~ MEMAHAMI TEO LOG IA LIRAN KEBATINAN Studi Susila Budhi Dharma & Madraisme di Jawa Barat Abdur Rozak, dkk JAIN Sunan Gunung Djati Bandung Fokus permasalahan utama penelitian ini adalah: Bagaimana ajaran teologi Susila Budhi Dharma dan Madraisme? Apakah ada keduanya memiliki hubungan dengan perkembangan teologi Sunni? Setidaknya ada dua kerangka teori sebagai dasar penelitian ini. Pertama, gagasan atau konsep teologi agama tertentu tidak lahir begitu saja, akan tetapi kelahirannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Kedua, karakter suatu masyarakat dibentuk oleh lingkungannya. Metode dokumentasi, observasi terlibat, dan wawancara mendalam, digunakan untuk mengumpulkan data. Sedangkan, untuk analisis data peneliti menggunakan metode content analysis, didukung dengan pendekatan teologis dan pendekatan antropologis. Dalam penelitian ini ditemukan, bahwa: 1] Pendekatan teologis secara ilmiah lebih layak digunakan untuk memahami teks-teks keagamaan Islam, karen a telah menimbulkan konflik secara Iaten. Namun pendekatan itu tidak bisa digunakan untuk mamahami aspek budaya-spiritual, karen a cenderung berupaya memahami obyek melalui misunderstanding metodologi, dan akan menimbulkan bias measurement yang akhimya bias kesimpulan. Sedangkan, dengan pendekatan antropologi agama, dapat dinyatakan bahwa aliran kebatinan Subud dan Madraisme, ketika berada di tangan pendirinya masih tampak merupakan bagian tak terpisahkan dari sosio-kultural etnik Sunda yang lebih lslami. Akan tetapi, ketika di tangan para penerusnya, keduanya tampak merupakan bagian sosio-kultural etnik Sunda yang cenderung berteologi aliran kebatinan dan sebagian diduga merupakan transformasi dari konsep pemikiran aliran kebatinan lain seperti aliran kebatinan Pangestu, Sumarah dan lainnya yang berkembang lebih dahulu pada masanya. 2] Secara historis-antropologis, ada hubungan antara teologi Madraisme dengan teologi Sunni, seperti dalam pe~alanan hid up Muhammad Rais sebagai pendiri Madraisme dan ritualitas yang dilakukan antara keduanya. Pendidikan 228 ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 Muhammad Rais di pesantren merupakan indikator adanya hubungan dengan teologi Sunni. Sebaliknya, nampaknya tidak ada hubungan an tara teologi Subud dengan teologi Suni. Dengan demikian, ada perbedaan antara pemahaman teologi aliran kebatinan Subud dan Madraisme, karena pendekatan yang digunakan berbeda. Sebagai refleksi kritis, peneliti menuturkan fenomena konflik internal teologi Sunni di Indonesia yang sulitdipersatukan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, atau lainnya. Kata Kunci: Agama Cigugur, Aliran Kebatinan, Madraisme, Subud, Teologi PENDAHULUAN Adalah sebuah fakta yang tak terbantah bahwa mayoritas kaum muslimin Indonesia merupakan penganut teologi Sunni.1 Sebagai sebuah pemikiran, teologi Sunni lebih memberikan sikap konvergensi di antara dua ujung ekstrim pemikiran teologi klasik "kehendak mutlak Tuhan" dan teologi "keadilan Tuhan" secara di ametral. Pada satu sisi teologi klasik lebih menekankan pada sikap determinisme atau fatalisme. Pada sisi lain, teologi "keadilan Tuhan" lebih menekankan pacfe. sikap free act atau free will.2 Di Indonesia teologi Sunni yang dianut lebih tampak menonjolkan sikap fatalisme. Oleh sebab itu, sampai hari ini layak kiranya, apabila dikatakan bahwa secara riil, kaum muslim Indonesia belum menunjukkan peran intelektual yang menonjol. Yang tampak, para intelektuallebih memerankan diri sebagai konsumen dialog intelektual umat dunia lain daripada sebagai kontributor dan pemasok intelektualnya sendiri. Dengan kata lain, peran intelektual penganut teologi Sunni hanya sebagai penjaga gawang terhadap perubahan teologi yang berkembang pada masa dan di lingkungannya.3 1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, Cet. III, (Bandung: Mizan, 1995), him. 31; dan Philip K. Hitti, History of Arabs, Cet. X, (New York: MacMillan Student, 1976), him. 484. 2 Ali Mustafa ai-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, (Mesir: Muhammad Ali Shahhabi wa Auladuh, 1958), him. 27-28; dan Ibrahim Madzkur, Fi al-Falsafah al Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh, Jiid II, (Mesir: Dar ai-Ma'arif, 1947), him. 27. 3 Ihsan Ali Fauzi, "Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an," dalam PRISMA No. 3, Tahun XX, Maret 1991, him. 32. ISTiQRO' Vo/ume02, Nomor01, 2003 229 MEMAHAMI TEOLOGI ALIRAN KEBATINAN Dalam realitasnya, kondisi seperti itu menunjukkan kebenaran tesis status quo. Setiap ada suatu usaha untuk merekonstruksi pemikiran teologi selalu memperoleh reaksi keras dari para penjaga gawang teologi yang sudah merasa mapan. Karenanya, para perekonstruksi teologi baru dianggap telah menyeleweng jauh dari teologi Sunni oleh para penjaga gawang teologi. Oleh karena itu, kondisi ini seringkali menimbulkan konflik internal di antara umat Islam.4 Pemikiran teologi hasil rekonstruksi itu secara bertahap tampak mungkin saja-berkembang pada aliran-aliran yang menamakan diri sebagai aliran kepercayaan atau kebatinan. Di Indonesia aliran aliran itu tampak banyak dikembangkan. Aliran kebatinan dianggap sebagai suatu gerakan yang menyatakan dirinya sebuah aliran kepercayaan atau keyakinan yang bersifat batiniyah kepada kepada Tuhan YME., sehingga secara teoretis diartikan sebagai sebuah aliran teologi. 5 Aliran kebatinan ini dianggap sebagai amaliah "kejawen" oleh sebagian peneliti.6 Kejawen berarti segala aktivitas yang berpijak pada adat istiadat atau kultur yang berlaku di wilayah Jawa Tengah dan tidak terdapat di tempat lain. Orang-orang Jawa Tengah biasa menyebut aliran ini sebagai segala naluri atau adat istiadat leluhur Jawa yang tidak termasuk dalam ajaran agama, khususnya Islam. Karenanya, ajaran kebatinan tidak dimasukkan ke dalam hukum agama.7 Tradisi kejawen, oleh sebagian peneliti, dikatakan mempunyai kaitan dengan keyakinan agama mengenai ketuhanan, peribadatan, keakhiratan dan sebagainya. Tradisi kejawen ini berasal dari luar Islam, walaupun 4 Lihat Dewan Musyawarah Daerah AKP, Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan, 1983, him. 21; dan Dewan Musyawarah Daerah AKP, Anggaran Dasar AKP, 1987, him. 71. 5 Lihat Laporan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Tahun 1993/ 1994, bahwa di Indonesia terdapat lebih kurang 400 kelompok aliran kepercayaan. Sementara itu, di Jawa Barat terdapat 63 aliran kepercayaan. 6 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), him. 59; lihat juga Niels Mulder, Misticism in Java: Ideology in Indonesia, (Singapore: The Pepin Press, 1998), him. 14. 7 Niels Mulder, loc.cit.; Geels, Anton, Subud and Javanese Mystical Tradition, (London: Curzon Press, 1997), him. 70-71; dan Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chi cago: The University of Chicago Press, 1960). 230 ISTiQRO' Volume02,Nomor01,2003 As ouR RoZAK, DKK dilakukan oleh orang-orang Islam. 8 Oleh karenanya, pad a satu pihak, fenomena ini memperkuat dugaan, bahwa teologi kebatinan merupakan teologi pengembangan dari teologi yang sudah ada dalam Islam-teologi Sunni. Atau, dapat dikatakan bahwa penganut aliran kebatinan merupakan penganut teologi sempalan teologi Sunni.9 Pada pihak lain, fenomena teologis ini dianggap sebagai budaya dalam Islam oleh beberapa peneliti. Karenanya, penganut aliran kebatinan merupakan suatu komunitas yang secara faktual masih kuat. berpegang pada pelestarian kultur nenek moyangnya, baik dalam aspek spiritualitas yang berbentuk mistik atau tasawuf (dalam Islam} maupun dalam aspek moralitas yang kaya nilai-nilai keluhuran budi.10 Oleh karena itu, kejawen atau Jawanisme bukanlah suatu kategori religius, melainkan lebih merujuk pada sebuh etika dan gaya hidup (Weltanschuung} yang diilhami oleh pemikiran J awa. 11 Dengan demikian, generalisasi bahwa aliran kebatinan merupakan gerakan aliran sempalan teologi Sunni, adalah suatu tindakan mengklaim kebenaran (truth claim) yang sangat terburu-buru dan tidak proporsional. Yang pada gilirannya, tindakan seperti ini seringkali bersifat vandalisme baik dalam bentuk teror kejiwaan ataupun pengerusakan material. Bahkan, kadang-kad'ang cenderung mengarahkan pada tindakan anarki's yang tidak Islami. Agar teologi aliran kebatinan dapat terpetakan dengan jelas dan diketahui secara luas terutama oleh umat Islam, maka diperlukan suatu studi yang mendalam dan terperinci dalam bentuk penelitian. Dengan dasar pemikiran di atas peneliti mengambil kasus aliran kebatinan Susila Budhi Dharma dan Madraisme di Jawa Barat. Fokus permasalahan utama dalam penelitian ini, peneliti mempertanyakan "bagaimana ajaran teologi Susila Budhi Dharma dan Madraisme?" dan 8 Kamil Kartapradja, loc.cit.; Komaruddin Hidayat dan Mohammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), him. 36. 9 H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, Cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), him. 57. 10 A. Faruq Nasution, "Aspek Teologi Islam dalam Aliran Kepercayaan," dalam Majalah Mimbar Ulama, No. 235/XX, Maret 1998, him. 35; dan Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama, (Jakarta: Subdit Bina Pro gram, Seksi Pengolahan Data, 1976), him. 39. 11 Niels Mulder, Individual and Society in Java: A Cultural Analysis, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), him. 3. ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 231 MEMAHAMI TE OLOGI ALIRAN KEBATINAN "apakah ada hubungan antara keduanya dengan perkembangan teologi Sunni?" Di sini penelitian ditujukan untuk membuktikan tesis, apakah kedua teologi ini sebagai teologi sempalan dari teologi Sunni atau sebagai teologi kultural yang tumbuh sendiri. Oleh karena itu, peneliti menggunakan dua kerangka teori sebagai dasar studi penelitian ini. Pertama, suatu gagasan atau konsep yang menyebut bahwa teologi agama tertentu tidak lahir begitu saja, akan tetapi suatu konsep timbul lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu lainnya.12 Kedua, karakter suatu masyarakat dibentuk 'oleh lingkungannya.13 Dengan teori ini, dapat dipahami bahwa masyarakat dan etnik dalam suatu wilayah tertentu mempunyai karakter yang berbeda dengan masyarakat dan etnik lain, karena perbedaan dan corak di mana mereka berdomisili. Penelitian ini merupakan penelitian gabungan antara penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research), yang didukung dengan pendekatan teologis dan pendekatan antropologis. Untuk mengumpulkan data peneliti menggunakan metode dokumentasi, observasi terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam.14 Sedangkan, untuk menganalisis data-data tersebut peneliti menggunakan metode con tent analysis. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan substansi konsep teologi Subud ctan Madraisme yang didasarkan data-data yang telah dikumpulkan. Teologi Susila Bhudi Dharma Aliran Susila Bhudi Dharma-selanjutnya disingkat Subud-didirikan secara resmi oleh Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo pada tanggal 1 Februari 1947 di Yogyakarta. Aliran ini sebenarnya mempunyai akar-akarnya dalam tradisi kebatinan J awa dan Islam. Seperti dapat dilihat dari latar belakang pendirinya, Muhammad Subuh yang terlahir dari keluarga priyayi sangat akrab dengan literatur klasik Jawa terutama cerita-cerita 12 Fazlur Rahman, Revival and Reform: A Study of Islamic Fundamentalism, (London: Oneworld, 2000). him. 33-37. 13 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), him. 150; David Kaplan dan Albert A. Man ners, Teori Budaya, (terj.) Landung Simatupang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). him. 139; dan Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Cet. II, (Jakarta: UI Press, 1987), him. 10-11. 14 Conrad Philip Kottak, Cultural Antropology, (New York: Oxford University Press, t.t.), him. 23. 232 ISTiQRO' Volume02,Nomor01, 2003 AsouR RoZAK, DKK wayang dan serat atau suluk. Pacta sisi lain, ia juga memperoleh banyak pengetahuan spiritual Islam dari gurunya, Kyai Abdurachman, seorang syekh tarekat Naqsabandiyyah.15 Ajaran- ajaran yang dikembangkannya sebagai berikut: 1. Konsep Tuhan Dalam konsep ketuhanan, aliran Subud menegaskan bahwa: "Tuhan tidak dapat diketahui oleh pikiran man usia." Oleh karena itu, upaya mendeskripsikan Tuhan umumnya dilakukan melalui via negativa. Meskipun, Tuhan dipercayai tidak memiliki bentuk, warna, waktu, tempat, kebangsaan dan negara, akan tetapi secara implisit aliran Subud mempercayai bahwa Tuhan YME itu ada, berkuasa atas segala ciptaan-Nya baik yang terlihat maupun yang tak terlihat.16 Selain itu, Tuhan juga memiliki sifat-sifat seperti maha Mengetahui, maha Kuasa dan maha Sempurna. Dengan kemahakuasaan-Nya yang serba meliputi ini, seringkali konsep Tuhan diidentikan dengan "hidup yang maha Besar, Kekuatan Hidup, Cahaya dan Pembimbing yang ada dalam setiap individu di antara kamu. Tuhan meliputi seluruh alam semesta, di bagian dalam dari yang paling dalam dan di bagian luar dari yang paling luar. Tuhan mendahului semua yang terdahulu, dan paling akhir dari semua yang akan datangY 2. Konsep Penciptaan dan Manusia Subud meyakini bahwa sebagai Dzat yang maha Kuasa, Tuhan menciptakan alam dari "kekosongan mutlak" (sawun suwung) yang berasal dari kehendak-Nya. Proses penciptaan alam dilakukan melalui proses emanasi. Pertama, muncul cahaya kehidupan (nur ghayb) yang menjadi sumber segala sesuatu, lalu gerakan cahaya dan sinarnya. 15 Muhammad Sumohadiwidjoyo, Bapak's Talks, No. 11, Golden Cross: Subud Publications International, 1991, him. 23; Anton Geels, Subud and Javanese Mystical Tradition, (London: Curzon Press, 1997), him. 125; dan lihat Romdon, Tasawuf dan Aliran Kebatinan: Perbandingan an tara Aspek-aspek Mistikisme Islam dengan Aspek-aspek Mistikisme Jawa, Cet. II, (Yogyakarta: LESFI, 1995), him. 173. 16 Muhammad Sumohadiwidjojo, The Growth of Subud, (London: Subud Publication International, t.t.), him. 80. 17 Muhammad Sumohadiwidjojo, Out into the World, (Tunbridge Wells: Subud Publi cation International, 1984), him. 153; lihat juga Muhammad Sumohadiwidjojo, Susila Budhi Dharma, (Jakarta: Publikasi Subud Indonesia, 1990), him. 119. ISTl.QRO' Volume02,Nomor01, 2003 233 MEMAHAMI TEOLOGI ALIRAN KEBATINAN Selanjutnya, cahaya kehidupan itu memacarkan sinar dan panas matahari, api, udara, air dan tanah. Akhirnya, keempat unsur ini memunculkan bentuk-bentuk kehidupan yang diawali dengan kehidupan materi, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan lainnya.18 Dalam konsepsi penciptaan manusia, Subud mempercayai bahwa Adam adalah manusia pertama, yang berada dalam kondisi kesatuan asli ketika baru ada cahaya.19 Dalam penciptaannya, manusia mempunyai tujuh daya lahir dan batin; empat jenis nafsu dan empat jenis badan dan jiwa. Keempat dari tujuh daya itu, yaitu daya materi (rewani), tumbuhan (nabati), hewani (bewani) dan manusiawi (insani). Tiga lainnya, meliputi roh insani, roh rabbani dan roh ku dus. Sementara itu, keempat jenis nafsu manusia, meliputi nafsu amarab, alubamab, sUfiyyab dan mutbmainnab. Jenis badan manusia yang paling luas adalah badan fisik, badan yang menggambarkan perasaan dan emosi, badan pemahaman dan badan kesadaran (rasa diri). Yang dimaksud dengan jiwa adalah keseluruhan kemampuan manusia, yang diberikan Tuhan kepada manusia yang tidak dapat dirusak.20 Dalam konsepsi hubungan Tuhan dengan manusia, manusia harus melepaskan diri dari rintangan-rintangan tujuh kekuatan dan nafsu rendah untuk kembali kepada Tuhan dalam bentuk mi'raj. C'aranya manusia harus sepenuhnya bersabar, tawakkal dan pasrah kepada TuhanY Dalam konteks ini, Subud meyakini kemungkinan bersatunya manusia dengan Tuhan sebelum mati, ajaran kesatuan wujud yang dominan dalam agama-agama Jawa. Dengan demikian, dapat dipaharni bahwa Subud bukanlah agama yang berdiri sendiri, melainkan sinkretisme dari berbagai unsur yang telah ada sebelurnnya, terutama tradisi Jawa dan ajaran-ajaran Islam dengan penekanan pada latihan jiwa (rasa). 18 Muhammad Sumohadiwidjojo, Bapak's Talks, No. 5, Golden Cross: Subud Publications International, him. 5; dan Luqman McKingley, Adam and his Children: A Brief History of Human Life, (Sydney: Starlight Press, 1992), him. 1. 19 Muhammad Sumohadiwidjojo, Out into the World, op. cit., him. 54 20 Muhammad Sumohadiwidjojo, Bapak's Talk, Wiltshire: Subud Publications International, him. 43-44; Muhammad Sumohadiwidjojo, The Growth of Subud, him. 71; dan Muhammad Sumohadiwidjojo, Susila Budhi Dharma, him. 135. 21 Muhammad Sumohadiwidjojo, Susila Budhi Dharma, him. 183; lihat juga Muhammad Sumohadiwidjojo, The Growth of Subud, him. 67. 234 lSTiQRO' Volume02,Nomor01, 2003 ABDUR ROZAK, DKK Teologi Madraisme Madraisme dikenal dengan nama agama cigugur, 11 agama II II pasundan, 11agama madraisme," dan 11agama Djawa Sunda" (ADS).22 Madraisme didirikan oleh Muhammad Rais, yang bergelar Pangeran Sadewa Ali Bassa Kusumah Wijayaningrat pada tahun 1925. Walaupun madraisme disebut ADS, akan tetapi paguyubannya tidak menganggap menambah jumlah agama. Kemunculannya hanya ingin mengajarkan dan menggali inti nilai-nilai agama dan menggugah kesadaran diri masyarakat dan bangsanya. Yakni kesadaran diri masyarakat dalam cara-ciri manusia, seperti welas asih; undak usuk; tata krama; budi daya budi basa, dan wiwaha yuda neraga. Sementara itu, kesadaran diri bangsa dalam cara-ciri bangsa, seperti rupa, bahasa, adat, aksara dan kebudayaan.23 Ajaran-ajaran yang dikembangkannya meliputi: 1. Konsep Tuhan Dalam tuntunan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (Packu), hakekat Tuhan ada di atas segala-galanya, maha Tunggal. Tuhan adalah Esa, akan tetapi dzat-Nya ada di mana-mana, maha Kuasa, maha Adil, maha Asih, maha Murah, maha Bijaksana dan pencipta alam semesta beserta isinya. 'Tuhan itu immateri (langgeng dan abadi). Tuhan titlak jauh dan tak dapat dipisahkan dengan ciptaan-Nya, terutama manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna karena manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi pekerti. Dengan demikian, atas kehalusan budi pekerti manusia memiliki nilai-nilai moral dan nilai religius. Tuhan disebut Gusti Sikang Sawiji-wiji di kalangan warga Packu. Wiji artinya inti, inti kelangsungan hidup serta kehidupan di dunia ini. Sebagai inti dari segala kehidupan, Tuhan dapat ditranformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkret. Tuhan ada dalam setiap yang ada, dan keesaan Tuhan ada dalam setiap ciptaan-Nya. Oleh karena itu, segala cipta dan kehidupan telah diatur sesuai dengan fungsinya masing-masing. 22 Departemen Agama, Deskripsi Aliran-aliran Kepercayaan/Paham-paham Keagamaan, (Jakarta: Proyek Pembinaan dan Bimbingan Aliran-aliran Kepercayaan/Paham paham Keagamaan Depag, 1976). him. 1. 23 P. Djatikusumah, Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang, (Kuningan: Cigugur, 1995), him. 8. ISTiQRO' Volume 02, Nomor01, 2003 235 MEMAHAMI TE OLOGI AU RAN KEBA TIN AN 2. Konsep Manusia Sebutan manusia dibedakan menjadi jalma dan manusia. Disebut Jalma kerena ngajalma (menjelma) atau mewujud menjadi makhluk yang disebut manusia dengan kodrat dan cirinya yang harus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusian. Melalui cinta kasih antara pria dan wanita yang ditunjang oleh roh hurip tanaha pekumpulan, jalma bisa hurip karena memperoleh hurip. Manusia harus menyadari kemanusiannya, di samping hidup sesuai dengan nalurinya. Manusia juga memiliki akal dan budi, sehingga dia tidak saja merasa hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa dan rumasa bahwa wujud keagungan alam semesta hanyalah berasal dari cipta dan karsa Tuhan YME. Manusia, di samping mengagungkan keesaan Tuhan, berkewajiban mewartakan kebesaran dan keagungan Tuhan. Setelah manusia merasa dan rumasa, maka budi nurasi ins ani mewajibkan dirinya untuk menyembah Tuhan dalam keimanan dan kepercayaan serta mentaati segala perintah Nya yang harus tampak pacta perilaku keseharian. Perilaku dituntut dan harus selalu memakai cara ciri manusia dan cara ciri bangs a. Cara ciri manusia, meliputi welas asih, tata krama, undak usuk, budi daya budi badan dan wiwaha yuda naraga. Cara ciri manusia adalah sifat umum sedangkan cara ciri bangsa adalah penggambaran dari keesaan Tuhan, bahwa kemahaagungan dan kemahabesaran dalam cipta karsa-Nya dan keanekaragaman-Nya di mana masing-masing menjaga dan melestarikan hukum adikodrati dalam nilai-nilai karakteristik bangsa dan nilai-nilai kemanusiaanya. Hal ini terungkap dalam tuntunan milaku gawe rahayu pikuen heubeul jaya dina buana. Artinya, melaksanakan awal yang baik dan bermanfaat untuk kelangsungan hidup damai dalam asih; dan tuntunan roroning tunggal tunggale ora dadi sewiji. 3. Alam semesta dalam perspektik ADS Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat, yaitu cahaya putih, kuning, merah, dan hitam. Cahaya putih melambangkan air. Cahaya kuning melambangkan angin. Cahaya merah melambangkan api. Cahaya hitam melambangkan tanah. Jadi, alam itu terbentuk dari unsur air, angin, api, dan tanah. Angin merniliki dua sifat, yaitu terdengar dan terasa. Api memiliki tiga sifat yaitu terlihat, teras a dan terdengar. Air merniliki sifat, yaitu terlihat, 236 lSTiQRO' Volume02, Nomor01, 2003 ABDUR ROZAK, DKK terasa, teraba dan terdengar. Sedangkan, tanah memiliki lima sifat, yaitu terlihat, terasa, teraba, terdengar dan tercium. 4. Kesempurnaan Hidup Pada dasarnya, manusia hidup menuju Purwasisesa, yakni sabda Tuhan yang dijiwai oleh pancaran kemanusiaan sejati. Manusia adalah makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk budaya. Makhluk religius, artinya manusia sadar dan yakin akan Sang pencipta, yakni Tuhan YME. Karena, karsa-Nya manusia ada. Sebagai makhluk sosial artinya manusia tidak hidup seorang diri. Seseorang hidup dengan orang lain dan harus menjalin hubungan antar sesama, antar bangsa, saling mengasihi, serta sating menghargai untuk mewujudkan kesehteraan bersama. Sebagai makhluk budaya, dalam hidup bermasyarakat dan bergaul sehari-hari, manusia harus menjunjung tinggi norma-norma etika. Hal ini selaras dengan sifat manusia sebagai makhluk yang paling mulia, makhluk yang memiliki derajat dan martabat yang lebih tinggi dari pada makhluk makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal itu dituangkan dalam tuntunan yang disebut Pikukuh Tili, yakni tiga hal yang harus dipegang tegug, yaitu Ngaji badan, Tuhu/mikukuh kana tanah, Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6. Ngaji badan memiliki pengertian bahwa kita harus memahami dan menyadari adanya sifat-sifat lain yang ada disekeliling kit a dan mempunyai cara-cara serta karekteristik masing-masing. Kita harus menyadari bahwa kehidupan ini terdiri dari Tri Daya Eka Karsa, yaitu tiga tarat kehidupan yang terdiri taraf hidup nabati (hidup pasif), tarat hidup hewani (hidup aktif hanya berdasarkan insting semata), dan taraf hidup insani (hidup manusia yang didasari oleh akal, rasa dan budi). Jadi, dikatakan ngaji badan itu adalah menyadari dan selalu mengkoreksi agar tetap berada dalam sifat-sifat pribadi sebagai manusia. Pengertian Thhu kana Tanah, tanah diasumsikan sebagai tanah adegan dan tanah amparan. Tanah adegan ialah raga, jasmani atau salira. Tanah amparan adalah sifat pribadi bangsa. Maksudnya adalah agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi anggota suatu bangsa harus dapat menghargai dan mencintai bangsanya, Konsep lain adalah madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6. Madep berarti mengalah dan bukan berarti ratu-raja dalam sifat wujud ISTiQRO' Volume02,Nomor01,2003 237
Description: