ebook img

Semoga Bunda Disayang Allah Tere Liye Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan ... PDF

178 Pages·2015·0.64 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Semoga Bunda Disayang Allah Tere Liye Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan ...

Semoga Bunda Disayang Allah Tere Liye Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan. Ditulis-kembali dari salah-satu film terbaik sepanjang masa. DAFTAR ISI Jeruk Panas Special ... 7 Merah. Kuning. Hijau ... 25 Ribuan Kunang-Kunang ... 41 Tiga Tahun Lalu ... 61 Keterbatasan Melati ... 85 Pertemuan Pertama ... 107 Satu Minggu Berlalu ... 137 Gadis Lesung Pipit ... 167 Kursi. Kursi. Kursi ... 199 Gadis Berkerudung Lembut ... 227 Boneka Panda ... 245 Tarian Aurora ... 265 Keajaiban Telapak Tangan ... 291 Festival Kembang Api ... 311 Epilog ... 329 JERUK PANAS SPESIAL Apalagi hendak diucap, kota ini elok nian di pelupuk mata. Begitu indah ketika semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala. Membuat Jingga hamparan laut yang beriak tenang. Burung camar melengking mengisi senyapnya udara pagi. Ombak pelan menggulung bibir pantai. Buih membasuh butiran pasir yang halus bagai es krim saat diinjak. Bayangan gedung-gedung, pepohonan, tiang listrik, kabel-kabel telepon terlihat menyenangkan di jalanan lengang. Satu-dua lampu taman berbentuk bola putih-susu masih menyala. Juga lampu neon panjang- panjang di depan ruko. Belum, atau lupa dimatikan. Membuat temaram tapi indah sudut sudut kota, berebut pesona dengan larikan cahaya matahari pagi. Syahdu. Bagai lukisan yang baik, tambahan satu larik saputan warna saja membuat lukisan itu jadi tidak enak lagi dilihat. Jadi jangan coba-coba malah iseng menambahkan objek baru. Di belakang kota, pebukitan seperti sabuk melingkar mengelilingi. Bak ksatria gagah, berdiri kokoh menjaga kota. Hutan hujan tropis lebat menutupi pebukitan. Bagai sehelai beludru hijau sepanjang mata menatap. Hijau? Ah, tak juga, sepagi ini kabut putih sempurna mengungkung hijaunya dedaunan. Membuat pebukitan bagai selimut putih lembut, seperti kapas, seperti busa sabun, seperti entahlah.... Yang pasti memberikan nuansa melegakan. Kota ini tidak kecil, juga tidak besar. Satu di antara belasan kota khas pelabuhan pesisir selatan yang nyaman. Lembah luas yang subur menghampar dari batas kota hingga pebukitan, menyisakan tanah kosong, daerah pedesaan. Tanah yang hari ini dipenuhi oleh persawahan. Tunggulah setengah jam lagi, saat matahari beranjak dari garis lautan, ketika pagi mulai meninggi, pematang sawah juga mulai dipenuhi petani yang riang menjemput hari. Kepala dengan topi ilalang. Cangkul di pundak. Sepatu bot setinggi lutut. Dan bekal tiga potong pisang-rebus. Bakal nikmat nian, pukul 10.00 nanti istirahat sejenak di pondok rumbia setelah bekerja membersihkan gulma. Santai menyeduh segelas kopi hangat sambil menatap berisik burung pipit, kelepak bangau putih, dan lenguh kerbau berkubang. Sementara itu, di pelelangan ikan dekat pelabuhan, sejak shubuh sudah dipadati nelayan. Nelayan yang setelah semalaman akhirnya pulang dari melaut. Menumpahkan berember-ember udang sebesar lengan, cumi sebesar tinju, kepiting (rajungan) sebesar buku, dan tidak terhitung ukurannya ikan ikan. Mulai dari sebesar jari (ikan teri), sebesar tampa (ikan pari) hingga ekstra-doubie-size segede paha (ikan kakap baronang-ronang"). Kalau lagi beruntung, rnalah ada yang pulang membawa 'hiu' sebesar lemari. Bukan main. Harga jualnya setara dengan persediaan solar untuk setahun. Di sini hiu memang mahal, sama bernilai dengan posisinya di lautan sebagai penguasa strata tertinggi rantai makanan. Pemilik ruko-ruko juga mulai membuka partisi depan. Bunyi pintu aluminium di dorong terdengar ber-kereketan. Membuat gigi nyilu. Tapi mereka justru tersenyum, mendesah di sejuknya udara, berdoa lirih semoga hari ini pengunjung lebih banyak dari kemarin. Dan lebih penting lagi, semoga pengunjung pengunjung itu membawa uang lebih banyak juga (plus niat beli pula). Kan, nggak ada gunanya kalau toko cuma ramai doang, memangnya pasar festival. Anak-anak di rumah ramai beranjak mandi (sebenarnya bandel diteriaki agar mandi), gosok gigi gaya kilat (mana ingat mereka soal iklan menggosok gigi yang benar), menyemburkan busa sabun banyak banyak (bersih nggak bersih yang penting busanya banyak), kecipak-kecipak, tertawa, kecipak kecipak, terpeleset (mengaduh, meski sejenak kemudian tetap tertawa-tawa). Berganti pakaian sekolah dengan cepat. Memakai sepatu dengan cepat. Lantas teriak berpamitan. Wushh, macam mobil balap saja.... Pekerja kantoran juga sudah rapi dengan rambut klimis, kemeja lengan panjang wangi, celana katun tersetrika mulus (kelihatan banget dari lipatannya), dan tak lupa sepatu hitam mengkilat. Sempat sarapan. Sempat mencium pipi istri dan anak-anak tercinta, sempat memberi 'petuah', lantas berpamitan. Menjemput hari. Benarlah! Dalam setengah jam ke depan, kehidupan kota ini baru saja dimulai. Hari baru berikutnya sudah tiba. Sama indah dan menyenangkan dengan hari kemarin, juga hari kemarinnya lagi, juga hari kemarin- kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarin kemarin.... Aduh, kebanyakan kemarinnya ya? Cerita ini juga baru saja dimulai, meski di sana-sini sayangnya tidak selalu seindah kota ini. Menyedihkan malah, bahkan satu-dua membuat nafas terhela panjang. Tapi tak mengapa, semoga dengan begitu justru dapat memberi banyak pelajaran. Semoga.... "Bunda, bangun! Sudah pagi...." Melati berseru sambil melompat riang ke atas ranjang ukuran king-size. Tertawa. Cahaya matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai keramik super-mewah kualitas ekspor. Cahaya yang seolah mengambang bersama kabut. Satu lariknya menimpa wajah Melati. Gadis kecil yang berumur 6 tahun. Mukanya lucu menggemaskan, layaknya kanak-kanak yang selalu senang mendengar kabar apa-saja. Rambut ikalnya mengombak (bandel tidak mau lurus-lurus juga meski disisir berjam-jam), pipinya tembam macam donut. Bola matanya hitam-legam seperti biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Jangan tanya gurat wajahnya. Kalian akan tertipu meski oleh seringai-bandel-nya. Kalian akan selalu bilang 'iya' demi menatap senyum manisnya. "Bunda, bangun! Bunda kesiangan, nih!" Jahil Melati menarik selimut ibunya. Berteriak lagi. Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam (yang diperolehnya kemarin dari Mang Jeje, tukang kebun). Jahil! Bunda menggeliat, membuka mata. Pelan menyadari pagi. Kemudian tersenyum lebar demi menatap putrinya yang sedang merencanakan 'persekongkolan jahat', memainkan bulu ayam itu ke lubang hidung-nya. Bunda sebenarnya sudah bangun sejak shubuh. Malah sejak pukul dua tadi malam, di sepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah. Membuat basah ujung-ujung mukena. Berharap Tuhan akhirnya berbaik-hati memberikan jalan-keluar.... Satu larik cahaya matahari pagi lainnya menimpa wajah Bunda. Membentuk garis di pipi Bunda. Perempuan berumur empat puluh enam tahun. Hampir setengah baya. Wajah yang andaikata semua penat ini tak ada sungguh masih terlihat cantik. Lah, Melati saja begitu menggemaskan, jadi dari mana pula semua gen baik Melati itu berasal? Pasti dari ibunya, kan? Sayang sejak tiga tahun terakhir, sisa-sisa kecantikan masa muda Bunda terhapus oleh getirnya kenyataan. Rambutnya memutih. Satu dua malah lebih cepat tereliminasi oleh kurangnya kiriman sms eh perawatan, ding. Alias rontok. Sedikit beruntung kemarin Salamah, yang mengurus keperluan rumah membelikan semir rambut, jadi pagi ini Bunda 'terlihat' lebih muda sepuluh tahun. Hanya saja, tidak ada 'semir' untuk ekspresi muka, kerut wajah, atau pudarnya cahaya tatapan mata. Bunda memang selalu terlihat lembut, menyenangkan, wajah yang senantiasa menjanjikan perasaan damai dan tenteram, wajah keibuan yang memberikan perlindungan, tapi tetap tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang dari hari ke hari semakin menipis. Harapan yang mulai dibujuk untuk menerima kenyataan, mengalah atas takdir.... "Bunda, mikir apa?" Melati menyeringai. Memutus lamunan. Bunda mengusap matanya. Melipat dahinya. Seperti baru menyadari sesuatu. Hei! Apa ia tidak salah lihat? Apa semua pemandangan ini sungguh nyata? Melati yang sekarang merangkak di depannya. Yang nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandangan ini ganjil sekali? "Bunda kok melamun? Bunda masih sakit, ya?" Melati bertanya sekali lagi, dengan intonasi suara dan ekspresi wajah sok-serius. Bunda gagap mengangguk, menelan ludah, masih amat terkejut melihat Melati yang tersenyum dengan wajah mendekat. "Idih, dahi Bunda panas banget-" Tangan Melati menyentuh. Ya, sudah dua hari ini tubuhnya tidak nyaman. Sebenarnya Bunda tahu persis semua baik-baik saja, tapi perasaan yang semakin sesak, apalagi sejak kejadian dua hari lalu membuat fisiknya ikutan tidak nyaman. Sedikit demam. Sedikit flu. Sedikit pusing. Entahlah apa nama penyakit itu. Semuanya sedikit-sedikit. Kalau banyak demam, jelas itu pertanda demam. Atau banyak batuk, jelas itu penyakit batuk. Kalau sedikit-sedikit, Bunda tidak tahu. Seharusnya selepas shubuh tadi ia sudah melakukan banyak hal. Membantu menyiapkan pakaian kerja suaminya, memastikan Melati di kamarnya, memastikan sarapan tersedia, memastikan ini itu. Memang semuanya bisa dibilang hanya 'memastikan', pernak-pernik pekerjaan rumah tangga sesungguhnya sudah diselesaikan oleh sembiian pembantu. Tapi Bunda tipikal ibu rumah tangga yang baik, selalu menyibukkan diri. Tidak hanya 'tidur-tiduran'. Sayang, selepas shalat shubuh, tubuhnya terasa lemas sekali. Memutuskan beranjak lemah naik ke atas ranjang, berharap bisa kembali tertidur. Berharap setelah tidur sebentar fisiknya bisa membaik, tapi sekarang ia malah kesiangan. Mungkin suaminya enggan membangunkan, tidak tega melihat wajah lelahnya. Sepagi ini suaminya pasti sudah pergi ke pabrik, itu berarti hari ini tidak ada ritual kecupan mesra di kening, berpamitan.... Bunda menghela nafas, berusaha duduk ber-sandarkan bantal. "Teeet! Bunda kok masih melamun?" Melati nyengir lebar, tertawa. Tangannya memainkan bulu ayam yang urung buat jahiiin Bunda. "Ah-ya! Barusan Melati buatkan Bunda air jeruk panas di dapur...." Gadis kecil itu seperti teringat sesuatu, bola mata hitam biju buah lecinya berkerjap-kerjap lucunya. "Sebentar, Melati ambilkan, ya!" Tanpa ba-bi-bu lagi Melati sudah gesit lompat dari tempat tidur. Piyama birunya bergerak-gerak, rambut ikalnya bergoyang-goyang, ia buru-buru menyeret kakinya yang beralaskan sandal tidur berhias kepala kelinci. Bunda tetap gagap. Sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Ya Allah, apa ia tak salah lihat? Apa ini untuk kesekian kalinya mimpi-mimpi itu menipunya? Bunda beranjak ingin memperbaiki selimut, Belum sempat. Menelan ludah. Kaget. Melati sudah kembali sambil berjinjit pelan membawa gelas besar. Cepat sekali? Hanya sekejap? Bagaimana mungkin? Bukankah dapur ada di lantai satu, berjarak 30 meter, melewati dua puluh anak tangga pualam melingkar berplitur dan berukiran mahal? Bunda tak sempat berpikir panjang. Menatap gelas yang dipegang putri semata wayangnya. Uap mengepul perlahan dari cangkir besar. Jeruk panas? Ya, Bunda selalu memberikan secangkir jeruk panas untuk Melati kalau gadis kecilnya sedang flu. Membantu meminumkannya dengan amat sabaaar.... Sekarang? Melati-nya yang menghantarkan segelas jeruk panas. Berhati-hati sekali, takut tumpah. Mengenggam erat-erat piring tatakannya bahkan dengan kedua belah telapak tangan. "Jeruk panas spesial buatan Melati! Silahkan diminum. Nyonya" Melati mengulurkan cangkir itu. Meniru pelayan yang sering dilihatnya di restoran-restoran. Mata hitam biji buah lecinya begitu memesona. Tersenyum amat manisnya. Amat menggemaskan. Dan Bunda seketika menangis.... Tersedu! Ya Allah, ia tahu sekali. Ini lagi-lagi mimpi-mimpi itu.... Ini lagi-lagi harapan itu.... Semuanya terasa sesak. Amat sesak. Kenapa Engkau tega sekali membuatnya seolah nyata? "Ken-nap-pa Bunda menangis?" Melati menyeringai, bingung. Aduh, ia kan mau ngasih Bunda jeruk panas.... Kok Bunda malah nangis? Melati kan nggak nakal? Nggak bandel? Nggak teriak-teriak seperti biasanya. Rambut ikal Melati bergerak-gerak (karena ia sok-dewasa mengaruk-garuk kepalanya, sibuk berpikir). Tubuh Bunda malah semakin bergetar, terisak semakin kencang, mencengkeram ujung-ujung seprai. Lihatlah, putri semata wayangnya begitu nyata tersenyum padanya. Kanak-kanak kecilnya begitu nyata mengulurkan cangkir itu. Semua ini kejam sekali, ya Allah.... Sudah setahun terakhir, bahkan semua asa yang tersisa itu tega masuk ke dalam belahan otak tak-sadarnya, melukiskan janji-janji kesembuhan. Merangsek ke dalam mimpi-mimpinya. Semua ini kejam sekali, ya Allah! "Bunda kenapa nangis? Air jeruknya 'gak enak, ya? Tapi, kan. Bunda belum minum? Masa' Bunda tahu kalau ini enggak enak?" Melati melipat dahi, bertanya lagi. Kedua tangannya tetap terjulur. "Ergh, sebentar Melati 'icip' dulu, ya!" Gadis kecil itu setelah sekian lama bingung menatap ibu- nya tetap tidak bergerak berinisiatif mengambil cangkir itu, menarik lagi tangannya. Wajahnya mengernyit saat menyeruput jeruk panas. Nyengir amat lebarnya, "Eh-iya, asam banget.... Iiih...." Mengernyit lagi, "Melati lupa ngasih gulanya...." Tertawa malu. "Sebentar Melati ambil gula di dapur!" Gadis kecil itu sekali lagi bergegas turun dari ranjang besar. Buru-buru seakan takut jeruk panas itu seketika dingin dan tidak segar lagi diminum. Sayang, kali ini Melati tidak hati-hati. Kaki kanannya tersangkut ujung selimut. Limbung. Kanak-kanak itu berseru pelan, kaget. Dan dalam hitungan seperseribu detik, air jeruk panas itu tumpah-ruah. Seketika sempurna membasahi wajah Bunda.... Dan Bunda seketika juga terbangun! Sepuluh kilometer dari rumah besar, mewah dan indah di lereng bukit tadi. Di saat yang bersamaan. Di sudut kota yang padat, sumpek dan gerah. Nasib! Meski padat dan terlihat agakyyyuh, sepotong sudut kota ini tetap saja terlihat menarik. Rumah-rumah berhimpitan seperti ratusan jamur merekah di musim penghujan. Melihatnya bagai menyaksikan film-film Amerika Latin yang full-power dengan budaya gipsi itu. Pemandangan klasik yang hebat! Rumah dua-tiga lantai. Gang-gang sempit. Jendela bertemu jendela di lantai dua. Berseberangan. Pot-pot bunga bertebaran di teras-teras atas. Begitu dekat hingga ujung-ujung rantingnya saling bersentuhan. Malah satu-dua kalian dengan mudah bisa melangkah dari satu teras ke teras lainnya. Makanya di komplek ini ngetop banget istilah: 'Pacar Seberang Jendela'. Yang cewek malu-malu mengintip di balik tirai jendela, yang cowok gaya bermain gitar, kencang-kencang, sudah macam burung cendrawasih yang menggoda pasangan dengan memekarkan ekornya tinggi-tinggi. Matahari juga semakin tinggi. Gang-gang dipenuhi oleh celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Berlarian. Saling menarik tas. Topi. Menarik celana (ada yang merosot, nggak pake gesper sih). Tertawa. Celoteh ibu-ibu yang mengerumuni tukang sayur. Hmm, mereka sih beli sayurnya hanya butuh setengah menit, berseru "Biasa, Bang!" Lantas si Abang sayur yang hafal mati menu Senin-Minggu satu komplek perumahan itu segera mengeluarkan pesanan ibu-ibu tadi. Uang berpindah-tangan. Selesai. Tapi lima belas menit berikutnya dihabiskan ibu-ibu untuk membahas topik-topik hangat tetangga sekitar. Laporan saksi mata. Live! Keren banget, padahal sebenarnya kata simpelnya yaaa, gos-sip! Jadi kalau mau tahu urusan satu komplek, interogasi saja tukang sayur! Di salah-satu rumah dekat ibu-ibu berkerumun tadi, persis di lantai dua yang sempurna berbentuk ruangan besar berukuran 6x9 meter tanpa partisi. Ruangan dengan perabotan hanya ranjang kayu kusam. Di atas ranjang kayu tua itu, kusut-masai seorang pemuda. Tertidur telentang. Sendirian. Sembarangan. Wajahnya jauh dari rapi. Malah kalau sekilas seram melihatnya. Seperti ngelihat preman terminal bus antar-kota antar-provinsi. Kumis melintang, cambang tak terurus. Rambut panjang bak rocker yang sudah berbulan-bulang tidak keramas. Jangan tanya ada berapa kutu di rambutnya. Mungkin kutunya sudah beranak-pinak lima generasi. Kamar itu seharunya terasa lapang. Apalagi dengan langit-langit tinggi. Tapi nyatanya pengap. Bagaimana tidak? Jendelanya selalu tertutup rapat 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Padahal jendela besar kamar itu persis menghadap lautan luas. Jadi kalau pemiliknya mau sedikit saja menyisihkan tenaga membukanya, hamparan elok pemandangan matahari terbit langsung terbentang sepanjang mata. Buku-buku berserakan di sekitar ranjang tua. Tidak terurus. Digigitin kecoa, dikencingi tikus. Pakaian kotor bergelantungan di dinding, jadi tempat favorit nyamuk bersembunyi. Jeans belel. Kemeja kumal. Kaos cokelat (kecokelatan karena kotor, bukan karena warnanya memang cokelat). Sebuah mesin ketik tua tergeletak di atas meja kecil. Di sebelahnya berdiri termos air panas berwarna hitam. Juga gelas kecil bermotif snoopy. Sisanya berantakan. Pengap. Penghuninya seperti tidak peduli. Juga tidak peduli dengan berisik siaran langsung di gang sempit bawah. Tidur dengan tarikan nafas berat. Bau alkohol tercium pekat dari mulut. Pemuda berumur 27 tahun. Tidur dengan sepatu masih di kaki. Baru pulang shubuh tadi. Terlalu lelah. Terlalu penat. Terlalu sesak. Terlalu.... Begitu saja hidupnya tiga tahun terakhir. Macam kalong. Tidur di siang hari. Berjaga penuh di malam hari. Menghabiskan dingin dan lengangnya malam sambil menggerutu di kedai minuman, bar tengah kota. Duduk di pojok ruangan. Sendirian. Menatap galak ke siapa saja yang mencoba basa-basi bertegur sapa (termasuk waitress genit yang mengantarkan botol bir). Gesture wajah dan gerakan tubuhnya jelas sekali: Pergi!! Biarkan aku sendiri! Matahari semakin meninggi. Pemuda kita masih tertidur. Terdengar suara sandal kayu yang diseret di anak tangga menuju kamar besar 6x9 meter itu. Berkeriutan. Rumah itu sudah tua, meski arsitekturnya yang gaya banget (peninggalan rezim kolonial VOC) membuatnya terlihat antik dan elegan. Pemilik rumah, ibu-ibu gendut berusia setengah baya sedang berusaha menaiki anak tangga. Sedikit tersengal membawa tubuhnya. Pelan membuka pintu kamar. Menghela nafas panjang. Sekilas menatap pemuda yang masih tidur tertelentang. Lantas melangkah menuju meja kecil. Mengganti termos lama dengan yang baru. Ia tahu, air-air ini jarang disentuh, tapi tak mengapa, setidaknya ritual pagi ini memastikan kalau anak-muda ini masih bernafas. Ibu-ibu gendut dengan wajah sabar-keibuan itu sekali lagi menatap sekilas pemuda di atas ranjang sebelum keluar dari kamar. Menatap prihatin. Menyeka ujung-ujung matanya yang selalu sembab. Berbisik pelan di pengapnya langit-langit, "Semoga Engkau akhirnya berbaik hati, Tuhan.... Lihatlah, dalam tidurnya, dalam mabuknya, dalam kondisi seperti ini, wajahnya tetap terlihat amat teduh.... Semoga Engkau akhirnya berbaik hati...." Bunda mengusap wajahnya yang basah. Mengeluh tertahan. Semua ini terasa menyakitkan. Bagaimana tidak? Ketika kalian tahu dan sadar persis apa yang sedang kalian mimpikan ternyata hanyalah sebuah 'mimpi'. Bukankah mimpi dalam tidur tidak akan terasa indah lagi saat kalian justru dalam mimpi itu sendiri menyadari semuanya bohongi Ah, padahal mimpi dalam tidur bisa menjadi obat pengurang rasa sakit dari kenyataan pahit yang panjang, kenapa pula jadi sebaliknya. Air jeruk panas membuat kuyup selimut. Tangan Bunda gemetar menyingkapkannya, memandang nanar Melati yang bersungut-sungut di sebelah ranjang, sedang memainkan sehelai bulu ayam. "BA.... BAAA... MAAA...." Berteriak. Bunda mengusap keningnya. Mengambil gelas yang tergeletak tumpah di dekat bantal. Air jeruk ini mungkin disiapkan Salamah tadi pagi. Atau juga oleh suaminya sebelum berangkat. Badannya masih terasa lemah. Mencoba duduk. Beranjak turun dari ranjang. "BAA.... MA.... AAA...." Berteriak lagi. Melati memukul-mukul meja dekat ranjang. Menarik gagang telepon. Melemparnya sembarangan. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Baju tidurnya berantakan. Tangannya seperti moncong tapir yang mencari-cari semut di dalam lubang pohon, bergerak- gerak, menjalar tidak terkendali. Kepalanya bergerak-gerak miring. Matanya yang hitam bagai biji buah leci berputar-putar. "Kau sudah bangun, sayang?" Bunda bertanya lemah, berusaha tersenyum, meski seluruh dunia tahu senyuman itu percuma. Sama percumanya dengan pertanyaannya barusan. Melati terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak mendengarkan. Tiba di tepi ranjang, menyibak bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan suara yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-kanak yang baru bangun tidur itu menjulur ke depan. Wajah yang terlihat tetap menggemaskan, tidak peduli sebesar apapun takdir menyakiti-nya. "Terima-kasih sudah membangunkan Bunda, sayang!" Bunda lembut meraih tangan putri semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela nafas pelan. Bunda tahu persis tak ada siapa yang membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati. Mana mengerti Melati tentang tidur dan bangun- "Aduh, pakaian Ibu basah! Basah kenapa?" Terdengar seruan dari bingkai pintu kamar tidur. Salamah bergegas masuk sambil berseru rada-rada- panik seperti biasanya. Salamah tadi mendengar teriakan Melati dari dapur, bergegas datang. "Tidak apa-apa, Salamah! Basah sedikit. Melati tidak sengaja melemparkan gelas air jeruk!" Bunda menoleh, tersenyum. "Aduh, maaf! Seharusnya Salamah letakkan gelasnya di tempat yang lebih tinggi! Aduh, Salamah lupa lagi...." Salamah mendekat rusuh. Berusaha membereskan sisa 'keributan'. "Pakaian Ibu harus diganti-" "Nanti saja, setelah sarapan." Bunda menggeleng tegas, tetap tersenyum, membantu menyerahkan gelas (beruntung gelas itu menghantam bantal di sebelahnya). Hanya kejadian kecil. Tingkat sabarnya tiga tahun terakhir sungguh melesat berpuluh-puluh kali lebih tinggi dibandingkan siapapun. "Ba.... Ma.... A...." Melati berseru, sudah berjalan sembarang arah. "Kita sarapan, sayangi" Bunda mendekatinya, gemetar meraih tangan Melati. Membimbingnya berjalan. Gemetar? Tangannya terasa lemas. Berpikir mungkin hari ini ia harus memanggil dokter keluarga. Minggu minggu ini ia tidak ingin sakit lagi. Apalagi sakit parah. Selelah apapun otak dan fisiknya, ia tidak ingin sakit.... Itu akan merepotkan banyak orang. Teringat tiga tahun lalu saat rasa putus asa yang mengungkungnya siang- malam akhirnya membuat ia jatuh sakit selama sebulan. Thypus. Saat semua orang sibuk merawatnya, sibuk mengurusnya. Melati yang terlupakan, hampir loncat dari teras lantai dua. Teras indah yang biasa ia gunakan bersama suaminya untuk menatap siluet lampu kota dan berjuta bintang di angkasa. Menatap hamparan persawahan, dan lautan di kejauhan. Teras, yang sekarang ditutup rapat. Tak ada lagi celah di antara tiang-tiang pahatan mahal itu. "Ayo, sayang, kita sarapan!" Bunda menggenggam tangan Melati. "Ma.... A.... Ba...." Melati menggerung pelan, tertatih menurut mengikuti langkah Bunda, meski ia tidak tahu, meski ia tidak pernah mengerti kalimat-kalimat itu. Sambil melangkah, Melati terus sibuk memainkan bulu ayam di tangannya. Selarik cahaya matahari pagi lainnya menerabas jendela kaca membasuh kedua tubuh yang berjalan bersisian menuju pintu kamar itu. Ornamen jendela kaca membuatnya berpendar-pendar. Pertunjukan cahaya yang menawan. "Siapa yang kasih bulu ayam, sayang?" Bunda bertanya pelan. Melati hanya menceracau- Merah. Kuning. Hijau Langit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya

See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.