KEBIJAKAN TURKI TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR, DI BAWAH KEPEMIMPINAN PARTAI ADALET VE KALKINMA PARTISI (AKP) DARI TAHUN 2012-2016 Oleh : Tri Rachmad Dani 20130510292 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email : [email protected] Abstract Turkish Foreign Policy under Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) using politic multidimensional to bring Turkey as the main actor in Asia, Europe and Middle East, Turkish aim is to reach all regional and to show with a new political Strategic, Turkey will able to cooperate with any country, Turkey trying to open up himself without having to isolate himself to the outsideworld. In this case we can see Turkey come to Asia and trying to build cooperation with myanmar related Issue Ethnic Rohingya in Myanmar, even though not as the member of ASEAN, Turkey still come to provide humanitarian aid in rakhine and arakan or all people who need help after the conflict between Buddha and Islam in 2012 and also Turkey aid assisted by Internasional Institution. This research is to study Turkey`s policy under Adalet ve Kalkinma Partisi and trying to analyze identity of Turkey by using constructivist approach. Keywords : Turkey`s Policy under AKP, Issue Ethnic Rohingya, humantarian aid, identity of Turkey I. Pendahuluan Pada tanggal 28 Agustus 2007 Abdullah Gul resmi menjadi presiden Turki yang ke-11, Ia berasal dari partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau Partai Keadilan dan Pembangunan yang dipimpin oleh Recep Tayyeb Erdogan. (Wikipedia) namun kemenangan partai AKP yang di cap sebagai partai Islam dan memiliki sebuah agenda islamis oleh militer yang dapat membahayakan sekular di Turki kemudian kekhawatiran oleh pihak Militer maupun oposisi di tanggapi oleh Gul dengan baik, Gul berjanji untuk tetap menjujung tinggi nilai-nilai sekular agar tidak adanya kudeta dari militer. (BBC, 2007) Di masa kepemimpinannya, Gul menunjukkan bahwa ia adalah seorang diplomat yang berpengalaman, Gul berusaha memanfaatkan fungsi negaranya untuk menjadikan Turki sebagai jembatan antara kawasan Barat dan Timur (DW.Com, 2007) Turki juga menjadi penengah di antara Negara-negara yang sedang berkonflik dan Gul yakin bahwa Turki bisa menjadi model untuk ditiru oleh negara lain, seperti contohnya pemimpin dari Ennahda Tunisia yaitu Rached Ghannouchi pernah mengatakan, “Kami belajar dari pengalaman Turki, khususnya terkait dengan situasi damai antara Islam dan modernisasi yang dicapai negeri itu.”, tidak hanya di Tunisa, Turki juga terus memberikan pengaruhnya ke negera lainnya. (Pipes, 2011) Semenjak kemenangan partai AKP, perubahan kebijakan dalam negeri Turki mulai terlihat, budaya demokratis sudah mulai berkembang dan konstitusi sekular tidak sekaku seperti periode sebelumnya. Politik luar negerinya juga ada perubahan, semula kedekatannya dengan kawasan barat sangat erat perlahan menarik diri dengan barat, Turki menggunakan konsep Strategic Depth dan Zero Problem yang tujuannya untuk memanfaatkan kelebihan Turki secara geografi, budaya dan pengaruh sejarah sebagai alat interaksi Turki dalam kanah internasional, tanpa harus mengisolasi diri terhadap dunia luar melainkan keterbukaan dan penerapan politik Soft power kepada negara tetangga. (Budiana, 2015, hal. 1-7) Dan politik luar negeri ini dibuktikan dengan bantuan Turki ke Myanmar terkait isu-isu kemanusiaan, Turki mencoba membantu dan bekerjasama dengan Myanmar untuk mencari solusi dengan cara yang damai. Turki datang membantu Etnis Rohingya yang terusir dan tidak diakui oleh negaranya sendiri, mereka dibantai dengan kejam dengan tujuan untuk membersihkan Etnis Rohingya dari Arakan (Choirul, 2012) pembantaian ini bisa dibilang sebagai tindakan Genosida, Genosida merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan, yang melakukan penyiksaan, pembunuhan, pengusiran, pembakaran, pengambil alihan tanah dan barang, yang dilakukan baik secara sengaja sistematis oleh penguasa atau membiarkannya dengan massif atas dasar motif berbeda suku, agama, ras, dan antar golongan. (Thontowi, 2013, hal. 41) Tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar merupakan pelanggaran berat terkait hak asasi manusia, kebebasan dan keselamatan Rohingya telah hilang akibat ethnic cleansing. Dan dampak dari pembantaian ini banyak warga Rohingya yang menjadi pengungsi. Pengungsi adalah mereka yang sangat miskin dan tidak memiliki dokumen perjalanan, Kepergian mereka ke tempat atau ke negara lain bukan atas keinginan diri pribadi tetapi karena terpaksa karena tidak adanya jaminan keselamatan dari negara domisili dan mereka tidak ingin mendapatkan jaminan itu, sehingga timbulah pelanggaran terhadap hak asasi pengungsi yang tidak dapat dihindari. (Januari, 2013, hal. 220) Kemudian pada tanggal 8 Agustus 2012 merupakan bantuan pertama Turki ke rohingya setelah konflik antara agama Buddha dan Islam Di Myanmar. (Lahnie, 2012) Turki melalui Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoglu bersama dengan Organisasi Kerjasama Islam memberikan bantuan dana untuk Rohingya. (Maharani, 2012)Dalam kedatangan Davutoglu ke Myanmar, ia melakukan pertemuan resmi dengan sejumlah pemimpin Myanmar. Salah satunya Davutoglu bertemu dengan Presiden Thein Sein, Davutoglu juga menyampaikan rencana Turki untuk membuka kedutaan besar Turki di Myaanmar, dan keinginan Turki ini di sambut dengan baik oleh Thein Sein. (Republika.co.id) Pemerintahan Turki juga berusaha membantu Etnis Rohingya yang berlayan tanpa menggunakan peralatan yang aman, mereka berlayar dilautan lepas untuk mencari tempat yang mau menerima pengungsi, pada tahun 2015, di Istana Cankata, Ahmet Davutoglu menyampaikan usaha Turki untuk terus mencari pengungsi yang terdampar dengan bekerjasama dengan Organisasi Intenasional untuk Migrasi (IOM) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menggunakan kapal Angkatan Bersenjata Nasional Turki yang diperintahkan oleh panglima, Perdana Menteri dan Presiden Turki untuk melakukan pencarian terhadap Etnis Rohingya, mereka mencari pengungsi yang terombang ambing di sekitar Asia Tenggara tujuannya untuk membantu melindungi, mengarahkan, memberi bantuan makanan dan bahan bakar agar tiba dengan selamat di Turki kemudian diberikan tempat tinggal yang layak bagi mereka (Banan, 2015) Bantuan lainnya juga datang pada tahun 2016, menteri luar negeri Mevlut Cavusoglu yang menggantikan posisi Ahmet Davutoglu datang berkunjung untuk menemui Aung San Suu Kyi Cavusoglu, kedatangan ini untuk membahas tentang tujuan Turki untuk membantu semua pihak di wilayah miskin Rakhine bantuan yang akan diberikan tidak memandang suku, bahasa maupun agama, Turki akan membantu membuat klinik, sekolah, infrastruktur dan apa saja yang dibutuhkan, akan tetapi proyek ini tidak ada paksaan oleh pihak Turki, semua kebutuhan dan persetujuan tentunya di putuskan oleh pihak Myanmar. (Agency, 2016) Bantuan yang di berikan terhadap Etnis rohingya sebenarnya tidak di dasarkan karena agama saja, akan tetapi pemerintahan Turki memberikan bantuan dikarenakan ingin memanusiakan manusia. Turki sedang menjalankan politik “Soft Power” untuk menjunjung tinggi perdamaian di dunia. Turki menerapkan diplomasi kemanusiaan (Humanitarian Diplomacy) yakni diplomasi yang tidak hanya sekedar memberikan bantuan kemanusiaan semata, melainkan menggunakan kepemilikan kekuasaan (Power) dan kepekaan hati nurani (Conscience). (Febriar, 2016, hal. 67-69) Turki juga merupakan salah satu anggota dari konvesi 1951 dan protokol 1967 (Putri, 2016, hal. 3) yang berarti Turki harus menjujung tinggi hak asasi manusia, dan sudah menjadi sebuah kewajiban untuk negara-negara yang telah meratifikasi terkait soal Konvensi 1951 untuk membantu korban kejahatan kemudian dikatagorikan sebagai pengungso pengungsi. II. Rumusan Masalah Dalam proposal skripsi ini, pembahasannya memfokuskan penjelasan terhadap kebijakan Turki untuk membantu Etnis Rohingya di Myanmar. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut : “Mengapa Erdogan membuat kebijakan untuk memberikan bantuan terhadap Etnis Rohingya?” III. Kerangka Teori Konstrutivisme Teori Konstruktivisme menurut Alexander Wendt bahwa konstruksi sosial yang berada di dalam kehidupan digunakan sebagai kacamata untuk melihat sebuah fenomena, khususnya dalam Hubungan Internasional. Sebagai teori alternatif yang ada dalam Hubungan Internasional, konstruktivisme memiliki pandangan tersendiri terhadap karakter sifat manusia. Menurut konstruktivisme, dunia sosial bukanlah sesuatu yang “Given”, dunia sosial merupakan wilayah intersubyektif yang berarti dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang membuatnya dan hidup didalamnya, serta yang memahaminya, dunia sosial dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. (Jackson & Sorensen, 2009, hal. 307-310) Wendt berasumsi bahwa negara merupakan unit analisis penting bagi fenomena hubungan internasional, struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif ketimbang material, identitas dan kepentingan negara membangun struktur sosial. Pandangan Wendt tentang struktur sosial, bahwa struktur sosial tidak hanya dibentuk melalui nilai-nilai materil saja, tetapi ada peran nilai nonmaterial (Ide, Nilai, dan Cara Pandang) dan identitas yang menciptakan struktur sosial (Kebijakan). Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan konstruktivisme ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana hubungan identitas dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan sebuah negara, kemudian identitas juga dapat memunculkan sebuah perilaku negara terhadap negara lain. Dan ini terlihat ketika latar belakang identitas penguasa Turki yang memiliki latar belakang beragama islam yang memamsukkan nilai-nilai islam kemudian tindakannya yang membantu sesama islam (Rohingya) untuk melindungi saudaranya yang tertindas. (Febriar, 2016, hal. 66) IV. Pembahasan I. Kemenangan Partai Akp Di Turki Serta Politik Luar Negeri Turki Di Bawah Kepemimpinan Partai Adalet Ve Kalkinma Partisi (AKP) A. Sejarah Kemenangan Partai Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) Turki merupakan sebuah Negara yang memiliki letak geografis yang strategis karena berdiri diantara kedua benua yaitu benua Asia dan benua Eropa dengan jumlah penduduk 99% beragama muslim. Walaupun masyarakat Turki kebanyakan beragama Islam, Turki bukanlah Negara yang secara resmi menyatakan diri sebagai Negara Islam, tetapi menyatakan diri sebagai Negara Republik. Negara Turki merupakan negara yang memiliki Ideologi Sekular yang di warisi oleh Mustafa Kemal Pasha, penjaga dari ideologi Sekular ini adalah militer. (Ramadanti, 2014) Kemal memiliki prinsip pembaharuan di dalam Turki yaitu Nasionalisme yang terinspirasi dari Pemikiran Ziya Gokalp untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Unsur Sekulerisme diambil karena menurut pandangannya agama hanya akan membuat kemunduran bangsa. Kemudian unsur Westernisasi diambil karena menurutnya Turki harus berorientasi ke Barat yang mampu mengalahkan peradaban lain dan maju akan ilmu pengetahuan, teknologi serta unsur-unsur lainnya. Dari ketiga prinsip tersebut melahirkan ideologi Kemalisme yang terdiri atas Republikanisme sebagai pedoman Negara yaitu Negara yang berbentuk Republik, Nasionalisme digunakan sebagai paham untuk mempersatukan bangsa. Populisme (kerakyataan) yaitu merupakan oposisi solidaristik terhadap status hak-hak khusus dan monarki. Laisisme berarti kebijakan yang tidak berdasar pada agama. Estatisme yaitu kebijakan ekonomi yang diatur dan diselenggarakan oleh negara. (Fuqon, 2012, hal. 62-63) Pada tahun 1983 berdiri sebuah partai yang berbasis Islam yaitu Partai Refah (Refah Partisi) yang masuk kedalam perpolitikan Turki yang di inisiasi oleh 3 orang yaitu Ali Turkmen, Ahmet Tekdal dan dipimpin oleh Necmettin Erbakan. Tujuan didirikan Partai ini di karenakan mereka menentang dasar-dasar Republik yang didirikan oleh Mustafa Kemal Pasha, dan mereka menginginkan membangun sebuah peradaban baru yang dapat bersaing dengan peradaban barat. Di tahun 1995 partai Refah berhasil memenang pemilihan Nasional kemudian Necmettin Erbakan berhasil naik sebagai Perdana Menteri. Tetapi pada tahun 1997 karena ada tekanan dari pihak militer, Erbakan mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, pengadilan tertinggi Turki menutup partai yang ia pimpin dan melarang anggotanya untuk melakukan kegiatan politik. pengadilan Konstitusi Turki menganggap Partai Refah merupakan “a centre of activities contrary to the principles of secularism”. Atau melakukan kegiatan yang menentang prinsip- prinsip sekuler. Dan pada tahun 1998 partai Refah resmi di tutup (Pranantha, 2014) Rajai Kutan membentuk partai baru yaitu partai Fadhilah yang merupakan jelmaan dari partai Refah, Rajai Kutan mendirikan partai tersebut bertujuan agar Erbakan masih bisa memegang kendali partai karena ia dilarang melakukan aktifitas dimasa kepemimpinannya di Partai Refah namun pada tanggal 8 Mei 1999 Mahkamah Konstitusi membubarkan partai Fadhilah, para dewan wakil rakyat dari partai Fadhilah terpecah menjadi dua kelompok setelah partai tersbut dibubarkan. Kelompok pertama adalah mereka yang tetap mempertahankan partai Sa`adah dan kelompok kedua adalah kelompok pemuda pembaharuan seperti Recep Tayyeb Erdogan dan Abdullah Gul, mereka mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dibawah kepemimpinan Erdogan 14 Agustus 2001 (Taghian, 2016, hal. 29-32) B. Kemenangan Partai Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) Partai AKP berdiri pada tanggal 14 Agustus 2001 yang di pimpin oleh Recep Tayyib Erdogan. (Ramadhan, 2014) Kemudian Partai ini mulai mengikuti pemilu pada tanggal 3 November 2002. Partai ini memenangkan pemilu untuk pertama kalinya dan merupakan sebuah peristiwa yang bersejarah dalam di dunia perpolitikan yang ada di Turki, karena mereka merupakan Partai baru yang belum genap setahun namun berhasil memenangkan pemilu tanpa membentuk sebuah aliansi, ini adalah sebuah kemenangan yang gemilang, dimana Partai ini bisa mengatur pemerintahannya sekarang meskipun Erdogan tidak bisa langsung memimpin sendiri pemerintahanya karena konsekuensi hukuman yang diberikan, untuk itu Erdogan memberikan tugas kepemimpinannya kepada Abdullah Gul pada tanggal 16 November 2002 hingga 14 Maret 2003, sampai larangan beraktifitas politik Erdogan dicabut. (Nuh, 2009) Kemenangan dapat diraih dikarenakan Partai baru ini merupakan Partai yang lebih moderat dan menyesuaikan diri dengan kultur demokrasi militeristik di Turki, dengan kemenanganya partai AKP menguasai kursi di parlemen dan mengangkat kedua petinggi seperti Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Gul masing-masing menempati posisi sebagai Perdana Menteri dan Presiden. Tokoh AKP Mehmet Muezzinoglu yang menjabat sebagai ketua AKP di Istanbul dalam pidatonya menyatakan : “AKP is not a religious party. But it is a parti in which religious people can free at home, can feel at peace”. (Ayu, 2012) Pada tanggal 22 Juli 2007 Abdullah Gul yang merupakan kandidat dari Partai AKP sebagai Calon Presiden berhasil memenangkan pemilihan umum Presiden, kemenangan ini berhasil mengantarkan Gul sebagai Presiden Turki yang ke-11, kemudian Erdogan diangkat menjadi Perdana menteri. AKP mendapat 47% suara dan hanya mendapatkan 341 kursi, keberhasilan ini tentunya di tandai dengan faktor-faktor yang paling menonjol yaitu apresiasi publik terkait persoalan pemulihan ekonomi di Turki, Namun, dengan langkah-langkah yang efektif untuk menangani krisis tersebut AKP melakukan kebijakan privatisasi secara bijak di berbagai industri, mempromosikan globalisasi, dan mengikatkan kebijakan ekonomi. Alhasil, Turki berhasil memulihkan dan mengembangkan perekonomian secara pesat. (Alfian, hal. 100-102) Pada tahun 2011 kejayaan AKP masih berlanjut dengan presentase kemenangan 50% dan mendapatkan 327 kursi parlemen kemudian kemenangan di dua kali referendum hingga kemenangannya di pilpres pada 28 agustus tahun 2014, kemenangan pada pemilu ini mendapatkan suara sekitar 51% dan menjadikan Erdogan sebagai Presiden di Turki. Pemilu legislatif selanjutnya yang di adakan pada bulan juni 2015 Turki berhasil mendapatkan 41,21% dengan 259 kursi di parlemen meskipun mendapat suara tertinggi, AKP tetap tidak dapat membentuk pemerintahan mayoritas karena masih kekurangan 17 kursi lagi, sementara 3 partai lain yang lolos ke parlemen yaitu CHP, MHP dan HDP yang menyatakan tidak mau berkoalisi dengan AKP. Jadi, AKP telah mengikuti : Pemilihan Legistalif pada tahun 2002 (34%), 2007 (40%), 2011 (50%), 2015 (4,21%). 3 kali pemilu lokal (40%, 38%, 45%), 2 kali referendum (68% dan 58%) serta pilpres pada tahun 2007 dengan Abdullah Gul sebagai presiden dan tahun 2014 Erdogan terpilih menjadi presiden. (Soekanto, 2015) C. Perubahan Politik Luar Negeri Turki Turki merupakan Negara yang terbentuk setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Turki terbentuk sebagai Negara Republik Konstitusional yang dibawa oleh Mustafa Kemal Pasha. Wilayah Turki yang berada di antara dua benua yaitu Eropa dan dan Asia membuat Turki memiliki hubungan yang lebih erat ke bagian Eropa ketimbang ke bagian Asia, kedekatan ini bisa terlihat ketika Turki berusaha untuk menjadi anggota tetap dari Uni Eropa, selain itu Turki juga membangun kedekatannya dengan Negara bagian Barat dengan bergabung ke dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization). Kedekatan Turki dengan Dunia Barat sudah terlihat ketika Turki mengadopsi model Laicite yaitu model yang mengedepankan prinsip sekularisme, prinsip ini memisahkan antara pemerintahan dengan agama, selama beberapa dekade Turki dikuasai oleh partai sekular, keadaan ini membuat Turki menjadi semakin condong dengan Dunia Barat. Berkuasanya partai sekuler ini, menyebabkan beberapa kali pembubaran partai Islam dikarenakan tidak sesuai dan bertolak belakang dengan ideologi kemalisme yang di bawa oleh Mustafa Kemal Pasha. Politik Luar Negeri Turki sangat dipengaruhi oleh ideology Kemalis dimana Politiknya memiliki prinsip “Peace in the home, peace in the world” serta prinsip Westwatd yaitu kedekatan yang lebih condong kearah barat dan tujuannya untuk melakukan westerninasi di Turki. Pada tahun 2002 Partai AKP behasil menjadi pemenang pemilu. Kemenangan Partai membawa perubahan Politik Luar Negeri Turki terhadap Negara-negara di dunia. Pergeseran arah orientasi Politik Luar Negeri Turki yang Pro-Barat kemudian mulai bergeser secara perlahan ke Negara Dunia Timur. Tidak hanya ke bagian Timur akan tetapi Turki juga tertarik untuk meningkatkan Hubungannya ke daerah Asia. (Taradewi, Wiranata, & Parameswari, hal. 1-2) Keanggotaan Uni Eropa yang selama ini menjadi salah satu tujuan utama Politik Luar Negeri Turki dan sebagai manifestasi ide politik identitas Turki sebagai negara Eropa, tidak terdengar lagi setelah stagnasi negosiasi keanggotaan Uni Eropa di tahun 2008. Identitas Politik Luar Negeri Turki yang baru juga terlihat ketika Ahmet Davutoglu sebagai menteri Luar Negeri yang memiliki doktrin “Strategy Depth”. Davutoglu berpendapat bahwa kebijakan Politik Luar Negeri Turki telah lama tidak seimbang karena penekanan yang berlebihan terhadap Eropa Barat dan Amerika Serikat tetapi mengabaikan kepentingan Turki dengan Negara-negara lainnya. Visi Davutoglu adalah menampilkan karakteristik Neo-Ottomanism, yang sudah dibangun sejak era mantan Presiden Turgut Ozal. Selain mempertahankan hubungannya dengan Barat, Turki juga menaruh perhatian khususnya pada dunia Timur Mengingat pandangan itu dilandasi pada sejarah dan posisi geografis, maka Turki menilai peningkatan hubungan di Asia dan perluasan pengaruh di kawasan itu sebagai strategi untuk memperbesar pengaruhnya di Eropa. Dan salah satu poin pentingnya menggunakan doktrin ini adalah gagasan untuk meminimalisir atau menghilangkan sama sekali segala masalah dengan tetangga atau yang dikenal dengan istilah Zero Problems with Neighbors Policy, karena menurut Davutoglu, kepentingan strategis Turki terletak pada perdamaian, stabilitas, keamanan, kemakmuran di kawasan dan sekitarnya. (Iran Indonesia Radio, 2013) II. SIKAP TURKI TERHADAP ETNIS ROHINGYA A. Sejarah Konflik Etnis Rohingya di Myanmar Pada 3 Juni 2012 warga Rakhine bekerjasama dengan militer Burma, polisi dan angkatan bersenjata melakukan pembantaian dan kekerasan terhadap 10 muslim Myanmar yang dalam perjalanan pulang dari Thandwe ke Mandalay dalam rangka perjalanan da'wah Jama'ah Tabligh; disinyalir ini adalah balas dendam yang berlebihan dan sistematis terhadap kasus perkosaan yang melibatkan dua Pria muslim dan satu Pria Buddhist terhadap seorang gadis Rakhine Buddhist, yang kebenarannya juga masih dipertanyakan. Kekerasan di atas adalah bagian dari perencanaan dan serangan yang sistematis yang didesain untuk memusnahkan populasi Rohingya yang tersisa di Arakan dan menjadikan Arakan sebagai “muslim-free region”. Jam malam dan pembatasan gerak ini diberlakukan di Arakan Utara selama dua bulan, tapi hanya berlaku untuk warga Muslim. Tidak untuk warga Rakhine. Angkatan bersenjata hampir semua adalah Rakhine atau pro dengan Rakhine. (Nuswanto, 2012) Presiden Myanmar Thein Sein menegaskan pada tanggal 29 juli 2012 dengan mengatakan bahwa Etnis Rohingya tidak mungkin menjadi bagian dari kewarganegaraan Myanmar karena merupakan Imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh dan menganggap kelompok ini bukan dari bagian dari Myanmar sejak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948. (Hartati, 2013, hal. 8) B. Bantuan-bantuan yang diberikan Turki untuk Rohingya dari tahun 2012- 2016 1. Bantuan melalui pemerintah Terjadi kerusuhan di Myanmar pada bulan juni 2012 yang kemudian menimbulkan reaksi yang luar biasa di kanca internasional, salah satunya negara Turki memberikan perhatiannya terhadap Etnis tersebut. Pemerintahan Turki melalui Mentri Luar Negeri Ahmet Davutoglu datang pada tanggal 8 Agustus 2012 untuk memberikan bantuannya terhadap etnis muslim Rohingya sebesar 3,4 juta lira. (Febriar, 2016, hal. 64) Pemerintah Turki juga mengirimkan delegasinya menuju kamp pengungsian untuk memberikan bantuan langsung berupa makanan untuk Rohingya yang dipimpin oleh istri Perdana Menteri yaitu Emine. (Arrahmah.com, 2012) Bantuan selanjutnya pada tanggal 2 November 2012 yang berencana untuk membangun tiga Rumah sakit di wilayah Sitwe, ketiga rumah sakit tidak sepenuhnya untuk digunakan umat muslim, satu rumah sakit akan dibangun dekat dengan kamp umat muslim, satu lagi di kamp umat Buddha dan yang terakhir akan didirikan di pusat kota Sittwe. (Qomariah, 2012) dan di tahun 2015 pemerintahan Turki memberikan bantuan keamanan untuk Etnis Rohingya yang berada di laut luas, dengan menggunakan kapal perang Turki mencari hingga ke perairan Malaysia, Indonesia dan Thailand, bahkan Erdogan menyampaikan kepada perdana menteri Najib Razak terkait pengungsi berada hingga semenanjung di Asia Tenggara akan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah Turki. (Iman, 2015)
Description: