suatu kebudayaan yang bagi mempertahankan efisiensi fisik”, atau yang disebut kebudayaan kemiskinan yang khas kerap kali disebut juga sebagai “garis distinktif, yang berbeda dari masyarakat lain di kemiskinan” pada tingkat subsistensi pada luarnya (Lewis 1961; 1966) masa tertentu. Cara pandang struktural berpendapat Memandang kemiskinan sebagai gejala bahwa struktur sosial memantapkan kemiskinan. relatif adalah kriteria yang berasas arbitrer Tekanan-tekanan struktural seperti politik dan sehingga kemiskinan mungkin justru berada ekonomi mengakibatkan sejumlah orang dalam dalam fraksi tertentu orang-orang yang ber- populasi terdorong ke posisi yang tidak penghasilan rata-rata atau di bawahnya. menguntungkan. Sebagai bagian dari struktur, Dengan menggunakan model kemiskinan mereka tidak atau kurang mampu menghadapi absolut, lebih sedikit orang yang termasuk struktur yang demikian kuat, sehingga secara dalam kategori miskin daripada kalau meng- relatif tetap lemah dalam posisi itu (Valentine gunakan model kemiskinan relatif. Model 1968). kemiskinan relatif, meskipun lebih menggambar- Meskipun kedua model ini memiliki kan realita empirik yang penting bagi tujuan penekanan yang berbeda—kebudayaan dan penelitian ilmiah sosial namun batas-batasnya struktur sosial dalam tulisan ini adalah dua seringkali kabur bagi tujuan pembuatan dimensi analisis yang berbeda—keduanya kebijakan. Batas-batas yang kabur ini meng- berada dalam ruang paradigma struktural- gambarkan relativitas dinamik dari golongan fungsionalisme yang sangat berpengaruh miskin sebagaimana ditemukan dalam realitas dalam ilmu-ilmu sosial, paling tidak hingga akhir empirik. Ada pun model yang menggambarkan 1970an di negara-negara maju, dan hingga kini batas-batas tersebut adalah yang memandang di Indonesia. Kedua model ini memandang kemiskinan sebagai kebudayaan dan struktur masyarakat (miskin) sebagai suatu kesatuan sosial. sosial yang secara budaya khas, tunggal, dan Cara pandang kebudayaan berpendapat memiliki batas-batas yang tegas (culturally bahwa kebudayaan dapat memantapkan distinctive). kemiskinan. Kemiskinan adalah cara hidup Sebagai konsekuensi dari cara memandang yang dikembangkan dan ditransmisikan dari kemiskinan dan orang miskin di atas, kebijakan- generasi ke generasi. Sebagai cara hidup maka kebijakan yang disusun untuk menanggulangi kemiskinan berfungsi mengembangkan kemiskinan mencerminkan cara berpikir atau seperangkat coping mechanism yang dapat paradigma tersebut, yakni: pertama, menempat- menimbulkan konsekuensi-konsekuensi kan orang miskin sebagai obyek yang menjadi negatif seperti kehidupan yang kacau, sasaran penanggulangan kemiskinan, dan hilangnya masa kanak-kanak dalam siklus pihak yang menanggulangi (pemerintah dan 310 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005 badan-badan lain yang terkait), menyusun Masalah penelitian rencana-rencana menurut apa yang mereka Kemiskinan sebagai proses fikirkan tanpa melibatkan orang miskin yang Pendekatan proses mengenai kemiskinan menjadi sasaran; kedua, orang miskin di- baru saja dikenal di Indonesia. Untuk sebagian pandang sebagai orang yang tidak berdaya, besar, pendekatan yang digunakan di ruang lemah, dan apatis karena mereka memiliki ilmiah maupun praktis masih didominasi kebudayaan kemiskinan (Lewis 1961; 1966) pendekatan kebudayaan dan struktural sehingga mereka perlu dibantu sepenuhnya sebagaimana dibicarakan di atas. Kedudukan melalui program-program yang dibangun dari dan otoritas peneliti—dan pemerintah dalam “atas” (pemerintah); ketiga, orang miskin konteks praktis—dominan dalam pendekatan dipandang sebagai tidak berdaya, lemah, dan kebudayaan (lihat Lewis 1961; 1966) dan apatis karena mereka terkungkung dan struktural (lihat Valentine 1968) mengenai terkurung oleh kendala-kendala struktural yang kemiskinan. Dengan kata lain, “orang miskin” datang dari luar diri mereka. Oleh karena itu, dalam kedua model kemiskinan ini dilihat pemerintah perlu membantu mereka dengan sebagai obyek, baik sebagai sasaran penelitian menghilangkan atau mengurangi kendala- maupun sebagai sasaran program kebijakan. kendala struktural tersebut. Dalam pendekatan proses, peneliti ber- Dapat kita cermati bahwa program-program upaya mengungkapkan kemiskinan menurut penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas Indonesia selama ini kuat dipengaruhi oleh empirik. Orang miskin diposisikan sebagai pemikiran di atas. Sebagai contoh belakangan subyek yang berpikir dan bertindak, ini adalah kebijakan Bantuan Langsung Tunai mengembangkan strategi-strategi dan kiat-kiat (BLT) yang membagikan bantuan urang agar bertahan hidup. Mengikuti cara berfikir sebesar Rp. 100.000,- per kepala keluarga bagi proses tersebut, maka masalah penelitian ini orang miskin untuk mengurangi beban akibat adalah bahwa orang miskin—sebagaimana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). halnya orang yang tidak miskin—mengembang- Dalam pemberian bantuan ini jelas sekali kriteria kan hubungan-hubungan sosial khusus di siapa miskin dan tidak miskin berasal dari model antara sesama orang miskin maupun orang- yang dibawa pihak luar orang miskin, yakni orang yang tidak miskin berdasarkan kompleks pemerintah dan aparatusnya, sebagaimana kepentingan satu sama lain, yakni mempertahan- terkandung dalam paradigma di atas. kan hidup (dalam hal ini berarti memenuhi Mencermati model-model pemikiran kebutuhan ekonomi yang mendasar). Penulis mengenai kemiskinan di Indonesia, maka tulisan berasumsi bahwa: pertama, kompleks keter- ini membahas kemiskinan dari perspektif yang jalinan hubungan-hubungan sosial yang khas berbeda—suatu hal yang relatif baru di Indo- ini membangun suatu integrasi sosial orang- nesia—yakni kemiskinan sebagai proses. orang miskin dan tidak miskin sedemikian, Dalam pendekatan ini realita empiris adalah sehingga batas-batas golongan miskin yang terpenting, yang dari realita ini model-model diasumsikan dalam pendekatan kebudayaan kebijakan baru dalam menanggulangi dan struktural di atas menjadi baur. Kedua, kemiskinan dapat dibangun, sehingga sebagai konsekuensi dari hubungan-hubungan penanggulangan kemiskinan itu sesuai dengan sosial yang khas tersebut, maka akumulasi realitas empirik yang sesungguhnya. totalitas hubungan sosial dan tindakan sosial Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 311 yang terwujud berimplikasi mundurnya kondisi Jakarta tidak memiliki karakteristik distinktif dan kehidupan perkotaan, karena hubungan- diskret sebagaimana diasumsikan dalam hubungan sosial yang tidak formal semakin pendekatan kebudayaan maupun struktural penting, dan bahkan kadang-kadang lebih yang memandang orang miskin sebagai penting daripada aturan-aturan formal dalam kelompok yang memiliki ciri-ciri khas tertentu. menentukan arah tindakan. Pendekatan kemiskinan sebagai proses tidak memandang orang miskin dan yang tidak miskin Sumber data dan metode memiliki batas-batas yang tegas satu sama lain, Penelitian ini memiliki sejarah yang panjang, melainkan ada hubungan interaksi yang intensif yakni semenjak tahun 1983, ketika suatu survei satu sama lain. Ada konteks-konteks tertentu dilakukan untuk mengetahui kehidupan ma- di mana kepentingan-kepentingan khusus syarakat miskin di suatu lokasi di Jakarta Timur. mengikat kedua belah pihak, membangun Penelitian ini kemudian berlanjut pada tahun kerjasama, mewujudkan integrasi sosial di 1985 yang memusatkan perhatian pada struktur antara keduanya. dan kehidupan rumah tangga miskin di lokasi Hubungan sosial sebagai adaptasi yang sama. Pengamatan pada tahun 1991 me- nemukan tema-tema penting seperti fleksibilitas Kajian-kajian kemiskinan di perkotaan di struktur rumah tangga miskin yang secara Indonesia—dan khususnya, Jakarta— kualitatif dapat dipandang sebagai petunjuk sebelumnya terutama menekankan tiga strategi adaptasi terhadap kondisi kemiskinan. Ke- penting: pertama, mengalami bersama keadaan anggotaan rumah tangga yang meningkat miskin dan memiliki bersama sumberdaya; merupakan indikasi kemiskinan yang semakin kedua, melakukan aneka pekerjaan; dan, ketiga, berat, sehingga struktur rumah tangga harus kombinasi dari beberapa pekerjaan. Kebanyakan selalu disesuaikan atau dimodifikasi agar kajian tersebut berorientasi pada statistik mampu merespon kondisi tersebut. Akhirnya, ekonomi dan demografi kombinasi pekerjaan penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2002 dan hasil berupa uang yang diperoleh (lihat dan 2004 mengembangkan tesis integrasi misalnya, Evers 1982; 1989). golongan miskin di perkotaan yang merupakan Berbeda dari strategi-strategi di atas, artikel implikasi dari fleksibilitas struktur, hubungan- ini mengulas kemiskinan di perkotaan dalam hubungan sosial yang khas, dan proses konteks jalinan hubungan-hubungan sosial adaptasi internal terhadap kondisi kemiskinan yang khas—sebagian ahli menyebutnya yang semakin berat. Penelitian kualitatif ini hubungan sosial informal yang dikontraskan menggunakan teknik pengamatan dan wa- dari hubungan sosial formal—yang berpusat wancara mendalam. pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hubungan-hubungan sosial tersebut bersifat Data dan analisis adaptif dalam menghadapi tekanan ekonomi Ekonomi golongan miskin di Jakarta paling yang semakin meningkat baik lokal mapun tepat dipahami dalam konteks yang luas sistem nasional. Proses adaptasi berjangka panjang ekonomi Jakarta dan nasional. Dengan kata ini mengakibatkan terwujudnya golongan lain, kehidupan ekonomi golongan miskin di miskin di kota yang secara dominan bersifat kota Jakarta dipengaruhi dan diberi corak oleh massal, konservatif, dan berorientasi ke dalam— kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang bukan mengembangkan reaksi keluar, misalnya, lebih luas. Hal ini karena golongan miskin di secara masif menentang kebijakan ekonomi 312 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005

Description:
memahami masalah keuangan pak Dj, dan secara diam-diam dia .. Alexis Tocqueville yang memberi penilaian positif terhadap civil society, namun
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.