Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi) Louis Althusser Kata Pengantar: Martin Suryajaya Judul asli: Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation) Pengarang: Louis Althusser Penerjemah: Mohamad Zaki Hussein Editor: Coen Husain Pontoh Penerbit: IndoPROGRESS, 2015 Daftar Isi: Kata Pengantar 1 I. Mengenai Reproduksi Syarat-Syarat Produksi 9 II. Reproduksi Relasi-Relasi Produksi 30 III. Ideologi 39 Dilema Althusser Martin Suryajaya LOUIS Althusser (1918 – 1990) adalah seorang filsuf Marxis dari Prancis yang pandangannya berpengaruh dalam berbagai lini pemikiran Kiri kon- temporer. Di Inggris kita jumpai Marxis seperti Alex Callinicos dan Roy Bhaskar yang mengaku terpengaruh oleh Althusser, begitu juga dengan Ernesto Laclau dan Chantall Mouffe yang berangkat dari konsep Althus- serian tentang ‘overdeterminasi’ dan membangun paradigma pasca-Marx- isme yang kontroversial itu. Di Prancis kita jumpai serangkaian pemikir yang terlibat dalam dialog erat dengan tradisi Althusserian, yakni Étienne Balibar, Jacques Rancière dan Alain Badiou dalam filsafat, serta Pierre Macherey dalam kritik sastra, Maurice Godelier dalam antropologi dan Nicos Poulantzas dalam sosiologi. Di bidang ekonomi-politik kita jumpai kaum Althusserian seperti Stephen Resnick dan Richard Wolff di Amerika Serikat, John Milios, Dimitri Dimoulis dan George Economakis di Yunani serta Jacques Bidet di Prancis. Ide-idenya juga terus dikembangkan lewat jurnal Rethinking Marxism dan Décalages yang memiliki orientasi Althus- serian yang kuat. Pada masa ini, hampir ke segala penjuru kita menengok, kita akan menjumpai jejak-jejak gagasan Althusser. Oleh sebab itu, mem- pelajari pemikirannya adalah pintu gerbang ke dalam alam pemikiran Kiri kontemporer. Pemikiran Althusser tak dapat dilepaskan dari konteks gerakan Kiri di Prancis dan Eropa pada pertengahan abad ke-20. Inilah yang juga ditekankannya dalam pengantar edisi bahasa Inggris dari karya utamanya, Demi Marx (Pour Marx; 1965), yakni bahwa pemikirannya adalah ‘inter- vensi di dalam konjungtur yang tertentu’ (Althusser 1997: 9). Konjungtur yang dimaksudnya tak lain adalah proses de-Stalinisasi sejak Kongres Par- tai Komunis Uni Soviet ke-20 (1956) hingga perpecahan Cina-Soviet (1960 – 1963). Di antara dogmatisme Stalinis dan kritik Kanan atas dogmatisme itu (maksudnya argumen humanis dalam proses de-Stalinisasi), Althusser berupaya mencari jalan ketiga. Apabila dogmatisme mewujud dalam de- terminisme ekonomis dan kritik Kanan atas dogmatisme mengemuka se- bagai humanisme borjuis yang subjektivis-voluntaris, Althusser kemudian Louis Althusser hendak melampaui keduanya dengan mengakui ‘otonomi relatif’ super- struktur di atas basis sekaligus ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh basis (Althusser 1997: 111). Artinya, ia mengakui bahwa ideologi memiliki ko- herensi internal dan logikanya sendiri yang tak bisa sepenuhnya direduksi kepada mekanisme ekonomis dan dapat pula mempengaruhi mekanisme itu (inilah yang disebut sebagai ‘overdeterminasi’) sembari mengakui pula bahwa pada pokok terakhir mekanisme ekonomi itu tetap menentukan. Inilah tegangan dasar dalam pemikiran Althusser. Terdapat seutas benang merah yang menurut Althusser mempertemu- kan dogmatisme Stalinis dan kritik Kanan atasnya, yakni Hegelianisme. Keduanya telah gagal memahami kespesifikan diskursus Marxis sebagai sebuah ranah teoretik yang terpisah dari diskursus idealis tentang Manusia dan Sejarah. Keduanya masih melihat Sejarah sebagai proses teleologis di mana Manusia sebagai Subjek yang mengalami alienasi dari hakikat-dir- inya akan menemukan pemenuhannya kembali pada akhir sejarah, dalam komunisme sebagai realisasi humanisme (Elliot 2006: 29). Keduanya, de- ngan kata lain, masih terjebak dalam ideologi humanisme dan historisisme yang berasal dari pengaruh Hegel atas Marx ‘muda’. Keduanya belum ber- hasil mengisolasi pokok pemikiran Marx yang benar-benar saintifik dan memilahnya dari konsep-konsep idealis yang masih meresapi pemikiran Marx sampai dengan fase penulisan Ideologi Jerman. Dalam rangka mem- erangi pengaruh Hegelianisme inilah Althusser menolak beberapa konsep yang umumnya dikaitkan dengan tradisi Marxisme yang baginya masih Hegelian, antara lain alienasi, subjek, distingsi esensi – penampakan dan negasi atas negasi. Intensi Althusser tak pelak lagi adalah purifikasi atas Marxisme dengan mencerai-beraikan segala bentuk kontaminasi filsafat borjuis (Hegelianisme) atasnya. Hasil dari purifikasi ini adalah Marxisme sebagai sains sejarah (materialisme historis) yang terseparasikan dari segala bentuk ideologi dan materialisme dialektis yang bebas dari Hegelianisme (Althusser 2003: 231). Hanya dengan cara itulah Marxisme akan terbebas baik dari dogmatisme Stalinis maupun humanisme borjuis. Resolusi Althusser atas dilema Marxisme kontemporer itu adalah dengan memberikan otonomi yang lebih luas pada superstruktur dan karakter- isasi baru atasnya. Apabila dalam tafsiran Hegelian, superstruktur akan tampak sebagai ekspresi alienasi-diri manusia, dalam tafsiran Althusse- 2 Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara rian, superstruktur nampak seperti sedimentasi diskursif yang beragam dan tak punya pusat atau esensi tersembunyi selain hubungan yang tak langsung dengan basis sebagai pokok penentu terakhirnya. Konsepsi semacam ini mensyaratkan klarifikasi yang lebih ketat tentang fungsi efek- tif dari basis ekonomis. Inilah yang justru gagal disediakan oleh Althusser. Dilema Althusser dapat dirumuskan seperti ini: Bagaimana merumuskan hubungan antara basis dengan superstruktur tanpa membuat basis itu menjadi sebuah esensi tersembunyi yang mengatur gerak teleologis seja- rah ‘penebusan Manusia’ dan karenanya terjebak dalam skema ‘muslihat akal budi’ (List der Vernunft) Hegelian maupun membuat superstruktur menjadi sepenuhnya independen dan karenanya terjatuh pada ilusi bor- juis tentang otonomi pikiran dan individu? Karya-karya Althusser di ta- hun 60-an lebih merupakan pengemukaan atas problem ini ketimbang penyelesaiannya. Dalam hamparan situasi inilah kita mesti menempatkan teks Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara yang diselesaikannya sekitar tahun 1969-1970. Tegangan antara ekonomi dan politik itulah yang menjelaskan mengapa Althusser, dalam esai tersebut, menempatkan diskursus tentang ideolo- gi pada konteks reproduksi syarat-syarat produksi, atau dengan kata lain, pada konteks ekonomi. Untuk menjamin kesinambungan modus produk- si kapitalis, tidak cukup kaum kapitalis hanya membeli tenaga-kerja kelas pekerja melainkan mesti juga membangun ‘kesediaan kultural’-nya untuk bekerja demi kapitalisme. ‘Kesediaan kultural’ inilah yang diwujudkan le- wat berbagai aparatus negara dalam bentuk ideologi. Salah satu efek dari ideologi adalah naturalisasi relasi produksi atau menjadikan relasi produksi yang ada nampak alamiah, seolah sudah dari kodratnya demikian. Dalam menjalankan fungsi naturalisasi ini Althusser memilah dua bentuk apara- tus yang bekerja. Aparatus yang paling kasat mata adalah aparatus represif negara, yakni seluruh mekanisme koersif yang bekerja dalam memastikan tereproduksinya syarat-syarat produksi. Contohnya adalah pemerintah, pengadilan, penjara, angkatan bersenjata dan lain sebagainya. Jenis apara- tus lain yang bekerja secara lebih ‘halus’ adalah aparatus ideologis negara, yakni segala mekanisme persuasif-ideologis yang berfungsi menjamin re- produksi syarat-syarat produksi. Contohnya adalah agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan dan seterusnya. Apabila aparatus jenis pertama bekerja melalui kekerasan, aparatus jenis kedua ini bekerja melalui inter- 3 Louis Althusser nalisasi nilai secara ‘humanis’. Dalam teks ini, seperti juga pada teks-teks Althusser yang lain, tegangan antara ekonomi dan politik ditutup dengan memberikan porsi yang lebih besar pada politik, pada dimensi superstruktural. Demikianlah, esai Ideolo- gi dan Aparatus Ideologis Negara yang berangkat dari cakrawala problema- tik reproduksi syarat-syarat produksi material justru diakhiri dengan afir- masi superstrukturalis bahwa ‘tidak ada sesuatupun di luar ideologi’ (Al- thusser 1971: 175). Konsekuensi dari pengakuan ini adalah bahwa semua yang kita anggap objektif sebetulnya hanyalah konstruksi subjektif-ideol- ogis yang tertentu saja. Di sini masuk argumennya tentang subjek. Bagi Althusser, fungsi penting ideologi adalah menjalankan subjektivasi atau proses transformasi individu menjadi subjek atau agensi sosial yang ter- tentu. Melalui aparatus ideologis pendidikan, misalnya, kita diajar untuk menjadi orang yang patuh pada aturan masyarakat sekaligus diisi dengan ilmu yang berguna bagi peran kita dalam masyarakat. Pendidikan, dengan demikian, memastikan agar fungsi kita sebagai subjek dalam masyarakat terpenuhi, misalnya agar dapat bekerja mengaplikasikan ilmu yang diper- oleh dalam sistem pembagian kerja yang ada. Menjadi subjek, karenan- ya, bukan berarti menjadi otonom melainkan justru menjadi hamba dari (subjectus; subjected to) mesin sosial-politik di mana sang subjek menjadi sekrup di dalamnya. Akibatnya, pandangan sang subjek tentang dunia tak lain adalah pandangan sistem yang memproduksinya. Apabila kita teliti membaca esai ini, teori subjektivasi yang dirumuskan Althusser di situ sejatinya bersumber dari psikoanalisa Jacques Lacan. Al- thusser secara eksplisit menyepadankan operasi ideologi dengan fase cer- min dalam psikoanalisa. Dalam pandangan Lacan, identitas selalu ditan- dai oleh keterbelahan. Ia berangkat dari situasi ketika seorang bayi belum dapat mengenali perbedaan antara diri dan dunia objek-objek. Pengertian pertama sang bayi akan identitasnya diperoleh dari persepsinya atas cer- min atau segala yang memantulkan citra dirinya. Pada titik itulah sang bayi memperoleh pengertian tentang dirinya. Namun karena identifikasi ini terjadi berdasarkan sesuatu yang lain dari dirinya—citra-diri di cermin, misalnya—maka identitas dirinya selalu terbelah antara diri dan yang-bu- kan diri. Identitas, karenanya, diperoleh bersamaan dengan alienasi (Lacan 2006: 78). Akibatnya, dalam setiap identitas telah selalu termuat 4
Description: