Muzairi, Kebebasan Manusia Dan Konflik | 39 KEBEBASAN MANUSIA DAN KONFLIK DALAM PANDANGAN EKSISTENSIALIME JEAN PAUL SARTRE Muzairi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta [email protected] Abstract It is important to understand Jean Paul Sartre’s mode of dualism in order to comprehend Sartre’s notion on humanbeings, freedom and conflict. As a man of ontological basis, Sartre put himself as a radical dualist in that it develops a number of ideas such as the meaning of objective and subjective reality, human existence and life. Those thoughts truly reveal the dark side of being in that it exemplifies the conflict in inter-human relationship context. Sartre discusses the objective meaning (en-soi) or “being-in-self”. For Sartre, en-soi is subject matter or the object of understanding that goes beyond human mind or the being of unconscious self. Unlike pour-soi(for- itself) that only awares of itself, it denotes the dual characteristics of human that both awares of subject and the inner self. Human serves both as subject and object. Sartre argues that ‘Pour-soi’ underlining the notion of ‘the nihilation” of Being-in-itself’. In a concise word, “man presents himself…as a being that causes of ‘the nihilation’ of ‘Being-in-itself” triggered freedom and conflict. Kata kunci: relasi antar manusia, for-itself, in-itself, kebebasan, konflik 40 | ESENSIA Vol. XIII No. 1 Januari 2012 A. Pendahuluan M embicarakan kebebasan manusia sudah barang tentu akan berurusan dengan tingkah laku perbuatan manusia. Karena manusia itu dalam berbuat selalu dikaitkan dengan tindakannya dalam memilih dan mengambil keputusan dari kemungkinan-kemungkinan yang dihadapinya beserta tanggung jawabnya. Sebab hanya manusia saja yang paling banyak mengerti kemungkinan-kemungkinan yang harus ia pilih berdasarkan kebebasan dan kesadarannya. Lain dengan binatang yang tindakannya lebih banyak ditentukan oleh naluri serta rangsangan dari luar. Oleh karena itu pandangan terhadap kebebasan dan konflik1 manusia adalah persoalan yang cukup aktual, di mana ketika manusia makin menyadari dan merasakan perkembangan teknologi dan peradaban, maka kebebasan serta eksistensinya menjadi terancam. Atas nama “kebebasan”, suatu bangsa siap bertempur mempertaruhkan cita-citanya; atas nama “kebebasan” wanita mempertanyakan status sosialnya dan atas nama “kebebasan” tradisi agama dipertanyakan kesakralannya. Akan tetapi suatu kenyataan juga bahwa atas nama “kebebasan” manusia mengalami dehumanisasi, di mana dehumanisasi dijalankan dengan lebih sistematis melalui struktur-struktur yang ada. Memang, manusia dengan kebebasan yang ada adalah makhluk yang paling mampu membuat pemusnahan secara sistematis terhadap kemanusiaan itu sendiri. Jika salah langkah mempergunakan kebebasan yang tidak disertai dengan tanggung jawab moral yang kuat, maka kehancuran eksistensi manusia akan terjadi. Manusia mendambakan perdamaian dan kesejahteraan, tetapi tidak pernah terhindar dari perang dan sengketa. Dia mengembangkan dirinya menjadi makhluk yang berbudaya, namun tidak sepenuhnya dapat ingkar terhadap dorongan naluri yang hewani sifatnya. 1 Kebebasan yang dimaksud oleh Sartre yaitu for it self, human reality is free to the exact extent that its has to be it own nothingness. Man is condemned to be free. Sedangkan konflik adalah A process that begins when an individual or group perceives differences and opposition between it self and another individual or group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter to them. Lihat ST. Elmo Mauman, JH, The New Dictionary of Existentialism (New Jersey, The Citatel Press, 1972), hlm. 59-60. Lihat juga Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 5-6. Muzairi, Kebebasan Manusia Dan Konflik | 41 Untuk itulah manusia berusaha mengadakan perombakan terhadap kondisi hidupnya, dan melakukan penilaian kembali terhadap dirinya sendiri serta keberadaanya. Artinya keberadaan manusia yang khas menjadi dipersoalkan kembali, yaitu dalam suatu filsafat yang mempermasalahkan eksistensi manusia, yang berada dalam ruang dan waktu serta kesejarahannya. Manusia yang konkret yaitu makhluk yang eksistensinya mendahului essensi. Maka dikenallah filsafat ini dengan “eksistensialisme”. Masalah kebebasan dan konflik manusia dalam bertindak, mengambil keputusan, serta memilih dari berbagai kemungkinan, menjadi pembahasan dalam filsafat dan teknologi yang cukup menarik perhatian dari masa ke masa. Pendapat-pendapat dengan segala versinya, baik yang ekstrim maupun yang tidak, yang pro terhadap kebebasan manusia yang mutlak maupun yang kontra, menunjukkan bahwa masalah tersebut cukup mendapat perhatian yang luas sampai sekarang. Hal inilah yang mendorong kami untuk menulis masalah manusia dan kebebasan manusia menurut eksistensialisme Jean Paul Sartre. Dalam perkembangan eksistensialisme terpecah menjadi dua yaitu yang religius dan yang non religius meskipun dari sumber yang satu yaitu Soren A. Kierkegaard. Bagi yang religius setiap mempercayai Tuhan yang transenden seperti S.A. Kierkegaard sendiri, sedangkan yang non religius tokohnya Jean Paul Sartre, dia mengatakan non fundamentality is the desire to be god (homo homonis deus)2. Yang khas dalam pemikiran Jean Paul Sartre tentang kebebasan dan konflik manusia merasakan dualisme ontologis yaitu for-self dan in-self serta dimensi ontologis keterbukaan. Jean Paul Sartre, tokoh yang dikaji dalam penelitian adalah filosof eksistensialisme abad modern. Berkat usahanya yang keras, eksistensialisme menjadi terkenal, dan pengaruhnya sampai ke dalam kesusasteraan, psikologi, dan sosial. Di samping seorang filosof, dia juga seorang sastrawan dan pengarang drama yang terkenal. Sebagai seorang filosof, pandangannya 2 Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 51-52. Lihat Gabriel Vahanian, The Death of God: The Culture of Our Past – Christian Era (New York, George Braziller, tt), hlm. 230. 42 | ESENSIA Vol. XIII No. 1 Januari 2012 tentang relasi manusia dan kebebasannya serta konflik itu sungguh merangsang untuk dibahas secara kritis. B. Eksistensialisme Jean Paul Sartre Dalam sejarah perkembangan filsafat baik di dunia Barat maupun di dunia Timur, bahwa suatu perenungan falsafati itu tidak tampil secara tiba- tiba terlepas dari kondisi dan situasi yang kosong sama sekali. Perenungan falsafati hanya bisa tampil bertolak dari pemikiran yang telah ada, paling tidak menggunakan termini (ungkapan), seperti pengertian yang sudah tersedia. Seperti halnya dengan termini atau istilah eksistensi sudah tidak asing lagi bagi dunia filsafat. Akan tetapi istilah tersebut berkaitan erat dengan salah satu dari alam pikiran barat yaitu eksistensialisme yang mempunyai arti lain tidak sama dengan filsafat sebelum eksistensialisme3. Apa sebenarnya yang menjadi ciri khusus istilah eksistensi dalam eksistensialisme dibanding dengan filsafat-filsafat yang lain dan bagaimana kekhususan itu bisa kita mengerti, inilah yang perlu kita ketahui lebih awal. Pengertian istilah eksistensi yang akan diterapkan dalam eksistensialisme perlu diartikan secara lebih khusus4. Dalam eksistensialisme difahami sebagai bentuk lawan tradisi filsafat klasik seperti filsafat Plato, Spinoza sampai Hegel. Tradisi filsafat tersebut banyak diwarnai oleh keterpisahan antara subyek pemikir dan obyeknya. Pengandaian bahwa di luar subyek manusia terdapat suatu kenyataan universal tidak bisa diterima oleh pemikir-pemikir eksistensialis. Mereka lebih suatu bentuk usaha tertentu dalam penghargaan terhadap realitas yang penuh dan tak terobyekkan. Eksistensi itu sendiri berasal dari bahasa Latin “existo”, yang terdiri dari “ex” dan “sisto” yang dalam bahasa Indonesia menjadi eksistensi (existenci) 3 Sebagai karya pengantar tentang Eksistensialisme lihat Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1974). Lihat Robert G. Olson, An Introduction to Existentialism (New York: Duver Publication, inc. 1972).. 4 S.T. Elmo Mauman, Jr., The New Dictionary, hlm. 45-46. Muzairi, Kebebasan Manusia Dan Konflik | 43 kata eks (keluar) dan sistensi5 (yang diturunkan dari kata kerja sisto) berdiri, menempatkan diri. Pengertian yang semata-mata etimologis ini menjadi lebih mendalam dalam eksistensialisme, yaitu istilah tersebut dikhususkan bagi manusia sebagai individu yang unik (“Dasein” dalam bahasa Jerman)6. Pada mulanya istilah eksistensi itu berarti bertahan (ada, hidup), juga dalam perkataan sehari-hari di dalam filsafat. Filsafat sebelum eksistensialisme membedakan antara “essensi” dan “eksistensi” (wujud dan yang ada). Perkataan ini justru tidak menyatakan sesuatu yang hakekat, tetapi lebih dahulu yang nyata, terbatas, dan kebetulan, bukan yang batin, dan ini tetap sampai pada Hegel. Kierkegaard-lah justru didalam perlawanannya terhadap Hegel memberikan arti istilah tersebut dalam kaitannya dengan manusia yang konkrit sebagai kekuatan dalam sebuah kehidupan manusiawi, dan bukan sekedar kehidupan ilmu pengetahuan atau semata-mata obyektif. Namun sesuatu yang dihubungkan dengan akar terdalam dari eksistensinya. Dengan statement tersebut, Kierkegaard hendak menunjukkan penolakannya terhadap paham materialisme dan idealisme, dua buah ujung ekstrim dari faham filsafat yang menurut penilaiannya telah mereduksi serta memecah keutuhan eksistensi manusia. Di dalam eksistensialisme bahwa jiwa atau manusia itu diakui adanya atau hidupnya, maka dapat dimengerti bahwa bagi kaum eksistensialis, kata kerja “to exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya serta padat daripada kata kerja “to live”7. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong tanpa arti bahwa “ia tidak hidup”, “ia hanyalah ada”. Kaum eksistensialis mengubah arti istilah tersebut dan mengatakan “orang itu ada, ia hanya hidup”, bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang konkrit dan penuh, vital, sadar (mengada di dunia) tanggung jawab dan tumbuh berkembang. 5 Virginia S. Thatcher (ed)., The Webster Encyclopedia of English Language ( New York: Glolier Incorporated, Vol. I, 1967), hlm. 308. 6 S.T. Elmo Nauman, Jr. The New Dictionary, hlm. 23. 7 Harlod H. Titus, Marilyn s. Smith, Richard T. Nolan, Living Issuess in Philosophy (New York: D. Van Nostrand Company, 1979), hlm. 326. 44 | ESENSIA Vol. XIII No. 1 Januari 2012 Banyak istilah lain yang dipergunakan dalam menyebut eksistensi manusia itu. Karl Jaspers menggunakan istilah “mogliche existenz”. Martin Heidegger menggunakan “in-der-welt Sein”, “Dasein”, “Mitsein”, dan “sorge” (cara). Gabriel Marcel menggunakan istilah “Avoir affaise au monde (having bussiness with the world)”, “engagement (commitment)”, “Participation”. Dan Sartre menggunakan istilah “pour-soi” (pengada yang sadar)8. Eksistensi merupakan pengertian yang paling fundamental pada manusia dalam eksistensialisme. Eksistensi adalah “prima truth” atau kebenaran prima yang menjadi dasar dan jiwa seluruh eksistensialisme (meskipun dengan terminologi yang berbeda-beda). Kebenaran prima dinamakan juga “primitive facy” (main de Biran), “intuition originaire” (Bergson), “central point of reference” (Marcel). Paul Tillich mengartikan eksistensialisme dalam tiga kategori yaitu: eksistensialisme sebagai suatu pandangan hidup (a point of view), sebagai gerakan protes (as protest), dan yang terakhir sebagai ungkapan (as expressoin)9. Menurut Paul Tillich, eksistensialisme sebagai suatu pandangan hidup tercermin dalam bidang teologi, filsafat, seni dan kesusasteraan, dan sebagai gerakan protes tercermin dalam gerakan kesadaran pada abad XIX kemudian meluas pada abad ke XX10. Sedangkan sebagai ungkapan, tercermin terhadap kecemasan serta keraguan dan ketiadaan arti atau absurditas, dan ini ungkapan dari situasi manusia serta kedudukannya yang sulit. Nampaknya yang dikemukakan oleh Tillich tersebut, secara tersirat memberi pengertian bahwa eksistensialisme sebagai unsur yang universal dalam segala pemikiran, adalah merupakan usaha manusia untuk melukiskan eksistensinya dengan segala problem yang dihadapi serta usaha untuk mengatasinya. Dimana saja kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara filosofis maupun teologis, baik secara seni maupun kesusasteraan, di situlah kita mendapatkan unsur-unsur eksistensialis. 8 S.T. Elmo Nauman, Jr., The New Dictionary, hlm. 41-53. 9 Paul Tillich, The Caurage to Be (New Haven: Yale University Press, 1962), hlm. 126. 10 Ibid. Muzairi, Kebebasan Manusia Dan Konflik | 45 Jean Paul Sartre yaitu tokoh eksistensialisme yang menikmati hidup pada abad ke-21 ini. Dia dilahirkan di Paris Prancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (Sabtu tanggal 16 April 1980 jam 02.00). Sartre berpendapat, bahwa eksistesialisme itu mempunyai sifat dan corak tertentu, yaitu humanisme11. Menurut dia antara humanisme dengan eksistensialisme itu ada persamaan dan perbedaan, Sartre mengatakan dengan tegas bahwa eksistensialisme suatu doktrin, which makes human life possible, that every truth and every action implies a human setting and a human subjectivity, the doctrine that “existence precedes essence, on if you prefer, that subjectivity must be starting point12. Akan tetapi humanisme versi Sartre adalah bahwa manusia itu mampu keluar dari kenyataan dan sendiri merencanakan diri sendiri, bukan humanisme model Aufklarung yang pada akhirnya manusia sebagai tujuan, yang menurut Sartre tidak pernah menempatkan manusia sebagai tujuan13. C. Dualisme Ontologis Sartre, Kebebasan dan Konflik Dasar-dasar ontologi Sartre akan sulit dipahami tanpa mengkaitkannya dengan Heidegger sebagai gurunya. Dan dia pun tidak dapat dilepaskan dengan Husserl dan Hegel. Ia tidak dapat disamakan dengan Descartes. Hal tersebut sangat penting artinya, karena phenomenologi, khususnya Husserl, secara praktis membatasi diri pada penelahaan kesadaran, dengan menyatakan bahwa kesadaran itu intensional, Sartre menunjukkan kritik terhadap Descartes yang mengatakan “Cogito Ergo Sum”. Heidegger yang dipengaruhi oleh Husserl, dapat dilihat dengan pendekatan Phenomenologis yang memperhatikan gejala-gejala beradanya manusia. Dia dengan gamblang menguraikan langkah-langkah bagaimana manusia tampil dalam cara beradanya. Phenomena cara beradanya manusia dia selami ke sari patinya dan dikupas tanpa prasangka. Manusia mau 11 Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism (London: Methuen co & ltd, tt), hlm. 28. 12 ST. Elmo Mauman, The New Dictionary, hlm. 47-48. 13 Jean Paul Sartre, Existentialism, hlm. 28. 46 | ESENSIA Vol. XIII No. 1 Januari 2012 dilepas dan dilihat dengan pemunculannya yang apa adanya (khas) dalam dunia ini. Dan inilah pertanyaan Heidegger yang terkenal itu; “Mengapa ada sesuatu dan bukan ketiadaan”14. Ternyata manusia adalah makhluk yang menanyakan makna tentang “Ada”. Maka Heidegger memulai analisa terhadap “Desein”. Sartre, meski mengikuti jalan Heidegger, melangkah lebih jauh dari gurunya itu, sementara sang guru hanya melakukan analisa “Dersein” semata-mata untuk dapat menjawab pertanyaan tentang makna “Ada” yang sebenarnya. Dalam masalah ini, Sartre melengkapi ajaran tentang “Ada”, meskipun dasarnya dari Heidegger. Dasar ajaran tentang “Ada” inilah yang membentuk tema-tema utama dari karya-karya Sartre. Akan tetapi tema-tema utama tentang yang “Ada” tersebut bukan dalam arti penuh sebagaimana yang dimaksud Heidegger, melainkan dalam arti kesadaran. Oleh karena itu, dalam pembicaraan tentang dasar-dasar ontologi Sartre, mau tidak mau harus menyinggung reaksi Sartre itu sendiri terhadap thesis Descartes “Cogito Ergo Sum”, yang artinya, “Aku berpikir oleh karena itu Aku Ada”, namun yang dimaksud dengan berpikir di sini adalah “menyadari”. Sartre memberikan pengertian ontologi sebagai: “The study of the structure of being of the existence taken as a totality”15, (Studi tentang struktur yang ada dari yang mengada diambil sebagai totalitas). Kemudian dia mengatakan lebih lanjut: “Ontology describes being if-self, the conditions by which “there is” a world, human reality”16. Jadi di sini menggambarkan yang Ada, dengan syarat-syarat “adanya” suatu dunia, yakni realitas manusia. Dengan demikian, ontologi yang dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang Ada, bagaimana kesadaran kehadiran manusia di dunia yang bukan substansi atau proses, serta dihubungkan dengan ketubuhannya, situasinya di dunia. 14 F.K. Muji Sutrisna, “Phenomenologi dan Manusia”, dalam Majalah Filsafat Driyarkara, V (Desember, 1976), hlm. 94-98. 15 Jean Paul Sartre, Being and Nothingness; Essay on Phenomenological Ontology , terj. H.E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), hlm. 632. 16 Ibid. Muzairi, Kebebasan Manusia Dan Konflik | 47 Oleh karena itu Sartre dengan tegas membedakan ontologi dan metafisika, bahkan karya-karyanya tidak berhubungan dengan metafisika. Sebagaimana dikemukakan dalam makna ontologi di atas, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan “How” dan “Why”, dan ini lebih merupakan deskripsi ketimbang eksplanasi. Untuk alasan ini terdapat suatu jarak; bahwa metafisika, di lain pihak, berhubungan dengan dasar dan mencari keterangan mengapa ada di dunia yang khusus. Akan tetapi selama mencari keterangan di belakang “Ada”, keterangan itu diandaikan lebih dahulu. Dan keterangan- keterangan seperti itu hanya merupakan hipotesa. Sedangkan ontologi tidak demikian, ia menggambarkan langsung, manusia menyadari tentang “adanya” melalui eksistensi “sadar-ada-dalam-dunia”. Sartre sendiri, bukan tidak setuju akan usaha dan keterangan-keterangan metafisika, hanya dia tidak mengikatkan diri pada keterangan-keterangan metafisika. Sartre menerangkan bahwa ragam ontologinya, seperti phenomenologi17, yaitu menggambarkan secara murni dalam cirinya dan bukan berusaha menerangkan pengalaman manusia dengan petunjuk di luar gejala-gejala dan realitas pada cara Descartes atau Kant18. Cara-cara kedua filosof tersebut menurut Sartre merupakan kerja metafisika, bukan ontologi, karena masih mencari di balik “Ada” itu sendiri. Dalam pandangan Sartre, deskripsi tentang dunia manusia seperti itu haruslah dilengkapi dengan perhitungan struktur tentang kesadaran bahwa manusia “mendapatkan” dunia ini. Dan ini menunjukkan bahwa “kesadaran” itu intensional, yaitu “to be conscious is to be conscious of something”19. Dan pengertian ini diambil Sartre dan Husserl; sebagaimana Husserl mengakui intensionalitas adalah dasar karakteristik dari kesadaran20. Dengan intensionalitas ini kesadaran akan selalu dapat melaju mengatasi keadaannya, bukan terhadap “ada” itu, akan tetapi terhadap arti dari “ada” 17 Frederick O Olafson, “Jean Paul Sartre”, dalam, The Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co. inc & The Free Press, 1974), hlm. 287-293. 18 Ibid. 19 H.J. Blackham, Six Existentialist Thinkers (London: Routledge & Kegan Paul, 1978), hlm. 111. 20 E.L. Alen, Existentialism from Within (London: Routledge & Kegan Paul, 1956), hlm. 50. 48 | ESENSIA Vol. XIII No. 1 Januari 2012 ini. Dan itulah yang oleh Sartre disebut dengan “onticontologi” atau ontologi yang mencari makna, dan berarti filsafatnya dibahas ke bumi. Jika pengertian kesadaran manusia adalah seperti yang dikemukakan Sartre di atas, maka tidak heran jika dia mengadakan reaksi keras terhadap filosof-filosof sebelumnya, terutama terhadap Descartes, meskipun permulaan kritik tersebut dari Husserl, namun Husserl sendiri juga tidak luput dari reaksi Sartre. Hal tersebut bermakna bahwa seorang itu tidak bisa langsung menyadari diri sendiri. Menurut Sartre: Kesadaran itu menuju dan selalu keluar serta memisahkan dari diri sendiri dan dari yang disadari yang bukan diri sendiri21. Tidak mungkin bahwa: “The ego can reach them through the cogito”22. Bahwa “Aku sadar”, suatu moment di mana manusia dalam kesendiriannya mendapatkan dirinya sendiri. Posisi yang demikian itu tidak mungkin menemukan orang lain yang ada keluar dari diri. Sebagaimana yang telah dikenal secara luas, peranan penting yang dimainkan oleh Descartes adalah menemukan “Aku”. Sehingga “Aku” menjadi pusat dasar seluruh refleksi filosofisnya. Dengan kata lain, Descartes mendasarkan filsafatnya atas subyektivitas atau kesadaran23. Sehingga konsekuensinya tidak ada fakta yang dasariah bagi filsafat ketimbang kenyataan bahwa “Aku” yang berfilsafat menyadari diri “ada”; itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betatapun besar usaha yang dilakukan24. Secara teknis filosofisnya, “Aku” ada merupakan “aku” ontologis dalam filsafat Descartes, yang diketemukan pada pernyataan “Cogito Ergo Sum”. Yang artinya atas dasar pemikiran atau kesadaran sesuatu aku, maka disimpulkanlah kehadiran Aku tersebut. Kesadaran akan kehadiran “Aku” merupakan wawasan yang jelas dan terang, tidak dapat diragukan lagi. Dengan demikian “Aku” ini dapat dipisahkan dari segala yang lain di luar yang diragukan kehadirannya secara radikal. Dan atas dasar pemisahan yang 21 H.J. Blackham, Six Existentialist, hlm. 111. 22 Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism, hlm. 23. 23 Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (direksi), Sekitar Manusia Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (Jakarta: PT. Gramedia, 1978), hlm. 14. 24 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Yayasan Kasnisius, 1976), hlm. 43.
Description: