PEMETAAN ALIRAN PEMIKIRAN DAKWAH DITINJAU DARI PERIODISASI GERAKAN DAKWAH DAN KONSEP KEILMUAN Asna Istya Marwantika* Abstract : Dakwah activity in the society has grown rapidly , but it was developed still practical and yet provide a meaningful contribution in the theoretical realm . Therefore, it would need to do the literature search to identify the period of the dakwah movement of the time of the Prophet Muhammad until today . In addition it should also identify the defining concept of dakwah from the academics , have it dakwah concept is tailored to the needs of society and the development of post- positivistic era or dakwah still require elaboration of new concepts to address the challenge of the complexity of the society . PENDAHULUAN Memasuki milenium ketiga, tantangan terhadap gerakan dakwah sangat kompleks, baik yang bersifat konkret maupun ideologis. Munculnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era ini mengakibatkan berbagai dampak dalam bentuk agresi politik, kultural, ekonomi, dan ideologi yang memarjinalisasikan dan mendiskualifikasikan struktur tradisional masyarakat yang telah mapan.1 Di era agama yang telah terprivatisasi, konsep-konsep dakwah yang dulu dirumuskan para pakar, saat ini terasa tidak bersinergi. Terlebih dalam konsep yang memposisikan mad‟u sebagai obyek dakwah yang pasif dan hanya menerima apa yang disampaikan seorang da‟i. Pemikiran-pemikiran dakwah yang ada menempatkan seorang da‟i pada posisi powerful diatas kepasifan mad‟u. *Dosen Tetap Fakultas Dakwah INSURI Ponorogo 1 Derasnya arus informasi di era milenium ketiga ini lebih lanjut dibahas oleh Alvin Toffler dalam The Third Wave, juga bisa dilihat di Ziauddin Sardar dalam Tantangan Dunia Islam Abad 21: Menjangkau Informasi (Bandung: Mizan, 1985). Pemikiran ini diperparah dengan misunderstanding masyarakat terhadap dakwah itu sendiri, bahkan setingkat mahasiswa dan sarjana lulusan Perguruan Tinggi Islam masih menganggap dakwah hanyalah sekedar aktifitas tablig dan ceramah di podium. Hal seperti ini sering penulis temui di lapangan ketika berinteraksi dengan mereka. Misunderstanding dakwah ini juga berkelindan dengan tidak banyaknya pemikiran yang dihasilkan di bidang keilmuwan dakwah. Riset-riset dakwah yang berkembang lebih memfokuskan pada dakwah sebagai gerakan atau aktifitas dakwah, bukan pada keilmuwannya, terlebih dari aspek filosofisnya. Tidak tanggung- tanggung, dari beberapa konferensi internasional dalam studi Islam, para pemikir dan pemerhati dakwah yang hadir masih belum menelorkan konsep pengembangan dakwah. Apalagi di tingkat mahasiswa fakultas dakwah, sangat sulit diharapkan. Salah satu aspek keilmuwan dakwah yang jarang dilakukan adalah pemetaan pemikiran dakwah. Selama ini yang sering dilakukan adalah pemetaan paradigma pergerakan dakwah. Dari literatur yang telah ditelusuri, tulisan ini akan mengupas pemikiran beberapa pakar dakwah dan membandingkannya dengan tradisi keilmuwan sosial. PERIODISASI GERAKAN DAKWAH Istilah dakwah tidak pernah mendapat definisi yang eksplisit dari Nabi, baik dari perilakunya maupun ucapannya. Hal ini berbeda dengan istilah puasa, haji, dan sholat yang telah dijelaskan Nabi dari arti etimologis menjadi arti sakral yang merefer pada peribadatan dalam Islam. Maka wajar jika kemudian pengikut Nabi mencoba membatasi pengertian dakwah. Mereka berusaha mengidentifikasi tindakan- tindakan tertentu mana saja yang masuk dalam cakupan makna dakwah. Oleh karena itu, dalam sejarah umat Islam, pengertian dakwah mengalami penyempitan dan perluasan makna. Dalam hal ini, dakwah bisa didefinisikan sebagai ajakan kepada orang lain agar menerima ajaran perorangan atau kelompok yang mengklaim sebagai yang absah menduduki kursi kekhalifahan, karena itu diyakini sebagai bagian dari agama. Di masa Sahabat, Tabi‟in dan Dinasti Umayyah, paradigma dakwah Islam lebih mengarah pada pembebasan kaum nonmuslim dari kesyirikan agar mendapat cahaya Islam. Pada masa-masa tersebut, dakwah lebih difokuskan pada pembebasan negeri-negeri kafir. Hasilnya, pada periode awal setelah wafatnya Nabi ini adalah perluasan Islam ke berbagai penjuru di luar jazirah Arab, yang asalnya dikuasai oleh imperium Bizantium dan Sasania. Menurut Hossein Nasr, proses Islamisasi ini dilakukan dengan dua gelombang, pertama menggunakan kekuatan senjata, dan yang kedua jalan damai.2 Meskipun banyak sarjana Barat yang mencurigai, konversi agama dari penduduk taklukkan kepada agama Islam. Mereka mempertanyakan apakah memang penduduk taklukkan tersebut memeluk Islam murni karena panggilan nurani atau ada motif-motif lain seperti paksaan atau kepentingan politik dan sosial. Namun, menurut Ira M. Lapidus, sangat sedikit perpindahan ke agama Islam yang berlangsung dengan paksaan.3 Paradigma ini kurang memfokuskan dakwah dalam bentuk karya tulisan,4 karenanya dakwah bi al-lisa>n tidak terlalu berkembang dalam periode ini, barulah pada abad selanjutnya, setelah banyaknya non muslim dan non Arab yang memeluk Islam, ada kebutuhan mendesak untuk menjelaskan kandungan al-Qur`an dan hadis kepada khalayak yang tidak memiliki pengetahui bahasa Arab dan berlatar belakang bukan arab. Akibatnya, serangkaian ilmu dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah ini, dan hampir semua kehidupan intelektual terkonsentrasi pada pengembangan ilmu-ilmu Islam tersebut.5 2 Seyyed Hossein Nasr, Islam Religion History and Civilization (New York: Harper San Fransisco, 2003), 17. Pernyataan sejarawan yang mengemukakan bahwa Islam disebarkan tidak hanya dengan senjata tapi dengan cara damai juga bisa dilacak pada karya Thomas Arnold dan Hugh Kennedy. Lebih lanjut lihat Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam, terj. Abdullah (Jakarta: Widjaya, 1981), 43, 120. Dan Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Logman, 1991), 59. Bahkan Mas‟ud al-Tawir menganggap masyarakat Persia memeluk Islam karena pengaruh ajaran Islam yang mereka anggap lebih baik dari agama terdahulu. Silahkan lihat H{asan Mas‟u>d al-T{a>wir, al-Da’wah ila> Alla>h Ta’a>la> ‘ala> D{au`i al- Kita>b wa al-Sunnah (Beirut: Dar al-Qutaybah, 1992), 170. 3 Bahkan menurut Hodgson, karena kebijakan pluralis yang dilakukan Dinasti Abbasiyah, ketika para elit istana tidak lagi dikuasai etnis Arab, masyarakat non Arab semakin tertarik masuk Islam. Menjadi muslim merupakan sebuah prestise saat itu, apalagi jika ingin meniti karir, menjadi Islam adalah pilihan utama. Islam menjadi lencana dari massa yang berorientasi kota kosmopolitan, sebuah simbol mobilitas sosial yang baru saat itu. Lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku kedua, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 2002), 93-94. Untuk mengetahui lebih lajut pola-pola konversi ke Islam yang terjadi mulai dari Dinasti Abbasiyah sampai Andalusia, India, Turki dan Indonesia, silahkan lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, bag.1 dan 2, terj. Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 376-391. 4 Walaupun ada beberapa aktifitas dakwah dengan tulisan, pada masa ini lebih sesuai disebut sebagai masa perintisan, sehingga belum begitu berkembang. Lihat Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni Polah, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada, 2012), 113-115. 5 Sebagaimana dijelaskan Hugh Kennedy, pada abad pertama Islam, dua isu penting yang membentuk latar belakarang kebudayaan Islam adalah politik kepemimpinan yang melahirkan sunni dan syi‟ah serta penyebaran Islam. Hugh Kennedy, Kehidupan Intelektual Islam pada Empat Abad Pertama Islam, dalam Farhad Daftary, ed,. Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, terj. Fuad Jabali dan Udjang Tholib (Jakarta: Erlangga, 2001), 29-34. Barulah di masa Abbasiyah, pengembangan paradigma dakwah dilakukan lebih leluasa. Hal ini karena perluasan wilayah dan pembebasan tidak terlalu sering dilakukan. Sehingga penguasa dan ulama terkonsentrasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan keilmuwan Islam lainnya. Al-Baya>nu>ni> menyebutkan dakwah pada masa Daulah Abbasiyah dilakukan melalui dua sektor, sektor yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor yang dijalankan oleh rakyat.6 Paradigma ini menimbulkan perkembangan dakwah dalam berbagai bidang keilmuwan seperti tafsir, hadis, gramatika Arab, hukum Islam, pemerintahan, dan lain-lain. Dakwah yang dijalankan pemerintah dan rakyat bersinergi membentuk kebudayaan gemilang pada saat itu.7 Namun perlu dicatat, di awal kampanye Bani Abbas, dakwah dimaknai sebagai ajakan kepada orang lain agar menerima ajaran perorangan atau kelompok yang mengklaim sebagai yang absah menduduki kursi kekhalifahan, karena itu diyakini sebagai bagian dari agama untuk mengikuti. Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, perebutan kursi kekhalifahan dari dinasti Umayyah disebut sebagai gerakan dakwah ditandai misalnya dengan slogan, rid}a> min a>li Muh}ammad (mencari kerelaan dari keluarga Nabi Muhammad saw). Di kalangan Syi‟ah, istilah dakwah dalam politik keagamaan memasukkan aktifitas ajakan untuk setia pada Imam yang turun dari Ismail bin Ja‟far al-S{adi>q. Aktifitas dakwah ini melahirkan revolusi Qaramit}ah Isma>i>‟liyyah di Syiria pada 902-907 M, yang puncaknya pada pendirian Dinasti Fatimiyah di Mesir. Pada masa keemasan Dinasti Fatimiyah di Mesir, dakwah mewujud secara hierarkis dalam bentuk tingkatan-tingkatan da‟i sejak dari wilayah paling rendah, sampai ke pusat pemerintahan. Da‟i pada masa ini mempunyai kekuasaan untuk membina keberagamaan pengikut pemula aliran Ismailiyah sekaligus membimbing kegiatan spiritualnya agar sampai pada tahap setinggi-tingginya dalam tradisi Syi‟ah. Dalam ajaran Syi‟ah Isma‟iliyah, dakwah antara lain berbentuk pendidikan dan proses indoktrinasi ajaran pemikiran dalam bidang politik, hukum, sistem kepercayaan maupun filsafat, secara formal dakwah dikelola oleh negara.8 6 Muh}ammad Abu> al-Fath} al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila> ‘Ilm al-Da’wah (Beirut: Muassasat al- Risa>lah, 1993), 101. 7 Mustafa Husni al-Siba‟i, Khazanah Peradaban Islam, terj. Abdullah (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 197. 8 Demikian yang dikutip Muhammad Sulthon dari The Encyclopaedia of Islam. Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 13-14. POLA GERAKAN DAKWAH Ilyas Ismail mengklasifikasikan paradigma dakwah berdasar gerakan yang dilakukan pelakunya menjadi tiga paradigma, yaitu paradigma tablig, paradigma pengembangan masyarakat, paradigma harakah dan paradigma kultural.9 Paradigma Tablig Tablig (pidato atau ceramah) merupakan bagian penting dari dakwah. Meskipun begitu, tablig sejatinya tidak dapat diidentikkan dengan dakwah karena cakupan pengertiannya yang sempit dan praktiknya yang amat terbatas. Namun demikian, tablig sebagai suatu proses penyampaian ajaran Islam merupakan bagian integral yang tidak mungkin untuk dilampaui. Karena bagaimanapun juga, dakwah dengan cakupan garapannya yang luas itu, tidak mungkin dilakukan tanpa tablig. Terkait dengan hal diatas, hadis Nabi yang acapkali dikutip untuk menegaskan kewajiban dakwah, secara redaksional juga menggunakan terminologi tablig. Adapun dalam al Qur‟an, banyak sekali ditemukan ayat yang menegaskan posisi Nabi sebagai penyampai risalah Tuhan (al-bala>g).10 Dalam pidatonya di akhir- akhir usia beliau ketika haji perpisahan, salah satu hal yang dikonfirmasikan Rasulullah dihadapan para sahabat adalah perihal terkait dengan tanggung jawabnya sebagai seorang muballig. Dalam kata tablig itu sendiri sejatinya terkandung makna proses, yakni proses untuk mengusahakan sesuatu agar bisa sampai kepada tujuan akhir, baik dalam wujud tempo, dan ruang maupun keadaan. Walaupun begitu, belakangan istilah tablig mengalami pereduksian makna. Tablig tidak lagi dipandang sebagai suatu proses dari tahapan panjang dakwah, tapi justru menggeser posisi dakwah ini sendiri. Pola pikir ini hanya memandang dakwah tak lebih dari sekedar tablig, yaitu kegiatan penyampaian ajaran agama kepada khalayak (publik). Dari sini, maka penyebutan dakwah menjadi akrab dikenal dengan tablig, dan da‟i tidak lain mubaligh itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, dakwah dipandang tidak berbeda, alias identik dengan 9 Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah; Rekayasa Membangun Peradaban Islam (Jakarta: Kencana: 2011), 213-214. 10 Lihat misalnya QS. 3:20, 5:92, dan 99, 13:40, 16:35 dan 82, 24:54, 29:18, dan 36:17. ceramah dan khotbah-khotbah. Penentuan kriteria da‟i, mengikuti pola pikir ini, menjadi dibatasi hanya terhadap mereka yang aktif berceramah lewat mimbar- mimbar, dan bukan kepada selainnya walaupun tergolong aktif mewujudkan Islam lewat pemikiran atau tindakan. Paradiga dakwah yang demikian ini, lebih lanjut dikenal dengan mazhab dakwah tablig. Dari fenomena yang terlihat, kebanyakan praktik dakwah di dunia muslim berada dalam kategori mazhab tablig. Kenyataan ini diamini, terutama oleh mindset umat muslim yang masih sulit membedakan antara dakwah dan tablig. Di Indonesia sendiri, pola pikir seperti ini, dapat dilihat misalnya dalam penggunaan label dakwah untuk mewakili penyebutan ceramah atau khotbah. Secara historis, gerakan dakwah dengan paradigma tablig diprakarsai oleh seorang ulama dari India bernama Muh}ammad ibn Ilya>s ibn Muh}ammad Isma>‟i>l al-Kandahlawi> (1882-1943 M). Tokoh ini merupakan penganut teologi Maturidiyah, fikih mazhab Hanafi dan pengikut tarekat sufi al-Jisti, sebuah tarekat tasawuf yang didirikan oleh Mu‟inuddin al-Jisti>. Pendiri gerakan dakwah ini, merasa prihatin menyaksikan masyarakat muslim di Mewat semakin jauh dari ajaran Islam yang benar dan berbaur dengan orang-orang Majusi penyembah berhala, bernama dengan nama-nama mereka, bahkan tiada yang tersisa dari keislaman mereka kecuali hanya sebutan saja11. Lahir dari keprihatinan ini, al-Kandahlawi> bertukar pikiran dengan para pemuka agama dan disarankan untuk menggalakkan dakwah tablig di India. Dalam perjalanan selanjutnya, gerakan dakwah tablig mendapatkan banyak pengikut mulai dari benua Asia, Afrika, Eropa hingga Amerika.12 Sebagai wujud gerakan, orang banyak menyebut pengikut paradigma tablig dengan jamaah tablig. Penyebutan ini agaknya lebih dinisbatkan kepada aktivitas dakwah yang lebih banyak menekan unsur penyampaian (tablig). Menurut para pendukung paradigma tablig, umat muslim dibebani kewajiban untuk menyampaikan risalah Islam dan mengorbankan harta dan jiwa mereka. Bagi mereka, tugas utama umat Islam adalah berdakwah, mengajak orang kepada Allah dan menyebarkan agama, hidayah dan perdamaian dan niat berkerja demi 11 Muh}ammad Junayd „Abd al-Majid, Jama>’at al-Tabli>g fi> al-Hind Dira>sah wa al-Taqwi>m, ( Makkah: Mat}ba‟ah al-Jama>‟ah Umm al-Qur‟a>n, 1999), 88. 12 Ibid., 89. agama melampaui kerja demi kebendaan dan duniawi. Dengan mengutip firman Allah surah A<li „Imra>n ayat 110 mereka menjelaskan bahwa tujuan umat muslim dikeluarkan di tengah-tengah manusia adalah untuk berdakwah, mengajak orang ke jalan Allah seperti halnya para nabi. Dalam melaksanakan tugas berdakwah itu, umat Islam harus memiliki keberanian meninggalkan kehidupan dunianya sementara waktu, untuk memfokuskan diri mengajak orang mengamalkan ajaran Islam yang kafah. Karena bagaimana pun juga, manusia tidak boleh dibiarkan dalam kejahilan dan mesti didatangi ke tempat-tempat dimana mereka tinggal sambil dibujuk untuk bersedia mendalami Islam yang menyeluruh.13 Pendekatan dakwah yang musti dilakukan menurut paradigma ini adalah mengajak masyarakat melalui nasehat-nasehat, dan membujuk mereka untuk berhijrah dari lingkungan yang melalaikan kepada lingkungan masjid. Mengembalikan mereka dari lembah kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah dan menjalani kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan syari‟at Allah dan sunnah Rasul Nya, baik dalam menunaikan perkara-perkara fard}u, sunnah, hingga kebiasaan sehari-hari. Dalam peristilahan paradigma tablig, pendekatan dakwah yang berupa ajakan dan nasihat-nasihat tersebut dikenal dengan sebutan baya>n (penjelasan).14 Dalam bingkai pemikiran tablig, para pelaku dakwah mesti mengenal pokok- pokok dakwah yang enam (us}u>l al-da’wah al-sittah) yang disarikan dari enam karakter mulia sahabat. Para pendukung dakwah tablig meyakini, bahwa dengan mengingat dan merenungkan sifat enam tersebut dengan berusaha mempraktikkannya untuk diri sendiri dan mengajarinya kepada orang lain, merupakan jalan untuk membuka pintu agama dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia.15 Enam pokok dakwah yang dimaksudkan secara berturut-turut; kembali kepada komitmen tauhid, shalat dengan khushu’ dan khud}u’, ilmu beserta dzikir, memuliakan muslimin, meluruskan niat, yang paling penting adalah dakwah tabli>g khuru>j fi> sabi>lilla>h. 13 Ibid. 14 Ibid., 178. 15 Ibid. Paradigma Pengembangan Masyarakat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengembangan masyarakat dimaknai sebagai usaha untuk membangun masyarakat dari segenap aspeknya secara bertahap dan teratur menjurus ke arah atau tujuan yang dikehendaki.16 Jika pengertian ini dikaitkan dengan dakwah sebagai sosialisasi Islam, maka sekurangnya didapati hubungan mutualisme. Pertama, dari segi tujuan, dakwah dan pengembangan masyarakat memiliki keterkaitan yang memperkuat satu sama lain. Dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan kebaikan dan kemajuan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu pula sesungguhnya yang ingin dicapai oleh seluruh usaha pengembangan masyarakat (community development). Jadi, kalu begitu dakwah itu sejatinya adalah jalan mengembangkan masyarakat.17 Kedua, dari segi metodologi pendekatan, dakwah dan pengembangan masyarakat memiliki hubungan yang saling melengkapi. Membangun masyarakat, tidak cukup hanya pada satu aspek, dengan melupakan aspek lainnya. Lebih dari itu, membangun masyarakat harus dilakukan secara komprehensif, baik fisik-materiil maupun moral-spiritual. Terkait dengan prespektif ini, dakwah wahana sosialisasi Islam berkepentingan untuk menjaga sisi moralitas dan spiritualitas masyarakat, di samping ikut mendorong aksi pembangunan masyarakat dari sisi material. Demikian itu, karena Islam sebagai tema sentral dakwah memahami manusia sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur material dan spiritual. Konsekuensi logis pendekatan ini menilai bahwa pembangunan masyarakat dari aspek materiil saja dengan melupakan aspek spiritualitas masyarakat sebagai usaha yang tidak komprehensif.18 Dakwah paradigma pengembangan masyarakat lebih mengutamakan aksi ketimbang wacana atau retorika (tablig). Karena itu, bentuk pemikiran dakwah ini 16 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 632. 17 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2006), 243. 18 Bagi cendekiawan Nurkholis Madjid, kedudukan aspek spiritual yang didakwahkan agama ialah suatu yang amat fundamental. Disebut demikian, karena ia dapat memberikan kekuatan dan ketahanan suatu masyarakat. Ketuhanan yang Maha Esa adalah asas, yang di atasnya pengembangan masyarakat didirikan. Baca Nurkholis Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2008), 172. tidak terkonsolidasi dalam sebuah mazhab formal tertentu yang sistematik dan dapat ditelaah sebagai rujukan. Namun demikian, sebagai bentuk gerakan dakwah, paradigma pengembangan masyarakat mengejawantah dalam lembaga- lembaga swadaya masyarakat muslim yang independen dari gerakan politik masif. Kegiatan dakwah paradigma pengembangan masyarakat biasanya beraksi dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan pendidikan seperti penyuluhan- penyuluhan, pengembangan ekonomi mikro dan menengah, pengembangan SDM dan pendidikan masyarakat madrasah atau pesantren. Gejala-gejala keagamaan yang terdapat dalam aksi-aksi tersebut sebagi bentuk sosialisasi Islam itulah yang mungkin ditelaah lebih jauh sebagai paradigma khusus dalam dakwah. Dari segi metode dakwahnya, paradigma dakwah pengembangan masyarakat berusaha mewujudkan Islam dengan cara atau jalan menjadikan Islam sebagai pijakan pengembangan dan perubahan sosial yang bersifat transformatif- emansipatoris. Demikian itu, karena menurut cara pandang dakwah pengembangan masyarakat, Islam adalah agama kemanusiaan dan profetik. Dikatakan demikian karena Islam dihadirkan demi kepentingan kelangsungan hidup manusia dan memberdayakan manusia dengan segenap potensinya sebagai wakil Allah di bumi.19 Dalam doktrin kitab suci, artikulasi ini dapat dipandang dengan ayat yang menyatakan bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah sebagai rahmat bagi semesta alam,20 atau risalah Islam ini diwahyukan untuk mengangkat manusia dari kegelapan menuju cahaya.21 Kedua penegasan dari kitab suci itu menurut paradigma dakwah ini, harus terus-menerus menjadi basis kekuatan yang mampu memotivasi umatnya untuk melakukan transformasi masyarakat melalui pembangunan dan pengembangan konkret yang berorientasi pada masalah-masalah sosial, ekonomi serta penyadaran hak-hak politik masyarakat, dan bukannya pada masalah-masalah teologi atau politik ansich. Melalui paradigma ini, dakwah sejatinya dimasukkan sebagai bentuk perjuangan untuk mengembalikan semangat profetik Islam yang mewujudkan peranan para ilmuwan dalam proses perubahan masyarakat secara lebih mendasar, dengan 19 Bagi cendekiawan Komaruddin Hidayat, agama itu dihadirkan untuk membantu mengembangkan seseorang dan masyarakat. Demikian itu, sebab agama pada watak dasarnya adalah kemanusiaan yang profetik. Dan karena itu, tidak seharusnya manusia yang berkorban demi institusi agama tertentu. Hidayat dalam pengantar Islam dan Hegemoni Sosial, Khaerani ed, Islam dan Hegemoni Sosial (Jakarta: Media Cita ,2002), xix. 20 QS. 21:197 21 QS. 2:257, 5:16, 14:5 dan 65:11. pendekatan historis, kultural dan struktural, berorentasi kerakyatan melalui pendekatan yang praktis.22 Dalam konteks pemikiran Islam indonesia, paradigma pengembangan masyarakat ini dapat dinisbatkan kepada sejumlah pemikir seperti A. Mukti Ali, Dawam Raharjo, Adi Sasono dan Muslim Abdurrahman. Sebagai mantan menteri agama yang berbasis ilmu perbandingan agama, pemikiran Mukti Ali memiliki corak pengembangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari ide dan gagasannya tentang agama sebagai landasan pembanguanan dan usulannya tentang modernisasi lembaga pendidikan pesantren, hingga gagasannya tentang badan zakat infak sedekah yang sekarang telah banyak berkembang.23 Adapun Dawam Raharjo adalah seorang penggiat LSM yang berlatar belakang pendidikan ekonomi. Pemikirannya yang bercorak pengembangan masyarakat melalui pesantren.24 Sementara itu, gagasan Islam transformatif yang terkait dengan sejumlah isu, seperti soal hubungan agama dan pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat, ekonomi kerakyatan, hingga emansipasi sosial, dimunculkan oleh tokoh-tokoh aktivis LSM seperti Adi Sasono dan Muslim Abdurrahman. Kedua tokoh islam ini, berlatar belakang pendidikan massing- masing tekno ekonomi dan sosiologi.25 Selain itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam independen (non politik) seperti Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang diprakarsai oleh Hj. Tutty Alawiyah, atau gerakan Indonesia emas (ESQ) yang diprakarsai oleh Ari Ginanjar dan sejumlah lembaga serupa yang memiliki kontribusi besar dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, dapat pula disebut sebagai representatif gerakan dakwah paradigma pengembangan masyarakat ini. Sebagai suatu pemikiran dan gerakan, madzhab dakwah pengembangan masyarakat ini memiliki kekuatan dan keunggulan. Setidaknya, madzhab ini telah berperan dalam memperbaiki paham masyarakat bahwa dakwah, sejatinya tidak hanya pidato (tablig), tetapi transformasi sosial dan kultural menuju kualitas khairu ummah. Sasaran utama dakwah paradigma ini, seperti telah diutarakan, 22 Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern (Jakarta: Prenada Media, 2010 ), 120. 23 Lihat Aden Wijaya SZ, et al., Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2007), 245. 24 Ibid., 247. 25 Ibid., 245.
Description: