ebook img

seminar dan lokakarya kebahasaan lembaga adat 2015 PDF

107 Pages·2015·0.48 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview seminar dan lokakarya kebahasaan lembaga adat 2015

SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 BAHASA INDONESIA DARI BAHASA MELAYU MENUJU BAHASA DUNIA Halimi Hadibrata, M.Pd. Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu [email protected] 1. Pendahuluan Sangatlah menarik mengkaji sejarah perekembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, sejarah lembaga dan kebijakan nasional kebahasaan serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa kawasan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan bahasa dunia. Sejarah kebijakan bahasa Indonesia dapat dilihat dari perkembangan bahasa dan perekembangan lembaga bahasa yang menanganinya. Dengan adanya pengaruh bahasa asing ke dalam struktur dan cara pemakaian bahasa Indonesia, pengembangan bahasa Indonesia menimbulkan persoalan yang tidak mudah ditangani oleh lembaga kebahasaan pemerintah tanpa kerja sama dengan pihak lain. Kesulitan itu disebabkan oleh keadaan berbagai pilihan sikap dan beragam pandangan. Di satu sisi ada pihak yang ingin mempertahankan keaslian bahasa Indonesia dengan menekan sekecil mungkin pengaruh dan penggunaan serapan unsur bahasa asing. Di sisi lain, ada pihak yang cenderung lebih longgar dan tidak mempermasalahkan terserapnya unsur-unsur asing ke dalam bahasa Indonesia. Sementara itu ada pihak moderat yang menyetujui masuknya serapan bahasa asing dengan syarat adanya keselarasan kaidah penyerapannya dengan kaidah bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya atau dibentuk kaidah baru yang ajeg. Oleh karena itu, diperlukan landasan filosofis, teoretis, dan payung hukum yang kuat untuk pengkajian, pengembangan bahasa, dan pembinaan penutur bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia tetap berjaya menjadi bahasa negara, bahasa kawasan dalam MEA, dan menjadi bahasa internasional. Karena itu pula, lembaga nasional kebahasaan yang sekarang disebut Badan Bahasa harus bekerja sama dengan pihak lain yang terkait, terutama di dalam penetapan kerangka umum kebijakan bahasa nasional dengan mempehatikan tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural dan tatanan dunia global yang dipererat dengan teknologi informasi dan komunikasi, serta kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang. Di dalam artikel ini ada empat masalah yang dibahas. Pertama, alasan-alasan logis yang melatarbelakangi keputusan para pendiri bangsa dengan memilih bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Kedua, berkaitan dengan sturuktur bahasanya, bagaimana perbedaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia yang ada sekarang, baik pada tataran morfem, kata, istilah maupun kalimat. Ketiga, bagaimana sejarah lembaga pengelola bahasa nasional dan politik bahasa pada era prakemerdekaan, pascaawal kemerdekaan 1945 dan pascareformasi 1998. Secara khusus dibahas lebih dalam pengelolaan bahasa pascareformasi 1998 terutama ihwal revitalisasi dan regulasi bahasa, baik bahasa daerah, bahasa nasional, maupun bahasa asing dalam tatanan bangsa yang multikultural dan dunia global. Selain itu di bawah topik ini dibahas pula mengenai lembaga atau SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 organisasi yang berperan dan bekerja sama dengan lembaga nasional kebahasaan dalam pengkajian dan pengembangan internal kebahasaan dan pembinaan para penuturnya. 2. Landasan Teori Keberadaan bahasa Indonesia dan lembaga nasional pengelolanya dapat dilihat dalam perspektif sejarah dan perkembangan kebijakan nasional kebahasaan sehingga kebahasaindonesiaan di masa yang akan datang dapat direncanakan, dilaksankan, dan dievaluasi dengan baik berdasarkan pada landasan keilmubahasaan dan landasan hukum/konstitusi yang kuat. 2.1 Politik dan Perkembangan Bahasa Menurut Kridalaksana (1996: 53) sejarah perkembangan bahasa di negara-negara yang merdeka pada abad kedua puluh dalam hubungan dengan penuturnya dapat terjadi dalam empat tahap perkembangan, yaitu tahap penegakan, pemantapan, pembinaan, dan pemeliharaan. Pada tahap penegakan, sebuah bahasa masih harus diusahakan untuk diterima oleh suatu masyarakat, walaupun secara resmi sudah diakui. Tahap ini sudah kita lalui dengan peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan resmi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam pasal 36, UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Pada tahap pemantapan, sebuah bahasa sudah dapat diterima secara bulat dan berkedudukan kokoh dalam masyarakat tetapi masih harus disebarluaskan penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Pada tahap pembinaan, sebuah bahasa sudah disebarluaskan dan digunakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dalam arti sudah berkembang secara vertikal dan horizontal tetapi masih harus dilakukan berbagai tindakan supaya hasil perkembangan itu benar- benar berakar dalam masyarakat penuturnya. Pada tahap pemeliharaan, sebuah bahasa sudah berakar berabad-abad dalam masyarakat penuturnya, tetapi harus dilakukan tindakan-tindakan suapaya bahasa itu dapat terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Berdasarkan pandangan ini, kita dapat mencermati, bahwa bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan tahap penegakan yang dilatarbelakangi oleh keniscayaan sejarah kebahasaan dan sosial politik yang berkembang pada masa prakemerdekaan yang diproyeksikan ke masa depan pascakemerdekaan. Proyeksi itu berkaitan dengan bagaimana pengembangan struktur bahasa Indonesia secara internal dan kemudahannya untuk dipelajari oleh suku lain, kedudukan dan fungsinya sebagai bahasa nasional, hubungan fungsional bahasa nasional dengan bahasa daerah dan bahasa asing, serta garis-garis kebijakan lembaga kebahasaan memberdayakan bahasa Indonesia dalam politik nasional kebahasaan dan kebudayaan modern. Selanjutnya, Kridalaksana menunjukkan, bahwa kemapanan situasi kebahasaan di Indonesia setidaknya dapat terwujud, manakala dapat menjawab dan menjabarkan poko-pokok pikiran mengenai politik nasional kebahasaan sebagai berikut, (1) bagaimana mengembangkan bahasa nasional Indonesia agar tetap terjaga sebagai pemersatu bangsa, SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 (2) bagaimana memelihara bahasa-bahasa daerah sebagai akar budaya dan kekayaan budaya nasional, (3) bagaimana memanfaatkan bahasa-bahasa asing untuk kepentingan pengembangan bahasa dan budaya nasional, dan (4) bagaimana mengelola bahasa kita dalam konteks kerjasama internasional. Berkaitan dengan upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa MEA, kita harus benar-benar melaksanakan politik nasional kebahasaan dengan memanfaatkan serapan dari bahasa-bahasa asing dan mengelola bahasa kita dalam konteks kerjasama internasional. Berbagai bahasa di dunia telah mengalami perubahan, pergeseran, kemajuan, dan juga kepunahan. Hal tersebut sebenarnya dapat dirangkum dalam satu istilah saja, yaitu perubahan bahasa. Menurut Yus Badudu (1996:28-29) berhasil tidaknya, bahasa Indonesia berubah dan berkembang menjadi bahasa dunia bergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) kewibawaan dan peran politik Indonesia dalam percaturan dunia modern, (2) kehidupan ilmiah dan daya cipta bangsa Indonesia dalam menghadapi kebudayaan dunia modern, dan (3) berian keuntungan bagi bangsa lain yang mengenal/menguasai bahasa Indonesia. Kini para sarjana bahasa Indonesia ditantang oleh arus perubahan bahasa Indonesia. Dalam pandangan Jacob (1991:129) seorang pakar kedokteran, palaentologis dan antropologis kawakan Indonesia, ilmu pengetahuan sangat berperan dalam perubahan, yaitu untuk mempelajari, menyongsong, dan mengubah struktur, serta memperluas fungsi penggunaan bahasa. Pendapat ini merupakan dasar pandangan bahawa pemilihan dan pengembangan bahasa Indonesia dari bahasa Melayu menjadi bahasa nasional merupakan hasil studi mendalam mengenai situasi sosial politik yang menyongsong dan memperjuangkan kemerdekaan, kedemokratisan, dan perdamaian antarsuku bangsa di bumi Nusantara. Sejak awal perencanaan bahasa nasioanl, bahasa Melayu diproyeksikan menjadi bahasa Indonesia yang modern yang diterima oleh semua suku bangsa yang ada di Nusantara yang hendak dipersatukan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dilihat dari kelahirannya, sebagai bahasa persatuan, sejak adanya Sumpah Pemuda 1928 kini bahasa Indonesia sudah berusia 87 tahun merajut persatuan dan kesatuan, sedangkan sebagai bahasa negara sudah bertahan tujuh puluh tahun dengan terus-menerus dikembangkan dan diperluas fungsi penggunaannya dalam berbagai bidang dan kini sedang diupayakan menjadi bahasa kawasan dalam tatanan MEA. Tofler (dalam Jacob. 1991:129) telah memberikan ramalan yang gamblang mengenai masa depan umat manusia, yaitu akan adanya era informasi. Di era informasi inilah bahasa Indonesia berkembang semakin pesat dan dapat dibinakan kepada masyarakat penuturnya atau diinformasikan kepada peminat bahasa Indonesia di luar negeri dengan cara diakses daring, diunduh, dan dicetak secara digital. Inilah realitas zaman kita yang berbeda dengan pola pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia di masa lalu yang lebih mengandalkan pembinaan bahasa melalui media cetak dan pertemuan bersemuka dalam penyuluhan bahasa, melalui siaran radio, atau televisi. SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 Naisbitt dan Aburdane (2005: 48-49.b) dengan pendekatan lain meramalkan pertumbuhan ekonomi, kebangunan demokrasi, swastanisasi, kebangkitan keagamaan, dan keterlibatan lebih merata antara laki-laki dan perempuan yang akan melanda Asia, termasuk Indonesia. Pandangan lain mengenai hal demikian, dikemukakan Pink (2005: 48-49) yang membagi perkembangan zaman menjadi empat masa, yaitu masa pertanian (abad ke-18–ditandai dengan adanya model hubungan pekerja petani), masa industri (abad ke-19– ditandai dengan adanya model hubungan pekerja pabrik dan organisasi efisien yang memperkuat ekonomi), masa informasi (abad ke-20–ditandai dengan adanya pekerja intelektual), dan masa konseptual abad ke-21–ditandai dengan adanya karekter utama para pekerja pencipta dan mampu berempati). Era informasi dan konseptual ini menantang bahasa Indonesia, dengan pertanyaan, peran apa yang dapat dijalankan olehnya. Perkembangan fokus kajian bahasa Indonesia, seperti kata McMahon (1994:1-12) dapat dipelajari seperti memutar kaset, dapat ke depan (dengan kajian perubahan bahasa) atau ke belakang (dengan kajian rekonstruksi bahasa). Bahasa juga dapat dipelajari oleh penutur dan anak-cucunya secara sinkronis dan diakronis. Di samping itu, pengembang bahasa dapat juga merencanakan masa depan bahasa Indonesia dengan menciptakan berbagai pedoman, kaidah, dan regulasi politik kebahasaan di masa kini untuk mengantisipasi dan mengakomodasi keadaan di masa yang akan datang, termasuk di dalamnya politik bahasa dalam kawasan MEA dan dunia internasional. Seperti kata Jacob, ilmu pengetahuan dapat digunakan untuk mempersiapkan dan mengubah masa kini menjadi masa depan yang lebih baik. Bahkan, menurut Eastman (1983) bahasa dapat direncanakan dalam arti direkayasa atau diperlengkapi dengan perangkat internal kebahasaan yang mutkhir dan perangkat peraturan yang memperkokoh pelaksanaan pengembangan bahasa dan pembinaan penuturnya untuk membentuk kebudayaan. Dalam istilah Moeliono (1991) perencanaan bahasa sebagai proses dan fungsi dinamai pengembangan dan pembinaan bahasa. Perencanaan bahasa yang berpotensi memiliki pengaruh raksasa adalah perencanaan yang dilakukan melalui undang-undang. Kini kita, para teknokrat perekayasa bahasa di Indonesia sangat diuntungkan dengan adanya Undang-Undang No.24 tahun 2009 yang mengatur penggunaan bahasa-bahasa daerah dan pengembangan bahasa Indonesia. Dengan undang-undang ini perencanaan bahasa dan pelaksanaan pengembangan dan pembinaan penutrnya seharusnya akan lebih efektif daripada yang dilakukan sebelumnya. Bahkan, efektivitas tersebut menjadi semakin nyata karena setiap komponen bangsa akan terlibat aktif, tidak seperti selama ini yang monolitik, hanya datang dari Pemerintah. Hal tersebut sangat sejalan pandangan Sapir (1970:3-23) yang diikuti oleh Whorf dan pandangan Vygotsky (1986),-- meskipun tidak amat sejalan tetapi keduanya sangat memperhatikan keterkaitan antara bahasa dan cara berpikir, dan pada akhirnya ada keterkaitan antara bahasa dengan budaya. Bahasa Indonesia pada masa sekarang dipengaruhi oleh dua faktor mutakhir penting yang sangat berpotensi dan berpengaruh terhadap berbagai peristiwa perubahan sosial budaya di Indonesia pada masa sekarang. Pertama, globalisasi yang menyebabkan seluruh penduduk dunia SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 menyesuaikan diri dengan “tersempitkannya bola dunia” yang diduduki manusia, yaitu dengan terciptanya tatanan kehidupan baru masyarakat global. Kedua, gerakan reformasi – suatu gerakan yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan sentralistik - sehingga menghasilkan pemerintahan baru, yaitu orde reformasi dengan otonomi daerah yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 silam menjanjikan terciptanya sebuah kehidupan BI yang terlepas dari dominasi dan hegemoni pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kedua faktor inilah yang melatarbelakangi diadakannya program unggulan Pusat Bahasa untuk melakukan revitalisasi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing sejak 2005 hingga sekarang (oleh Badan Bahasa). 2.2 Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia 2.2.1 Beberapa Alasan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia Ada tiga alasan yang melatarbelakangi pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yaitu, (1) faktor historis bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca pada masa keemasan Kerajaan Sriwijaya dan sesudahnya, (2) faktor internal bahasa yaitu struktur bahasanya sederhana dan terbuka menerima serapan bahasa asing, dan (3) faktor kedemokratisan pemakaiannya yang tidak mengenal tata tingkat fungsi sosial. Ketiga alasan tersebut diuraikan seperti di bawah ini. a. Bahasa Melayu sebagai Bahasa Lingua Franca Beberapa keterangan sejarah menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada permulaan kurun awal Masehi dan sudah menguasai sebagian besar Asia Tenggara. Dengan pusat kerajaannya di daerah Nusantara yang berbahasa Melayu, Sriwijaya besar sekali pengaruhnya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara ini. Keterangan ini didukung oleh bukti sejarah lainnya yang menunjukkan, bahwa pada babad-babad kuno orang- orang Tionghoa pada permulaan kurun waktu Masehi yang datang ke Indonesia telah menemui sejenis lingua franca di Nusantara yang dinamakan Kwenlun. Prasasti Melayu tertua ditemukan bukan hanya di daerah-daerah yang berbahasa Melayu, tetapi juga di luarnya, seperti terbukti dari Prasasti Gandasuli di Jawa Tengah berangka tahun 827 dan 832 Masehi. Daerah-daerah yang dimaksudkan berbahasa Melayu tersebut terletak di antara Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan, yaitu pada jalan-jalan kapal laut terpenting untuk masuk ke Kepulauan Indonesia, dan yang merupakan perhubungan laut satu-satunya antara Timur dan Barat. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, (dalam Kridalaksana, 1991:98) ketika bangsa Eropa pertama kali datang ke Indonesia, bahasa Melayu sudah memiliki kedudukan yang sangat penting di tengah-tengah bahasa-bahasa daerah yang banyak. Pigafetta yang mengikuti Magelhain mengelilingi dunia pertama kali dan kapalnya berlabuh di Tidore 1521 menuliskan daftar kata-kata Melayu yang pertama. Begitu pula Jan Huygen van Linschoten, pelaut Belanda yang 60 tahun kemudian berlayar ke Indonesia menuliskan dalam karangannya “Itinerarium ofte Schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien” bahwa bahasa Melayu bukan hanya SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 sangat harum namanya tetapi juga dianggap sebagai bahasa yang terhormat diantara bahasa-bahasa timur lainnya. Agama Islam yang disebarluaskan dengan mengikuti jalan pelayaran dan perdagangan juga menggunakan bahasa Melayu, demikian juga dengan bangsa Portugis. Pada abad ke-16 bahasa Melayu dipakai oleh raja-raja di daerah Maluku apabila mengirim surat kepada raja Portugis. Begitu pula dengan Saint Francois Xavier yang menentang Islam dan memasukkan ajaran Kristen juga menggunakan bahasa Melayu karena bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang diketahui semua orang. Selanjutnya, Alisjahbana mengatakan, bahwa, timbulnya bahasa-bahasa kebangsaan di Asia setelah perang dunia kedua merupakan akibat dari runtuhnya kerajaan-kerajaan kolonial Eropa. Kekuasaan penjajahan Eropa di Asia menimbulkan berdirinya berbagai kesatuan politik dan ekonomi di berbagai daerah bekas jajahan yang ingin memisahkan diri dari penguasanya. India, Pakistan, Birma, dan Indonesia adalah negara-negara kebangsaan baru yang muncul setelah perang dunia kedua. Tiap-tiap negara yang baru merdeka ini bukan hanya menghadapi masalah politik dan ekonomi tetapi juga soal bahasa. Masalah bahasa yang terjadi di India, Pakistan, Birma dan Filipina yang merupakan bekas jajahan Inggris jauh lebih sulit dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia yang dikuasai oleh Belanda. Hal ini disebabkan karena bahasa Belanda tidak memiliki kedudukan yang sepenting bahasa Inggris dalam perhubungan dunia. Lebih jauh diakui Alisjahbana bahwa di Indonesia lebih mudah membangun bahasa kebangsaan yang baru walaupun keadaan di Indonesia amat sulit dalam hal bahasa. Ada beberapa faktor yang dikatakan mengapa demikian, pertama karena wilayah Indonesia yang luas jika dibandingkan dengan Eropa. Indonesia adalah daerah yang terdiri dari berbagai pulau dan memiliki 720 bahasa versi Pusat Bahasa (Sugono, 2005:8). Walaupun bahasa-bahasa dan dialek-dialek tersebut bisa dikembalikan kepada rumpun bahasa purba yang sama, namun sekarang masing- masing telah jauh tumbuh menyendiri sehingga dikatakan bahwa bahasa dan dialek tersebut telah menjadi bahasa dan dialek yang berbeda. Namun, justru dengan terpecahnya daerah Indonesia yang luas menjadi beratus-ratus kesatuan geografis dan kebudayaan yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri, membuat bangsa Indonesia memiliki suatu keperluan yang sama akan suatu bahasa bersama yang dapat dipahami oleh semua orang, bukan saja yang berasal dari kepulauan Indonesia, tetapi juga bangsa asing yang senantiasa bergelombang datang ke Indonesia yang tertarik dengan kekayaannya yang termasyhur. Pada zaman ketika kepulauan Indonesia dikuasai oleh kekuasaan asing, senantiasa ada kecenderungan bahwa bahasa kebudayaan atau kekuasaan politik asing menjadi bahasa pergaulan, seperti bahasa Sanskerta pada zaman Hindu, bahasa Arab pada zaman Islam, bahasa Belanda pada zaman penjajahan, dan bahasa Jepang pada zaman pendudukan Jepang. Tetapi karena bahasa-bahasa tersebut hanya dikuasai oleh sekelompok kecil bangsa Indonesia, maka diperlukan bahasa pergaulan yang dipahami oleh lebih banyak orang dari berbagai daerah yang bahasa atau dialeknya berbeda-beda. (Sugono, 2005:97). SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 b. Struktur Bahasa Melayu lebih Sederhana dan Terbuka Dibandingkan dengan bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu bagi 50 juta penduduk saat itu, bahasa Melayu yang hanya memiliki penutur sebanyak 8 juta justeru dipilih sebagai lingua franca terutama disebabkan karena bahasa Melayu strukturnya lebih sederhana dan terbuka menyerap unsur bahasa asing sehingga relatif lebih mudah dipelajari daripada bahasa Jawa. Kesederhanaan dan keterbukaan bahasa Melayu menyerap bahasa asing dapat dilihat pada perubahannya menjadi bahasa Indonesia pada tataran morfem terikat, kata, istilah, dan kalimat, sebagai bentuk serapan dari bahasa lain, selain bentuk pemberdayaan unsur bahasa Indonesia sendiri yang sebelumnya tidak terdapat dalam bahasa Melayu. Perincian bentuk-bentuk perubahan bahasa Melayu di dalam bahasa Indonesia yang mencirikan perkembangan bahasa Indonesia sendiri seperti di bawah ini. (1) adanya penyerapan morfem terikat bahasa asing seperti antar-, dwi-, panca- pra-swa- tri-, tuna- seperti pada kata-kata berikut, antarkota, dwipurwa, pancasila, pramuka, swasembada (pangan), tridarma (perguruan tinggi), tunawisma; (2) adanya penyerapan kata asing yang relatif besar jumlahnya, terutama berasal dari dari bahasa belanda dan arab. (3) penumbuhan swadaya bahasa indonesia, yaitu penggunaan konfiks ke-an, pen- an, gabungan afiks men-kan, dan di-kan, seperti dalam kata-kata berikut kehidupan, penemuan, menjalankan, dikorbankan. (4) adanya penyerapan istilah bahasa asing yang memungkinkan diimbuhi degan imbuhan bahasa Indonesia, seperti monitor,’pantau’ menjadi memantau, dipantau, terpantau; (5) penyerapan/pengaruh afiks bahasa daerah lain (Jawa) seperti ke-, -an, dan ke- an, (6) pemeranan analogi dalam bahasa seperti men-+bawa menjadi membawa, dianalogikan dengan bentuk baru seperti men+ borong menjadi memborong; (7) pengungkapan baru hasil terjemahan seperti blauw bloed,’berdarah biru’ (8) keterpengaruhan struktur kalimat seperti penggunaan adalah sebagai pengaruh penggunaan to be dalam bahasa inggris, contoh i’m a teacher and my mother is a nurse,’ saya adalah guru dan ibu saya seorang perawat’ (dalam bahasa melayu asli, saya guru, ibu saya perawat) (Yus Badudu, dalam Kridalaksana, 1991: 28-38). Bentuk-bentuk serapan bahasa tersebut merupakan bukti adanya dinamika perubahan, keterbukaan, dan keberkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Keadaan tersebut telah mendorong bahasa Melayu untuk ditetapkan menjadi bahasa nasional Indonesia yang modern dan diarahkan menjadi bahasa dunia. c. Bahasa Melayu lebih Demokratis Perbedaan sutruktur dan kosakata yang dibeda-bedakan menurut perbedaan usia, pangkat, dan kedudukan penutur-petutur di dalam masyarakat mempersulit pembelajaran bagi orang asing yang ingin mempelajari bahasa jenis itu, seperti bahasa Jawa dan Sunda. Ketika mempelajari bahasa Sunda atau bahasa Jawa yang berundak-usuk pemakaiannya, pada hakekatnya ia harus mempelajari lebih dari SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 satu bahasa. Bahasa Melayu tidak memiliki undak-usuk (tingkat-tingkat) pemakaian dalam fungsi sosial seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda tersebut sehingga bahasa Melayu lebih demokratis dan lebih mudah dipelajari dan digunakannya. Pertimbangan kedemokratisan tidak hanya dipicu oleh struktur internal bahasa, tetapi didorong oleh para pejuang bangsa kita sendiri yang menuntut keadilan, kemerdekaan, dan kedemokratisan. Dengan demikian, tidak hanya bahasanya yang demokratis tetapi juga para pejuangnya pun berjiwa demokratis, sehingga mampu mengenyampingkan kepentingan etnis kelompok pejuangnya sendiri yang sebenarnya banyak berasal dari etnis Jawa. Berikut disajikan contoh bahasa Melayu pra-Indonesia yang disebut oleh Ananta Toer (2003:29) sebagai bahasa Melayu Lingua Franca (tetapi menurut orang Belanda sendiri sebagai bahasa Melayu rendah seperti tampak dalam jilid buku tersebut) dalam cerita terjemahan Melati van Java Karya Terjemahan F.Wiggers, “Dari Boedak sampe Djadi Radja (Betawi, 1898, 2 Jilid, 402 halaman) ” seperti di bawah ini Kadoewa oetoesan itoe sembah soejoed, maka bertitah radja: “Apakah kahendaknya toewanmoe Pangeran Adipati?” “Goesti, kami punya toewan telah oetoeskan kami dengan singrah dateng kemari sebab atinya terlaloe soesah, tida ia taoe apa ia mesti bikin dari itoe dipinta goesti poenya bitjara. Contoh kalimat-kalimat di atas memperlihatkan kepada kita, bahwa bahasa Melayu lingua franca memiliki beberapa bentuk fonem dan morfem yang sekarang sudah berubah dalam bahasa Indonesia sebagai berikut (1) ka ke: kadoewa=kedua, kahendaknya=kehendaknya, (2) e  a datengdatang (3) Ø  h atinyahatinya (4) Oe  u: itoe=itu, oetoesan=utusan (5) dj  j: radja=raja (6) tj  c: bitjara=bicara 2.2.2 Tahap-Tahap Penegakan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia Seperti sudah disinggung di atas, bahwa penegakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dilakukan dalam tujuh tahap, mulai dari tahap penyemaian sampai tahap penetapannya secara konstitusional. Sebagai tahap persemaian yang terjadi menurut keniscayaan sejarah, bahasa Melayu disemai dalam sejarah modern sejak permulaan abad ke-17 VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebuah kongsi dagang Belanda yang awalnya beroperasi di Indonesia dalam perdagangan, kemudian menambah kegiatannya dengan menyebarkan agama Kristen melalui pendidikan. Sementara bangsa Indonesia memiliki berbagai bahasa daerah yang banyak jumlahnya dan bahasa Belanda sulit diajarkan, maka dipilih bahasa Melayu yang dapat dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai bahasa daerah pertama yang dipilih dalam penyebaran dan penerjemahan Injil. Selanjutnya, Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu dapat diterbitkan pada tahun 1731 dan Kitab Perjanjian lama pada tahun 1733 (Kridalaksana, 1991:99-100). Penerjemahan kitab suci Injil ke dalam bahasa Melayu diikuti upaya penerjemahannya ke dalam bahasa daerah lain di Nusantara melalui SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 lembaga khusus yang didirikan pada tahun 1814. Sebut saja misalnya, Colsma (1840-1926) mengkaji bahasa Sunda untuk tujuan yang sama. Berkaitan dengan tahap penegakan bahasa sebagai proses pelaksanaan kebijakan politik bahasa nasional Indonesia, bahasa Indonesia diangkat dan diperkembangkan dari bahasa Melayu Riau dan semakin lama semakin berbeda dari bahasa Melayu aslinya. Perbedaan ini merupakan hasil pergeseran yang diarahkan melalui perencanaan kebahasaan dalam politik nasional kebahasaan yang secara teknis mengacu kepada istilah language planing atau language policy. Perencanaan bahasa Indonesia secara historis berkaitan dengan sejarah penegakkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia sebagai bentuk kebijakan bahasa. Masa persemaian (inseminasi) penting yang dikemukakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menurut Kridalaksana (1991:9) ada tujuh tahap. Penegakan pertama, sesudah pertengahan abad ke-19 Kepala Wilayah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Rochusssen memutuskan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah rakyat untuk mempersiapkan tenaga administrasi yang murah dalam pemerintahan. Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa, bahasa Melayu sudah difungsikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan yang sangat menguntungkan bagi kedudukan, fungsi dan pengembangan bahasa Melayu di waktu itu yang kelak diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada abad ke-19 dan ke-20 kedudukan bangsa Belanda di Indonesia semakin kuat sehingga bahasa Belanda pun memiliki kedudukan penting pula oleh karena bahasa Belanda diajarkan di sekolah-sekolah. Sementara bahasa Melayu juga semakin maju karena bangsa Belanda menggunakannya dalam pemerintahan dan dalam korespondensi dengan bangsa Indonesia. Pada tahun 1850 Gubernur Jenderal Rochussen mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sebab bahasa Melayu merupakan lingua franca di seluruh Kepulauan Hindia, yaitu bahasa yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang berbeda, seperti Melayu, Jawa, Cina, Arab, Bugis, Makasar, Bali atau Dayak, dalam perhubungan dengan sesamanya. Namun demikian, atas kerja Van der Chijs pada pertengahan abad ke-19 penyebaran bahasa Belanda pun mendapat kemajuan. Pada tahun 1900 Direktur Departemen Pengajaran Mr. J.H. Abendanon mendirikan kursus-kursus bahasa Belanda pada sekolah-sekolah rakyat yang 6 tahun, dan menjadikan bahasa Belanda sebagai mata pelajaran tetap di kelas 5 dan 6 sekolah rakyat, dan bahasa Belanda juga menjadi mata pelajaran penting pada sekolah guru. Penegakan kedua, pada tahun 1908. Kaum intelektual di jajahan Belanda Hindia Timur (yang menjadi Indonesia sekarang) sejak tahun 1908 mendirikan organisasi-organisasi yang dapat mempengaruhi rakyat agar mereka bangkit dan maju. Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan Indonesia mereka mampu menentang kekuasaan penjajahan. Mereka kemudian mencari suatu bahasa yang dapat dipahami oleh sebagian besar rakyat. Oleh karena perkembangan politik sedemikian rupa, maka perhatian ditujukan kepada bahasa Melayu yang telah sejak berabad-abad menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Indonesia. Pada tahun 1908, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia yang diwakili oleh kaum terpelajar pada Kongres Budi Utomo di Jakarta menuntut agar syarat masuk ke sekolah Belanda dipermudah, perlu didirikan sekolah-sekolah istimewa untuk SEMINAR DAN LOKAKARYA KEBAHASAAN LEMBAGA ADAT 2015 bangsa Indonesia yang ingin melanjutkan pelajarannya tentang bahasa Belanda. Mereka tidak puas bahasa Belanda hanya dijadikan mata pelajaran karena pengetahuan yang kurang dalam bahasa Belanda menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Ketika Hazeu menjadi Direktur Departemen Pengajaran, bahasa Belanda mulai diajarkan dari kelas pertama sekolah rakyat yaitu mulai tahun 1914. Pada tahun itu pemerintah Belanda mendirikan Hollandsch Inlandsch Scholen (HIS) yang memakai bahasa Belanda tujuh tahun dan anak-anak yang telah tamat dapat melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Pemerintah Belanda mendirikan volkslectur (Taman Bacaan Rakyat). Badan penerbitan ini diubah menjadi Balai Pustaka pada 1917 yang menyetujui penerbitan buku-buku dalam bahasa Melayu yang dikontrol isi dan bahasanya sebagai pesaing penerbit swasta yang dicurigai mengobarkan permusuhan terhadap Pemerintah Belanda. Tahap kedua ini pun sangat menguntungkan bagi bahasa Melayu karena banyak buku dapat beredar dan dibaca dalam bahasa Melayu yang menyokong gerakan kebangkitan nasional yang sudah dirintis sejak 1908. Penegakan ketiga, pada 25 Juni 1918 Ratu Belanda menyetujui penggunaan bahasa Melayu oleh anggota Bumi Putera di lembaga dewan rakyat (Volksraad) dan di lingkungan organisasi Bumi Putera. Tahap ketiga ini mempertegak kedudukan dan fungsi bahasa Melayu dalam dunia politik, selain fungsinya dalam dunia pendidikan dan penerbitan. Berkaitan dengan ketiga keputusan tersebut sebagai perintisan upaya penegakan bahasa Melayu dalam istilah Kridalaksana, potensi bahasa Melayu yang diberdayakan adalah potensi eksternnya atau aspek sosiolingusitiknya sesuai dengan situasi politik masyarakat penuturnya yang masih berusaha mempersiapkan upaya-upaya mencapai kemerdekaan berdasarkan rasa senasib-sepenanggungan antarsesama etnis Nusantara. Penegakan keempat, yaitu bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dikrarkan secara politis dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Dengan tambah berkembangnya kesadaran kebangsaan dan bertambah majunya pergerakan kesatuan bangsa Indonesia, bertambah banyak pula masyarakat yang menggunakan bahasa Melayu. Pada Kongres Pemuda Indonesia yang pertama tahun 1926 Mohamad Yamin masih berbicara dalam bahasa Belanda tentang kemungkinan bahasa dan kesustraan Indonesia di masa yang akan datang. Namun dua tahun sesudahnya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda kedua di Jakarta, pemuda Indonesia bersumpah bahwa mereka berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Inilah yang menjadi tonggak sejarah penting yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, dan memberikan kedudukan penting dalam masyarakat Indonesia, sehingga bangsa Indonesia perlu menumbuhkan bahasa Indonesia. Dengan keputusan ini, bahasa Idonesia menggantikan fungsi bahasa Belanda sebagai alat untuk mencapai kebudayaan modern.1 Keputusan kebahasaan yang tercakup dalam Sumpah Pemuda ini diambil oleh para pejuang bangsa Indonesia yang berjiwa demokratis

Description:
bahasa Indonesia, sejarah lembaga dan kebijakan nasional kebahasaan serta . Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (7) pengungkapan baru hasil terjemahan seperti blauw bloed,'berdarah biru' Berikut disajikan contoh bahasa Melayu pra-Indonesia yang disebut oleh Ananta.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.