PERSPEKTIF AMIN ABDULLAH TENTANG INTEGRASI INTERKONEKSI DALAM KAJIAN ISLAM Siswanto Abstract: This article peeling Amin Abdullah‟s [email protected] thinking about integration and interconnection methods in studying religion. Amin Abdullah has a great project to reconcile between religion and science as part of an attempt to break the deadlock of the problems of the present. So from a variety of scientific disciplines was not just to a single entity attitude (arrogance of science: the only one that feels most right), isolated entities (of various scientific Fakultas Ushuluddin disciplines happen “isolation” , no scolds greet each Institut Keislaman other), but rather to the interconnected entities Abdullah Faqih (aware of the limitations of their respective (INKAFA), Gresik disciplines, resulting in mutual cooperation and is willing to use his methods even though it comes from another clump of science). With the model of integration and interconnection, Amin Abdullah has been able to show that the religious sciences can greet each other with other general sciences, because in essence is one. That science is beneficial for human beneficiaries. Keywords: Integration, interconnection, religion, science. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 Pendahuluan Adanya spesialisasi ilmu adalah sebuah keniscayaan, karena keterbatasan manusia untuk mengetahui semuanya, walaupun objeknya adalah sama yaitu alam. Akan tetapi efek dari bentuk spesialisasi tersebut ternyata juga membawa dampak yang negatif, terjadi suatu arogansi, ketika dihadapkan pada problem-problem realitas kemasyarakatan. Mulanya hanya dalam tataran berpikir-teoretis keilmuan yang bersifat abstrak, tapi pada ujungnya juga berdampak pada tataran bentuk konflik praktis-sosiologis. Contoh, seorang ahli ilmu fiqih akan merasa kebingungan jika dihadapkan pada konteks sosiologis, ahli ekonomi akan kesulitan memahami logika zakat, sehingga tidak jarang sampai terjadi suatu bentuk pengkafiran dalam sebuah pemikiran (takfîr al-fikr).1 Berangkat dari fakta bahwa dunia Islam dewasa ini cenderung membuat dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum, maka Amin Abdullah, merasa perlu merekonstruksi fakta ini dan membuat sebuah restorasi paradigma keilmuan. Pemahaman dikotomi yang rigid ini membuat polarisasi yang dikotomis antara ilmu sharî‘ah dan ilmu ghayr al-sharî‘ah. Pemahaman ilmu ghayr al-sharî‘ah—yang jumlahnya jauh lebih banyak—tidak penting untuk dipelajari, yang penting adalah ilmu sharî‘ah, ilmu yang menuntun orang untuk memasuki surga dan menghindari neraka, merupakan hal yang bisa menghambat kemajuan kajian keislaman.2 Dikotomi ini sangat membekas di hati kaum Muslim. Terbukti sebagian besar orang sekarang masih terkesan bahwa ilmu keislaman 1 Fahrudin Faiz, “Mengawal Perjalanan Sebuah Paradigma” dalam Fahrudin Faiz (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), viii. Di negara-negara Muslim seakan-akan pengkafiran terhadap produk pemikiran sulit untuk berakhir, bahkan kecenderungannya semakin menguat. Sejak Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk Salman Rushdi pada awal tahun 1980-an, kebebasan berpikir menjadi sesuatu yang menakutkan di dunia Islam. Faraj Fawdah, Najîb Mah}fûz}, Nawâl al-Sa„dawî, Fatima Mernissi, Muh}ammad Arkûn, dan Muh}ammad Ah}mad Khalaf Allâh, adalah nama-nama yang terkena pasal “kebebasan berpikir.” Mereka difatwa kafir karena pandangan-pandangan yang dianggap tidak sejalan dengan ortodoksi Islam. Sebagian mengalami kekerasan dan pembunuhan (seperti yang terjadi pada Fawdah), dan sebagian lainnya mengalami pengusiran seperti yang terjadi pada Nas}r H{âmid Abû Zayd. 2 M. Amin Abdullah, “Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam Hermeneutik”, Epistema, No. 02 (1999), 3. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 377 adalah satu hal dan ilmu non-keislaman adalah hal lain. Dikotomi keilmuan seperti ini jelas akan merugikan dunia Islam itu sendiri. Sebab ilmu-ilmu non-keagamaan dianggap tidak penting, sehingga tidak perlu dipelajari. Inilah salah satu faktor terbesar mundurnya keilmuan Islam. Bandingkan dengan abad pertengahan ketika muncul tokoh-tokoh yang tidak melihat dikotomi itu semisal Ya„qûb b. Ish}âq al-Kindî (801- 873 M) 3, Abû Nâs}ir Muh}ammad b. al-Farakh al-Fârâbî (257-339H/ 870-950M)4 dan Abû „Alî al-H{usayn b. „Abd Allâh b. Sînâ (370- 428H/980-1037M)5 yang di samping menguasai keilmuan Islam tradisional juga disegani sebagai pakar ilmu non-keagamaan. Pada saat itu Islam mampu menunjukkan perannya sebagai kontributor ilmu ketika Barat sendiri mengalami kemunduran ilmiah. Tapi hari ini, akibat dikotomi yang telah diciptakan dan diwariskan sejak ratusan tahun itu, dunia Islam terpuruk dalam ketertinggalan. Barat sekarang tampil di puncak kemajuan peradaban ilmu. Fenomena tersebut jelas membawa kegelisahan bagi pemikir- pemikir Muslim modern. Integrasi-interkoneksi keilmuan dapat menjadi paradigma pilihan. Paradigma integrasi-interkoneksi yang kini menjadi paradigma Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tidak lahir begitu saja, melainkan menapaki proses panjang yang melibatkan banyak diskusi dengan para ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri.6 Paradigma integrasi-interkoneksi mengandaikan terbukanya dialog di antara ilmu-ilmu. Peluang dikotomi ditutup rapat. Tiga peradaban dipertemukan di dalamnya, yakni h}ad}ârah al-nas}s} (budaya teks), h}ad}ârah al-‘ilm (budaya ilmu), dan h}ad}ârah al-falsafah (budaya filsafat). Pendekatan yang memadukan wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia ini tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisasi) atau mengucilkan manusia sehingga teralienasi dari dirinya sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Namun konsep ini 3 Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 33-34. 4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI- Press, 1991), 49. 5 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), 167. Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 228. 6 Faiz (ed.), Islamic Studies, x-xii. 378 Siswanto—Perspektif Amin Abdullah sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan fundamentalisme negatif. Gagasan paradigma integrasi-interkoneksi yang dipelopori Amin Abdullah tampil memukau dan mencoba untuk memecahkan kebuntuan dari problematika kekinian. Sehingga dari berbagai disiplin keilmuan itu tidak hanya sampai pada sikap single entity (arogansi keilmuan: merasa satu-satunya yang paling benar), isolated entities (dari berbagai disiplin keilmuan terjadi “isolasi”, tiada saling tegur sapa), melainkan sampai pada interconnected entities (menyadari akan keterbatasan dari masing-masing disiplin keilmuan, sehingga terjadi saling kerjasama dan bersedia menggunakan metode-metode walaupun itu berasal dari rumpun ilmu yang lain).7 Gagasan paradigma integrasi interkoneksi ini mendapat sambutan yang luas dikalangan akademisi, Menurut Robby H. Abror, Amin Abdullah telah mengubah secara radikal dan sistematis Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Amin Abdullah telah berhasil membawa studi agama-agama yang selama ini dianggap „marjinal‟ menjadi lebih „berwibawa‟. Dengan model integrasi dan interkoneksinya, Amin Abdullah telah mampu menunjukkan bahwa ilmu-ilmu agama dapat saling menyapa dengan ilmu-ilmu umum lainnya, karena pada hakikatnya adalah satu. Bahwa ilmu itu bermanfaat bagi maslahat kemanusiaan.8 Karena pentingnya discourse inilah, penulis merasa bahwa paradigma ini sangat perlu dikaji dan diteliti yang merupakan sebuah terobosan untuk membuka beberapa harapan dan kemungkin baru (new possibility) yang lebih baik dalam memajukan kajian-kajian keislaman (Islamic studies). 7 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Adib Abdushomad (ed.) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 404-405. Lihat juga M. Amin Abdullah, “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistis Kearah Integratif-Interkonektif” dalam Fahrudin Faiz, (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), 37-38. 8 Robby H. Abror, “Reformulasi Studi Agama untuk Harmoni Kemanusiaan”, Kedaulatan Rakyat, (31 Juli 2010), 2. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 379 Sketsa Biografis Amin Abdullah M. Amin Abdullah (selanjutnya disebut Amin Abdullah) adalah pemikir prolifik dalam gelanggang cendekiawan Muslim Indonesia. Amin Abdullah tidak hanya mampu mensintesiskan di antara sekian banyak argumen yang bertentangan, tetapi juga lebih dari itu ia mampu melahirkan sebuah konsep cerdas dan akomodatif, sehingga dapat menjadi sebuah jawaban atas permasalah yang dimunculkan. Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972 menamatkan pendidikan menengah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islâmîyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika Darusslam (IPD) 1977 di pesantren yang sama.9 Amin Abdullah Menyelesaikan S1 Jurusan Perbandingan Agama di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1981, melanjutkan studi S3 (Program Ph.D) pada METTU (Middle East Technical University), Departemen of Philosopy, Fakulty of Art and Sciences, Ankara Turki tahun 1990,10 dengan disertasi, The Idea of Universality of Ethical Normas in Ghazâli and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).11 Mengikuti program Post Doktoral di McGill University, Montreal Kanada selama enam bulan (Oktober 1997 hingga Februari 1998). Ia kemudian dianggat menjadi Guru Besar Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2000. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2010 ia menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.12 Amin Abdullah dikenal sebagai salah satu pakar dalam Islamic studies. Karya-karyanya yang telah dibukukan menjadi rujukan bagi para akademisi. Selain karya yang telah dibukukan, tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain: 9 M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multi-Religius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), 191. 10 M. Amin Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), 363. 11 Abdullah, Pendidikan Agama, 191-192. 12 Abdullah, dkk., Seri Kumpulan Pidato, 363. 380 Siswanto—Perspektif Amin Abdullah “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur‟anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, “Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia”, Tokyo Jepang, 1999; “al-Târîkh al- Islâmî wa Azmah al- H{uwîyah”, Tripoli, Libia, 2000; “International anti-Corruption Conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”, Kuala lumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003. Normativitas dan Historisitas dalam Pandangan Amin Abdullah Jika dilihat dari karya-karyanya, setidak-tidaknya ada dua pemikiran besar Amin Abdullah yang pada dasarnya merupakan respons dari konteks dan persoalan yang sedang dihadapi oleh kaum Muslimin. Pertama adalah persoalan pemahaman terhadap keislaman yang selama ini dipahami sebagai dogma yang baku. Hal ini karena pada umumnya normativitas ajaran wahyu ditelaah lewat pendekatan doktrinal teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks kitab suci yang pada akhirnya membuat corak pemahaman yang tekstualis dan skripturalis.13 Sedangkan di sisi lain untuk melihat historisitas keberagamaan manusia, pendekatan sosial keagamaan digunakan melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya, yang bagi kelompok pertama dianggap reduksionis. Kedua pendekatan ini bagi Amin Abdullah merupakan hubungan yang seharusnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kedua jenis pendekatan ini— pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan yang bersifat historis-empiris—sangat diperlukan dalam melihat keberagamaan masyarakat pluralistik. Kedua pendekatan ini akan saling 13 M. Amin Abdullah, “Muhammadiyah di Tengah Pluralitas Keberagamaan” dalam Edy Suandi Hamid, dkk. (ed.), Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban (Yogyakarta: UII Press, 2000), 59-64. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 381 mengoreksi, menegur, dan memperbaiki kekurangan yang ada pada kedua pendekatan tersebut. Karena pada dasarnya pendekatan apapun yang digunakan dalam studi agama tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemanusiaan secara sempurna. Pendekatan teologis-normatif saja akan menghantarkan masyarakat pada keterkungkungan berpikir sehingga akan muncul truth claim sehingga melalui pendekatan historis- empiris akan terlihat seberapa jauh aspek-aspek eksternal seperti aspek sosial, politik, dan ekonomi yang ikut bercampur dalam praktik-praktik ajaran teologis.14 Di sinilah, Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi yang lain mampu menjawab tuntutan zaman, di mana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berpikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berpikir. Keterkungkungan berpikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, di mana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut. Sedangkan yang kedua adalah paradigma keilmuan integratif- interkonektif. Paradigma ini juga dibangun sebagai respons atas persoalan masyarakat saat ini di mana era globalilasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, paradigma keilmuan integratif dan interkonektif ini merupakan tawaran yang digagas oleh Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Asumsi dasar yang dibangun pada paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik ilmu agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama, saling membutuhkan, dan bertegur sapa antar-disiplin ilmu justru akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh manusia, karena tanpa saling bekerja sama antar-disiplin ilmu akan menjadikan narrowmindedness.15 14 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 18. 15 M. Amin Abdullah, “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dalam A. Syafi‟i Ma‟arif, dkk., Tajdid Muhammadiyah 382 Siswanto—Perspektif Amin Abdullah Secara aksiologis, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama serta transparan. Sedangkan secara ontologis, hubungan antar-disiplin keilmuan menjadi semakin „mencair‟, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar- disiplin keilmuan ini masih tetap ada. Normativitas dan Historisitas dalam Kajian Keislaman Pemahaman terhadap keislaman selama ini dipahami sebagai dogma yang baku dan menjadi suatu norma yang tidak dapat dikritik, dan dijadikan sebagai pedoman mutlak yang tidak saja mengatur tingkah laku manusia, melainkan sebagai pedoman untuk menilai dogmatika yang dimiliki orang lain, meskipun demikian dogmatika tersebut tidak dapat dilepaskan dari segi sejarah pembentukan dogma itu sendiri. Kecenderungan salah penafsiran terhadap norma mengakibatkan truth claim, di mana sebuah klaim mengasumsikan bahwa tidak ada kebenaran dan keselamatan manusia kecuali dalam agamanya. Dogma yang dipahami secara fanatik tersebut disosialisasikan sejak dini dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Sehingga norma dan tingkah laku umat beragama terkotak, di satu sisi ia menekankan ketertundukan dengan mematikan potensi berpikir, tetapi di sisi yang lain terjadi pemberhalaan sedemikian rupa yang menyebabkan doktrin tersebut menjadi pembatas kesatuan antar-manusia. Sehingga agama yang sebenarnya pada esensinya sebagai bentuk ekspresi religiusitas berubah menjadi sumber konflik atas nama Tuhan. Di sinilah pemikiran Amin Abdullah menjadi relevan, karena berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, di sisi yang lain gagasan tersebut dituntut mampu menjawab tuntutan zaman, di mana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berpikir, kreativitas, dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berpikir. Keterkungkungan berpikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif, di mana meyakini kebenaran tunggal, tidak berubah, dan untuk Pencerahan Peradaban, (ed.) Mifedwil Jandra dan M. Safar Nasir (Yogyakarta: MT- PPI & UAD Press, 2005), 45. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 383 dijadikan pedoman mutlak manusia dalam menjalankan kehidupan dan untuk menilai realitas yang ada dengan “hukum baku” tersebut. Dari perspektif filsafat ilmu, setiap ilmu, baik itu ilmu alam, humaniora, sosial, agama atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan dikonstruk di atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Teori-teori yang sudah ada terlebih dahulu tidak dapat dijadikan garansi kebenaran. Anomali- anomali dan pemikiran-pemikiran yang tidak, kenyataannya ilmu pengetahuan tidak tumbuh dalam stagnasi, akan tetapi selalu dipengaruhi dan tidak dapat terlepas dari pengaruh cita rasa sejarah sosial dan politik. Pemikiran ini muncul dari adanya kesadaran bahwa teori-teori ilmu pengetahuan hanyalah merupakan produk, hasil karya manusia.16 Dalam pengertian ini, penerapan filsafat ilmu pada diskusi akademik ilmu-ilmu keislaman harus dilakukan, karena filsafat ilmu saling berkaitan dengan sosiologi ilmu pengetahuan. Dua cabang ilmu pengetahuan ini jarang didiskusikan dan tidak pernah dimasukan dalam tradisi ilmu keIslaman yang ada. Padahal keduanya merupakan prasyarat dan wacana awal yang harus dimengerti bagi para ilmuan Muslim yang ingin terhindar dari tuduhan pembela tipe studi Islam yang hanya bersifat repetitif, statis, disakralkan, dan dogmatik. Ketika menghadapi masalah-masalah historisitas pengetahuan, patut disayangkan bila sarjana-sarjana Muslim dan non-Muslim yang hendak mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keislaman secara psikologi merasa terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non-reduksionisme. Dalam hal-hal tertentu, ada beban psikologis dan institusional yang terlibat dalam memperbesar dan memperluas domain, scope, dan metodologi ilmu-ilmu keislaman karena persoalan itu. Sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri telah menempatkan Islam normatif dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core dalam kerangka kerja Lakatos, yang harus dilindungi dengan sifat-sifatnya yang mendorong pada penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru (positive heuristic). Hard core atau Islam normatif sama dengan apa 16 Abdullah, “Membangun”, 45. 384 Siswanto—Perspektif Amin Abdullah yang telah ditetapkan sebagai objek studi agama yang tepat dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.17 Bangunan baru ilmu-ilmu keislaman, setelah diperkenalkan dan dihubungkan dengan wacana filsafat ilmu dan sosiologi ilmu penegetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga dimensi untuk melihat fenomena agama Islam, yakni pendekatan yang berunsur linguistik-historis, teologis-filosofis, dan sosiologis-antropologis pada saat yang sama. Tentang apa dan bagaimana pendekatan tersebut sudah banyak ditulis oleh para ahlinya. Dengan demikian, ilmu-ilmu keislaman yang kritis, sebagaimana yang dinyatakan oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega mereka yang memiliki keprihatinan yang sama, hanya dapat dibangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, di mana masing-masing dimensi dapat berinteraksi dan berinterkomunikasi satu dengan lainnya. Tidak ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat berdiri sendiri. Gerakan dinamis ini pada esensinya adalah hermeneutic.18 Keterkaitan normativitas dan historisitas dalam studi keislaman hanya dapat dibangun secara sistematik dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, di mana masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi satu dengan lainnya. Dari sudut pandang kebudayaan agama merupakan universal culture. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dalam konteksnya, agama sedari dulu hingga kini dengan tangguh menyatakan eksistensinya karena memerankan sejumlah peran dan fungsinya di masyarakat.19 Oleh karenanya, secara umum, studi Islam menjadi 17 M. Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Melinium Ketiga”, Al-Jami’ah, No. 65 (VI/2000), 34. 18 Di Timur Tengah telah berkembang teori-teori yang membedakan antara Islam normatif dan Islam historis (Fazlur Rahman), al-dîn dan al-afkâr al-dînîyah (Nas}r H{âmîd Abû Zayd) believer (mukmin) dan ilmuan agama (historians) (Muh}ammad Arkûn), umm al-Kitâb dan al-Kitâb (Muh}ammad Shah}rûr) epistemologi bayânî, ‘irfânî, dan burhânî (Muh}ammad „Âbid al-Jâbirî). Lihat Abdullah, “Membangun Kembali Filsafat Ilmu”, 33-34. 19 Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Bandung: Alfabeta, 1993), 79. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 385
Description: