LAPORAN TIM NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG UNDANG TENTANG CIPTA (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002) DISUSUN OLEH TIM DI BAWAH PIMPINAN Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL TAHUN 2008 KATA PENGANTAR Perubahan atau revisi terhadap UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sangat penting dilakukan, terutama karena Indonesia telah meratifikasi WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996 melalui Keppres No 74 Tahun 2004, dan perkembangan Iptek, serta kebutuhan masyarakat. Untuk menanggulangi perkembangan tersebut, Pemerintah dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM pada tahun 2008 telah membentuk Tim Penyusunan NA RUU Hak Cipta dalam rangka perubahan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sesuai dengan tugas yang diberikan kepada Tim, bahwa Penyusun NA RUU Hak Cipta, yaitu berupa rancangan ilmiah yang memuat gagasan tentang perlunya dimasukkan materi-materi hukum yang belum tertampung di dalam UU Hak Cipta yang ditinjau dari segala aspek terkait, dan dilengkapi dengan referensi yang memuat konsepsi landasan dan prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-normanya yang disajikan dalam bab-bab yang dapat merupakan sistematika suatu rancangan undang-undang. Tim dalam melakukan penyusunan Naskah Akademik tentang Hak Cipta tersebut, telah memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait, baik ketentuan internasional maupun nasional. Di samping itu pula, untuk lebih mendapatkan pengkayaan materi, tim juga telah mendatangkan nara sumber yang ahli di bidang hak Cipta. Adapun susunan Tim dalam melakukan kegiatan ini adalah sbb: Ketua : Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH (M.A) Sekretaris : Jamilus, SH.,MH ( BPHN ) Anggota : 1. R.M Tedjo Baskoro, SH (YKCI) 2. Rikson Sitorus, CN, SH.,MH ( Dirjen HKI ) 3. Michael Edwin, SH (ASIRI) 4. Sabartua Tampubolon, SH.,MH (Kementrian Ristek) 5. Yunan Hilmy, SH.,MH ( BPHN) 6. Multiwati Darus, SH ( BPHN) 7. Sumarno, SH.,MH ( BPHN ) 8. Dadang Iskandar, S.Sos (BPHN ) Mengingat keterbatasan waktu dalam penusunan NA ini, tentunya hasil tim ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu Tim mengucapkan terima kasih kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional yang telah memberikan kepercayaan untuk melaksanakan Kegiatan Penysunan Naskah Akademik ini, dan terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah membantu, sehingga dapat tersusun laporan ini. Semoga laporan ini dapat menjadi bahan masukan bagi pembinaan dan pembaharuan hukum nasional pada umumnya Jakarta, Desember 2008 Ketua, Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i DAFTAR ISI ………………………………………………………………...... ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ………… …………………………………… 8 B. Identifikasi masalah… ……………………………………….. 10 C. Maksud dan Tujuan ..................…………………………….. 12 D. Metode Penelitian…………...………………………………... BAB II ASAS-ASAS SEBAGAI LANDASAN FILOSIFIS, SOSIOLOGIS , DAN YURIDIS A Filosofis, Yuridis, dan Normatif............................................ 13 1. Filosofis............................................................................ 13 2. Sosiologis. ....................................................................... 16 3. Yuridis.............................................................................. 17 B. Asas-asas dan prinsip Hak Cipta ....................................... 19 BAB III MATERI MUATAN RUU HAK CIPTA, DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF A. Penyempurnaan 24 1. Sinkronisasi ................................................................... 2. Spesifikasi Hak............................................................... 25 3. Pembatasan pengertian “hak mengumumkan” dan “hak 26 memperbanyak”............................................................ 4. Hak mengumumkan Karya rekaman suara ................... 27 5. Hak Cipta sebagai benda bergerak................................ 28 6. Kurang lengkapnya rincian mengenai perlindungan ciptaan ........................................................................... 28 7. Badan hukum sebagai pencipta..................................... 29 8. Tidak dimuatnya ketentuan mengenai perlindungan ii ciptaan dalam satu pasal................................................ 29 9. Batasan hak mengumumkan ......................................... 30 10. Ketentuan tentang “Fair Use” Program Komputer.......... 31 11. Lisensi wajib .................................................................. 35 12. Perbedaan definisi kareografi dan tarian ....................... 36 13. Pengertian organisasi profesi......................................... 36 37 14. Pilihan penerapan delik biasa atau delik aduan ............ 15. Ringback tone................................................................ 39 16. Kewenangan Daerah dalam penyelenggaraan hak 39 cipta................................................................................ 41 17. Pendaftaran elektronik ................................................... B. Penambahan 1. Lembaga Manajemen Kolektif (Collective Management Organization) ................................................................. 42 2. Definisi Royalti................................................................ 42 42 3. Turut serta dalam pidana hak cipta................................ 4. Penggunaan Open Source Soffware (OSS)................... 43 C. Penghapusan 46 1. Ketentuan tentang kewajiban Mencatatkan Lisensi....... 47 2. Penghapusan Pasal 10 ..................................................... BAB IV PENUTUP 49 A. Kesimpulan.......................................................................... B. Saran/Rekomendasi ………………………………………….. 50 DAFATR PUSTAKA LAMPIRAN iii BAB I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG Awal abad ke-21 yang ditandai dengan kemajuan teknologi di bidang digital, informasi, telekomunikasi, transportasi, dan perekonomian yang sangat pesat, telah mendorong arus globalisasi di bidang industri dan perdagangan serta investasi. Hal ini menjadikan dunia mengarah sebagai satu pasar tunggal bersama. Terciptanya pasar tunggal bersama ini dilandasi oleh adanya perjanjian- perjanjian/konvensi-konvensi internasional yang telah disepakati oleh beberapa negara, sehingga konsekuensi bagi negara-negara yang telah menandatangani perjanjian tersebut, mau tidak mau, suka atau tidak suka harus tunduk dan patuh pada ketentuan-ketentuan internasional tersebut. Tak terkecuali Indonesia, yang telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang terkait Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan Perjanjian Pendirian World Intellectual Property Organization (WIPO), WIPO Copyright Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, WIPO Phonograms and Performance Treaty selanjutnya disebut WPPT. Dalam era globalisasi yang mengatur pokok-pokok persoalan (issues) tentang hak cipta secara global hampir semua negara memberikan perlindngan secara universal terhadap kekayaan-kekayaan intelektual termasuk hak cipta, dan hak-hak terkait berdasarkan sekumpulan kaidah-kaidah hukum yang juga berlaku secara universal. Pengaturan perlindungan hukum kekayaan-kekayaan intelektual sebagai bagian dari sistem hukum sangat erat dikaitkan dengan industri, perdagangan dan investasi, pendek kata dikaitkan dengan dunia usaha atau perdagangan (trade related). Indonesia sebagai negara berkembang turut juga memberikan perlindungan hukum terhadap hak cipta. Hal ini sejalan dengan amanat yang telah diatur dalam alinea keempat Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa salah satu tujuan negara adalah ikut serta memelihara ketertiban dunia. Berkaitan dengan ini, Indonesia telah mengimplementasikannya kedalam Hukum Hak Cipta Indonesia terbaru yang telah diberlakukan sejak 29 Juli 2003. Hal ini dilakukan untuk lebih menyesuaikan pengimplementasian Persetujuan tentang Kekayaan Intelektual Terkait dengan Perdagangan (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) dan ketentuan-ketentuan internasional lainnya. Pada dasarnya ketentuan tentang hak cipta secara formal telah berlaku di Indonesia (mulai 23 September 1912) pada zaman penjajahan Kerajaan Belanda, yang disebut dengan Auteurswet 1912 (A.W 1912). Kemudian A.W. 1912 ini melalui 2 aturan-aturan peralihan yang terdapat dalam tiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, tetap berlaku walaupun merupakan salah satu produk hukum Pemerintahan Belanda. Semenjak masa itu, A.W. 1912 secara yuridis masih merupakan hukum positif bagi pengaturan hak cipta di Indonesia. Baru setelah kuran lebih 70 tahun A.W. 1912 berlaku, oleh Indonesia sebagai negara berdaulat diundangkan suatu Undang-Undang Nasional tentang Hak Cipta (UU No. 6 Tahun 1982). Sampai sekarang Indonesia pernah memiliki UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987, kemudian diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 1997, dan terakhir kedua-duanya dicabut dengan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pencabutan tersebut dilakukan dengan alasan, seperti yang dimuat dalam penjelasannya yaitu: “Masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya. Juga dari beberapa konvensi di bidang HKI tersebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan hak cipta di satu pihak, dan hak terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas”.1) Meskipun UUHC 2002 telah diberlakukan di Indonesia sejak tangggal 29 Juli 2003, tetapi dalam rentang waktu 5 tahun terakhir keberadaan Undang Undang Hak Cipta tersebut, saat ini dan masa mendatang dirasakan kurang mampu lagi 3 mengayomi permasalahan-permasalahan tentang hak cipta yang timbul di masyarakat. Seperti diketahui sejak beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi perubahan-perubahan dalam ruang lingkup strategis, dan perubahan-perubahan tersebut antara lain adalah: kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), transparansi, demokratisasi otonomi, hak asasi manusia dan sebagainya. Perubahan atau Revisi UUHC 2002 sangat penting dilakukan terutama karena Indonesia telah meratifikasi WIPO Performances and Phonograms Treaty, 1966 melalui Keppres No. 74 tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 93 pada tanggal 10 September 2004. Hasil ratifikasi WPPT, 1996 harus diadaptasi ke dalam UU Hak Cipta agar lebih sempurna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat di abad yang serba digital pada masa dewasa ini.. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), terutama teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini, ternyata telah menembus batas-batas negara yang paling dirahasiakan. Sebab setiap manusia modern, cenderung pada kemajuan dengan berkembangnya budaya teknologi (technology of culture). Kini tidak ada sesuatu pun yang dapat disembunyikan oleh seseorang atau suatu negara dengan maksud tertentu, guna meraih keuntungan dengan cara-cara tidak terhormat yang merugikan orang atau negara lain melalui hasil ciptaan yang dilindungi oleh perangkat hukum. Perkembangan iptek lambat laun akan mampu mengungkap adanya kecurangan yang terjadi selama ini terhadap ciptaan yang bernilai ekonomis. 1 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 19 tahun 2002 tentang Cipta. 4 Berkembangnya paradigma baru tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ini, menjadikan perbuatan seperti plagiat, membajak, meniru, memalsukan memutilasi suatu ciptaan ataupun mengakui sebagai hasil ciptaan sendiri atas ciptaan orang lain (plagiat) atau pemegang izin dari ciptaan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat diancam dengan sanksi hukum. Perkembangan ini menyebabkan semua sektor kehidupan seperti ekonomi, hukum dan budaya perlu pula berpacu dengan waktu untuk mengejar ketertinggalannya dalam era persaingan global yang kini semakin diskriminatif, komparatif dan kompetitif. Di bidang demokratisasi otonomi, telah terjadi perubahan sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik (Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat radikal dalam sistem pemerintahan termasuk di dalamnya perUndang Undangan yang mengatur HKI (khususnya Hak Cipta). Perubahan tersebut menempatkan peran pemerintah Pusat yang semula semua pelayanan dan proses HKI dilakukan di Pusat, kemudian dilimpahkan ke Pemerintahan Daerah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria ekstemalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Sementara itu Pasal 12 ayat (1)nya lebih mempertegas lagi bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, 5 pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Selanjutnya, berkenaan dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, sehingga menuntut dimungkinkan Pelayanan Pendaftaran Cipta melalui elektronik (sistem E-fiilling). Sistem ini sudah dikenal dalam WIPO, namun UUHC 2002 belum mengakomodir masalah ini, sebab di dalam Pasal 35 UU tersebut hanya menyebutkan “pendaftaran diberikan atas dasar Permohonan”, serta masalah keberatan pihak ketiga atas pendaftaran suatu cipta oleh seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penerimaan pendaftaran ciptaan hingga pemberian surat pendaftaran ciptaan dapat dilakukan di semua kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM, sehingga amanah Pasal 53 UUHC 2002 dapat diimplementasikan. Di samping itu, UUHC 2002 juga belum mengatur secara detail, berkenaan dengan aktivitas yang harus mendapat lisensi dan membayar royalti. Dewasa ini aktivitas menyiarkan dan memperdengarkan (mengumumkan) lagu sudah sedemikian luasnya. Para pemakai (user) lagu, ada yang mengumumkan lagu untuk mencari profit dan ada pula sekedar untuk meningkatkan pelayanan atau meramaikan suasana, seperti Televisi, radio, tempat hiburan malam, pertunjukan musik atau konser, content provider, dan operator seluler termasuk usaha-usaha yang mendapatkan propit dari aktivitas mengumumkan lagu-lagu tidak membagi keuntungannya kepada pencipta lagu. Bahwa UUHC 2002, juga belum mengakomodir masalah keleluasaan masyarakat untuk mengakses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowladge) sebagai bagian dari hak konsumen, dan masalah pembatasan hak cipta, first sale 6
Description: