Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb Adian Husaini Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor Email: [email protected] Abstract At the moment, Indonesian government campaigns for education based on character rapidly. Various theories have been proposed to make this mission success. Unfortunately, the government tends to use the secular’s theories which so far from religious values, whereas Indonesia is the biggest nation with Muslims population in the world. Righteously, the education which based on character should be taken from this Religion’s precepts. Actually, this idea has been engaged by the founding father of this country. In the principle’s foundation of this country (Pancasila), the founding father formulate some principle which using Islamic terms. As an example, in second principle, we can find word ‘Adil’ and ‘Adab’ which both of these words is Islamic term that considered as Islamic basic vocabulary and closely related with Islam’s precepts. Because of this importance, the founding father used this words and Islamic terms inside the principle’s foundation of this country (Pancasila). These indicates how strong the influences of Islamic worldview in prefatory’s constitution of this country (Pembukaan UUD 1945). Therefore, we have to understanding these Islamic terms (adab and adil) with Islamic worldview. Because of the importance of this ‘Adab’ term, then this is the time when the government use these term in implementation of education based on character in this country. Keywords: Adab, Education, Character, Islamic Worldview * Program Pendidikan Islam, Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162 Telp dan Fax: +62251 835-6884 Vol. 9, No. 2, November 2013 372 Adian Husaini Abstrak Saat ini, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengkampanyekan pendidikan berbasir karakter. Berbagai teori dikemukakan untuk mensukseskan misi tersebut. Sayangnya, Pemerintah cenderung menggunakan teori-teori sekuler yang jauh dari agama. Padahal, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya, pendidikan karakter diambil dari ajaran agama ini. Hal itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para pendiri Negara ini. Dalam perumusan Dasar Negara Indonesia (Pancasila), para pendiri Negara telah merumuskan sila-sila yang menggunakan istilah-istilah agama Islam. Sebagai contoh pada sila kedua, digunakan kata “adil” dan “adab”. Dalam Islam, istilah- istilah seperti adab, adil, wakil, musyawarah, dan lain sebagainya, tidak dipandang sebagai istilah yang tanpa makna. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah kunci (Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang maknanya terkait erat dengan konsep ajaran Islam. Karena pentingnya istilah-istilah tersebut, maka tidak salah jika para pendiri Negara ini memasukkan kata-kata tersebut ke dalam dasar Negara Indonesia, Pancasila. Seperti istilah “adil” dan “adab” dalam sila kedua Pancasila. Masuknya istilah “adab” merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab harus dipahami dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Karena pentingnya konsep adab tersebut, maka sudah saatnya konsep ini dipakai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter. Kata kunci: Adab, Pendidikan, Karakter, Pandangan Hidup Islam PPendahuluan emerintah Indonesia memandang penting Pendidikan Karakter bagi kemajuan bangsa ke depan. Tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter.1 Kepala Balitbang Depdiknas, Prof. Dr. Mansur Ramly, menulis- kan dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut: “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk me- wujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi 1 Bagian ini merujuk pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendiknas, 2011. Jurnal TSAQAFAH Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 373 upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.” Masih menurut Prof. Dr. Mansur Ramly, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, semakin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritas- kan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangun- an Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Selanjutnya ditegaskan lagi: “Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan sebagainya. Pembiasaan itu bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang hal-hal yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan terhadap nilai yang baik dan tidak baik, serta bersedia melakukannya dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi cerminan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sekolah memiliki peranan yang besar dalam pengembangan pendidikan karakter karena peran sekolah sebagai pusat pembudayaan melalui pendekatan pengembangan budaya sekolah (school culture).” Jadi, pendidikan karakter, bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, menurut buku Panduan ini, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) Vol. 9, No. 2, November 2013 374 Adian Husaini membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembang- kan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Sedangkan fungsi Pendidikan karakter adalah (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelak- sanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teriden- tifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggungjawab.2 Tekad pemerintah untuk menerapkan kebijakan pendidikan berbasis karakter bisa dimaklumi, mengingat sudah banyak pihak mengkhawatirkan tentang masa depan Bangsa Indonesia, karena memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang kurang atau rendah karakternya. Padahal, kemajuan suatu bangsa terbukti lebih disebabkan oleh keunggulan SDM-nya, ketimbang keunggulan SDA (Sumber Daya Alam)-nya. Sebuah kritik keras terhadap karakter Bangsa Indonesia pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Ketika itu, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. 3 Salah satu negara yang disebut-sebut telah sukses dalam menerapkan pendidikan berbasis karakter adalah RRC. Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pada tahun 1985 sudah mencanangkan 2 Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10. 3 Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001). Jurnal TSAQAFAH Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 375 pentingnya pendidikan karakter: “Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society.” Li Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: “After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”4 Apresiasi dan Kritik Program pemerintah RI tentang pendidikan berbasis karakter patut diapresiasi, sebab kemajuan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter manusia atau bangsa tersebut. Syekh al- Amir Syakib Arsalan, dalam analisisnya tentang kemunduran Umat Islam menyebutkan salah satu faktor kekalahan umat Islam adalah rendahnya semangat berkorban. Dalam surat balasannya kepada Syekh Basyuni Imran dari Kalimantan, Syekh Syakib Arsalan menulis: “Tuan mengetahui, bahwa keadaan tentara mereka (bangsa Eropa) datang berduyun-duyun menuju ke tempat kematian (ke medan perang) dengan berebutan, dan mereka berdesakan untuk me- nyerbu dengan hebatnya ke gelanggang pertempuran dalam perang dunia yang lalu, pula mereka berkorban dalam perang dunia itu dengan pengorbanan yang melebihi daripada yang telah digambarkan oleh pikiran manusia biasa.”5 Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdeka- 4 Dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007). 5 Al-Amir Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 14. Buku ini asalnya merupakan jawaban Syekh Arsalan terhadap surat Syekh Basyuni Imran, di awal abad ke-20, yang bertajuk “Limâz}â Ta’akhkhara al-Muslimûn, wa Limâdzâ Taqaddama Gairuhum), dialihbahasakan oleh KH. Munawar Chalil. Vol. 9, No. 2, November 2013 376 Adian Husaini an, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...” Lalu, untuk memajukan bangsa, Mohammad Natsir berpesan: “Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara yang masih terbengkalai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara berencana. Usaha besar yang kita hadapi pada waktu ini, telah pernah kita hadapi dengan kerelaan menerima segenap konsekuensinya. Dan perjuangan yang terbentang di hadapan kita ini, tidak kurang berkehendak kepada keberanian untuk menegakkan kedudukan bangsa dan falsafah hidupnya, juga dengan segenap konsekuensinya dengan berupa “keringat, air mata dan darah”.” 6 Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu karakter yang menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika karakter yang lemah seperti ini dibiarkan dan tidak dilatih agar ber- angsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol karak- ternya. Allah Berfirman, “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahir- kan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah.” (QS 3:110). Umat Islam adalah umat yang mulia. Umat yang diserahi tugas mewujudkan rah}matan li al-âlamîn, memakmurkan bumi dan 6 M. Natsir, Capita Selecta 2, Cet. II, (Jakarta: PT Abadi, 2008), 76-79. Jurnal TSAQAFAH Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 377 mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi SAW, “al- Islâmu ya’lû wa lâ yu’lâ alaihi”. (Islam itu tinggi, tidak ada yang lebih tinggi dari Islam). Begitulah yang sering kita dengar dari ayat-ayat maupun Hadis Nabi SAW. Dulu, generasi-generasi pertama Umat Islam, masa sahabat, dan tabiin, tentu tidak sulit mengerti makna ayat-ayat tersebut. Saat itu mereka memang benar-benar menjadi umat yang disegani. Sering kita dengar musuh-musuh Islam sudah gemetar duluan tatkala mendengar tentara Islam datang. Dalam benak mereka terdapat persepsi: tentara Islam tidak dapat dikalahkan. Menghadapi apapun, Umat Islam kala itu tidak gentar. Kisah popular, seorang tentara Islam saat Perang Qadisiyyah, sendirian masuk ke Istana Rustum, panglima tentara Persia, tanpa sedia menundukkan kepala. Bahkan kudanya pun dibawanya masuk, menginjak-injak karpet istana yang indah. Juga tengoklah bagaimana seorang Ja’far bin Abi Thalib, dalam keadaan terjepit mampu mengeluarkan argumen-argumen jitu di hadapan Raja Najasi dan pembesar-pem- besar Habasyah, saat Hijrah pertama. Kaum Muslim di bawah Khalifah Muhammad al-Fatih dengan gagah berani menaklukkan ibukota Romawi, Konstantinopel (sekarang Istanbul), sebuah imperium yang besar dan hebat di dunia tanggal 29 Maret 1453. Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan Umat Islam dan Bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya pendidikan berbasis karakter atas mereka. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah: “Pendidikan Karakter seperti apa?” Tentu, sebagai Bangsa yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (bertauhid), maka tidak sepatutnya Bangsa Indonesia mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau sekuler.7 Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia, khususnya untuk Umat Islam, haruslah pendidikan karakter berbasis Tauhid. Jika Bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagai- nya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah Bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu menjadi komunis, ateis, atau sekuler. Dalam perspektif Tauhid inilah, tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep 7 Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009). Vol. 9, No. 2, November 2013 378 Adian Husaini Pendidikan Karakter yang diajukan pemerintah. Misalnya, disebutkan, bahwa “Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945” Jika ditanyakan, apa makna ungkapan “akhlak mulia”, “moral”, “etika”, “adab”, menurut Falsafah Pancasila? Apakah Panca- sila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa, bisakah dijelaskan bagaimana berakhlak mulia sesuai Pancasila? Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik menurut Falsafah Pancasila? Juga disebutkan, misalnya, tujuan Pendidikan Karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan terjadi ben- turan dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai pedoman amal atau pedoman karakter. Sebab, itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang menggantikan posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad SAW. Seharusnya, Bangsa Indonesia belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan Pancasila sebagai pedoman amal. Upaya Pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila men- jadi landasan moral melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi, Sjafroedin Jurnal TSAQAFAH Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 379 Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas negara dan landasan konstitusi. Prof. HM. Rasjidi juga berpendapat, P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat Islam supaya tidak menentang pemurtadan umat Islam oleh aliran kebatinan dan kristenisasi. Ada juga tokoh yang menulis bahwa P4 memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan dan me- nyingkirkan kaitan historis kedudukan Umat Islam dalam kerang- ka ideologi Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusa- tan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas- asas ajaran agama, terutama Islam. Memang, sejak tahun 1975, PMP wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Sejak ditetapkan MPR, maka Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan mahasiswa. Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk mengurangi pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi “deislamisasi”. Juga, me- nurut Leifer, salah satu fungsi Pancasila adalah untuk melindungi iden- titas budaya kelompok abangan. Muhammad Natsir menyebut diber- lakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.7 Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, Ridwan Saidi kembali menulis kolom berjudul “Gejala Perongrongan Agama”. Lagi-lagi, politisi yang juga dikenal sebagai budayawan Betawi ini mengupas dengan sangat tajam kebijakan Prof. Dardji Darmodiharjo. 7 Setelah Tap MPR No II/1978 disahkan, sebagian kalangan Muslim kemudian mencoba mewarnai konsep P-4 itu dengan corak pandang Islam. Tahun 1978, Ditjen Bimas Islam Departemen Agama RI menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Islam. Ketika menjelaskan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dikutiplah QS. al-Ikhlas (112), dan sejumlah ayat al-Qur’an lainnya untuk mendukung pengertian tersebut. Dalam sambutannya untuk buku ini, Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara menyatakan, bahwa “Pengamalan Pancasila bukan lagi masalah bagi umat beragama khususnya umat Islam, karena memang para perumusnya dahulu juga tidak sedikit adalah tokoh-tokoh Islam selain tokoh-tokoh nasional yang juga umat Islam terkemuka.” (Komentar: Tampaknya, langkah Menteri Agama tersebut lebih berbau politis, untuk merebut makna Pancasila dengan kelompok lain yang memberi penafsiran yang berbeda dengan penafsiran ala Islam. Hal ini akan tampak pada percaturan politik nasional pada dekade 1970 dan 1980-an, dimana kubu sekular – yang antara lain diwakili oleh Menteri P&K Daoed Joesoef – semakin lama semakin tersingkir dari pusaran kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto). Vol. 9, No. 2, November 2013 380 Adian Husaini Beginilah antara lain gambaran yang diberikan Ridwan Saidi tentang Prof. Dardji: “Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”8 Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila yang tidak dijelaskan maknanya maka, sudah barang tentu, pen- didikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya, pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan – khususnya bagi Kaum Muslim – dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/ 21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.9 8 Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Moralitas Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), 11. 9 Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), 118-145; M. Ali Haidar, dalam bukunya, Jurnal TSAQAFAH
Description: