ebook img

pola pembinaan pendidikan agama islam PDF

195 Pages·2017·1.1 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview pola pembinaan pendidikan agama islam

BAB IV NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI MASYARAKAT BANJAR Masyarakat Banjar memiliki budaya dan tradisi-tradisi lokal yang secara fungsional mampu menjaga situasi lingkungannya agar tetap harmonis, baik tradisi yang berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan lingkungannya. Tradisi-tradisi lokal tersebut memiliki makna dan nilai penting, diantaranya sebagai acuan tingkah laku bagi masyarakatnya dalam menjalani kehidupan. Tradisi-tradisi lokal tersebut sesungguhnya merupakan pengungkapan pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Banjar dalam menghadapi situasi lingkungannya. Salah satu bentuk kearifan lokal pada masyarakat Banjar adalah upacara- upacara tradisional. Upacara tradisional tersebut disarikan dari pengalaman panjang masyarakat Banjar yang dimunculkan dari kecerdasan lokal menjadi kebijaksanaan bersama masyarakat. Sebagai sebuah tradisi, maka upacara tradisional mempunyai nilai-nilai yang dijabarkan dari pandangan hidup masyarakat yang membuatnya. Dengan mengambil nilai-nilai dalam upacara tradisional, maka masyarakat dapat memahami bagaimana nenek moyang atau masyarakat yang menghasilkan tradisi tersebut memandang dan menyikapi hidup. Masyarakat Banjar memiliki berbagai tradisi yang sampai sekarang masih perlu dilestarikan, walaupun ada sebagian tradisi yang saat ini sudah hilang ataupun dimodifikasi. Di antara tradisi tersebut adalah tradisi yang menyangkut 94 95 tentang siklus kehidupan (life cycle) seseorang, mulai dari tradisi yang berhubungan dengan peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian. Dari peristiwa-peristiwa di sekitar siklus kehidupan seorang individu dan segala prosesi tradisi dan budaya yang mengitarinya, tentu banyak mengandung nilai- nilai, terutama nilai-nilai yang berkaitan dengan pandangan hidup masyarakat Banjar. Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang agamis. Tentu saja nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tradisi yang berhubungan dengan peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian memiliki nilai-nilai keislaman, baik nilai keimanan, nilai ibadah maupun nilai-nilai akhlak. Tradisi masyarakat Banjar yang berhubungan dengan siklus kehidupan (life cycle) meliputi tradisi kelahiran meliputi upacara mandi badudus, mengazani dan mengiqamahi anak, batasmiyah dan akikah, batindik dan basunat. Sedangkan tradisi perkawinan pada masyarakat Banjar meliputi basusuluh, badatang, bapatut jujuran, maantar jujuran, akad nikah, walimatul ‘ursy. Tradisi kematian meliputi tradisi sebelum kematian di antaranya mandi thalak, zikir tujuh laksa, tradisi pada penyelenggaraan jenazah yaitu memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan, dan tradisi setelah kematian yaitu maarwah (maniga hari, manujuh hari, manyalawi, manyaratus) dan mahaul, bahilah dan qadaan. Berikut ini penulis uraikan secara rinci tentang nilai-nilai keislaman pada tradisi masyarakat Banjar yang berkaitan dengan siklus kehidupan (life cycle) yaitu tradisi kelahiran, perkawinan dan kematian. 96 A. Nilai-nilai Keislaman pada Tradisi Kelahiran Masyarakat Banjar Masyarakat Suku Banjar yang mendiami daerah Kalimantan Selatan dikenal sebagai kelompok suku bangsa yang memiliki kehidupan religius. Meskipun demikian, masyarakat Banjar juga masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang, terutama terlihat pada masyarakat yang hidup di perdesaan. Pelaksanaan tradisi dan adat-istiadat tersebut misalnya, terlihat pada tahapan siklus kehidupan (life cycle) masyarakat Banjar yang dahulu menganut ajaran kepercayaan Kaharingan dan agama Hindu-Budha dengan pola hidup yang berdasarkan keyakinan kepada ajaran nenek moyang. Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Banjar, maka terjadilah proses akulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar agama Islam dengan kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya, di antaranya adalah upacara atau prosesi di sekitar kelahiran seorang anak. Upacara kelahiran dalam masyarakat Banjar sudah dilaksanakan secara turun temurun, dan sebagian masih bertahan sampai saat ini di antaranya adalah: 1. Mandi Badudus Salah satu tradisi kelahiran dalam masyarakat Banjar adalah mandi badudus. Mandi badudus merupakan tradisi yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan dan hanya dilakukan pada hitungan ganjil masa kehamilan bagi pasangan suami istri. Secara garis besar mandi badudus terbagi dua, yaitu mandi badudus yang memakai pagar mayang dan mandi badudus yang tidak memakai pagar mayang. Mandi badudus dengan pagar mayang artinya 97 prosesi mandi tersebut dilaksanakan di dalam pagar mayang dan menggunakan mayang pinang. Mandi badudus dengan pagar mayang ini dilakukan oleh keturunan keraton Banjar (para gusti dan pangeran) dan orang-orang yang secara turun temurun memiliki hubungan dengan Datu Buaya, sehingga mereka harus melaksanakan tradisi ini. Jika tidak dilaksanakan, menurut keyakinan mereka akan diganggu dan menghadapi kesulitan ketika melahirkan. Sedangkan mandi badudus yang tidak memakai pagar mayang adalah masyarakat awam di luar kedua golongan itu, tetapi ingin melaksanakan yang prosesi pelaksanaanya lebih sederhana. Mandi badudus biasanya dilakukan pada hari Senin atau Jumat sekitar jam 3 sampai jam 4 sore. Upacara badudus memerlukan peralatan yang cukup banyak, di antaranya adalah: nisan atau tebu yang berwarna kuning sebanyak 4 batang, benang lawai yang sudah diberi warna kuning karena direndam dengan air janar (kunyit), kelapa 2 buah, satu buah kelapa yang tumbuh tunasnya dibungkus dengan kain kuning dan yang satu buah dikupas kulitnya, satu lembar tikar purun yang berwarna, kain kuning yang panjangnya 3 meter dan lebar 1 meter, kain berwarna hitam sekitar 2 meter, mayang pinang dua buah yaitu mayang kandung adalah mayang pinang yang belum keluar bunga dan mayang berurai yaitu mayang yang sudah keluar bunganya, pupur basah berwarna putih, janar , cermin, lilin, parang untuk membelah buah kelapa, air tiga macam yaitu banyu baya (air baya), air kembang dan air Yasin. Kuantan (kuali) kecil 1 buah di dalamnya diletakkan daun keladi dua lembar, telur ayam kampung 1 biji, dan abu. Kuantan ini direndam terlebih dahulu kurang lebih lima hari supaya tidak terlalu keras ketika 98 diinjak. Peralatan lain adalah untuk tapung tawar yang bahannya terdiri dari minyak baboreh, minyak harum dan bunga rampai. Kue yang beraneka ragam sebanyak 41 macam di antaranya, apam putih, apam habang, bubur putih, bubur habang, kekoleh habang, kekoleh putih, cucur, cincin, wajik, kekicak, cingkaruk, dodol, satu tumpeng ketan yang diatasnya ditaruh telur rebus, pisang mahuli 1 sisir, dan lainnya. Minuman yang terdiri dari air putih, air kopi pahit dan kopi manis, dan air susu. Piduduk yang terdiri dari 1 biji buah kelapa, beras 1 liter, gula merah setengah batang, benang, dan garam. Piduduk ini nantinya akan diserahkan kepada bidan yang memandikan.1 Sebelum acara pelaksanaan upacara puncak badudus dilaksanakan, terlebih dahulu telah dipersiapkan tempat pemandiannya. Tempat tersebut dipersiapkan berbentuk semacam kubah, dimana lantainya dihampari tikar purun yang berwarna, kemudian diberi 4 buah tiang. Tiang tersebut terdiri dari batang tebu kuning yang masih utuh dari akar sampai daun dan pucuknya. Atapnya terbuat dari kain kuning yang panjangnya 3 meter dan lebar 1 meter, kain tersebut diikat di empat sudut pada batang tebu. Dari empat sudut itu tersebut diberi benang lawai secara keliling yang terdiri dari dua baris. Benang lawai adalah benang yang biasanya dipakai untuk menjahit kasur, bentuknya lebih tebal dan lebih besar dari benang jahit. Pada benang tersebut digantungi kembang beberapa tangkai, kue cincin dan cucur, pisang mauli, gulali (sekarang diganti dengan permen), dan daun mayang. Dipersiapkan pula tiga baskom air, yaitu banyu labuhan, banyu Yasin dan banyu baya. Banyu labuhan adalah air yang diambil 1 Wawancara dengan ibu BR pada tanggal 26 April 2017. Umur beliau 59 tahun, sejak usia 35 tahun sudah melakukan tradisi mandi badudus di daerah Banjarmasin dan sekitarnya. 99 dari ulak (pusaran air) sungai Martapura, biasanya di sekitar desa Sungai Lulut setelah mengadakan labuhan. Labuhan adalah sesajen yang diberikan kepada Datu Buaya yang terdiri dari nasi ketan, telur, pisang, kembang dan mayang. Untuk mengambil air ini, bidan memberi salam dan meminta izin untuk mengambil banyu yang banyaknya sekitar satu botol. Banyu Yasin adalah air yang sudah dibacakan surah Yasin. Banyu baya adalah air tawar yang sudah didoakan khusus untuk orang hamil berupa bacaan-bacaan Alquran yang berkenaan dengan ayat-ayat pelungsur, seperti Q.S.an-Nahl/16: 78, Q.S.az-Zumar/39:6, Q.S.an- Najm/53: 32.2 Sedangkan menurut ibu RU bacaan untuk memberi banyu baya itu hanyalah shalawat. Kalau tidak ada banyu labuhan diganti dengan banyu kembang, yaitu air yang berisikan kembang tujuh rupa.3 Sebelum dilakukan upacara, ibu yang sedang hamil tersebut duduk di rumah dengan berlapik tapih (kain) yang dilipat sebanyak tiga atau lima helai. Sembari dibacakan shalawat dengan menaburkan beras kuning yang dicampur dengan uang koin, lalu turun ke tempat yang disediakan untuk mandi yaitu di depan rumah. Beras kuning dilemparkan ke luar sambil mengucapkan shalawat: Allahumma shalli ala Muhammad, dan dijawab oleh hadirin Allhumma shalli wasallim alaih atau hanya salim saja. Beras kuning dan uang koin yang dilemparkan diperebutkan oleh hadirin. Kemudian ibu yang hamil tersebut duduk di atas tikar purun dengan menghadap kiblat. Duduknya dengan cara melunjurkan kaki sambil mengasuh anak nyiur (pohon kelapa) yang disarungi dengan kain kuning. Tiga atau lima 2 Wawancara dengan ibu BR, pada tanggal 26 April 2017. 3 Wawancara dengan ibu RU, salah seorang bidan Kampung yang bertempat tinggal di daerah Gambut Kabupaten Banjar pada tanggal 27 April 2017. 100 orang para tetuha dalam keluarga, termasuk bidan secara bergiliran mengeramasi rambutnya dengan air asam Jawa. Sedangkan badannya diluluri dengan pupur basah yang telah dicampur dengan kunyit, tujuannya adalah agar anak yang dilahirkan nanti putih kuning dan bungas (cantik.) Sesudah itu barulah disiram dengan tiga macam air secara berurutan yaitu banyu labuhan, banyu Yasin dan terakhir banyu baya sambil membacakan shalawat.4 Pada tahap pertama ibu yang hamil tersebut disiram kepala dan seluruh badannya dengan air labuhan, kalau tidak ada air labuhan bisa diganti dengan air kembang. Lalu kepala perempuan yang dimandikan ditutup dengan kain hitam, dengan tujuan sebagai pelindung atau perisai dari gangguan makhluk halus baya (Datu Buaya). Kemudian disiram dari atas kain hitam banyu Yasin dan banyu baya secara bergantian oleh tiga orang yang memandikan. Banyu Yasin dan banyu baya ini harus terminum oleh orang yang dimandikan. Bidan menanyakan apakah sudah terminum atau belum, karena syaratnya memang air itu harus terminum dengan hakekat hati air itu meluncur ke perut, sebagaimana nanti diharapkan anak yang dikandung akan mudah lahir meluncur keluar seperti meluncurnya air tadi. Pada tiap-tiap siraman air selalu mengucapkan shalawat Allahumma shalli ala Muhammad. Arah penyiraman air untuk mandi badudus ini yaitu dari atas ke bawah, dengan hakekat diharapkan anak yang lahir akan cepat meluncur ke bawah seperti meluncurnya air dari atas ke bawah. Sambil memandikan, mayang berurai dikibas-kibaskan ke arah kiri dan kanan dengan tujuan menjauhkan dari orang-orang (makhluk halus) yang mengganggu. 4 Wawancara dengan Ibu RU. 101 Setelah selesai proses memandikan, mayang kandung diletakkan di atas kepala orang yang dimandikan, lalu kelapa dibelah di atas mayang dan airnya dialirkan di atas pelepah mayang sampai terminum oleh orang yang dimandikan. Satu orang mengalirkan air kelapa yang dibelah tadi dan satu orang memukul mayang kandung hingga terbelah dan keluarlah mayang-mayang di dalamnya, dengan hakekat mudah-mudahan orang yang dimandikan ini mudah melahirkannya seperti mayang yang dipukul tadi langsung belah dan keluar anaknya. Setelah selesai, lalu kain hitam disapu-sapukan ke seluruh tubuhnya yang akhirnya dilemparkan ke ujung kakinya, dengan makna agar bayi yang dilahirkan nanti akan meluncur dengan mudah. Setelah diganti bajunya, sebelum naik ke rumah calon ibu tadi melangkahi lawai sebanyak tiga kali. Setelah yang ketiga, langsung menginjak kuantan yang berisi telur dan tertutup daun keladi sampai remuk. Kuantan yang diinjak ini ibarat perut, apabila cepat pecahnya diartikan cepat juga nanti melahirkannya. Setelah itu lalu naik ke rumah duduk menghadapi sajian dan para tamu undangan yang hadir. Setelah naik ke rumah, calon ibu tadi bercermin. Cermin dikelilingkan pada badannya sebanyak tiga kali dari sebelah kanan ke kiri. Pada putaran ke tiga diperlihatkan wajah calon ibu tadi di cermin, sambil disuruh memperhatikan kecantikannya, tujuannya semoga anak yang dikandung juga cantik seperti ibunya. Sesudah itu ia lalu disuruh meniup lilin sampai padam, kemudian diletakkan di dada dengan tujuan supaya melahirkannya akan dimudahkan. Kemudian ditapungtawari oleh bidan dan ibu-ibu tetuha dalam keluarga dengan 102 membacakan shalawat secara bergantian. Demikian, selesailah prosesi mandi badudus ini. Di antara makna dari prosesi dan peralatan yang ada pada upacara ini adalah: beras kuning yang ditaburkan ketika keluar dari rumah adalah ibarat emas sehingga jin dan makhluk halus asyik berebut dan mengambil beras kuning, sehingga tidak mengganggu upacara. Sedangkan uang koin yang diperebutkan anak-anak agar anak yang lahir diharapkan disenangi oleh orang sebagaimana uang disenangi oleh semua orang. Kue-kue yang berjumlah 41 macam umumnya terbuat dari beras menunjukkan bahwa diharapkan kehidupan si anak dan orang tuanya nanti akan makmur dan sejahtera. Kue dan makanan yang terbuat dari ketan melambangkan semangat kebersamaan, keakraban dan kekeluargaan, karena sifat ketan itu lengket selalu bersatu. Kue-kue yang 41 macam itu pada umumnya adalah kue-kue yang sudah ada sejak jaman bahari, jaman nenek moyang urang Banjar, yaitu kue-kue yang terbuat dari bahan dasar beras dan ketan. Bubur habang dan bubur putih selalu ada dalam acara ini, karena untuk memberi orang-orang yang tidak terlihat (makhluk halus). Sedangkan piduduk yang terdiri dari beras 3 liter melambangkan kebutuhan pokok, benang adalah melambangkan pengganti urat, gula merah sebagai pengganti darah, kelapa agar lamak manis maksudnya agar disenangi oleh orang. Piduduk ini kemudian disedekahkan kepada bidan yang telah memandikan calon ibu tadi. Tapung tawar terdiri dari tatungkal atau tung tawaran adalah papaian (tangkai) untuk menapungtawari dan minyak baboreh yang dicampur minyak harum. Tatungkal terbuat dari rumput (kumpai) bernama babuntung yang dicabut, 103 dilipat dan diikat. Rumput babuntung maknanya adalah agar anaknya kelak menjadi anak yang bauntung (beruntung), batuah (bermanfaat) dan parazikian (murah rezeki).5 Sedangkan tunas kelapa yang dimandikan bersama calon ibu tadi, nantinya akan ditanam di halaman rumah, jika subur pohon kelapa tersebut diharapkan anaknya juga sehat dan tumbuh dengan baik. Meskipun akulturasi budaya masyarakat Banjar telah memberikan tempat bagi Islam dalam ritual tradisi, namun nilai-nilai adat dan nilai-nilai tradisional masyarakat Banjar tidak terkikis atau terhapus sama sekali. Nilai-nilai tersebut tetap terjaga, terpelihara, dan dimodifikasi dengan nilai Islam. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan masyarakat Banjar pada tradisi mandi badudus. Bagi sebagian masyarakat Banjar, upacara mandi badudus merupakan salah satu tradisi yang tidak boleh ditinggalkan, terutama bagi keturunan kerajaan (pangeran dan pegustian). Hal ini karena dalam upacara tersebut banyak mengandung nilai-nilai, yaitu nilai sosial, budaya dan agama. Selain itu dalam pelaksanaan tradisi ini, banyak ditemui adanya akulturasi antara budaya Islam dengan budaya lokal setempat. Hal ini, terlihat jelas pada prosesi dan makna yang terkandung dalam setiap proses upacara. Akulturasi yang terjadi pada tradisi mandi badudus terlihat pada saat proses pelaksanaannya. Nuansa keislaman yang terdapat dalam tradisi ini terlihat disaat penyediaan air untuk mandi. Air ini merupakan air kembang tujuh rupa yang khusus dibawa oleh bidan kampung. Air ini sebelumnya sudah dibacakan doa-doa yang diambilkan dari ayat-ayat suci Alquran dan juga di bacakan Surah Yasin. Akulturasi yang lain juga terlihat disaat 5 Wawancara dengan Ibu RU.

Description:
kata beliau menurut teori kebidanan sekarang ini, bayi yang baru lahir tidak Peminangan dalam ilmu fikih disebut khitbah, artinya permintaan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.