KONSEP HERMENEUTIKA OTORITATIF KHALED ABOU EL-FADL Muhammad Sofyan UIN Sumatera Utara [email protected] Abstrak Tulisan ini memaparkan secara kritis Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl dalam membaca teks-teks keagamaan. Dari paparan tersebut didapati bahwa hermeneutika Khaled secara implisit mengandung semangat Gadamerian yang membaca teks secara subjektif. Walaupun ia membuat beberapa persyaratan bagi para pembaca, namun persyaratan itu tampak kontradiktif dan memberikan ruang interpretasi al-Qur’an dengan tidak memperhatikan mana yang bersifat tsawa>bit dan mutaghayyira>t, atau ushu>l dan furu>’. Kelemahan ini dapat dilihat ketika perangkat yang ditawarkan Khaled dipraktikan dalam membaca beberapa ayat-ayat hukum, dimana Khaled lebih mengedepankan rasionalitas daripada aturan-aturan wahyu yang dijelaskan oleh sunnah kenabian dan disepakati oleh Ijma’. Implikasinya seluruh interpretasi tidaklah bersifat final, namun relatif. Abstract This article analyses critically the authoritative hermeneutics of Khaled Abou el-Fadl in reading religious texts. The study finds out that the Khaled’s hermeneutics implicitly contain the spirit of Gadamerian who read the text subjectively. Although he has made several conditions for the readers, they seem to be contradictory and result in a qur’anic interpretation model which pays no attention between tsawa>bit and mutaghayyira>t, or Ushu>l and Furu> ‘. This weakness can be seen when the method offered is practiced in reading few verses regarding Islamic law, where Khaled emphasizes the use of rationality than the meanings of revelation described by the prophetic sunnah and agreed by consensus’. Consequently, the whole interpretation is relative and indecisive. Kata Kunci: hermeneutika, otoritatif, teks. Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 373 Muhammad Sofyan A. Pendahuluan Khaled Medhat Abou el-Fadl (selanjutnya disebut Khaled) adalah salah satu pemikir Islam kontemporer yang menawarkan model pembacaan teks keagamaan yang dianggapnya otoritatif. Model pembacaannya tersebut banyak disebut oleh peneliti sebagai hermeneutika otoritatif yaitu sebentuk hermeneutika negoisatif dimana makna merupakan hasil interaksi yang kompleks antara pengarang, teks dan pembaca yang disana makna diperdebatkan didialogkan dan terus mengalami perubahan. Perangkat ini memiliki karakteristik Hermeneutika yang berbeda dengan hermeneutika double movement, ideal moral dan legal specific milik Fazlur Rahman; atau Nasr Hamid Abu Zaid dengan pembacaan produktif hermeneutisnya (al-Qirā’ah al-Muntijah) yang dibedakan dengan pembacaan repetitif (Qirā’ah Mukarrirah); atau Muhammad Sahrur dengan pembacaan heremeneutis kontemporer (Qirā’ah Mu’ashirah) yang bertumpu pada dialektika kaynūnah (being), sairurah (process) dan shairurah (becoming) atau Abdullah Saeed tentang ethico- legal text yang bertumpu pada anggapan dasar bahwa bahasa al- Qur’an adalah ethical-theological dan memperkenalkan pendekatan progressive Ijtihadi.1 Kalau boleh dikatakan model heremeneutika Khaled agak lebih lunak dalam membaca teks-teks keagamaan. Dalam beberapa pandangan, dia sangat mengapresiasi tradisi fiqh dalam Islam yang menjunjung tinggi perbedaan (ikhtilāf), dan pada sisi lain dia menggunakan teori-teori Barat yang diinternalisasi dengan cukup kritis. Lebih jauh, model pembacaan Khaled ini merupkan respon yang produktif terhadap fatwa-fatwa dari lembaga hukum Islam, khususnya dari golongan Wahabi yang dianggap bersifat otoriter. Oleh karena itu, Khaled menawarkan sebuah perangkat operasional dalam menafsirkan teks atau memaknainya khususnya dalam menghasilkan sebuah hukum. Namun demikian, sebagai model baru, model pembacaan ini perlu ditela’ah secara kritis: apakah Heremeneutika Khaled tersebut sesuai dengan tradisi penafsiran dalam Islam? Apakah ia bisa menjadi solusi atas penafsiran yang 1 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London and New York, Routledge, 2006), h. 123. 374 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl otoriter? Bagaimana implikasi perangkat ini apabila digunakan dalam membaca teks keagamaan? B. Biografi Singkat Khaled Abou el-Fadl Nama lengkapnya Khaled Medhat Abou el-Fadl, populer dengan nama Khaled Abou el-Fadl. Ayahnya bernama Medhat Abou el-Fadl dan ibunya Afaf el-Nimr. Lahir di Kuwait pada tahun 1963. Sebagaimana masyarakat Arab pada umumnya, Khaled sedari kecil telah dididik dengan ilmu-ilmu keislaman. Al-Qur’an, Hadits, Bahasa Arab, Tafsir, dan Tasawwuf telah diakrabinya sejak dari sekolah pendidikan dasar. Ketika masih muda ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Pada usia 12 tahun, ia sudah hafal al-Qur`an. Semasa kecil selain aktif mengikuti kelas al-Qur’an dan Syari’ah di masjid lokal di daerahnya, al-Azhar, dia juga mempelajari semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara.2 Pada waktu mudanya Khaled adalah seorang aktivis gerakan Wahabi yang merupakan mazhab negara Kuwait. Namun ia kemudian memutuskan untuk menetap di Mesir setelah dia menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis pemikiran kaum Wahabi. Khaled memperoleh gelar B.A. (Bachelor of Art) di Yale University, Amerika Serikat (1986). Setelah itu ia melanjutkan ke University of Pennsylvania dan selesai pada tahun 1989. Dan pada tahun 1999, dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies dan pada saat yang bersamaan ia menempuh studi hukum di Universitas California Los Angeles (UCLA). Di UCLA pula, ia ditunjuk sebagai guru besar hukum Islam dengan mengampu sejumlah mata kuliah, seperti hukum Islam, imigrasi, HAM, dan hukum keamanan nasional dan internasional. Selain di UCLA, Khaled juga mengajar hukum Islam di universitas Texas dan Universitas Yale. Selain aktif mengajar di sejumlah universitas prestisius di dunia, ia juga mengabdikan dirinya dalam bidang advokasi dan pembelaan HAM, hak-hak imigran, dan mengepalai sebuah lembaga HAM di Amerika. Pada tahun 2003- 2005, Khaled diangkat oleh George Walker Bush Presiden Amerika 2 Abid Rohmanu, Konsepsi Jihad Khaled M. Abou El Fadl dalam Perspektif Relasi Fikih, Akhlak dan Tauhid, Disertasi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010), h. 25. Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 375 Muhammad Sofyan Saat itu – sebagai salah satu anggota Komisi Internasional Kebebasan Beragama (Internasional Religious Freedom). Di samping itu, Khaled juga sering diundang sebagai narasumber di radio dan televisi, seperti CNN, NBC, PBS, NPR, dan VOA. Adapun karya-karya Khaled diantaranya adalah a) The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Books (Lanham, Md: Rowman and Littlefield, 2006), b) The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremists (San Francisco, Ca: HarperSanFrancisco, 2005), c) Islam and the Challenge of Democracy (Pricenton University Press, 2004), d) The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001), e) Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University, 2001), f) Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Woman (Oneworld Publication, 2001), g) And God Knows the Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001), dan h) The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse: A Contemporary Case Study (Washington: Al-Saadawi Publisher, 2002). Selain menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuan kontemporer. C. Problem Otoritarianisme: Latar Belakang Kemunculan Gagasan Otoritarianisme merupakan istilah yang mengacu kepada sebuah tindakan otoriter yaitu bertindak dengan sewenang- wenang.3 Dalam bukunya “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women”, Khaled menjelaskan bahwa otoritarianisme merupakan pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan dan pengambilalihan Tuhan oleh wakil Tuhan sehingga wakil tersebut secara efektif kemudian mengaju kepada dirinya sendiri. Tindakan demikian berimplikasi pada penolakan integritas petunujuk teks dengan menutup kemungkinan bagi petunjuk-petunjuk tersebut untuk mengungkapkan dirinya sendiri, dan menghalangi perkembangan dan evolusi makna komunitas interpretasi.4 3 Kamus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008), h. 1025. 4 Khaled M. Abou Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 376 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl Menurut Khaled tindakan demikian telah mewabah pada masyarakat Muslim kontemporer, dimana para ahli hukum telah melakukan penafsiran yang otoriter terhadap teks-teks al-Qur’an dan tradisi kenabian. Pasalnya kondisi ini dalam pengamatan Khaled telah terjadi semenjak tahun 1975.5 Baginya, para tokoh agama tidak lagi berbicara tentang Tuhan (bukankah teologi, secara etimologis, tidak lain adalah “berbicara tentang Tuhan”?), melainkan berbicara “atas nama Tuhan”, atau bahkan menjadi “corong” Tuhan itu sendiri. Ketika pendakuan absolut ini berkelindan dengan tangan kekuasaan despotik, maka akan ditemukan perselingkuhan agama dengan kekuasaan yang sangat berbahaya. Selain itu, otoritarianisme juga berakibat pada perlakuan Islam sebagai seperangkat hukum yang mapan, statis dan tertutup, yang harus ditetapkan tanpa menyisakan ruang yang luas untuk pengembangan dan keragaman. Dengan kata lain Islam pada masa modern ini dipandang sebagai seperangkat aturan (ahkām), bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh).6 Perlakuan tersebut, bagi Khaled, berimplikasi pada punahnya tradisi hukum yang secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman. Dan memiliki metodologi hukum yang terbuka dan antiotoritarianisme. 7 Praktik yang demikianlah yang ditemukan oleh Khaled dalam sejumlah fatwa-fatwa dari sebuah organisasi Islam di Amerika, khususnya fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CLRO (Council for Scientific Research and Legal Opinions/al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’, Lembaga Pengkajian Ilmiah dan Fatwa), sebuah lembaga resmi di Arab Saudi. Dari segi perspektifnya, fatwa-fatwa ini menggunakan perspektif Timur Tengah yang dipengaruhi – terutama oleh – puritanisme Wahhabi. Perspektif ini kemudian diterapkan untuk ummat Islam di Amerika. Padahal- sebagaimana penjelasan Khaled- keduanya berbeda, dimana masyarakat Muslim di Amerika adalah minoritas sedangkan di Arab Saudi mayoritas. Belum lagi masalah kondisi sosial, budaya, dan sistem pemerintahan. Tentunya hal itu memerlukan proyek Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2004), h. 205. 5 Ibid., h. 17. 6 Ibid., h. 247-248. 7 Ibid., Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 377 Muhammad Sofyan penerapan hukum yang penuh pertimbangan. Mungkin inilah salah satu konstruksi ideologis pemikiran kaum Wahabi yang menyebabkan Khaled berpindah darinya. Untuk menguatkan kevalidan penelitiannya, Khaled mengumpulkan beberapa fatwa-fatwa CRLO yang dianggap bersifat otoriter bahkan bertendensi misoginis yang menghina dan merendahkan harkat martabat perempuan. Hal itu karena banyak bukti-bukti yang diabaikan oleh organisasi Islam tersebut dan dinilai Khaled sebagai sesuatu yang sangat dangkal, ceroboh dan bahkan penuh dengan ketidakjujuran. Bahkan Khaled melihat tidak adanya kesepaduan, metode, pendekatan yang berlandaskan prinsip moral serta yurisprudensi di dalamnya.Secara ringkas, inilah yang mendasari munculnya gagasan Khaled. D. Hermeneutika Otoritatif: Sebuah Solusi Menurut analisis Khaled, perangkat hermeneutika adalah solusi dalam menghadapi fenomena otoritarianisme dalam pemikiran Islam, khususnya dalam penelitiannya tentang diskursus hukum Islam. Dan ini merupakan prosedur metodologis terkait dengan relasi antara ketiga unsur pengarang, teks, dan pembaca. Dalam pembacaan Amin Abdullah pendekatan tersebut digunakan Khaled untuk memposisikan bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader).8 Untuk itu Khaled membuat konsepsi baru terkait dengan teks (al-Qur’an dan sunnah), pengarang, dan pembaca. 1. Al-Qur’an dan Hadits adalah teks terbuka Menurut Khaled, al-Qur’an dan Sunnah walaupun berbeda dalam tingkat hirarkinya, haruslah diperlakukan sama. Dalam hal ini, baginya- meminjam istilah Umberto Eco- keduanya adalah karya yang terus berubah. Dalam artian keduanya terbuka untuk berbagai interpretasi. Asumsi yang demikian akan menjadikan teks berbicara dengan suara yang diperbaharui oleh masing-masing generasi pembaca (reader) karena maknanya tidak permanen dan 8 Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutik dalam Fatwa-fatwa Keagamaan Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan Pembaca, dalam Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 276. 378 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl berkembang secara aktif. Jadi, sebuah teks akan tetap relevan dan menduduki posisi sentral karena keterbukaannya. Para pembaca akan selalu kembali merujuk kepada teks karena teks dapat menghasilkan pemhaman dan interpretasi baru.9 Disini dapat difahami bahwa al-Qur’an dan sunnah menurut Khaled adalah bersifat bebas, terbuka, dan otonom. Ide yang hampir sama juga pernah disampaikan oleh Farid Esack dengan memahami al-Quran sebagai “pewahyuan progresif”.10 Maka dari itu, untuk menghindari sikap otoriter adalah tetap sadar bahwa teks (al-Quran) merupakan “karya yang terus berubah” atau “wahyu yang progresif”. Sehingga segala bentuk penafsiran dan pemahaman akan terus aktif, dinamis dan progresif. Dalam analisis Khaled, hal inilah yang dibenarkan secara moral. Menurutnya jika teks al-Qur’an dan sunnah diinterpretasi menjadi sebuah makna yang stabil, tetap dan tidak berubah, maka konsekwensinya adalah teks menjadi tertutup dan menyegel maknanya dengan interpretasi pembaca. Secara moral hal ini tidak dibenarkan karena merupakan bentuk kesombongan. Karena seorang pembaca mengklaim memiliki suatu pengetahuan yang identik dengan pengetahuan Tuhan. Dengan demikian seakan- akan ia berbicara bahwa interpretasinya identik dengan makna teks yang sebenarnya. Bagi Khaled ini akan berakibat kepada hilangnya otonomi teks, dan secara teologis ini bermasalah karena bersebrangan dengan kemutlakan pengetahuan Tuhan. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kemutlakan Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tidak bisa disejajarkan dengan pengetahuan siapapun.11 2. Pembaca dan Lima Prasyaratnya Walaupun Khaled menganggap al-Qur’an sebagai teks yang bebas, terbuka dan otonom, namun demikian Khaled merasa perlu membatasi otoritarianisme pembaca dengan lima syarat. Prasyarat ini harus dipenuhi atau dilaksanakan. Karena apabila tidak mencukupi, maka pembaca khususnya para wakil khusus 9 El-Fadl, Atas Nama Tuhan..., h. 212. 10 Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas, Terj., Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), h. 87. 11 El-Fadl, Atas Nama Tuhan…, h. 212-213 Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 379 Muhammad Sofyan atau mujtahid telah melakukan tindakan di luar kewenangan hukum yang dimilikinya (ultra vires). Kelima prasyarat yang menjadi landasan pelimpahan otoritas tersebut adalah sebagai berikut:12 Pertama, kejujuran, dimana seorang ahli hukum dituntut tidak bersikap pura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak diketahui dan bersikap terus terang tentang sejauh mana ilmu dan kemampuannya dalam memahami perintah Tuhan. Maka dengan demikiran seorang ahli hukum tidak akan menyembunyikan dengan sengaja sebagian perintah Tuhan, atau karena berbagai alasan, sengan sengaja mengganti bunyi perintah-Nya. Dengan kata lain, tidak membatasi, menyembunyikan, berbohong atau menipu, dan menjelaskan semua perintah yang ia pahami. Kedua, kesungguhan, dimana seorang ahli hukum harus memaksimalkan kemampuan yang ia perlukan untuk mengklaim secara jujur bahwa dirinya telah melakukan semua hal yang bisa dilakukan untuk menemukan dan memahami petunjuk- petunjuk yang ada, dan harus bersedia mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan pada hari akhir nanti. Di sini Khaled menegaskan bahwa dalam sistem teologi Islam, kewajiban untuk bersungguh-sungguh menemukan dan memahami menjadi lebih besar ketika sebuah hukum bersentuhan dengan hak orang lain. Seseorang bertanggung jawab atas keputusannya yang menyesatkan atau melanggar hak orang lain. Oleh karena itu bagi orang-orang yang berakal, semakin bersentuhan dengan hak orang lain, semakin besar pula keharusan mereka berhati-hati, dan semakin keras upaya mereka dalam melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain. Semakin besar pelanggaran mereka terhadap orang lain, semakin besar pula pertanggung jawaban mereka di sisi Tuhan. Ketiga, kemenyeluruhan, dimana seorang ahli hukum telah mencoba untuk menyelidiki perintah Tuhan secara menyeluruh dan telah mempertimbangkan semua perintah yang relevan, membuat upaya terus menerus untuk menemukan semua perintah yang relevan, dan tidak melepas tanggung jawabnya untuk menyelidiki atau menemukan alur pembuktian tertentu. 12 Ibid., h. 98-103. 380 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou el-Fadl Keempat, rasionalitas, dimana seorang ahli hukum telah melakukan upaya penafsiran dengan menganalisis perintah- perintah Tuhan secara rasional. Tentu saja rasionalitas ini dipandang sebagai sebuah konsep yang abstrak. Namun, bagi Khaled, ia berarti sesuatu yang dalam kondisi tertentu dipandang benar secara umum. Kelima, pengendalian diri, dimana seorang ahli hukum menunjukkan tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Prasyarat ini telah dijelaskan dengan baik dalam ungkapan Islam: “Dan Tuhan lebih tahu yang terbaik (wa Allah a’lam). Ungkapan ini berperan sebagai klaim epistemologis dan moral. Lebih dari sekedar ungkapan, gagasan utama ungkapan itu adalah bahwa seorang ahli hukum harus memiliki kewaspadaan tertentu untuk menghindari penyimpangan atau kemungkinan penyimpangan atas peran Tuhannya. 3. Negoisaisi antara Teks, Pengarang dan Pembaca Konsepsi Khaled mengenai teks al-Qur’an, sunnah dan prasyarat pembaca diatas adalah sebuah konsepsi untuk mewujudkan sebuah negoisasi makna antara pembaca dan teks yang akan dimaknai. Dalam proses negosiasi itu, Khaled menekankan pentingnya latar belakang sosial historis al-Quran. Ia menyatakan wahyu selalu dimediasikan oleh kondisi-kondisi historis yang berlaku. Sehingga, sangat penting untuk menganalisis situasi historis yang menegosiasikan norma-norma etis al-Quran tertentu13. Banyak institusi yang diacu dalam al-Quran menurut Khaled hanya dapat dipahami jika pembacanya menyadari praktik- praktik historis yang melingkupi pewahyuan teks tersebut. Namun dengan memisahkan al-Quran baik dari sejarah maupun dari konteks moralnya, maka para penafsir, menurutnya, hanya berujung pada pengubahan teks menjadi daftar panjang perintah hukum yang secara moral tidak jelas.14 13 Khaled M. Abou el-Fadl, The Islamic Law of Rebellion, (Cambridge: University Press), h. 328 14 Khaled M. Abou el-Fadl, The Place of Tolerance, (Boston: Beacon Press, 2002), h. 31 Volume 9, Nomor 2, Desember 2015 381 Muhammad Sofyan Prinsip negosiasi di atas, sekaligus mengimplikasikan bahwa dalam perspektif hermeneutik, kebenaran pengetahuan tidak pernah bersifat final (the fallibility of knowledge). Karena itulah hermeneutika pada dasarnya tidak menafikan eksistensi dari otoritas, baik itu otoritas teks, pengarang dan pembaca (reader / audience), akan tetapi melawan segala bentuk dominasi dan monopoli dalam penetapan makna teks. Hermeneutika dalam hal ini berada dalam wilayah publik yang hendak mendialogkan berbagai asumsi kebenaran yang datang dari para pembaca teks. Teks sebagai panduan moral tentu bersifat otoritatif, akan tetapi tatkala direproduksi oleh pembacanya bisa saja ia menjadi otoriter. Inilah yang disebut dengan intervensi pembaca teks (human intervention) dalam penetapan makna teks berdasar interest, atau kepentingan pembacanya. Negoisasi ini- dalam pandangan Khaled- merupakan bentuk interpretasi otoritatif dengan berdasarkan rasio bukan interpretasi otoriter yang taklid buta, meminjam definisi Joseph Vining. Dimana akan tercipta sebuah gerak interpretasi yang otoritatif, dan terwujud sebuah relasi yang proporsional dan proses negoisasi antara teks, pengarang dan pembaca. Walhal hukum Islam yang dihasilkan tidaklah otoriter dan tidak sewenang-wenang. Negoisasi ini, mungkin dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut: Text (Teks, atau Nash) Negotiating Process Relasi yang proporsional Author Reader (Pengarang) (Pembaca) 382 Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam
Description: