Mozaik 1 Bukan main senangnya Ayah waktu menerima surat dari Pak Nga Dibungkus Tilam, di Atas Nampan Pualam Djuasin bin Djamalludin Ansori, mandor kawat Meskapai' Timah, bahwa akan ada promosi bagi kaum kuli tukang cedok pasir di wasrai. Wasrai dimelayu-kan SEBAGAIMANA Kawan telah tahu. Aku ini, paling tidak menurutku sendiri, dari kata Belanda wasserijk, yang artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang adalah lelaki yang berikhtiar untuk berbuat baik, patuh pada petuah orangtua, akan naik pangkat salah satunya Ayah. Surat itu, pagi tadi dibaca ibuku, sebab sejak dulu. Rupanya, begitu pula ayahku yang sederhana itu. Katanya, ia selalu Kawan juga tentu sudah mafhum betapa mengharukannya pengetahuan ayahku menempatkan setiap kata ayah-bundanya di atas nampan pualam, soal huruf-huruf Latin. membungkusnya dengan tilam. Begitu mendengarnya, Ayah yang amat pendiam, seperti biasa, tak Dan ternyata, Tuhan menerapkan dalil yang tetap untuk lelaki sepertiku berucap sepatah pun. Kutatap wajahnya yang melempar senyum ke luar jendela dan ayahku, yakni: lelaki seperti kami umumnya jarang diganjar dengan ujian dan membuang pandang ke pucuk pohon kenanga, dan kubaca dengan terang di yang oleh orang Melayu Dalam sering disebut sebagai cobaan nan tak sana: syahdu seperti aktor India baru menyatakan cinta, dan bangga. tertanggungkan. Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak Oleh karena itu, seumpama di koran-koran tersiar berita tentang seorang percayai ! pria yang sedang bersepeda santai pada Minggu pagi yang cerah ceria, tra la la, Tak percaya, bahwa akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga tri li li, sekonyong-konyong, tak tahu kenapa, sepedanya oleng dan ia puluh satu tahun, ada juga orang yang membicarakan soal kedudukannya. tertungging ke dalam sumur angker gelap gulita, tak dipakai lagi, dalamnya dua Selama tiga puluh satu tahun itu Ayah tak pernah naik pangkat, tak pernah, belas meter, perigi sarang jin, bekas tentara Jepang mencemplungkan pribumi. sejak ia menjadi kuli meskapai dari usia belasan. Lelaki periang itu pun berteriak-teriak panik minta tolong. Tak ada yang Tak percaya, bahwa kata pangkat bisa disangkutpaut-kan dengan mendengar jeritnya, selama empat hari empat malam. Habis suaranya. pekerjaannya yang tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi Akhirnya ia minta tolong lewat kliningan sepedanya. Kring, kring, lemah keringat. menyedihkan. Naudzubillah, tragedi semacam itu biasanya menimpa orang Tak percaya, bahwa ada orang lain, selain anak-anaknya yang berkirim lain, bukan menimpa pria sepertiku dan ayahku. surat padanya. Dengan amplop cokelat Maskapai. berkilat dan kaku seperti Atau, seandainya hujan lebat, petir menyambar tiang listrik, tiang listrik kopiah, plus kop surat berlambang meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar roboh menimpa pohon sempret, pohon sempret tumbang menimpa pohon dan palu lambang kerja keras pagi sampai petang. mengkudu, pohon mengkudu terjungkal menabrak atap rumah, atap rumah Tak percaya, surat di tangan ibuku benar diteken oleh Mandor Kawat ambrol menimpa belandar, belandar ambruk menghantam televisi, televisi Djuasin yang puluhan tahun menindasnya. Berkali-kali Ayah menerawang meledak dan seorang lelaki yang tengah duduk manis menonton acara TVRI tanda tangan itu, benar basah tinta pena biru, dari tangan yang dipertuan 'Aneka Ria Safari" kena sambar listrik televisi, televisi hitam putih lagi. mandor sendiri, adanya. Rambut, kumis, dan alisnya hangus sehingga ia seperti pendekar Shaolin. Dapat Tak percaya, lantaran Ayah merasa dirinya biasa naik pohon nira untuk dipastikan, lelaki sial itu bukanlah aku, bukan pula ayahku. meniti/r air legen, biasa naik pohon medang untuk menyarap madu angin, biasa Atau lagi, misalnya merebak berita soal seorang pria keriting yang naik pohon kelapa untuk membantu tugas beruk, tapi naik pangkat? Naik dilarikan ke rumah sakit, ambulans meraung-raung, tergopoh-gopoh menuju pangkat tak masuk dalam perbendaharaan kata ruang tanggap darurat, sebab pria itu ketika makan buah duku, tak tahu kenapa, Ayah yang tak punya selembar pun ijazah. Kata-kata itu asing dan ganjil biji duku melenceng masuk ke lubang hidungnya, hingga ia tersengal-sengal di telinganya. Bagi Ayah, naik pangkat adalah kata-kata ajaib milik orang sampai nyaris lunas nyawanya. Pria itu bisa saja absurd dm keriting, tapi ia Jakarta. Ayah memalingkan senyumnya dari bingkai jendela padaku. Amboi! bukan aku. Inilah yang kutunggu-tunggu dari tadi! Surat itu mengatakan bahwa beserta Satu-satunya berita yang pernah melanda ayahku hanyalah soal naik surat keputusan pengangkatan yang akan diserahkan secara massal Sabtu esok, pangkat. Aku kelas tiga SD waktu itu. akan dilampirkan pula amplop rapel gaji karena naik pangkat itu harusnya telah Maryamah Karpov 1 Maryamah Karpov 2 terjadi enam bulan silam. Aku tahu persis, senyum Ayah untukku hanya Mozaik 2 bermakna satu hal: kue hok lo pan di atas loyang yang berasap-asap! Karya Asap Hok Lo Pan Menguap agung orang Khek yang congkak itu: Lao Mi. Senyum Ayah yang bernuansa amplop rapel enam bulan itu pun lalu RITUAL rutin Ayah: sesudah shalat subuh dan mengaji, ia duduk di kursi terurai-urai menjadi buku tulis indah bergaris tiga sampulnya gambar artis-artis goyang sambil mendengar siaran radio Malaysia. Timbul-tenggelam lagu-lagu cilik dari Ibu Kota Jakarta pensil warna-warni seperti sering kulihat dibawa semenanjung, keme-rosok. Sejak aku bisa mengingat, seingatku sudah begitu. anak-anak sekolah Meskapai Timah, penggaris segi tiga, jangka, papan halma, Kadang kala tombol tuning radio Philips kecil itu diputar Ayah menuju dan tas sekolah yang seumur-umur tak pernah kupunya. Hilversum, Holland, atau menuju London. BBC samar-samar, sayup-sayup Ibu pun berdeham-deham sambil membetulkan peniti kebayanya. Kira- sampai, naik-turun serupa gelombang sinus, mengabarkan berita dari tempat- kira maksudnya: sudah tiga kali Lebaran kebaya encimnya itu-itu saja. Ayah tempat asing yang tak kukenal. Aku tertegun di balik tirai, mengintip Ayah dan membalas semuanya dengan senyum nan menawan: beres, demikian arti terbuai musik-musik dari negeri yang jauh. Maka, meski aku orang kampung senyum terakhir yang mengesankan itu. Aku melonjak girang. dan kampungan, dari kecil telah kukenal Engelbert Humperdinck, Paul Anka, Ayah melangkah meninggalkan dapur. Aku mengikuti setiap langkah Louis Armstrong, dan vokalis legendaris Nat King Cole. Suara mereka, saban bangganya. Aku tahu persis, rapel buruh itu hanyalah segepok uang receh. subuh, sahut-menyahut dari satu bubungan rumah panggung ke bubungan laini Namun ayahku, Ayah juara satu seluruh dunia, arsitek kasih sayang yang tak Orang Melayu Dalam, gemar betul mendengar radio. Radio adalah elemen pernah bicara, selalu mampu menggubah hal-hal sederhana menjadi begitu penting budaya mereka. memesona. Enam puluh menit, tak pernah lebih ritual Ayah bersama radio transistor Philips. Lalu dibukanya tutup belakang radio itu, dikeluarkannya dua batu baterai bergambar kucing hitam. Baterai itu diletakkannya di sebuah bangku kecil khusus di pekarangan untuk dijemur cahaya matahari agar bertenaga lagi. Pemandangan ini tampak di depan rumah orang Melayu, saban hari. Tapi pagi ini Ayah agak cepat sedikit. Sebab beliau sibuk berdandan dengan pakaian terbaiknya sepanjang masa: baju safari empat saku. Demi satu acara penting: naik pangkat! Aku pun mandi lebih pagi, lalu dinaikkan Ayah ke atas boncengan sepeda. Diikatnya kakiku dengan saputangan biar tak celaka kena jari-jari ban. Ayah akan naik pangkat, sungguh istimewa. Ayah akan mengambil amplop rapel gajinya! Lalu pulangnya kami akan singgah di Pasar Jenggo. Ayah akan membelikanku hok lo pan, tas sekolah yang tak pernah kupunya, dan kebaya encim baru untuk Bou. Begitulah skenarionya. Naik pangkat, ternyata indah bukan buatan. Tersenyum. Aku, Ibu, dan Ayah tak berhenti tersenyum sejak subuh, sejak semalam. Sepeda meluncur deras melewati Pasar Jenggo, pagi dan ramai. Gerobak hok lo pan si sombong Lao Mi sudah dikerumuni pembeli. Aromanya hanyut sampai ke hulu Sungai Linggang. Lao Mi, sudah kondang galaknya. Ia pembuat kue hok lo pan terbaik di dunia. Tak ada duanya. Ia mewari- si ilmu kue loyang itu sepanjang empat Maryamah Karpov 3 Maryamah Karpov 4 generasi. Seperti kebanyakan orang yang telah mencapai tingkat maestro, melewatinya. Nama-nama terus dipanggil, sambung-menyambung, masih tak wajahnya tak peduli. Seakan para pelanggan menyusahkan saja. Pembeli yang terdengar nama ayah. Jika ada nama yang sama, unit kerjanya bukan unit ayah. rewel minta ini-itu dihardiknya. Dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan jika Ayah tertunduk. Sampai nama terakhir berawalan Z, tak seorang pun kami kembali nanti, hok lo pan lezat itu belum habis, dan mudah-mudahan aku memanggil Ayah. tak dimarahi Lao Mi. Akhirnya, tinggallah ayahku berdiri sendirian di halaman gudang beras yang luas. Ayah menoleh ke kiri dan kanan, menoleh gekeHling, tak ada siapa- *********** siapa selain orang-orang yang berbisik-bisik di sudut-sudut lapangan sambil Asap Hok Lo Pan Menguap - 11 memandanginya. Ayah yang lugu masih berdiri menunggu kalau-kalau panitia terlewat memanggil namanya. Namun, Sampai di halaman luas gudang beras, ratusan kuli pencuci timah sudah pengeras suara telah dipadamkan. Ayah berjalan menunduk sambil membetul- berbaris panjang, antre berdasarkan urut abjad nama. Semua riang gembira betulkan kerah baju safari empat sakunya. Aku tahu perasaannya telah hancur, karena akan naik pangkat dan terima rapel. Ayah bergegas memarkir sepeda dan aku luruh karena kasihan melihat ayahku. Dadaku sesak, jemariku bergetar- dan menyelinap di antara kuli-kuli yang bernama depan huruf S. Agak di getar menahan air mata. Sungguh malang nasib Ayah, tak tertanggungkan belakang tentunya. rasanya kejadian ini. Namun, Ayah tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Sejurus Aku dan para keluarga kuli yang turut bersukacita, beratus-ratus pula kemudian ia berjalan menuju kawan-kawannya. Ayah menyalami mereka satu jumlahnya, duduk di semacam anjungan menyaksikan ayah, suami, mertua, per satu untuk mengucapkan selamat. Begitu besar jiwanya. Mereka menepuk- kekasih, sepupu, ipar, cucu, anak, atau menantu naik pangkat. Mereka bersorak- nepuk pundak Ayah, dan aku membeku di tempatku berdiri, jemariku dingin. sorai setiap nama keluarganya dipanggil Mandor Djuasin. Ribut sekali sampai Malamnya, Mandor Djuasin datang ke rumah untuk minta maaf bahwa panitia susah payah menertibkan lewat megafon. telah terjadi kekeliruan administrasi. Karena begitu banyak kuli yang harus Kuli yang dipanggil bergegas setengah berlari untuk mengambil surat diurus, belum termasuk begitu banyak Said sebagai nama belakang orang keputusan. Setelah menerimanya, sambil menyalami Mandor Djuasin seperti Melayu. Sekaligus Mandor mengabarkan peraturan Meskapai yang menyebut menyalami presiden, ada yang melompat-lompat girang, ada yang membekap bahwa kuli yang tak berijazah memang tak kan pernah naik pangkat. Perlakuan surat itu di dadanya dan berlalu dengan kesan betapa baik hati Meskapai Timah untuk Ayah, katanya, sama seperti perlakuan pada para kuli dari suku Sawang padanya dan keluarganya, ada yang menyembah, dan ada yang menangis haru, yang bekerja sebagai buruh yuka atau penjahit karung timah. Buruh-buruh sampai sesenggukan. paling kasar itu juga tak satu pun berijazah. Akhirnya, sampailah panggilan ke urutan nama S. Aku berdiri dan Ayah, dengan penuh takzim menerima penjelasan itu. Beliau bahkan melambai-lambai pada Ayah seperti menyemangati kontingen PON. Satu per menyampaikan simpatinya akan betapa berat tugas Mandor Djuasin mengelola satu nama berawalan S dikumandangkan lewat megafon. Para kuli yang ribuan kuli, dan betapa Ayah berterima kasih pada Mandor karena telah 12 - berawalan nama S berlarian sampai pada seseorang di depan Ayah, namanya Mayamah Kaipoo mengiriminya surat yang bagus berlambang meskapai nan Serahi bin Mahmuddin Arsyad. Serahi berteriak sembari mengepalkan tinjunya terhormat pula, serta menandatangani sendiri surat itu meski surat ku salah tinggi-tinggi karena gembira tak terkira. alamat. Aku tak dapat menahan perasaanku. Air mataku beriinang-linang saat Setelah Serahi, Ayah bersiap-siap seperti pelari mengambil ancang- mengintip Ayah mengucapkan semua itu, karena dari balik pintu aku tahu ancang. Namun, Ayah terkejut karena nama berikutnya yang dipanggil bukan makna ketulusan wajah ayahku. Sungguh bening hati lelaki pendiam itu, dan nama Ayah, melainkan nama seseorang persis di belakang Ayah. Ayah tertegun detik itu aku berjanji pada cUriku sendiri, untuk menempatkan setiap kata dan kebingungan. Orang di belakang Ayah itu bersorak girang, menyaKp Ayah ayahku di atas nampan pualam, dan aku bersumpah, aku bersumpah akan dari samping dan berlari menuju podium. Lalu aku dan Ayah terkesiap karena sekolah setinggi-tingginya, ke negeri mana pun, apa pun rintangannya, apa pun nama berikutnya yang dipanggil juga bukan nama Ayah, demikian pula yang terjadi, demi ayahku. berikutnya. Ayah terpana menyaksikan satu per satu kawan-kawannya Maryamah Karpov 5 Maryamah Karpov 6 Mozaik 3 Di tengah kisah, malang pun tak dapat ditolak sebab dalam kemiskinan Ruang Pucat Jilid 1 yang mapan itu, Tuhan mengujiku. Apa yang dialami Ayah, cobaan nan tak tertanggungkan itu, akhirnya menimpaku juga. SETELAH kejadian naik pangkat itu, hidup keluarga kami damai-damai saja. Tak pernah kusangka aku akan jadi korban kejahatan yang mengerikan. Dalil Tuhan untuk pria-pria sepertiku dan Ayah tetap berlaku. Tak ada lagi Pun tak pernah kuduga, otak kejahatan itu, dan begundal-begundal suruhannya, cobaan nan tak tertanggungkan menempeleng kami. Hidup beriak-riak kecil, adalah kawan-kawanku sendiri. Di ruang pucat ini, teori bahwa kekejaman berombak sesekali karena karma-karma adalah lumrah. Ayah kembali sering dilakukan orang-orang terdekat, terbukti. membanting tulang sebagai kuli di wasrai, sering kulihat bahu-membahu Darah bersimbah-simbah dari mulutku. Ia panik. Aku menangkis- dengan buruh dari suku Sawang. Mereka bersekutu secara tidak resmi dalam nangkis. 'Pegangi dia! Pegangi kuat-kuat!" sebuah perkumpulan persaudaraan senasib bagi warga Republik tak berijazah. Lenganku direngkuh dua lelaki kasar. Aku terbelalak kesakitan, Lao Mi, makin dibutuhkan, makin jadi lagaknya, tapi siapa sih yang menggeUnjang-gelinjang. kuasa menolak hok lo pannya yang rasanya dapat membuat lupa akan mertua "Kamu! Ya, kamu, masuk! Tangkap kakinya!" itu? Ibu, dengan wajah sedikit menerawang, menisik robek-robek kecil Seorang pria sangar menghambur. Ia memeluk kakiku. Kukais-kaiskan kemejaen-cimnya. Maka fashion beliau lebaran tahun ini kupastikan tak kan tumit untuk menerjang. Seorang pria lain, tanpa diperintah, meloncat. Ia begitu mengikuti trend di Jakarta untuk suasana hari raya. Menunduk, tekun, menindihkan tubuh gempalnya di atas lututku, liat bermmyak-minyak. Aku tak tak banyak cincong. Aku melipat buku untuk dikantongi atau menyisip- berkutik. Ngilu memuncak ke ubun-ubunku. nyisipkannya di celah celana di bawah punggung. Sampai di kelas, buku-buku Ia memaksaku dengan metode yang tak dapat disebut terhormat. Hampir itu basah seperti kangkung karena keringat sebab Ayah tak jadi dapat rapel, aku dua jam aku teraniaya. Maka terbongkarlah siapa dia sebenarnya: perempuan batal punya tas sekolah. yang mampu menggerakkan orang untuk menuruti niatnya meski niat itu Kegiatan Ayah berikutnya ditandai lima hal saja: shalat, mengaji, mengerikan, fokus pada tujuan, sistematis, dan keras seperti kawat. Namun, mendengarkan radio, mencukur rambut ke Pasar Jenggo, dan diam, diam tak sekuat apa pun berusaha, ia belum mendapatkan secuil pun maunya. bersuara. Mandor Djuasin masih seperti Mandor Djuasin. Sementara orang- Aku tersengal. Kutantang matanya, ia mengadu tatapku, berapi. Aku orang Melayu lain, bermain catur di warung kopi sambil membualkan rusa telah mengalami banyak hal menyakitkan. Sejak kecil, sedap segi dalam sebesar kerbau bunting yang memutuskan jaring kawat berduri mereka hidupku mesti diperjuangkan seperti perang. Menyerah adalah pilihan yang semalam di rimba Mem-balong Konon rusa asli Pulau Belitong tinggal lima menghinakan bagiku. Tak pernah aku takluk pada apa pun tanpa lebih dulu ekor. Makin langka jumlahnya, makin bernafsu mereka memburunya. Mandor berjibaku. Tapi aku juga kenal benar perempuan ini. Ia hanya mau berhenti Djuasin adalah salah seorang dari sangat sedikit lelaki Melayu yang tak senang beraksi jika merasa menang Ego adalah gunung dalam dirinya, dan kini egonya bertandang ke warung kopi, dan satu dari yang jauh lebih sedikit yang tak suka itu longsor. Tak ada opsi lain baginya selain membekukku. Karena apa yang membual. terjadi di sini adalah timbangan martabatnya, taruhan harga dirinya. Ia harus Alam pegang kuasa, hari pun berganti-ganti. Sebentar-sebentar sudah membayar setiap sen ragu orang atas kuasa yang ditumpukan padanya, karena Jumat lagi. Siang ditelan malam, malam ditelan siang Mandor Djuasin tetaplah pilihan nekat hidupnya. Maka semua ini pasti akan berakhir dengan buruk, mandor meski presiden sudah berupa-rupa. Begitu juga kami, orang Melayu berantakan, berdarah-darah. Nanti akan kuceritakan kepadamu, Kawan, tentang Pedalaman, masih saja miskin. Keluarga kami belajar melupakan harapan perempuan yang membuatku menanggung cobaan nan tak tertanggungkan itu. bahwa Ayah akan naik pangkat. Impian itu mesti dipendam dalam-dalam seperti mengubur tembunek, sebutan orang Melayu untuk tali pusar orok. Lalu kami belajar untuk mencari-cari kebahagiaan kami sendi- ri. Sebab di negeri ini, mengharapkan pemerintah memberi kita kebahagiaan agak sedikit riskan. Pemerintah sibuk dengan kebahagiaannya sendiri. Maryamah Karpov 7 Maryamah Karpov 8 Mozaik 4 ketika setelan serbacokelat muda itu tersemat di tubuhku, tak pernah aku Calon Grend Master Catur Itu Merah Mukanya merasa lebih kalis daripada itu, madu. BAGAIMANA aku sampai terperangkap dalam ruang pucat yang ************ menggiriskan itu adalah rangkaian cerita kelu yang kualami setelah hidup berlinang-linang madu pada akhir masa studiku. Ruang ujian sidang tesis itu sendiri terletak di ujung selasar dalam bangunan Semuanya berawal dari Ramadhan. yang terpisah semacam paviliun, tapi atapnya menjulang mancung mirip atap Tak ada yang lebih berat bagi umat Muhammad yang gemulai imannya gereja-gereja Ang-likan. Lumut tumbuh di tepi-tepi atap akibat air hujan yang selain puasa di Eropa pada bulan September. Matahari sekejap menyulap gelap tergenang karena tersumbat daun busuk cecille oak yang tak rimbun tapi tua lalu sekonyong-konyong memuntahkan siang. dan tinggi. Lantainya, mozaik eksotis yang akan mengingatkan siapa saja pada Dan siang, Kawan, betah sekali berlama-lama. Tak kurang dari delapan tempat-tempat seperti Iskandaria, Granada, atau Casablanca, atau kisah-kisah belas jam ia bercokol di langit Eastern Hemisphere. Pukul sepuluh malam tentang para pengembara di bawah langit Sahara, tentang perjuangan hamba masih terang benderang. sahaya, dan asmara terlarang. Motif lantai atau kaca warna bernada serupa Setelah sembilan jam puasa, aku mendongak keluar jendela, dan di sana selalu kutemui di lembaga-lembaga intelek Prancis, sebagai refleksi rasa sinar kuning matahari masih terpantul riang di bangku-bangku batu taman. hormat mereka pada para cendekiawan masa lampau dari jazirah. Empat jam ku longok lagi, tak seberkas pun pudar. Para imam rupa-rupa Lantai yang baru saja kusebut itu mengilap, memantulkan matahari mazhab, para ketua Dewan Syuro, bolehlah bertengkar soal berapa jam seorang yang mencuri-curi masuk lewat celah jeruji berulir keparsi-parsian. Pantulan itu muslim layaknya puasa. Ayahku sendiri mengajariku agar berbuka jika ditangkap oleh lukisan wajah berewokan fisikawan gaek Prancis penemu matahari sudah sembunyi. Kupegang saja ajaran lama itu sambil keroncongan radioaktivitas Antoine Henri Becquerel pas di bawah dagunya yang tegas dan mengutuki diri mengapa tak sahur semalam. sehingga ia tampak seperti seorang penyamun. Ini gara-gara ketololanku sendiri. Setelah berbuka se-adanya dan Selain Antoine, tak ada siapa-siapa sepanjang selasar yang lebih mirip tarawih, aku belajar sampai larut lalu tertidur karena pening dan lelah. Aku terowongan itu. Bangku kayu rasuk diletakkan menghadap frontal ke pintu terbangun melangkahi subuh. Hangus sudah sahur yang penting itu. Sekarang tinggi ruang sidang. Pintu itu dari kayu Ubmts glabra yang konon ratusan tahun aku mendapati perutku seperti diaduk puting beliung. Pukul delapan malam, dijarah tentara Napoleon dari hutan-hutan Finlandia, hitam berwibawa dan kepalaku rasanya sebesar labu. Demikian implikasi hipotensi4 akutku jika besar gerendelnya. Benda-benda itu selalu membuatku rajin belajar. Karena enam belas jam tak bertatap muka dengan nasi. Sementara puasa telah mereka mengembuskan aroma bahwa tempatku akan disidang nanti bukanlah menginjak minggu terakhir. Daya tahanku kian rontok dan ketika ia terjun ke tempat bersenda gurau seperti yang kulakukan dalam kebanyakan waktu titik terendah, hari ini, pukul sembilan malam nanti, aku harus mengikuti hidupku. Ini soal benar-benar, tidak main-main. sidang akhir tesisku. Suasana masih terang benderang, waktu buka puasa baru Jika dilihat dari satu sudut melalui sebuah beranda di bawah pohon hinggap di Skandinavia, masih sangat jauh dari Prancis. cecille oak tadi, dan jika dibayangkan apa yang akan terjadi dalam ruangan di Sengsara sedikit sirna waktu aku mematut-matut dandananku. Baiklah, balik pintu hitam itu, jarak lima belas meter antara kursi r as tik dan sang pintu mari kumulai dari dasi Hedva cokelat muda bergaris-garis, jas dengan bantalan itu bolehlah diumpamakan seperti green mile, yakni ruang bagi langkah- busa di bahu-bahunya, dan kardigan yang juga cokelat muda. Famke Somers, langkah terakhir antara bui dan kursi listrik bagi seorang narapidana hukum tentu kawan masih ingat sobat lamaku itu, mengutarakan pandangannya: mati. Sebab dalam ruang sidang itulah para akademisi menarung nasib. "Percayalah nasihatku, warna cokelat muda itu akan membuatmu Aku duduk di bangku itu. Gugup dan lapar. Ninochka Stronovsky masih tampak sedikit lebih pintar." di dalam. Samar kudengar calon grand master dari Georgia ku agak kurang Aku tak ragu, seorang model Dolce and Gabbana tentu punya yakin dengan jawabannya. Seseorang memaki, "Is that the best you can do as a wewenang ilmiah menakar busana. Tak ada alasan mendebatnya. Faktanya, master student?! Tell me more! Elaborated' Aku terperanjat. Itu tak lain Maryamah Karpov 9 Maryamah Karpov 10 lolongan LaPlagia, petinggi jurusan Economics Science yang kondang karena harus mengulang seluruh risetnya. temperamental. Namun, aku tak gentar. Sama sekali bukan karena aku mahasiswa yang *********** pandai, melainkan aku telah menghabiskan seluruh musim gugur tiga bulan penuh mempersiapkan sidang ini dengan belajar sampai mataku rasanya juling "NextT Pekik LaPlagia. Kuantisipasi bermacam kemungkinan akan kena gulung Aku ingin membuat Kutekan dadaku dengan telapak tangan agar reda gemuruh di dalamnya. para profesor gaek itu manggut-mang-gut, kehabisan kata-kata cerdas untuk Kulafal dalam hati, tiga kali, doa tolak bala yang pernah diajarkan ayahku. Aku menindasku. bangkit, melangkah di atas green mile. Aku berjerih payah karena tak ingin mengecewakan Dr. Michaella Aku nervous. Woodward yang memberiku beasiswa Uni Eropa dulu, dan terutama karena tak Kuketuk pintu sehalus mungkin. Aku masuk dan menghampiri kursi. mau meraupkan abu ke muka profesor sepuh Hopkins Turnbull, supervisor Belum sampai aku ke kursi itu, LaPlagia meletup, "Woodward, pernahkah tesisku, yang kepada para koleganya sering menyebutku sebagai mahasiswa kaubayangkan bidang kita ini akan dimasuki makhluk keriting model begini?" terakhirnya. Dalam keadaan lapar tak tertanggungkan, kalimat itu langsung menohok Soal mahasiswa terakhir pernah kutanyakan kepada salah seorang ulu hatiku. koleganya itu, seseorang yang kukenal dengan baik: Raina Chauduri Paksi. Dr. Antonia LaPlagia, empat puluh delapan tahun, berambut sikat "Ibu, dapatkah digambarkan padaku bagaimana wajah Prof Turnbull keriting hitam seperti palsu, beralis lebat, bermata gelap—tipikal perempuan waktu menceritakan kepada orang-orang itu bahwa aku mahasiswa bimbingan keras Sisilia—mengmtimi-dasiku persis di depan hidungnya. Aku tak tahu terakhirnya?" lelaki mana yang pernah menelikungnya, tapi jelas ia benci pria keriting. Maksud hatiku sesungguhnya: apakah Turnbull tampak sedikit senang? Raina, dosen ekonometrik separuh baya, menatapku kosong dan lama, lalu ia melengos dengan gerakan seperti nelayan paceklik buang sauh. Saat itulah aku Tahun lalu aku membuktikan bisik-bisik mahasiswa senior bahwa mafhum bahwa Turnbull tak terlalu bangga padaku. LaPlagia tak berperasaan. Saat itu Paris di puncak musim salju. LaPlagia Namun, aku tetap ingin Turnbull pensiun dengan satu kenangan yang mengingatkan mahasiswa yang terlambat menyerahkan tugas. elok tentangku. Satu kenangan pamungkas nan manis untuk menutup empat "Pasti dapat E," ancamnya. puluh satu tahun abdinya sebagai dosen, delapan belas tahun di antaranya "Dan jangan harap bisa mengulang. sebagai guru besar. Di balik pintu glabra menunggu Nochka selesai dibantai— "Ia menempelkan nota di pintu ruangnya: deadline pukul sebelas malam sudah hampir dua jam—aku merasa yakin,, tepatnya meyalun-yakinkan diri. ini, serahkan di rumahku! Lantas, lewat kalimat yang dapat diartikan sebagai mengusir, LaPlagia Semua orang tahu, saat itu tak mudah mendatangi rumah La Plagia nun mendepak Nochka. Ia belum puas. jauh di Poitiers di luar Paris. Sebagai mahasiswa Indonesia, yang umumnya "Rupanya kau hanya pintar main catur, ya? Lihatlah tesismu itu, tak bertabiat menyerahkan tugas ketika deadline tinggal beberapa detik lagi, aku lebih dari hasil kerja asal-asalan!" termasuk yang harus ke rumah LaPlagia malam itu. Waktu pintu terbuka, hardik wanita besi itu terlempar keluar. Aku termangu di bibir halaman rumah LaPlagia yang luas hampir "Disgrace! Totally disgrace!" seperti lapangan bola. Halaman itu telah ditumpuki salju setinggi lutut. Dingin Tapi ia kembali untuk menvalamiku. begitu hebat sampai memecahkan botol soft drink di atas dashboard mobil. "Good luck," ucapnya lirih, bibirnya bergetar, mukanya merah. Satu-satunya cara mendekati pintu rumah itu hanya dengan mengarungi salju Sebelumnya muka Bobby Cash, MVRC Manooj, dan Naomi Stansfield setinggi lutut tadi. Aku melangkah sambil menggigil. Jemariku kisut dan perih. juga telah dibuat LaPlagia seperti buah rukam ujung musim. Lebih dari Jika tak teringat akan senyum ayah- ku pada Mandor Kawat Djuasin waktu itu, setengah teman sekelasku diperintahnya merevisi tesis, bahkan Arian Gonzales aku tak kan sanggup melintasi padang salju itu. Sampai di pintu, perempuan Maryamah Karpov 11 Maryamah Karpov 12 Sisilia itu menyambutku tanpa bersimpati sedikit pun pada penderitaanku. Mozaik 5 Barangkali ketika aku tiba tadi ia tengah merendam kakinya dalam baskom air Fine By Me, Kins hangat. Ia bangkit, menyambar tugas di tanganku lalu membanting pintu. PROFESOR Turnbull melangkah lambat, terantuk-antuk dengan tongkatnya. ************** Ia mengenakan sweter kashmir biru lembut, tipikal ilmuwan klasik Eropa. Rambutnya putih berkilau dan wajahnya seteguh Sean Connery. Satu wajah Sekarang, aku duduk mengantisipasi. yang menyisakan garis tampan masa lampau. Pria Skotlandia ini adalah Woodward dan LaPlagia membolak-balik halaman tesisku. Belum apa- ekonom yang amat dihormati. Kemudian silih berganti, LaPlagia dan apa aku sudah demam panggung. Energi ofensif LaPlagia melunturkan tiga Woodward menanyakan kabar ia dan keluarganya. bulan ilmu yang susah payah kulekat-lekatkan di kepalaku. LaPlagia Perbincangan pun dimulai, misalnya soal Patricia Turnbull, putri sulung mengangkat wajahnya. Seringainya memancar sinyal: Anak muda, kau tak tahu keluarga Turnbull, seorang wolf biologist yang akan menikah dengan seorang apa pun yang kaubicarakan dalam tesismu ini? pria Irlandia. Woodward bercerita tentang putra tunggalnya yang ber-keras Gawat, nasibku akan tragis seperti Ninoch. Dua tahun belingsatan ingin kursus Jtim editing di Bristol padahal ia ingin agar anaknya ke Eton untuk belajar bisa binasa lewat satu dua kalimat saja dari wanita cerdas yang congkak belajar psikologi. Sementara LaPlagia, yang tak pernah berkeluarga, ini. Aku melonggar-long-garkan bajuku yang kini rasanya melilitku. LaPlagia mengabarkan rencananya ke Tibet untuk belajar meditasi. Menenangkan diri? membaca situasiku. Ia tersenyum remeh. Sebelum membongkar model pricing Keputusannya yang bagus, dalam hatiku. Obrolan makin asik. Aku duduk tegak telekomunikasi yang kudesain sampai hampir senewen itu, ia merasa telah di tengah pusaran kisah-kisah rumah tangga, hewan-hewan peliharaan, musim, menggenggamku. Tiba-tiba terdengar ketukan dan seseorang memutar gagang sakit pinggang, kebun di pekarangan, obat-obat encok dan asuransi. pintu. Lalu ajaib, semuanya berubah. Air muka LaPlagia kendur. Profesor Hampir saru jam aku diabaikan. Tak ada yang peduli pada beruntai- Hopkins Turnbull masuk. untai rumus dalam kepalaku. Tak seorang pun mengacuhkan setelanku yang mendebarkan. Namun, aku paham apa yang terjadi. Di Yale aku pernah melihat seorang profesor menerima pulpen kesayangan dari kolega-koleganya sebagai pengakuan temuan ilmiahnya. Demikian ritual respek akademik sesama mereka. Di ruang sidang ini, baik LaPlagia maupun Woodward, tak kan berinisiatif menanyaiku sebelum Profesor Turnbull—senior mereka dan supervisor tesisku—memulainya. Barangkali begini tradisi di universitas yang telah berumur delapan ratus tahun ini. akhirnya, di sela-sela keluhnya tentang sakit punggung, Turnbull mengalihkan pandang padaku. "Ehm ...young man, coba kaujelaskan dalam struktur industri telekomunikasi macam apa panel-panel dalam modelmu ini valid? Jika. tidak, jelaskan pada kami, mengapa? Harap jangan macam-macam, terangkan singkat dengan grafik saja." Aku berdiri, mengangguk hormat sedikit, mengancingkan dua biji kancing jasku, ambil langkah menuju white board. Aku menjelaskan seperti berkicau dan mereka hanya melirikku sekali-sekali karena LaPlagia sibuk menyarankan pada Turnbull agar berobat pada seorang sinse kenalannya di Amsterdam. Penjelasanku selesai. Turnbull berpaling malas pada grafikku, lalu Maryamah Karpov 13 Maryamah Karpov 14 pada Woodward, ia mendesah, "Bagaimana pendapatmu, Michaella?" theta dan barisan lambang integral kulihat seperti geliat cacing-cacing, lalu aku Woodward memiring-miringkan mukanya mengikuti garis-garis grafik, terduduk pasrah. Diam dan kritis. berpikir sejenak, "Makes sense, well... bagiku cukup meyakinkan." "Setujukah engkau, Antoniar tanya Turnbull. "Kalau kululuskan anak ini, adakah keberatan darimu, Mich?" LaPlagia tercenung menimbang Aku menunduk selayaknya seseorang "Fine by me, Kins." Madu. yang merasa dirinya akademisi berbakat, padahal tak lebih dari seorang "Dan kau, Antonia?" mahasiswa amatir. LaPlagia menatapku tajam, dasi Hedva itu mencekikku. "Deskripsi yang buruk, Kins. Tak lengkap. Anak mi masih harus banyak "Dangkal, terutama definisinya tentang dimensi waktu." belajar. Namun, secara umum, kupikir…… aku bisa menerima logika kalimat- Aku tercekat. kalimat matematika itu." "Teknologi informasi bergerak sangat cepat, revolusioner, artinya, Aku melonjak, tak kupercaya apa yang baru saja kudengar! waktu seharusnya makin tidak relevan dalam analisis." "Begitukah, Antonia?" Kucoba mengelak sedikit, "Tapi menurut Don Tapscott…..” "Dan asal ia tak tampak lagi di depanku dengan dandanan noraknya itu." "Siapa kau hilang?! Tapscott? Tapscott Harvard itu?!" Turnbull tergelak kemudian bersabda dengan aksen kental "Iya, menurut…..” Skotlandianya, "Oraik, young man, kamu lulus, keluar sana…..” "Network economy, bukan?! Itu kan, maksudmu?! Yang dibualkan Nah, begitu saja, ya, semudah itu saja nasibku ber-balik. Tuhan Tapscot itu?!" menolong orang yang berpuasa! Aku lulus! Ah, madu, Kawan. Manis sekali Punggungku dingin. seperti madu. "Itulah masalah kalian! Meriset berdasarkan teori yang masih spekulatif! Maka seluruh tesismu tak lebih dari pemikiran eksperimental! Amatir!" Aku stres. Turnbull dan Woodward mengangguk takzim. LaPlagia, dalam waktu beberapa menit saja, dengan melirik scpintas-pintas sambil mengisahkan sinar sialan itu, langsung tahu kelemahan modelku, dan argu. mennya amat pintar. Aku bisa saja berdalih dengan alasan ini-ita, tapi di muka majelis tinggi ini kata mesti dipelihara dengan teliti. Jika hanya berpendapat sembarang tanpa pernah menguji, hanya akan menikam diri sendiri. “Turunkan algoritmanya!" Pada tahap ini aku hampir ambruk. Aku telah berpuasa selama delapan belas jam. Asam menggerus dinding lambungku yang kosong, perih dan mual. Aku diam seribu bahasa, mengutuki kesembronoanku. Nah, Kawan, lihatlah, siapa yang kehabisan kata-kata cerdas sekarang. Riset dua tahun akan sia-sia kena bantai perempuan Sisilia ini. Aku duduk tafakur. Bayang kegagalan terkekeh-kekeh di depanku. Aku teringat akan susah payah sekolah, terkenang akan ayahku, akan kampungku. Betapa meyedihkan. Namun, menurunkan algoritma berarti memberiku peluang berargumentasi. Kuraih keyboard desktop di dekatku yang tersambung pada proyektor. Kuderas berangkai-rangkai operasi aritmatika. Aku demikian lapar sampai jemariku gemetar. Berkali-kali aku meleset memencet tuts-tuts angka. Pandanganku berpendar-pendar. Simbol Maryamah Karpov 15 Maryamah Karpov 16 Mozaik 6 telah merdeka, tak goyah, tak pernah sedetik pun menyerah. Di sini, atas nama Puisi Tahun Lalu harkat kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak para pemberani. USAI ujian sidang, aku pulang sendirian ke apartemenku di La Rue Hector Aku dilanda takjub. Telah kualami begitu banyak kejadian yang tak Mallot. Tak naik kereta underground metro seperti biasa. Aku sengaja jalan terbayangkan sebelumnya. Lalu takjub itu terurai menjadi rindu. Aku rindu kaki, memutar. pada Bu Muslimah, guruku yang pertama, rindu akan sahabatku para Laskar Musim salju di pelupuk mata. Tanaman meranggas, mengalah pada Pelangi: Lintang, Mahar, Trapani, Harun, Syahdan, Flo, Samson, Kucai, A dingin yang keji. Aku melewati Boulevard de la Bastille. Anak-anak merpati Kiong, Sahara. Bagaimanakah nasib mereka sekarang? Bagaimanakah kabar yang baru belajar terbang labuh, hinggap di bangunan satu-satunya yang tersisa sekolah Laskar Pelangi itu? Orang-orang yang kucintai itu mengalir di depanku, dari penjara ternama Bastille, yakni menaranya, yang tegak jadi muara di ujung mengalir pelan menuju tempat yang mengenangkanku akan keindahan tak pertemuan paling tidak delapan boulevard. terperi: Edensor. Aku ingin mengunjunginya lagi, sebelum pulang kampung. Cepat nian waktu berlalu. Rasanya baru kemarin aku tiba di terminal Seminggu kemudian aku berangkat dari terminal bus Gallieni menuju bus Gallieni bersama sepupuku Arai, terbata-bata membaca nama stasiun pesisir utara Prancis: Calais. Dari sana kuseberangi kanal Inggris naik feri ke metro, ke sana kemari membawa Pocket Reference French Dictionary, Dover. Dari Dover naik bus lagi menuju terminal "Victoria di London. Sore itu mencocok-cocokkan beberapa kata Inggris padanan Prancis dengan penjual hanya ada satu bus menuju Midland, yaitu National Express. Bus itu akan kebab imigran Turki. Belajar tersendat-sendat menyengau- nyengaukan suara berangkat ke Leeds, singgah di Nottingham dan Sheffield. Tiga jam kemudian agar orang Prancis paham. Ternganga di bawah kangkangan nyonya besar aku tiba di terminal bus Sheffield. Menara Eiffel, dan tahu-tahu sekarang, aku telah menyelesaikan studiku. Sheffield, kota dengan lima puluh taman, dingin perti selalu. Esok Di bawah Menara Bastille, aku melamun, lalu menarik garis perjalanan paginya, aku naik bus lagi menuju Edensor. Satu per satu penumpang naik bus dari titik mula aku beranjak, di sekolah dasar Laskar Pelangi yang sembarang jurusan desa itu dan terbalaslah kerinduan lamaku akan para Midlander. Orang- waktu bisa roboh di pinggir hutan di Pulau Belitong sana. Jauh tak terkira, orang saling bertukar senyum, dan akrab menyapa: alright, mate? Jika. ia terpencil. Dari situlah asal muasalku, dari satu kaum terbelakang yang tak perempuan, tak sungkan ia mengucap: Hi, Lof. Midland memang dingin tapi percaya pada sekolah, yang kelaparan di lumbung harta gemah ripah timah. orang-orangnya lebih hangat daripada para Londoness. Sering aku berpikir, Menggerus pohon karet, menjerang kopra, menyarai madu, menangguk ikan, jangan-jangan Midlander adalah orang Inggris yang paling Inggris. Nama-nama memunguti kerang mengais untuk makan. Dan di sini kini aku tertegun, mereka pun unik, selalu praktis: Tom Green, Peter Meyer, Nick Cowan. terkesima akan misteri kebesaran Babi. Sebab tak kutemukan satu pun Shelter demi shelter kulalui dan aku terpesona akan kekuatan ajaib yang penjelasan bagaimana detik ini aku bisa berada di pusat peradaban Eropa: Paris, membawaku kembali ke pedalaman Inggris ini Semuanya hanya untuk dan meraih ijazah dari universitasnya. melintasi kembali segaris jejak rindu dalam kepalaku. Edensor, sejak kecil telah Jika dulu aku tak pernah berani bermimpi sekolah ke Prancis, jika dulu kukenal melalui buku yang diberikan A Ling untukku. Sungguh ganjil, aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat perjalanan hidupku akhirnya membawaku dengan sendirinya ke sini. Aku ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini: sedang berdiri dengan seperti terbimbing invisible hand, tangan yang tak tampak. Bagiku, Edensor tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop adalah bukti tentang sifat nasib yang melingkar, dan Edensor, dengan cara yang menghadapi gunungan timah, mengumpulkan napas, menghela tenaga, aneh, telah membuat rindu yang menyiksa menjadi indah. Atau mungkin aku mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas telah mengidap sakit gila nomor enam belas, yang banyak memusingkan para ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya, turun-temurun menjadi kuli ahli di fakultas-fakultas yang mempelajari soal orang tak waras: yakni penyakit kasta terendah. Aku menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib manusia yang membuat dunia sendiri dalam kepalanya, mencintakan masalah- pada ayahku dan pada kaumku. Kini Tuhan telah memeluk mimpiku. Detik ini masalahnya sendiri, terpuruk di dalamnya, lalu menyelesaikan masalah-masalah di jantung Paris, di hadapan tonggak penjara Bastile, perlambang kebebasan ak ku, sambil tertawa-tawa, juga sendirian. Maryamah Karpov 17 Maryamah Karpov 18
Description: