PEMBERDAYAAN SUMBERDAYA KELAUTAN, PERIKANAN DAN PERHUBUNGAN LAUT DALAM ABAD XXI Oleh PROF.DR. IR. H. TRIDOYO KUSUMASTANTO, MS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA KELAUTAN DALAM MEMPERKOKOH PEREKONOMIAN NASIONAL ABAD 21 Oleh Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S.* 1. PENDAHULUAN Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan kemajuan IPTEK. Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21. Dalam rangka, menjawab tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor pembangunan. Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang tersebut. Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya kejautan yang besar yakni 75% wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah laut dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional. Sumbangan yang sangat berarti dari sumberdaya kelautan tersebut, antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia. kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan nasional dimasa depan. Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu diposisikan sebagai pinggiran (peryphery) dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan posisi semacam ini sektor kelautan dan perikanan bukan menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini menjadi menjadi ironis mengingat hampir 75 % wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta berada pada posisi geo-politis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan potitik. Sehingga secara ekonomis-politis sangat logis jika kelautan dijadikan tumpuan dalam perekonomian nasional. * Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan-lnstitut Pertanian Bogor dan Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Kampus IPB Darmaga. Bogor 16680. Tel: 0251-624815 Fax: 0251621086. e-mail: [email protected] - http://www.indomarine.or.id 2. POTENSI SUMBERDAYA KELAUTAN 2.1 Potensi Fisik Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0.3 juta km2. Perairan Nasional seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0 juta km2, luas ZEE (Exlusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau. 2.2 Potensi Pembangunan Potensi Wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi Pembangunan adalah sebagai berikut: (a) Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan Pulau-pulau kecil. (b) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti; Minyak bumi dan Gas, Bahan tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun. (c) Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). (d) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhanan serta Penampung (Penetralisir) limbah. 2.3 Potensi Sumberdaya Pulih (Renewable Resource) Potensi wilayah pesisir dan lautan lndonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000, secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan. 2.4 Potensi Sumberdaya Tidak Pulih (Non Renewable Resource) Pesisir dari Laut Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas, mineral dan bahan tambang yang besar. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut. 2.5 Potensi Geopolitis Indonesia memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan negara- negara ekonomi maju, posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur ekonomi, misalnya beberapa selat strategis jalur perekonomian dunia berada di wilayah NKRI yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa. 2.6 Potensi Sumberdaya Manusia Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi SDM adalah sekitar 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian seperti: Perdagangan, Perikanan tangkap, Perikanan Budidaya, Pertambangan, Transportasi laut, dan Pariwisata bahari. Potensi penduduk yang berada menyebar di pulau-pulau merupakan aset yang strategis untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau sekaligus pertahanan keamanan negara. 3. KINERJA PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN BEBERAPA ISU STRATEGIS 1. Kinerja Pembangunan Kelautan Secara global, pertumbuhan ekonomi dunia yang secara agregat cenderung meningkat ternyata telah membawa implikasi kepada peningkatan aktivitas ekonomi di kawasan Asia Pasifik. World & Economic Forum (WEF) pada Konvensi di Swiss tahun 2001 yang lalu memprediksi bahwa kawasan ini akan menjadi leader bagi kawasan lain dalam kurun waktu hingga dua dekade mendatang. Satu hal yang menarik, berdasarkan kajian WEF variabel terpenting dari pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut adalah sektor kelautan yang akan menjadi prime mover. Indonesia sebagai negara kepulauan di samping Filipina dan Jepang yang terretak di kawasan Asia pasifik, diyakini oleh Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) dan Bank Dunia (World Bank) dalam laporan tahunannya pada Tahun 2000 akan memegang peranan kunci dalam pertumbuhan di kawasan ini sebagaimana prediksi WEF tersebut. Hal ini sangat beralasan mengingat studi yang dilakukan oleh PKSPL-IPB (2000) menunjukkan bahwa hingga tahun 1998, sektor kelautan menyumbang 20.06 % dari pangsa PDB nasional. Apabila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, sektor kelautan mengalami kenaikan yang cukup besar selama kurun waktu 4 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha Tahun 1994-1999 (Atas harga berlaku) No. Lapangan Usaha 1994 1995 1996 1997 1998 1. Pertanian 16,72 16,12 14,83 12,89 12,62 2. Pertambangan & Penggalian 9,38 9,25 4,85 5,69 4,21 3. Manufakturing 23,30 23,86 20,91 21,02 19,92 4. Jasa-Jasa 50,60 50,80 47,03 42,64 41,12 5. Kelautan - 12,38 12,31 16,55 20,06 Sumber: Kusumastanto, 2002 Apabila dibandingkan dengan negara lain, kontribusi sektor kelautan relatif masih rendah. Beberapa negara seperti RRC, Amerika Serikat dan Norwegia kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional mereka sudah lebih 30 persen, sebagai contoh negara RRC, sektor kelautan di negara tersebut pada tahun 1999 telah menyumbangkan nilai sebesar 1.846 milyar yuan (174 milyar dollar AS) atau sekitar 48.4 persen dari PDB nasionalnya (Xin, 1999). Sementara itu Amerika Serikat dengan potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, pada tahun 1994 bisa meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar 14 milyar dolar (Bank Dunia dan Cida, 1995). Sedangkan lndonesia yang notabene mempunyai wilayah laut cukup luas yang – dikenal dengan potensi keanekaragaman hayati laut yang tinggi, kontribusi ekonomi sektor kelautan pada tahun 1998 sebesar 189 trilyun atau sekitar 20.06 % dari PDB nasional. Tabel 2. Perbandingan Kontribusi Sektor Kelautan Beberapa Negara Kontribusi Sektor Kelautan Panjang Luas Perairan No. Nama Negara Terhadap GDP Pantai (Km) (Km) ( % ) Nilai 1. Amerika Serikat 19.000 32 $ 280 milyar (1995) 2. Korea Selatan 2.713 37 $ 147 milyar (Huh and Lee, 1992) 3. RRC 32.000 3 juta 48,4 $ 174 milyar (1999) 4. Indonesia 81.000 5.8 juta 20,06 $ 18,9 milyar (1998) 5. Jepang 34.386 54 $ 214 milyar (Itosu, 1992) Sumber: Kusumastanto, 2002 Namun demikian jika dikaji secara menyeluruh, Sektor Kelautan mempunyai prospek cukup besar dalam sumbangannya terhadap pembangunan nasional. Selain mengalami kenaikan yang cukup besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kelautan atas dasar harga berlaku sejak tahun 1995 memperlihatkan peningkatan. Pada tahun 1995 PDB sektor kelautan mempunyai nilai sebesar Rp. 55.995 milyar atau sekitar 12,38% dari PDB nasional yang mempunyai nilai sebesar Rp. 452.381 milyar, dan pada tahun 1998 PDB sektor kelautan meningkat menjadi Rp, 189.134 milyar atau 20,06% dari PDB nasional atas harga berlaku (Tabel 3). Peningkatan besar terjadi pada sub sektor pertambangan minyak dan gas bumi, yaitu pada tahun 1996 persentase PDB subsektor ini sebesar 4,36% atau Rp. 19.712 milyar dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 9,98% atau sebesar Rp. 94.142 milyar. Dalam jangka pendek sampai jangka menengah peranan sektor pertambangan minyak dan gas bumi masih sangat besar terhadap sektor kelautan, namun dengan berkurangnya sumber minyak bumi, maka peranannya akan sedikit berkurang selama tidak ada intervensi teknologi untuk mengatasi kendala tersebut. Sementara diperkirakan untuk jangka panjang industri maritim, khususnya LNG, pariwisata bahari dan perikanan laut dan payau akan mempunyai peranan yang sangat besar. Tabel 3: PDB Sektor Kelautan Atas Dasar Harga Berlaku Pada Tahun 1995 -1998 Menurut Subsektor (Milyar Rupiah) No. Sub sektor PDB 1995 PDB 1996 PDB 1997 PDB 1998 1 Perikanan Laut dan Payau 6.474 9.989 15.907 20.345 2 Pertambangan Minyak dan Gas 19.712 21.426 42.652 94.142 3 Industri Maritim • Pengilangan Minyak Bumi 5.247 6.859 7.890 8.374 • LNG 4.800 3.904 7.490 9.079 • Industri Maritim Lainnya 3.299 3.990 4.209 6.425 4 Jasa Angkutan laut & Jasa Penunjang 3.952 4.790 5.450 14.043 5 Pariwisata Bahari 3.366 3.950 4.965 12.329 6 Bangunan Kelautan 3.445 4.256 5.093 11.751 7 Jasa Kelautan Lainnya 5.700 6.409 9.890 12.646 Jumlah PDB Sektor Kelautan 55.995 65.573 103.546 189.134 Jumlah PDB Nasional 454.514,1 532.630,5 625.505,9 942.843,5 2. Beberapa Isu Strategis Pembangunan Kelautan 2.1 Diversifikasi Sumberdaya Pertambangan Pertambangan sebagai salah satu sektor andalan dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Potensi tersebut masih memerlukan tindak lanjut melalui eksplorasi agar didapatkan cadangan baru karena sumberdaya tersebut pada suatu saat akan habis. Pengembangan sumberdaya baru dan diversifikasi sumberdaya pertambangan akan sangat menentukan keberlanjutan pembangunan kelautan di sektor pertambangan. Namun demikian pengembangan pertambangan di era otonomi daerah harus memberikan manfaat eksploitasi kepada masyarakat lokal serta menghindari terjadinya konflik dengan mereka dan sedapat mungkin meminimumkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Peningkatan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya pertambangan dan energi harus mempertimbangkan koeksistensi dengan sektor lainnya terutama sumberdaya pulih (renewable). 2.2 Pengembangan Pariwisata Bahari Sektor pariwista bahari merupakan sektor yang paling efisien dalam bidang kelautan, sehingga pengembangan kepariwisataan bahari perlu mendapatkan prioritas. Pembangunan wisata bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity). seperti taman laut wisata alam (ecotourism), wisata bisnis wisata budaya, maupun wisata olah raga. Dengan potensi wisata bahari yang tersebar di hampir sebagian besar kabupaten/kota yang memiliki pesisir akan membawa dampak langsung yang sangat besar kepada pendapatan masyarakat lokal dan pemerintah daerah. 2.3 Pembangunan Perikanan Salah satu persoalan mendasar dalam pembangunan perikanan adalah lemahnya akurasi data statistik perikanan. Data perikanan di berbagai wilayah di Indonesia biasanya berdasarkan perkiraan kasar dari laporan dinas perikanan setempat. Belum ada metode baku yang handal untuk dijadikan panduan dinas-dinas di daerah setempat dalam pengumpulan data perikanan ini. Bagi daerah-daerah yang memiliki tempat atau pelabuhan pendaratan ikan biasanya mempunyai data produksi perikanan tangkap yang lebih akurat karena berdasarkan pada catatan jumlah ikan yang didaratkan. Namun demikian akurasi data produksi ikan tersebut pun masih dipertanyakan berkaitan dengan adanya fenomena transaksi penjualan ikan tanpa melalui pendaratan atau transaksi ditengah laut. Pola transaksi penjualan semacam ini menyulitkan aparat dalam menaksir jumlah/nilai ikan yang ditangkap di peraiaran laut di daerahnya. Apalagi dengan daerah-daerah yang tidak memiliki tempat pendaratan ikan seperti di kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia maupun berkembangnya tempat-tempat pendaratan ikan swasta atau ‘TPI Swasta’ yang sering disebut tangkahan-tangkahan seperti yang berkembang di Sumatera Utara. Bagaimana pemerintah akan menerapkan kebijakan pengembangan perikanan bila tidak didukung dengan data-data yang akurat. Apakah ada jaminan pemerintah mampu membongkar sistem penangkapan ikan yang carut-marut dan tiap-tiap daerah yang mempunyai bentuk dan pola yang berbeda-beda. Keadaan sistem yang mampu memonitor setiap aktivitas penangkapan di daerah-daerah menjadi satu kelemahan yang terpelihara sejak dulu. Celah kelemahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak- pihak yang terkait untuk memperkaya diri dari hasil perikanan tangkap. Sehingga isu kebocoran devisa dengan adanya pencurian ikan menggambarkan kelemahan sistem manajemen pengelolaan perikanan nasional. Tanpa mengetahui karakter atau pola/jaringan bisnis penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat atau para nelayan yang bermodal diberbagai daerah atau sentra- sentra penangkapan ikan, maka kebijakan perijinan ulang terhadap usaha penangkapan ikan ini akan terdapat peluang korupsi dan kolusi. Ditengarai dengan pola/jaringan bisnis perikanan tangkap sudah terbiasa dengan budaya KKN, maka mekanisme kolusi dan korupsi di dalam bisnis penangkapan ikan ini harus diatasi secara sistematis. 2.2 Pengembangan Pariwisata Bahari Kebijakan pemerintah untuk memperbolehkan kapal ikan asing menangkap ikan di ZEE Indonesia jika dikaji secara komprehensif mengandung pelbagai kelemahan yang signiflkan. Dilihat dari perspektif konsep rente ekonomi (economic rent), kebijakan ini hanya memberikan keuntungan pada pengusaha nasional dan asing yang akan memanfaatkannya. Di dalam perikanan, rente sumberdaya perikanan (fishery resource rent) diartikan sebagai nilai manfaat bersih dari pemanfaatan sumberdaya perikanan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Suara diagramatis rente sumberdaya perikanan dapat dijelaskan dalam Gambar 1 berikut: Rp D F C’ B A C MR Effort 0 E* E o Gambar 1. Rente Ekonomi Sumberdaya (Sumber PKSPL-IPB,2000) Dalam Gambar 1 di atas, aksis horisontal adalah tingkat upaya sedangkan aksis vertikal menggambarkan nilai moneter dari harga dan biaya. Kurva AR adalah kurva permintaan yang ditunjukkan dengan kurva penerimaan rata-rata, sedangkan kurva MR digambarkan marjinal terhadap AR. Dengan asumsi fungsi biaya yang linier terhadap effort, maka kurva C menggambarkan biaya rata-rata dan biaya marjinal. Dalam kondisi akses terbuka (perikanan yang tidak terkendali) keseimbangan terjadi pada level upaya sebesar E dimana penerimaan rata-rata terhadap upaya sama dengan 0 biaya rata-rata. Salah satu tujuan didalam pengelolaan perikanan adalah menghasilkan rente ekonomi yang sebesar-besarnya. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan memberlakukan “user fee” sehingga kurva C bergeser ke atas menjadi C’. Dalam kondisi ini akan diperoleh rente ekonomi sebesar ABDF dengan tingkat upaya sebesar E*. Rente ekonomi ini adalah rente sumberdaya atau rente perikanan (fishery rent), yang merupakan manfaat (return) yang seharusnya dinikmati oleh pemilik sumberdaya perikanan (pemerintah). Tetapi jika kebijakan pemerintah tentang penggunaan kapal asing ini dikaji dari konsep rente ekonomi, maka kebijakan ini hanya menguntungkan kepentingan pengusaha perikanan domestik yang kuat dan pengusaha perikanan asing berkonspirasi dengan birokrasi. Dengan perkataan lain, rente ekonomi sebesar ABDF dengan tingkat upaya E* hanya dinikmati oleh pengusaha perikanan domestik dan pengusaha perikanan asing yang berkolusi dengan penguasa. Sekalipun ada mekanisme pengawasan dan pengendaliannya, namun akibat keterlibatan birokrasi, maka law enforcement menjadi tidak berarti. Belum lagi pihak pengusaha perikanan domestik dan pengusaha asing berkonspirasi dengan aparat keamanan. Jika ini terjadi, maka akan sulit sekali kebijakan ini diimplementasikan secara efektif dan efisien. Ujungnya adalah kebijakan ini hanya menambah kehancuran sumberdaya ikan berupa over fishing. Selain itu, kebijakan ini juga tidak dapat memberikan multiplier effect terhadap masyarakat khususnya nelayan kecil. Sementara itu dari sisi skim kerjasama yang dikembangkan menurut analisis kebijakan publik, menunjukkan adanya pelbagai problem yang muncul jika kebijakan ini diterapkan. Problem tersebut: Pertama, Pemberian lisensi dimana pengusaha perikanan nasional menjadi agen bagi pengusaha asing untuk menangkap ikan di ZEEI merupakan suatu hal yang beresiko terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan ZEEI. Dalam mekanisme ini tidak ada instrumen pendukung yang mengefektifkan kebijakan pada tataran implementatif baik berupa insentif maupun disinsentif. Jika hal ini terabaikan, maka kebijakan ini sama halnya dengan kasus pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang akhirnya menghancurkan sumberdaya hutan. Kebijakan dengan sistem lisensi ini akan sangat mudah dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya perikanan ini seperti oknum militer dan polisi, politisi dan birokrasi, sehingga penyelewengan pemberian lisensi tak terelakan. Kedua, skim sewa (Charter) dan sewa-beli (Leasing) pada dasarnya memberikan kesempatan kepada perusahaan perikanan nasional untuk menyewa kapal asing. Perbedaannya skim sewa dengan sewa-beli adalah kapal yang disewa-belikan pada akhirnya akan dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional. Dengan kedua skim ini komposisi penggunaan tenaga kerja adalah 70% tenaga kerja dalam negeri dan 30% tenaga kerja asing. Komposisi penggunaan tenaga kerja ini disesuaikan dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang akan digunakan di ZEEI. Persoalan dari kedua skim ini adalah lemahnya mekanisme perlindungan dan pengawasan serta sanksi yang dikenakan kepada pengguna kapal asing di ZEEI sehingga, tidak ada jaminan sumberdaya perikanan ZEEI akan lestari. Data tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan ZEEI yang sudah dilakukan selama ini, ternyata beberapa wilayah sudah mengalami eksploitasi secara berlebihan, seperti Selat Malaka dan Laut Arafura. Masalahnya adalah jangan sampai kebijakan dengan skim ini hanya menduplikasi model masa lalu yang implikasinya menghancurkan sumberdaya perikanan nasional dan merugikan nelayan lokal. Secara faktual pengusaha perikanan domestik yang menggunakan fasilitas semacam ini dimasa lalu hanya menjadi “mafia” yang dibecking oleh oknum militer dan kekuasaan. Ketiga, skim kemitraan (partnership) yang dilakukan oleh pengusaha perikanan nasional dan pengusaha pemilik kapal ikan asing. Jadi dalam skim ini bentuknya seperti sistem agen (agency). Anehnya dalam skim ini pengusaha domestik yang bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing syaratnya adalah mempunyai kapal penangkap ikan. Jika persyaratan ini terpenuhi, maka pengusaha perikanan domestik akan mendapatkan izin untuk bermitra dengan pemilik kapal penangkap ikan asing. Resiko dari skim ini adalah orang atau badan hukum yang akan bermitra dengan pihak asing bisa saja tidak memiliki kapal, tetapi dia akan menggunakan kapal ikan pengusaha perikanan lain, sehingga mendapatkan izin penggunaan kapal ikan berbendera asing. Dengan perkataan lain dia hanya menjadi "broker" dari pengusaha kapal ikan asing. Jika kebijakan pemerintah tentang penggunaan kapal ikan asing dengan skim yang dikembangkan seperti uraian di atas tanpa disertai dukungan instrumen kelembagaan yang kuat, maka model kebijakan ini hanya melegitimasi "gejala kompradorisasi" – meminjam istilah Neo-Marxis – dalam sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pengurangan dan kemudian penghapusan kapal ikan asing yang beroperasi di Indonesia sangat penting bagi peningkatan kemampuan armada nasional dan kesejahteraan nelayan Indonesia. 2.5 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kebijakan pembangunan perikanan pada masa yang akan datang hendaknya didasarkan pada landasan pemahaman yang benar tentang peta permasalahan pembangunan perikanan itu sendiri, yaitu mulai dari permasalahan mikro sampai pada permasalahan di tingkat makro yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat nelayan. Permasalahan mikro yang dimaksudkan adalah pensoalan internal masyarakat nelayan dan petani ikan menyangkut aspek sosial budaya seperti pendidikan, mentalitas, dan sebagainya. Aspek ini yang mempengaruhi sifat dan karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan. Sifat dan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengolahan hasil perikanan. Kelompok masyarakat ini memiliki sifat unik berkaitan dengan usaha yang dilakukannya. Karena usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar maka sebagian besar karakter masyarakat pesisir (khususnya nelayan dan petani ikan) tergantung pada faktor-faktor tersebut yaitu; 1. Kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan menjadi amat tergantung pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. 2. Kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung pada musim. Ketergantungan terhadap musim ini akan sangat besar dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil. 3. Persoalan lain dari kelompok masyarakat nelayan adalah ketergantungan terhadap pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan. Namun demikian di balik ketiga persoalan tersebut sebenarnya ada persoalan yang lebih mendasar yaitu persoalan sosial dalam konteks makro menyangkut ketergantungan sosial (patron client). Karena faktor kelemahan yang dimiliki sebagian besar nelayan (nelayan kecil dan pandega), mereka tidak bisa menghindari adanya sistem sosial yang tanpa atau disadari menjeratnya ke dalam "Iingkaran setan" kemiskinan. Sistem sosial ini sudah begitu melembaga pada masyarakat nelayan. Persoalan inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah dalam melakukan pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan. Semestinya ada instrumen kebijakan yang mampu secara efektif mengurangi (kalau tidak dapat menghilangkan) sistem sosial yang tidak memungkinkan nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan. Seperti menciptakan skenario baru model-model pembiayaan untuk pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan melalui penguatan kelembagaan dan kemampuan bisnis masyarakat pesisir menjadi sangat mendesak untuk diimplementasikan.
Description: