Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … PEMIKIRAN MURTADHA MUTHAHHARI dengan tujuan untuk mempersiapkan diri guna mengkaji pemikiran- TENTANG KEADILAN ILAHI pemikiran filosuf besar di sekitar topik Ilahiyah.1 Selain itu, Muthahhari juga mempelajari dan menguasai masalah filsafat materialis, bahkan dia mendalami akar-akar masalah secara Mawardi Ahmad filosofis dan memaparkannya dengan logika yang kuat tentang sifat Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru kontardiktif dan hipotetik sewenang-wenang prinsip Marxisme. Ilmu lain yang dikuasainya adalah tasawwuf, sosiologi dan sejarah. Ia belajar Abstract dari ulama dan guru yang memiliki spiritualitas dan intelektualitas yang God Justice in the Perspective of Murtadha Muthahhari: In tinggi serta ahli dalam bidangnya masing-masing. Semua itu berbekas the modern century, Islamic thinkers attempt to explain what God dalam dirinya dan menimbulkan kemauan serta kemampuan yang kuat justice is and how it is. One of them is Murtadha Muthahhari, an untuk memecahkan kemusykilan dan menjawab pertanyaan- Islamic intellectual from Iran. He discusses God justice in a book pertanyaan sekitar persoalan Islam di zaman modern.2 entitled ’al-‘Adl al-Ilahi. From the analysis it is found out that the Murtadha Muthahhari adalah penganut Syi’ah Imamiah (Isna meaning of justice according to Murtadha Muthahhari is the retention ‘Asyariah) yang taat dan meyakini bahwa keadilan Ilahi sebagai salah of rights, in the sense that something that exists (maujud) has its own satu rukun iman. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul pada existence and perfection that have become its rights to some degree masa hidupnya adalah sekitar persoalan keadilan Ilahi. Persoalan ini and in line with the possibility it can fulfill. This is a social justice, and banyak diajukan oleh berbagai kalangan, terutama sekali generasi at the same time, it is as the mercy and reward from God that should muda.3 Untuk menjawab persoalan ini, Muthahhari menyusun pokok- be gained by His creatures through their capabilities on the basis of pokok pikirannya dalam berbagai makalah yang dipresentasikan di the cause and effect rule or Sunnatullah. Yayasan Husayniyah Irsyad. Makalah-makalah tersebut kemudian direvisi sesuai dengan sistematika penulisan buku dan diterbitkan. Keywords: Justice, Theology, Sunnatullah Buku ini pada awalnya sebagai jawaban kepada orang-orang yang bertanya tentang persoalan keadilan Ilahi. Pendahuluan Latar belakang munculnya pemikiran Muthahhari tentang Muthahhari dikenal sebagai seorang ulama dan intelektual keadilan Ilahi yang termuat dalam kitabnya Al-‘Adl al-Ilahiy, tidak muslim yang handal. Dia mempelajari semua ilmu pengetahuan terlepas dari paham Syi’ah yang dianut. keagamaan (Islam) yang ada pada masanya, dengan penekanan pada Buku-buku yang ditulis Muthahhari, umumnya menggunakan segi-segi filosofis dan mistikalnya. Dalam hal ini, selain mencintai metode berpikir gabungan antara metode wawasan spiritual dengan ilmu-ilmu agama Islam, dia juga sangat tertarik dengan filsafat metode deduksi filosofis, termasuk juga dalam penulisan buku Al-‘Adl Ilahiyah. Ketertarikanya tersebut, sehingga ia tidak suka memikirkan al-Ilahiy. Sementara dalam pembahasan dia menggunakan dua masalah-masalah lain dalam waktu luangnya sebelum berhasil memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan topik Ilahiyah. 1Hamid Alghar, Pengantar (Hidup dan Karya Murtadha Muthahhari), dalam Dia mempelajari dasar-dasar bahasa Arab, fiqh, ushul dan mantiq Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan Meniiti Maqam-maqam Kearifan , Terj. C Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. x 2 Murtadha Muthahhari, Al-‘Adl al-Ilahiy, (Kum: Al-Khiyam, 1405 H), hlm. 14-15 3Ibid., hlm. 18 292 293 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … pendekatan, yaitu pendekatan naqliyah dan aqliyah. Pada pendekatan fenomena-fenomena yang pada lahirnya memperlihatkan ketidak naqliyah, Muthahhari mendasari pembahasannya dengan ayat-ayat al- adilan, seperti rupa yang buruk, cacat jasmani dan lain sebagainya, Qur’an al-Karim, riwayat-riwayat yang ma’tsur dari Rasulullkah saw. maka hal itu mesti dilihat dalam konteks keseluruhan penciptaan, dan dari para Imam yang disucikan. Adapun pada pendekatan aqliyah bukan secara terpisah. Misalnya, kalau kita melihat bentuk sebuah dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan teologis dan pendekatan filosofis. organ tubuh yang dirinya tampak jelek dan buruk, tetapi bila dilihat Dengan kedua pendekatan ini memungkinkan Muthahhari untuk dalam kaitannya dengan sistem keseluruhan tubuh manusia maka ia membahas persoalan yang sedang dikajinya secara bersamaan.4 menampakkan keserasian dan kesempurnaan.7 Selanjutnya, dalam membahas persoalan keadilan Ilahi, Dengan demikian, keadilan Ilahi menurut pengertian keadilan Muthahhari tidak menggunakan pendekatan teologis, tetapi yang keempat adalah, bahwa suatu yang eksis (maujud) mengambil menggunakan pendekatan filosofis. Alasannya adalah, karena dia yakin perwujudan dan kesempurnaan dalam kadar yang menjadi haknya dan bahwa metode penarikan dalil yang dilakukan teolog menyangkut sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhinya. persoalan ini tidak benar, sedangkan metode yang digunakan filosuf Pengertian yang kedua (persamaan dan penafian terhadap segala dapat diterimanya. bentuk diskriminasi), walaupun tidak persis sama, dapat disejajarkan dengan konsep “persamaan” atau “egalite” dalam pemikiran demokrasi Barat, tetapi bukan berarti sama rata dan sama rasa, Makna Keadilan dan Materi Pembahasannya melainkan persamaan dalam hak untuk memiliki sesuatu ketika hak Dalam kitab Al-‘Adl al-Ilahi, Muthahhari mengemukakan empat untuk memilikinya sama.8 maksud penggunaan “keadilan”, yaitu (1) keadaan sesuatu yang Adapun pengertian keadilan yang ketiga (pemeliharaan hak-hak seimbang, (2) persamaan dan penafian terhadap segala bentuk individu dan pemberian hak kepada setiap orang yang berhak diskriminasi, (3) pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak menerimanya), Muthahhari menyebutnya dengan istilah keadilan kepada yang berhak menerimanya, dan (4) pemeliharaan hak bagi sosial, yaitu keadilan yang harus dihormati dalam hukum manusia dan kelanjutan eksistensi atau mencegah kelanjutan eksistensi dan setiap individu diperintah untuk menegakkannya. Pengertian keadilan peralihan rahmat sewaktu terdapat kemungkinan untuk eksis serta seperti ini menurut Muthahhari disandarkan kepada dua hal,9 yaitu: melakukan transformasi.5 Pertama, hak dan preferensi, maksudnya ialah sewaktu sebagian Pengertian keadilan pertama dan keempat berkaitan dengan individu dianalogikan kepada sebagian yang lain, maka individu penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. tersebut memiliki hak dan preferensi tertentu. Contoh, hak yang ada Allah menciptakan alam semesta ini dengan keseimbangan yang pada seseorang yang mengerjakan sesuatu dan pekerjaan itu sempurna,6 setiap makhluk memiliki hak untuk memperoleh karunia menyebabkan dihasilkannya sesuatu, maka pekerja tersebut menjadi yang akan membawanya kepada pertumbuhan dan perkembangan pemilik preferensi atas hasil pekerjaannya. Penyebab preferensi menuju kesempurnaan wujudnya, sesuai dengan kadar dan potensi tersebut adalah pekerjaan dan aktivitas yang ia lakukan. Contoh lain yang dimilikinya. Kalau di alam ini dalam kenyataannya terdapat bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu, ia memiliki preferensi terhadap 4Ibid. 5Ibid., hlm. 70-73 6 Dalam hal ini Murtadha Muthahhari merujuk kepada al-Qur’an surat al- 7Murtadha Muthahhri,Al-‘Adl al-Ilahi... , hlm. 74-75 Rahman ayat 7 artinya: Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan 8Ibid., hlm. 71 neraca (keadilan). 9Ibid., hlm. 71-72 294 295 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … air susu ibunya. Sumber preferensinya adalah kehendak penciptaan yang terdapat pada nomor satu dan dua berada di luar pengertian dalam bentuk tujuan terciptanya air susu untuk bayi. konsep Keadilan Ilahi yang dibahasnya. Kedua, kekhususan esensial manusia, yaitu manusia diciptakan Sehubungan dengan itu, maka keadilan Ilahi menurut dengan pola yang dalam kegiatan-kegiatannya menggunakan Muthahhari adalah sesuatu yang eksis (maujud) mengambil pemikiran relatif tertentu yang dimanfaatkan sebagai “alat kerja” perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya untuk dapat mencapai tujuan-tujuannya. Tampaknya ini berkaitan dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhinya.11 Ini berarti dengan bakat-bakat yang dimiliki masing-masing manusia, yang bahwa keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan merupakan bawaannya sejak lahir. Dalam menggunakan atau dari-Nya, atau keadilan Ilahi merupakan ungkapan mengenai rahmat mengoperasikan bakat-bakat khusus manusia memanfaatkan yang umum dan pemberian kepada semua yang ada yang memiliki pemikiran relatifnya guna mencapai tujuan-tujuannya. Contoh bakat probabilitas untuk mendapatkan nilai kesempurnaan, tanpa harus khusus untuk menjadi seorang pemikir. menahannya atau melakukan pembedaan. Dalam hal ini, Allah lah Lawan dari keadilan yang berarti memelihara hak-hak individu yang memiliki hak terhadap semua yang ada (maujud), sedangkan dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya semua yang ada tersebut tidak memiliki sesuatu selain tanggung jawab adalah kezaliman, yang artinya perusakan dan pelanggaran terhadap dan aktif terhadap penciptanya, dan mereka tidak memiliki suatu hak hak-hak orang lain. Dengan pengertian keadilan dan kezaliman seperti apa pun pada Yang Menciptakannya. Bila kepemilikan hak itu itu, di mana dari satu segi bersandar pada prinsip preferensi dan dari dinisbatkan dengan sesama manusia dan bukan kepada Allah, maka segi lain bersandar pada prinsip kekhususan esensial manusia yang hak itu tidak dari satu pihak saja. Setiap orang yang mengambil hak memerlukan serangkaian pemikiran relatif, maka akan dapat dari orang lain, maka orang yang kedua ini juga mengambil hak dari diciptakan sesuatu yang “mesti” dan “tidak mesti”, sehingga akan orang yang pertama.12 melahirkan sesuatu yang “baik dan buruk”. Berdasarkan pengertian Pendapat Muthahhari tentang keadilan Ilahi ini didasarkan pada keadilan dan kezaliman pada dua prinsip di atas, keadilan dan argumentasi rasional yang dikemukakan oleh para filosuf ketuhanan kezaliman dalam kaitan ini hanya khusus menyangkut manusia dan (Islam), serta dalil-dalil Qur’ani dan hadis-hadis Rasulullah saw., yaitu tidak menjangkau persoalan yang bersifat Ketuhanan. Sebab Allah hadis-hadis yang muktabar di kalangan mazhab Syi’ah, khususnya Syi’ah adalah pemilik mutlak preferensi dan tindakan-tindakan tertentu yang Itsna ‘Asyariah atau Imamiah. Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan-Nya, pada dasarnya adalah berkaitan dengan kesempurnaan dijadikan sebagai landasan oleh Muthahhari dalam pemikiran keadilan wujud diri-Nya.10 Ilahi adalah Q.S Ali Imran: 18; Al-Rahman: 7; Al-Qamar: 49-50; Berdasarkan empat pengertian keadilan di atas, dapat Thaha: 50; Al-Mukminun: 115; Fathir: 43; Al-Hadid: 25; Al-Ra’du: 11; disimpulkan bahwa makna keadilan menurut Muthahhari adalah hal Al-Nahl: 118; Al-Insyirah: 6; Al-Mulk: 2; Al-Bayyinah: 6-8. yang berhadapan dengan kezaliman, yaitu dipeliharanya kepemilikan Pembicaraan Muthahhari tentang keadilan Ilahi, berkaitan hak, bukan dengan makna keseimbangan dan bukan pula dengan dengan perbuatan Allah dalam menciptakan alam semesta beserta makna persamaan. Ini berarti bahwa dari empat makna keadilan yang sistem yang berlaku di dalamnya. Dalam pembicaraan ini termasuk dikemukakannya itu, hanya dua yang termasuk dalam pengertian juga persoalan adanya perbedaan, fana dan ketiadaan, kekurangan dan konsep keadilan Ilahi yang dikemukakannya, yaitu makna keadilan cacat, serta bencana yang ditemukan di alam ini. Selain itu, Muthahhari yang terdapat pada nomor tiga dan empat, sementara makna keadilan 11Ibid., hlm. 74 10Ibid., hlm.73 12Ibid. 296 297 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … juga mengaitkan pembicaraannya dengan perbuatan manusia dan bersifat umum dan tidak berubah. Apabila terjadi perubahan, maka ia nasibnya di akhirat kelak, karena keduanya juga termasuk ke dalam selalu sesuai dengan hukum alam itu sendiri.15 Artinya, perubahan itu sistem alam yang diciptakan Allah. Dengan demikian, maka materi terjadi karena perubahan dalam syarat-syarat pada hukum tertentu, pembahasan berikut adalah berkaitan dengan persoalan-persoalan sehingga muncullah syarat-syarat baru, akibatnya yang berlaku adalah tersebut. hukum alam yang baru itu. Dengan pengertian ini, maka alam ini tidaklah diatur kecuali oleh hukum yang tetap dan tidak berubah, seperti yang disebutkan di atas. Pendapat Muthahhari tentang hal ini a. Perbuatan Allah dikuatkan dengan al-Qur’an surat Fathir ( 35 ) ayat 43. Perbuatan Allah di sini maksudnya adalah menciptakan, Pengertian hukum di sini, oleh Muthahhari dipahami bukanlah mengatur, menyempurnakan, dan menggerakkan (memberdayakan) sebagai sesuatu yang terpisah yang kepadanya dikaitkan dengan sesuatu mencapai kesempurnaan wujudnya. Untuk itu, Allah dengan praktek penciptaan, melainkan konsep universal yang ditarik oleh kehendak-Nya, Qadha’ dan Qadar-Nya sendiiri, telah menciptakan pikiran yang tidak memiliki entitas luar tersendiri. Dengan demikian, suatu sistem dengan sederetan hukum dan ketentuan. Sistem itu yang ada di luar hanyalah hukum sebab dan akibat, artinya ia menarik adalah sistem yang paling baik dan paling sempurna untuk alam ini. suatu hukum yang universal. Karenanya wujud itu memiliki tingkatan- Suatu sistem yang memanifestasikan keadilan dan kebenaran yang tingkatan dan masing-masing tingkatan memiliki posisi yang tetap. didasarkan pada serangkaian sebab dan akibat, karena setiap akibat Dengan demikian tidak mungkin sebab dari sesuatu terlepas dari merupakan konsekuensi logis dari sebab, dan setiap sebab melahirkan posisinya sebagai akibat dari sesuatu yang lain.16 Inilah pengertian akibat yang khusus. Taqdir Allah mewujudkan sesuatu melalui sebab hukum yang dipahami oleh Muthahhari. Jadi, hukum bukanlah sesuatu khususnya saja dan serangkaian sebablah yang merupakan takdir Allah yang relatif, melainkan sesuatu yang ditarik dari hakikat sesuatu yang untuk sesuatu.13 bersifat eksternal, karenanya ia adalah merupakan sesuatu yang pasti Hukum alam yang demikian itu, menurut Muthahhari dan tetap serta tidak dapat diubah dan diganti. merupakan sesuatu yang pasti (dharury). Ia adalah perwujudannya itu Berdasarkan pada keberadaan hukum atau sunnatullah yang sendiri yang dikaruniakan Allah swt. kepadanya. Artinya, kehendak demikian itu, dan kaitannya dengan keadilan Ilahi, maka persoalan Allah lah yang memberikan sistem tersebut kepada alam. Dengan pertama yang muncul adalah, apakah kekuasaan dan kehendak Allah demikian, ia diciptakan dengan satu iradat (kehendak), iradat wujudnya itu mutlak atau tidak? dan apakah makhluk-makhluk ciptaan-Nya juga iradat sistemnya dan iradat sistemnya adalah iradat wujudnya itu memiliki kebebasan atau malah sebaliknya, yaitu keterpaksaan?. sendiri. Maksudnya, kehendak Allah mengenai perwujudan juga Menurut Muthahhari kekuasaan dan kehendak mutlak Allah kehendak-Nya dalam mewujudkan segala sesuatu berikut sistemnya.14 diartikan bahwa selain Allah, tidak ada yang berpengaruh terhadap Pendapat ini oleh Muthahhari diperkuat dengan dalil al-Qur’an surat makhluk yang ada di alam ini. Maksudnya, karena kehendak Allah al-Qamar (54) ayat 50. mengenai perwujudan juga kehendak-Nya dalam mewujudkan segala Kehendak Allah tersebut, menurut pandangan Muthahhari, sesuatu berikut sistemnya, maka kehendak-Nya tersebut juga sama selalu bekerja di alam ini dalam bentuk hukum (sunnatullah) yang dengan kehendak seluruh yang ada, dengan seluruh keterkaitan, dan 13 Ibid. , hlm. 122-125. lihat juga Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Terj. Ilyas Hasan dari Man and Universe, (Jakarta: Lentera Basritama, 2003), hlm. 58-59 15Ibid., hlm. 125 14Murtadha Muthahhari,Al-‘Adl al-Ilahi,... , hlm124-125 dan 131 16Ibid. lihat juga Murtadha Muthahhari,Manusia dan Alam…hlm. 125 298 299 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … dengan seluruh sistem alam.17 Dengan demikian berarti, bahwa alam tidak berarti Allah akan melakukan perbuatan-perbuatan yang ini beserta sistemnya dan seluruh keterkaitannya adalah diciptakan bertentangan dengan keadilan yang menjadi sifat-Nya, atau adanya dengan satu kehendak, yaitu kehendak Allah. Sehingga, kehendak semacam pemaksaan kehendak terhadap makhluk. Juga tidak berarti Allah selalu bekerja di alam semesta ini dalam bentuk hukum atau adanya pelimpahan wewenang (tafwidh) Ilahiah.20 Tetapi dengan arti, prinsip umum, tak sekejappun kehendak dan perhatian Allah terlepas hanya Allah-lah yang berpengaruh terhadap segala yang ada di alam dari evolusi alam ini. ini.21 Dengan demikian segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan Berdasarkan kehendak Allah dan hukum alam seperti itu, maka dengan kehendak serta qadha’ dan qadar Allah. Sedangkan qadha’ dan Dia adalah pemilik mutlak atas segala milik dan tidak memiliki sekutu qadar Allah yang ditentukan terhadap segala sesuatu hanya melalui apapun atasnya. Dialah yang memiliki kerajaan duniawi dan ukhrawi, jalan sebab dan akibat. Dialah yang memiliki segala puji dan kepada-Nyalah segala persoalan Apabila hal itu dikaitkan dengan manusia, karena qadha’ dan dikembalikan. Dengan demikian, perlakuan Allah terhadap alam, pada qadar Allah menghendaki terciptanya manusia, maka qadha’ dan qadar- dasarnya merupakan perlakuan terhadap sesuatu yang bermula dari- Nya pun juga menghendaki manusia memiliki kebebasan dan ikhtiar. Nya, dan terhadap sesuatu yang dimiliki-Nya. Seseorang, dalam Dengan demikian, hukum Allah yang berkaitan dengan manusia hubungan dengan Allah, sama sekali tidak memiliki suatu hak dan adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak pemilikan asli apapaun, sehingga dengan demikian, kezaliman dan ikhtiar.22 Ini berarti, manusialah yang memilih perbuatan baik atau terhadap Allah tidak pernah terjadi.18 perbuatan buruk. Jadi menurut pandangan Muthahhari, kekuasaan dan Dalam pandangan Muthahhari, kekuasaan dan kehendak mutlak kehendak mutlak Allah itu pada hakikatnya adalah perwujudan Allah juga tidak terbatas. Alam beserta hukum (sistem) yang ada kehendak Allah, qadha’ dan qadar-Nya serta hukum (sistem) alam jagad padanya berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Semua itu raya ini yang merupakan karunia dan rahmat dari-Nya. Di sini tidak merupakan karunia atau rahmat Allah yang diberikan kepada setiap ada pemaksaan atau jabr dan pelimpahan wewenang (tafwidh) Ilahiah. makhluk-Nya. Termasuk dalam kategori ini adalah kemerdekaan Pendapat seperti ini juga dianut oleh Syi’ah Imamiah, tetapi penjelasan berkenhendak dan berbuat bagi manusia. Menurut Muthahhari, Muthahhari tentang hal ini lebih mendalam dan khusus.23 hukum Allah yang berkaitan dengan manusia adalah bahwa manusia Persoalan lain yang muncul dari keberadaan hukum alam dan merupakan makhluk yang memiliki kehendak dan ikhtiar. Atau kaitannya dengan keadilan Ilahi adalah, mengenai tujuan perbuatan manusia ditakdirkan oleh takdir Allah untuk merdeka dan bertanggung Allah. Hal ini muncul setelah melihat adanya berbagai fenomena yang jawab. Manusialah yang memilih perbuatan baik atau perbuatan buruk. terdapat pada alam, seperti perbedaan, fana dan ketiadaan, kekurangan Karenanya, ikhtiar merupakan salah satu tonggak eksistensi manusia, dan cacat, serta adanya bencana yang apabila dilihat dari sudut dan mustahil ada manusia yang tidak memiliki ikhtiar.19 pandang manusia, semuanya termasuk ketidakadilan dan kosong dari Uraian di atas menjelaskan bahwa menurut Muthahhari, manfaat. Sehubungan dengan itu timbul pertanyaan, untuk apa semua kekuasaan dan kehendak mutlak Allah tidak terbatas, tetapi pengertiannya tidak sama dengan yang dipahami oleh golongan 20 Harun Nasution, Teologi Islam. , hlm. 119. lihat juga Murtadha Muthahhari, Asy’ariah. Bagi Muthahhari, kekuasaan dan kehendak mutlak Allah itu, Mengenal Ilmu Kalam, Terj. Ilyas Hasan dari Introduction to Kalam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm. 90 21Murtadha Muthahhari,Al-‘Adl al-Ilahi,..,hlm. 127 17Murtadha Muthhari,Al-‘Adl al-Ilahi, hlm. 125 22Ibid.,hlm. 149 18Ibid., hlm. 57 23 M.H.Thabatha’i, Islam Syi’ah, Asal-Usul Perkembangannya, terj. Djohan 19Ibid. , hlm. 149 Effendi dariSyi’ite Islam, (Jakarta: Grafiti, 1989), hlm. 149-153. 300 301 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … itu Allah ciptakan? apa tujuan dan manfaat dari semua fenomena Kebijakan Allah tersebut tidak dapat diartikan bahwa Dia tersebut ?. memilih tujuan terbaik dan menggunakan sarana terbaik untuk Menurut Muthahhari, keraguan dan keberatan yang diajukan itu mencapai tujuan itu. Pengertian kebijakan seperti ini hanya berlaku berkaitan dengan dua sifat Allah, yaitu keadilan dan kebijakan. Allah untuk manusia, dan tidak berlaku untuk Allah. Arti kebijakan manusia, dikatan adil, maksudnya adalah bahwa Dia tidak mengabaikan perbuatan yang dilakukannya demi tercapainya tujuan dan pemilikan hak dan kelayakan yang dimiliki oleh sesuatu yang ada; Dia kesempurnaan dirinya, sedangkan arti bebijakan Allah, perbuatan-Nya mesti memberikan sesuatu yang menjadi haknya. Atau dengan itu bukan untuk mencapai tujuan dan kesempurnaan diri-Nya sendiri, perkataan lain, keadilan Allah adalah merupakan ungkapan mengenai tetapi untuk tujuan dan kesempurnaan makhluk-Nya, lagi pula Dia rahmat Allah yang umum, dan pemberian kepada semua yang ada tidak melakukan apa pun untuk tercapai tujuan perbuatan-Nya itu.26 yang memiliki probabilitas untuk mengada, atau probabilitas untuk Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa menurut mendapatkan nilai kesempurnaan, tanpa harus menahannya atau pandangan Muthahhari, perbuatan Allah itu ada tujuannya tetapi Dia melakukan perbedaan. Sementara yang dimaksud dengan Allah itu sendiri tidak mempunyai tujuannya sendiri, dan tidak pula melakukan bijak adalah bahwa kedudukan sistem alam yang diciptakan-Nya apa pun untuk mencapai tujuan-Nya sendiri, dan tidak pula melakukan merupakan sistem yang terbaik dan paling maslahat, yakni bahwa apa pun untuk mencapai tujuan perbuatan-Nya tersebut. Sesuai Allah telah menciptakan sistem alam yang terbaik.24 dengan kekuasaan dan kehendak-Nya yang tak terbatas, keadilan dan Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sistem alam yang kebijakan-nya, maka Dia jadikan tujuan setiap makhluk itu melekat terbaik dan paling maslahat itu adalah perwujudannya itu sendiri yang pada fitrah makhluk itu sendiri, dan Allah membimbing setiap dikaruniakan Allah swt. kepadanya. Yaitu suatu sistem yang terdiri makhluk itu menuju fitrah tersebut. Selain itu, tujuan perbuatan Allah dari serangkaian sebab yang berujung pada sebab yang berkaitan tersebut adalah untuk mencapai tujuan umum dan bukan untuk dengan kehendak Allah secara langsung. Sehingga dapat dikatakan, mencapai tujuan tertentu.27 Contoh, Allah menciptakan api untuk kehendak Allah mengenai perwujudan adalah juga kehendak-Nya membakar. Tetapi, Dia tidak menciptakannya untuk membakar dalam mewujudkan segala sesuatu berikut sistemnya. benda-benda tertentu pada kesempatan tertentu pula. Karena hal itu Dengan sistem alam yang demikian ini, di mana kekuasaan dan dari kebijakan Ilahi tidaklah penting, apakah api itu bermanfaat atau kehendak Allah tidak terbatas dan Dia-pun tidak terpaksa oleh sistem merugikan untuk kasus perkasusnya. Semua itu menurut pandangan yang telah diciptakan-Nya sendiri, maka kebijakan dan kemaslahatan Muthahhari adalah merupakan karunia dan rahmat dari Allah swt. dalam perbuatan Allah dapat saja terjadi. Disini, arti kebijakan Allah Sehubungan dengan kebijakan dan karunia Allah tersebut, adalah bahwa Dia mengantarkan segala sesuatu kepada tujuan akhir pesoalan lain yang muncul adalah, keharusan alam ini bermakna dan dari kesempurnaan diri-Nya.25 Atau Dia berbuat untuk bertujuan. Apa pun yang ada di alam ini, ia harus baik, apakah baik memberdayakan segala yang ada agar dapat mencapai tujuan untuk dirinya sendiri, atau ia menjadi perantara untuk tercapainya keberadaan-Nya. Dia menjadikan apa-apa yang sebelumnya tidak ada kebaikan.28 Tetapi kenyataan di alam menunjukkan lain, di dalamnya menjadi ada, dan membawanya kepada kesempurnaan yang sudah terdapat adanya pembedaan, fana dan ketiadaan, kekuasaan dan cacat, menjadi sifatnya. serta adanya bencana. Semua ini merupakan kejahatan, yang oleh 26Murtadha Muthahhari,Manusia dan Alam Semesta…,hlm. 107 24Murtadha Muthahhari,Al-‘Adl al-Ilahi,hlm. 149 27Ibid.,hlm. 109 25Ibid. 28Murtadha Muthahhari,Al-‘Adl al-Ilahi,. ,hlm. 82 302 303 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … Muthahhari ditempatkan di bawah tema “kezaliman” atau fenomena- yang lain sebagai pembantu. Di sini, keterkaitan Allah dengan semua fenomena yang tidak bertujuan (tidak bermakna). Kemusykilan ini yang ada, ialah keterkaitan penciptaan. Sedangkan mengenai sistem adalah merupakan persoalan keadilan dan kebijakan Allah yang ingin munculnya perintah-perintah dan ketaatan yang mengatur hubungan dijawab oleh Muthahhari. antara Allah dengan Malaikat, menurut Muthahhari adalah sistem yang Untuk menjelaskan kemusykilan tersebut, Muthahhari membagi memiliki esensi takwini (penciptaan) yang sejati, tidak relatif. Perintah persoalan menjadi dua bagian, yaitu persoalan pembedaan dan Allah di sini bukanlah ucapan, melainkan penciptaan, dan ketaatan persoalan kejahatan. Persoalan kejahatan ini mencakup fana dan Malaikatjuga sejalan dengannya. Arti suatu perintah telah diberikan ketiadaan, kekurangan dan cacat, serta bencana. kepada Malaikat untuk melakukan perbuatan tertentu, adalah bahwa Dalam menjelaskan pembedaan, Muthahhari mengaitkannya Malaikat-Malaikat diciptakan sebagai sebab untuk suatu akibat dengan hukum thawly yang menentukan urutan semua yang ada dari tertentu, dan arti ketaatan mereka ialah kesebab-akibatan takwini.31 segi tindakan dan penciptaan. Urutan itu dinisbatkan kepada segala Atas dasar yang demikian, hukum ini oleh Muthahhari disebut dengan sesuatu dan yang muncul dari-Nya. Kesucian Allah dan keagungan hukum takwini. Zat-Nya menghendaki segala yang ada dalam keadaan berurutan; yang Pendapat Muthahhari tersebut sidasarkan pada berbagai ayat al- satu muncul setelah yang lain, sehingga dalam proses penciptaan itu Qur’an, antara lain sebagai berikut : terdapat sebab pertama, kedua, dan ketiga. Demikian seterusnya, Al-Qur’an surat al-Shaffat (37) ayat 164 : sehingga yang satu terjadi setelah yang lain, dan masing-masing مٌ ﻮُﻠﻌْ ﻣَ مٌ ﺎَﻘﻣَ ُ ﮫَﻟ ﻻﱠ ِإ ﺎﱠﻨﻣِ ﺎﻣَ وَ merupakan akibat untuk sebab sebelumnya. Adapun yang dimaksud Artinya: Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan dengan sebab yang pertama, kedua dan ketiga di sini bukanlah urutan mempunyai kedudukan yang tertentu, waktu. Sebab, waktu tidak ada di sini, bahkan waktu itu sendiri Al-Qur’an surat al-Naazi’at (79) ayat 5 : termasuk salah satu makhluk Allah.29 اﺮً ﻣْ َأ تِ اﺮَ ﱢﺑﺪَ ﻤُ ﻟْ ﺎَﻓ Selain itu, apa yang dijelaskan oleh agama seperti Malaikat, Artinya: Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). tentara-tentara Allah, rasul-rasul samawi (rasul-rasul takwini), para Semua yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa perbuatan pembagi urusan dan para pengaturnya; dan apa yang ada dalam Allah berjalan di atas hukum dan urutan tertentu, dan kehendak Allah konsep-konsep seperti ‘Arsy, Kursi, Lauwh dan Qalam, semuanya dalam menciptakan dan mengatur alam ini adalah sama dengan merupakan serangkaian hukum-hukum spiritual dan Ilahiah yang kehendal-Nya dalam menciptakan hukum yang ada. Dengan demikian, dimiliki oleh Allah. Pengungkapannya dimaksudkan agar benar-benar maka terjadilah tingkatan kemungkinan-kemungkinan. Setiap dapat dipahami bahwa Allah telah menciptakan alam ini atas dasar tingkatan kemungkinan, dan pada derajat manapun ia beradannya, hukum yang khusus dan urutan tertentu.30 seperti itulah keadaannya.32 Contoh, Malaikat yang ditugaskan untuk Dalam hukum seperti ini, kedudukan Allah adalah sebagai memberi rezki atau Malaikat yang diperintah untuk mencabut nyawa. sumber segala yang ada, sedangkan para Malaikat adalah sebagai Kedudukan seperti ini adalah sesuatu yang melekat dapa kualitas dan pelaksana perintah-perintah-Nya. Di antara Malaikat terdapat tingkat wujud yang dianugerahkan kepadanya. Artinya adalah tidak serangkaian tingkatan. Sebagian mereka menduduki posisi mungkin menempatkan sesuatu tertentu pada tempat Mikail sebagai kepemimpinan dalam mengeluarkan perintah-perintah, dan sebagaian 29Ibid.,hlm. 131 31Ibid. 30Ibid.,hlm. 132 32Ibid.,hlm. 134 304 305 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … pengganti, atau semut semut menempati posisi ‘Ismail, dan manusia melingkupinya.34 Karena setiap kejadian di alam ini tidaklah berdiri menempati posisi Jibril. sendiri, dan tidak terpisahkan dari dari kejadian-kejadian sebelumnya. Dengan demikian jelaslah bahwa tingkatan suatu wujud yang Setiap bagian dari alam ini berhubungan dengan bagian-bagian lainnya. manapun adalah hakikatnya itu sendiri, tidak bisa yang lainnya. Hubungan ini mencakup seluruh aspek alam dan menciptakan Artinya, alam ini ditegakkan di atas dasar hukum esensial yang kokoh. keterkaitan menyeluruh di antara berbagai dimensi wujud. Setiap sesuatu memiliki posisi tertentu. Karenanya, mengasumsikan Kebijakan Allah (hikmah Ilahiyyah), sebagian besar, bersandar sesuatu berada tidak pada posisi yang mernjadi miliknya adalah sama pada prinsip keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya. Yakni prinsip dengan melepaskan sesuatu tersebut dari hakikat dirinya, dan ini tidak kesatuan yang benar-benar dimiliki oleh alam, dan kesatuan sistem mungkin terjadi. yang mencakupnya. Prinsip keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya Selain hukum thawli atau takwini, alam ini juga diatur oleh hukum terjadi pada kebijakan Allah atas dasar konsep yang lebih dalam, yaitu, ‘aradhi. Jika hukum takwili atau takwini adalah merupakan hukum “bahwa alam ini tidak dapat di fragmentasikan”.35 sebab-akibat yang menentukan urutan semua yang dari dari segi Untuk memperjelas keterkaitan tersebut, Muthahhari tindaan dan penciptan, maka hukumardhi adalah hukum yang menyabdarkannya kepada prinsip (1) hukum sebab-akibat umum, (2) menentukan sebab-akibat syarat-syarat material untuk menciptakan keaharusan adanya sebab-akibat, (3) relevansi sebab-akibat, dan (4) fenomena tertentu, khususnya yang bersifat fisik.33 pada dasarnya alam dan yang ada ini benar-benar berujung pada Berdasarkan hukum ini, maka sejarah alam memperoleh sifat sebabnya semua akibat.36 Dari uraian tentang keempat prinsip ini yang pasti dan tertentu. Setiap kejadian pada ruang dan waktu yang dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini mempunyai sistem yang khusus untuknya, dan setiap waktu atau ruang tertentu, adalah pasti dan tidak dapat dirubah, dan setiap kejadian di alam ini terdapat merupakan kondisi untuk kejadian-kejadian yang terklafikasikan. adanya keterkaitan yang meyakinkan dan bersifat umum. Kebakaran, tidak akan terjadi tapna ada kaitannya dengan faktor- Dengan mengemukakan kedua jenis hukum alam (thawli atau faktor dan kejadian-kejadian yang lain, dan pencegahan untuk tidak takwini dan ‘ardhi) ini, yang ingin dikatakan oleh Muthahhrai adalah terjadinya kebakaran adalah mustahil terjadi apabila tidak dikaitkan bahwa fenomena apa pun yang ada di alam ini, pasti dapat dirubah dengan serangkaian sebab dan faktor material maupun spiritual yang dan diganti, sekaligus mengharuskan adanya urutan dan tingkat wujud yang berbeda-beda, yang menjadi sumber adanya perbedaan, cacat, 33 Sebab-sebab material dan temporal seperti ayah dan seorang ibu sebagai dan ketiadaan di alam ini. sebab lahirnya anak dan seperti kesebaban air, udara dan panas untuk tumbuh- Berdasarkan hukum alam atau sunnatullah yang telah ditetapkan- tumbuhan. Dalam perspektif para filosuf dipandang termasuk kategori sebab Nya, perbedaan dan ketidaksamaan bukanlah dua makhluk, melainkan penyiapan (I’dadiyyah), bukan termasuk sebab penciptaan (ijadiyyah). Sebab-sebab hanya merupakan dua keharusan esensial di antara keharusan- ini tidak menciptakan akibat-akibatnya, melainkan hanya melahirkan persemaian keharusan yang dimiliki makhluk. Karena itu, adalah merupakan suatu perwujudannya dan syarat-syarat kemungkinan wujudnya dari segi-pelaku pencipta. kekeliruan bila menganggap Allah mebeda-bedakan sebagian makhluk- Karena sebab-sebab ini dari segi urutan wujudnya berada pada pembentukan akibat-akibatnya, dan terkadang akibat-akibat tersebut berada pada tingkat yang Nya dengan sebagian yang lain. Atas dasar yang demikian itu, lebih tinggi dan lebih sempurna daripada sebab-sebabnya, kendatipun dari segi pembedaan dipandang oleh Muthahhari sebagai hal yang bertentangan waktu terjadi belakangan setelah sebab-sebab tersebut, maka ia disebut “sebab- sebab pembentukan (‘ardhiyyah). Sedangkan sebab-sebab yang bersifat penciptaan, karena tingkatannyalebih tinggi dalam perwujudan dan meliputi seluuruh alam dan 34Ibid. menguasainya, maka ia disebut dengan “sebab-sebab urutan (takwili). Lihat Ibid. , 35Ibid.,hlm. 137 hlm. 136 36Ibid.,hlm. 139 306 307 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … dengan keadilan dan kebijakan Allah, sedangkan perbedaan tidak Menurut pendapat Muthahhari, penjelasannya tersebut sesuai dapat dipandang demikian, bahkan ia merupakan keadilan dan dengan dalil-dalil al-Qur’an surat al-Ra’d (13) ayat 17 : kebijakan Allah itu sendiri. Apa yang ada di alam ini pada dasarnya ...ﺎَھرِ ﺪَ َﻘِﺑ ٌ ﺔَﯾدِ وْ َأ ﺖْ َﻟﺎﺴَ َﻓ ءً ﺎﻣَ ءِ ﺎﻤَ ﺴﱠ ﻟا ﻦَ ﻣِ لَ ﺰَ ﻧْ َأ hanyalah perbedaan dan bukan pembedaan.37 Artinya: Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka Perbedaan adalah merupakan bagian penting dari tingkat-tingkat mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya… eksistensi. Ia bukan diskriminasi, dan juga tidak dapat dianggap Lembah-lembah yang terdapat dalam ayat ini, menurut bertentangan dengan keadilan dan kebijakan Allah. Baru dapat disebut Muthahhari hanya dapat mengalirkan air yang sesuai dengan kadar diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya sama, kepada yang mampu untuk ditampungnya. Artinya, rahmat Allah tidak dihalangi satu diberi karunia, sedangkan kepada yang satunya lagi tidak untuk diterima oleh makhluk yang memiliki kesiapan menerima. diberikan karunia. Akan tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat sifat Tetapi, kesiapan dan kondisi setiap wujud itu berbeda-beda. Setiap makhluk yang memang tidak sempurna, maka tidak ada persoalan kondisi hanya akan menerima kadar rahmat Allah sesuai dengan diskriminasi. kesiapan tertentu yang dimilikinya. Persoalan lain yang perlu dijelaskan berkaitan dengan Sebagai zat yang wajib ada, yang memiliki sifat juga wajib ada, perbedaan dan kejahatan adalah tentang kemampuan sesuatu mawjud maka Allah pun wajib melimpahkan rahmat-Nya kepada sesuatu yang dalam menerima rahmat Allah. Dalam hal ini Muthahhari mengatakan, memiliki kemungkinan mengada atau kemungkinan menyempurnakan bahwa untuk terwujudnya suatu realitas, kemahakuasaan Allah, dirinya, karena keadilan-Nya mengharuskan-Nya untuk memberikan kesempurnaan perbuatan-Nya, dan kemaha pemberi rahmat-Nya, rahmat dan karunia-Nya itu kepada sesuatu yang membutuhkannya. adalah belum cukup. Agar suatu realitasitu dapat terwujud, diperlukan Namun, andaikata ada maujud-maujud yang memiliki kemampuan pula adanya syarat lain, yaitu kemampuan suatu realitas itu untuk menyempurnakan dirinya, tetapi ia terhalang memperolehnya, maka menerima rahmat dan karunia Allah tersebut. Dalam banyak kasus, sesuai dengan analisis yang mendalam ditemukan bahwa kemungkinan ketidakmampuan sebagian wujud menerima rahmat dan karunia Allah, tersebut terjadi disebabkan oleh sebab-sebab particular dan menyebabkan mereka kehilangan kesempatan memperoleh rahmat kesesuaian, bukan kemungkinan berdasarkan sebab-sebab universal dan karunia Allah tersebut, atau mereka kehilangan beberapa pasti.39 keuntungan. Dilihat dari sudut pandangan sistem alam yang umum Dengan mencermati uraian di atas dapat dikatakan bahwa Allah dan hubungannya dengan Allah, maka munculnya kekurangan- dengan sistem alam yang telah diciptakan-Nya sendiri, pasti akan kekurangan tertentu, seperti kebodohan dan kemampuan, adalah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada sesuatu yang memiliki terletak pada ketidakmampuan wujud-wujud yang memiliki kemungkinan yang mengada atau kemungkinan menyempurnakan keuntungan-keuntungan seperti itu dalam menerima rahmat dan dirinya. Tetapi, karena kesiapan dan kondisi setiap wujud itu berbeda- karunia Allah tersebut.38 beda, bahkan ada di antaranya yang tidak siap, maka kesempatan untuk memperoleh rahmat dan karunia dari Allah iitu menjadi 37Arti pembedaan ialah membeda-bedakan antara sesuatuyang memiliki hak berbeda-beda pula, sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing yang sama, semuanya memiliki syarat-syarat yang sama pula. Sedangkan perbedaan maujud. Berawal dari situasi dan kondisi seperti itulah munculnya ialah membeda-bedakan sesuatu yang tidak memiliki hak yang sama. Pembedaan kekurangan-kekurangan tertentu pada setiap maujud, seperti adanya terjadi dari pihak pemberi. Sedangkan perbedaan terjadi dari pihak penerima, Lihat Ibid., hlm. 128 38 Ibid. , hlm. 186-187, lihat juga Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam semesta... , hlm. 109-110 39Murtadha Muthahhari,Al-‘Adl al-Ilahi,. , hlm. 186-187 308 309 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006 Mawardi Ahmad,Pemikiran Murtadha Muthahhari … ketidakmampuan dan kebodohan, yang oleh Muthahhari disebut buahan, maka ia tidak disebut kejahatan. Begitu juga, sekiranya banjir sebagai kejahatan. dan gempa bumi tidak menyebabkan kematian dan hancurnya Sehubungan dengan masalah kejahatan ini, Muthahhari kekayaan atau kematian, maka ia tidak akan termasuk kejahatan. mengatakan bahwa subtansi benar-benar merupakan ketiadaan murni. Dengan demikian, kejahatan mengandung kehilangan, kekurangan, Yakni semua kejahatan itu tidak ada dan bukan ada.40 Pernyataan atau ketiadaan. Muthahhari ini bukan berarti dia menolak adanya kejahatan (seperti Atas dasar yang demikian itu, ternyata di alam ini terdapat kebutaan, ketulian, kezaliman, kkefakiran, penyakit, dan lain kekosongan-kekosongan (al-faraghat) yang menjadi sumber sebagainya), dan juga berarti menafikan tugas manusia untuk ketersiksaan alam tersebut, dan keadilan Ilahi harus mengisi menentang kejahatan dan melakukan kebaikan. Di sini, tinjauan kekososngan-kekosongan tersebut. Disini tentu ada serangkaian Muthahhari mengenai kejahatan bukan dari segi menerima atau persoalan eksistensial yang, melalui peranannya, muncullah rangkaian menolak, tetapi dia melihatnya dari segi keberadaan sistem alam ini kekurangan dan ketiadaan. Termasuk kategori ini adalah kebodohan, dan hubungannya dengan keadilan Ilahi. kelemahan, dan kemiskinan. Hal-hal yang sifatnya ada ini, kemudian - Dalam hal ini Muthahhari mengatakan, pembicaraannya (tentang melalui peranannya – menyebabkan munculnya rangkaian kekurangan kejahatan) berkaitan dengan bahwa semua ini merupakan persoalan- dan ketiadaan. Termasuk kategori ini adalah penyakit, angin topan, persoalan ketiadaan (‘adamiyyat) dan kekosongan-kekosongan, dan kebakaran, dan gempa bumi.42 eksistensinya merupakan eksistensi kekurangan-kekurangan dan Apabila persoalan kejahatan dilihat dari segi perspektif keadilan kehilangan-kehilangan, yang dari segi inilah ia merupakan kejahatan. Allah, maka pengertian kejahatan itu sebagai hal-hal yang bersifat Kejahatan, kalau bukan merupakan ketiadaan, atau kekurangan, atau ketiadaan, belumlah cukup untuk menyelesaikan kemusykilan yang kekosongan itu sendiri, tentu merupakan sumber dari ketiadaan. dihadapi. Untuk itu, diperlukan pula penjelasan tambahan, yaitu ( 1 ) kekurangan, dan kekosongan.41. penjelasan mengenai apakah mungkincacat dan kekurangan itu dapat Sebagai contoh penjelasan dalam hal ini adalah kemiskinan. dipisahkan dari perwujudan alam ini ? atau semua itu merupakan Kemiskinan tidak lain adalah tidak memiliki sesuatu, dan bukan kemestian-kemestian yang tidak dapat dipisahkan dari alam ini, yang memiliki sesuatu. Dengan demikian, seseorang yang miskin adalah ketiadaan wujudnya berarti tiadanya alam ini. (2) Penjelasan mengenai seorang yang tidak memiliki kekayaan, bukan memiliki sesuatu yang apakah persoalan-persoalan yang disebut sebagai kekurangan- disebut kemiskinan. Jadi, disini kemiskinan berarti ketiadaan kekayaan kekurangan itu merupakan kejahatan murni, atau justru merupakan (harta). Adapaun mengenai angin badai, binatang-binatang buas, kebaikan yang tersembunyi dibalik kejahatan tersebut, dan bahkan dari bakteri-bakteri, banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, maka kejahatan-kejahatan tersebut muncul banyak manfaat ?. lalu, bila disatu sisi ia disebut jahat karena eksistensinya menyebabkan kejahatan-bila kejahatan tersebut tidak ada, maka sistem alam ini akan kematian, atau cacat anggota tubuh, atau memperlemah kekuatan. porak-poranda dan kebaikan menjadi tidak ada. Atau, karena ia menghalangi makhluk untuk mencapai kesempurnaan Penjelasan pertama, munurut Muthahhari, kejahatan-kejahatan dan kedewasaannya. Kalau sekiranya angin badai tidak menyebabkan yang ada di alam ini, adakalanya bersifat tiada dan adakalanya bersifat sakit atau kematian, niscaya ia tidak disebut kejahatan; dan sekiranya ada, tetapi menjadi sumber ketiadaan bagi yang lain. Dari segi inilah ia hama tumbuh-tumbuhan itu tidak merusak pepohonan dan buah- dipandang sebagai kejahatan. Kejahatan yang terdapat pada jenis kedua ini, di antaranya berkaitan dengan eksistensi tambahan dan 40Ibid. ,hlm. 156 41Ibid.,hlm. 157 42Ibid.,hlm. 158 310 311
Description: