Lusia Anggraini, dkkJ: Ausurpann gaizli dGan sitaztuis gKizi lveignetairkian Ipandad koomunnietass vieagetarian di Yogyakarta Volume 11 No. 04 April • 2015 Halaman 143-149 Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta Nutrient intake and nutritional status vegetarians among vegetarians in Yogyakarta Lusia Anggraini1, Wiryatun Lestariana2, Susetyowati2 ABSTRACT Background: Vegetarian diet has become a popular diet among people. The information about the benefits of going plant-based as opposed to the risks of degenerative illnesses is widespread and publicly eligible. However, the diet is known to cause the lack of some nutrients such as protein, iron, and B , which has the implication on one's nutritional status. Objective: The study is 12 aimed at identifying nutrient intake and nutritional status vegetarians and the influential factors among vegetarians in Yogyakarta. Method: The study is an observational one with a cross sectional design. It is conducted on vegetarians living in Yogyakarta, which, as methodologically required, involves 102 respondents. The nutritional intake is measured through Food Frequency Questionnaire (FFQ), and the nutritional status through the Body Mass Index status, ferritin serum level, protein serum level and hemoglobin level. The data are analysed using chi square and multiple logistic regression. Results: The mean intake of energy, fat, zinc, vitamin B, and vitamin B is higher in lactoovo vegetarian while vegan is the higher intake of carbohydrates, protein, 6 12 iron, folic acid, and vitamin C. Some nutritional intake of less than 80% of AKG is the intake of energy, carbohydrates, zinc, folic acid, and vitamin B . There are significant differences of the intakes of vitamin B between both groups. The vegan’s IMT is lower 12 12 than lactoovo vegetarian. Lactoovo vegetarian’s protein serum levels are higher, however serum levels of vegan’s ferritin and hemoglobin are higher. There are significant differences in serum levels of protein and hemoglobin levels in both groups. There is a significant relation between the intake of iron and hemoglobin levels in vegetarians. Conclusion: Lactoovo vegetarian diet and vegan diet can fulfill the nutritional adequacy, but the things that need to keep in mind are the quality and quantity of food and a good diet plan in order to comply all the nutritional adequacy especially food sources of zinc, folic acid, and vitamin B 12. KEY WORDS: body mass index; ferritin; hemoglobin; nutrient intake; protein serum; vegetarian ABSTRAK Latar belakang: Pola makan vegetarian telah menjadi pola makan yang mulai banyak dipilih masyarakat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan manfaat pola makan berbasis nabati untuk mengurangi risiko terhadap penyakit degeneratif. Pola makan vegetarian rentan kekurangan asupan beberapa zat gizi yaitu protein, zat besi , seng, dan vitamin B 12 yang berpengaruh pada status gizi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asupan zat gizi dan status gizi vegetarian di komunitas vegetarian Yogyakarta. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan terhadap pelaku pola konsumsi vegetarian yang bertempat tinggal di Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Asupan zat gizi diukur dengan metode Food Frequensi Questionnaire (FFQ), dan status gizi dinilai berdasarkan status indeks masaa tubuh (IMT), kadar serum feritin, serum protein, dan kadar hemoglobin. Data dianalisis dengan uji t , uji korelasi, dan regresi linear ganda. Hasil: Rata-rata asupan energi, lemak, seng, vitamin B, dan vitamin B lebih tinggi pada lakto-ovo 6 12 vegetarian , sedangkan kelompok vegan lebih tinggi asupan karbohidrat,protein, zat besi, asam folat, dan vitamin C. Beberapa asupan gizi kurang dari 80% AKG yaitu asupan energi, karbohidrat, seng, asam folat, dan vitamin B . Terdapat perbedaan bermakna 12 asupan vitamin B antar kedua kelompok. IMT vegan lebih rendah daripada lakto-ovo vegetarian. Kadar serum protein laktovo 12 vegetarian lebih tinggi, sedangkan kadar serum feritin dan kadar hemoglobin vegan lebih tinggi. Terdapat perbedaan bermakna kadar serum protein dan kadar hemoglobin pada kedua kelompok. Terdapat hubungan bermakna asupan zat besi dengan kadar hemoglobin pada vegetarian. Simpulan: Pola diet lakto-ovo vegetarian dan vegan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan gizi dan memiliki status gizi yang baik , namun perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas makanan serta perencanaan diet yang baik agar dapat memenuhi semua kecukupan gizi terutama makanan sumber seng, asam folat, dan vitamin B 12. KATA KUNCI: IMT; feritin; hemoglobin; asupan zat gizi; serum protein; vegetarian 1 Korespondensi: Indonesia Vegetarian Society, Perum Taman Duta Mas, Tubagus Angke, Blok A-8, Jakarta Barat, e-mail: [email protected] 2 Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 3 Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 • 143 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta PENDAHULUAN untuk bisa memberi masukan bagi pemerintah, praktisi kesehatan, dan praktisi vegetarian sendiri. Penelitian ini Memasuki abad 21, pola makan vegetarian bertujuan untuk mengkaji asupan zat gizi dan status gizi telah menjadi pola makan yang mulai banyak dipilih vegetarian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya masyarakat seiring dengan meningkatnya pengetahuan pada komunitas vegetarian di Yogyakarta. masyarakat akan manfaat pola makan berbasis nabati untuk mengurangi risiko terhadap penyakit degeneratif. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan BAHAN DAN METODE keuntungan vegetarian dalam menurunkan risiko penyakit Penelitian ini merupakan penelitian observasional kronis dan degeneratif serta menurunkan angka kematian dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini total. Diet vegan rendah lemak yang dilakukan selama dilakukan terhadap pelaku pola konsumsi vegetarian yang setahun dapat meningkatkan masukan unsur-unsur gizi bertempat tinggal di Yogyakarta dan merupakan anggota yang dapat mengurangi resiko penyakit kronis seperti organisasi Indonesia Vegetarian Society Yogyakarta pada kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes, dan beberapa tahun 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah anggota penyakit degeneratif lainnya serta menurunkan unsur organisasi Indonesia Vegetarian Society Yogyakarta makanan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria penyakit kronis (1,2). inklusi dalam penelitian ini yaitu berusia 19-64 tahun, Pola makan vegetarian walau memberikan efek sudah menjadi vegetarian baik vegan maupun lakto- yang menguntungkan namun masih banyak anggapan ovo vegetarian minimal 1 tahun , dan bersedia menjadi bahwa pola makan vegetarian rentan kekurangan responden penelitian. Sementara kriteria eksklusi dalam beberapa zat gizi yaitu protein, zat besi , seng, dan penelitian ini adalah subjek yang sedang hamil/ menyusui, vitamin B . Protein nabati mempunyai protein yang 12 sedang menderita sakit atau menderita penyakit kronis, mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih atau sedang mengonsumsi obat-obatan tertentu, alkohol, asam amino essensial. Zat besi dalam makanan nabati dan rokok. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus adalah zat besi non-heme yang proses penyerapannya dengan derajat kemaknaan 5%; proporsi anemia pada tergantung pada faktor-faktor luar, seng dapat terhambat komunitas vegetarian di Vihara Bodhicitta Maitreya penyerapannya oleh fitat dan serat yang banyak pada Yogyakarta sebesar 18%; kekuatan uji 95%; dan proporsi makanan nabati, sedangkan sumber vitamin B sebagian 12 perkiraan anemia pada sampel penelitian dengan delta besar berasal dari produk hewani. Kekurangan zat gizi 10% sehingga jumlah responden penelitian sebanyak dapat menyebabkan penyakit defisiensi gizi. Penelitian 102 orang. terhadap asupan gizi vegan menunjukkan konsumsi Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis protein dan vitamin B yang lebih rendah pada vegan. 12 vegetarian sedangkan variabel terikat adalah asupan zat Penelitian lainnya menunjukkan bahwa asupan askorbat gizi (energi, karbohidrat, lemak, protein, zat besi, seng, secara signifikan lebih tinggi pada kelompok vegan asam folat, vitamin B6, vitamin B12, dan vitamin C) tetapi lebih rendah secara signifikan pada asupan vitamin dan status gizi (IMT, kadar serum protein, kadar serum B . Penelitian terhadap wanita vegetarian di Australia 12 feritin, dan kadar hemoglobin). Sementara variabel luar menunjukkan rata-rata kadar feritin pada vegetarian lebih yang diteliti adalah lama vegetarian. Pengukuran asupan rendah dibanding non-vegetarian tetapi persentase jumlah zat gizi dilakukan dengan metode Food Frequency responden yang kadar feritin di bawah normal sama antara Questionnaire (FFQ). Pengukuran berat badan subjek kelompok vegetarian dan omnivora (3-5). menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg. Masih sedikit penelitian yang meneliti asupan serta pengukuran tinggi badan dengan menggunakan dan status gizi vegetarian di Indonesia. Di tengah alat microtoice dengan ketelitian 0,1 cm. Kecukupan meningkatnya kasus-kasus penyakit degeneratif dan asupan zat gizi diketahui dengan cara komputerisasi semakin meningkatnya animo masyarakat untuk memilih menggunakan program Nutrisurvey dan hasilnya pola konsumsi vegetarian, penelitian ini sangat penting 144 • Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi HASIL (AKG) tahun 2013. Pengukuran kadar Hb dengan metode Jumlah responden penelitian ini 102 responden photometrik dengan alat photometer. Pengukuran kadar yang dibagi menjadi 2 kelompok jenis vegetarian yaitu serum feritin dengan metode electrochemiluminescent kelompok lakto-ovo vegetarian sebanyak 70( 69%) immunoassay (ECLIA) menggunakan alat Modular responden dan kelompok vegan 32 (31%) responden. E-170. Pengukuran kadar protein total serum dengan Berimbang jumlah responden laki-laki dan perempuan metode Calorimetric Assay menggunakan alat Cobas. dengan kelompok umur 19-64 tahun. Sebanyak 61% Data kadar hemoglobin, feritin serum, dan protein total responden vegetarian >5 tahun dan 39% vegetarian ≤ serum dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium di 5 tahun. Sebagian besar status sebagai mahasiswa dan Laboratorium Klinik Prodia Yogyakarta. Pengambilan karyawan. dan preparasi darah subjek dilakukan oleh seorang Tabel 1 menunjukkan rerata asupan energi pada petugas analis kesehatan dari Laboratorium Klinik Prodia kelompok lakto-ovo vegetarian dan vegan di bawah 80% Yogyakarta. AKG. Asupan energi pada lakto-ovo vegetarian lebih Data dianalisis dengan uji t, uji Pearson korelasi, tinggi daripada kelompok vegan. Tidak ada perbedaan dan uji regresi linear ganda. Penelitian dilakukan bermakna (p=0,639) asupan energi dan karbohidrat setelah mendapat persetujuan dan ijin dari organisasi (p=0,911). Asupan lemak rata-rata pada kelompok lakto- IVS, persetujuan dari responden berdasarkan formulir ovo vegetarian lebih tinggi daripada kelompok vegan. informed consent, dan mendapatkan surat kelayakan Namun, tidak ada perbedaan bermakna asupan kedua etik dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran Kesehatan kelompok (p= 0,727). Rerata asupan protein lebih tinggi Universitas Gadjah Mada. pada kelompok vegan (152,87% AKG) dibandingkan Tabel 1. Hasil uji t asupan energi, karbohidrat, lemak, protein, zat besi, seng, asam folat, vitamin B,Vitamin B , dan vitamin C pada kelompok lakto-ovo vegetarian dan vegan di yogyakarta 6 12 Asupan gizi Jenis vegetarian Rerata ±SD (%) t / z p (df) Lakto-ovo vegetarian 78,41 ± 26,12 Asupan energi 0,46 0,639 Vegan 75,87 ± 23,48 (100) Lakto-ovo vegetarian 78,06 ± 28,00 Asupan karbohidrat -0,11 0,911 Vegan 78,72 ± 26,51 (100) Lakto-ovo vegetarian 90,37 ± 43,03 Asupan lemak 0,35 0,727 Vegan 87,25 ± 38,88 (100) Lakto-ovo vegetarian 130,58 ± 78,83 Asupan protein -1,78 0,075 Vegan 152,87 ± 83,80 Lakto-ovo vegetarian 95,95 ± 61,12 Asupan zat besi -1,83 0,069 Vegan 120,65 ± 66,95 (100) Lakto-ovo vegetarian 56,04 ± 45,25 Asupan seng 0,47 0,640 Vegan 52,15 ± 18,16 (100) Lakto-ovo vegetarian 38,50 ± 36,51 Asupan asam folat -1,41 0,157 Vegan 42,18 ± 31,93 Lakto-ovo vegetarian 87,21 ± 38,92 Asupan vitamin B -0,188 0,851 6 Vegan 83,34 ± 25,53 Lakto-ovo vegetarian 67,41 ± 47,17 Asupan vitamin B -2,02** 0,044* 12 Vegan 46,34 ± 24,25 Lakto-ovo vegetarian 289,34 ± 194,28 Asupan vitamin C -0,37 0,711 Vegan 303,59 ± 141,42 (100) Asupan zat gizi cukup jika ≥ 80% AKG; asupan zat gizi kurang jika < 80% AKG t = t-test; z = nilai z uji Mann-Whitney; SD = standar deviasi; df = derajat bebas; *= signifikan p<0,05; **= z > z hitung tabel Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 • 145 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta Tabel 2. Indeks massa tubuh pada lakto-ovo vegetarian dan vegan di Yogyakarta Status IMT Total Jenis vegetarian Cukup Kurus Gemuk p n % n % n % n % Lakto-ovo vegetarian 42 60 8 11 20 29 70 100 Vegan 21 66 4 12 7 22 32 100 0,815 Total 63 12 27 102 Tabel 3. Hasil pemeriksaan kadar serum protein, bermakna antara kedua kelompok. serum feritin, dan hemoglobin pada kelompok laktoovo Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar protein vegetarian dan kelompok vegan dalam darah menunjukkan tidak ada kadar protein yang Jenis vegetarian kurang pada kelompok lakto-ovo vegetarian maupun Lakto-ovo Kadar serum Vegan p kelompok vegan. Kadar serum protein kelompok lakto- vegetarian ovo lebih tinggi dibanding kelompok vegan. Demikian n % n % Protein total juga kadar serum feritin dalam darah responden juga Protein kurang 0 0 0 0 - sebagian besar memperlihatkan nilai normal yaitu 92,9% Protein normal 70 100,0 32 100,0 pada kelompok lakto-ovo vegetarian dan 100% pada Feritin serum kelompok vegan. Sebanyak 5 responden mempunyai Deplesi Besi 5 7,1 0 0 0,322 nilai kadar serum feritin kurang pada kelompok lakto-ovo Normal 65 92,9 32 100 vegetarian. Rata-rata kadar serum feritin ada vegan lebih Hemoglobin Hb kurang 4 5,7 1 3,1 1,000 tinggi dibanding kelompok lakto-ovo vegetarian. Hb normal 66 94,3 31 96,9 Lebih lanjut, sebagian besar responden mempunyai kadar Hb normal yaitu 94,3% pada lakto-ovo vegetarian kelompok lakto-ovo vegetarian (130,58% AKG), tetapi dan 96,9% pada kelompok vegan. Ada 4 responden yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,075) menderita anemia pada kelompok lakto-ovo vegetarian dan kedua kelompok mempunyai asupan di atas 100% dan 1 responden dari kelompok vegan. Rata-rata kadar AKG. Kelompok vegan rata-rata mempunyai asupan zat Hb pada kelompok vegan lebih tinggi daripada kelompok besi yang lebih tinggi yaitu 120,65 % AKG dibanding lakto-ovo vegetarian. Hasil uji Chi-Kuadrat menunjukkan kelompok lakto-ovo vegetarian (95,95% AKG). Kedua tidak ada perbedaan bermakna. Rata-rata kadar protein kelompok mempunyai asupan di atas 80% AKG tetapi serum responden yang vegetarian kurang dari 5 tahun tidak ada perbedaan bermakna (p=0,069) asupan zat besi lebih tinggi dibanding dengan yang vegetarian lebih pada kedua kelompok. dari lima tahun dan menunjukkan ada perbedaan yang Status gizi responden berdasarkan IMT signifikan antara dua kelompok. Responden yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki vegetarian kurang dari 5 tahun mempunyai rata-rata kadar IMT normal baik ada kelompok lakto-ovo vegetarian feritin lebih tinggi dibanding dengan yang vegetarian (60%) maupun kelompok vegan (66%) (Tabel 2). lebih dari lima tahun tetapi tidak ada perbedaan yang Terdapat 8 responden yang mempunyai IMT kurus signifikan antara dua kelompok. pada kelompok lakto-ovo vegetarian dan 4 responden pada kelompok vegan. Sebanyak 28,6% responden dari BAHASAN kelompok lakto-ovo vegetarian dan 21,9% dari kelompok vegan yang dikategorikan gemuk. Tidak ada perbedaan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok bermakna (p=0,815) IMT antara dua kelompok. Rata- lakto-ovo mempunyai rerata asupan gizi yang lebih rata IMT kelompok lakto-ovo vegetarian lebih tinggi tinggi pada energi, lemak, seng, vitaminB, dan vitamin 6 (25,17) dibanding dengan kelompok vegan (22,65). Hasil B Kelompok vegan mempunyai rata-rata asupan 12. uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang lebih tinggi pada karbohidrat, protein, zat besi, 146 • Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta asam folat, dan vitamin C. Asupan rendah pada zat gizi Sementara asupan protein kelompok vegan lebih tinggi seng, asam folat, dan vitamin B baik pada lakto-ovo daripada kelompok lakto-ovo vegetarian. Sumber protein 12 vegetarian maupun vegan. Terdapat perbedaan bermakna pada kelompok vegan hanya dari nabati yaitu biji-bijian asupan vitamin B antara kedua kelompok. Vitamin B dan kacang-kacangan sedangkan kelompok lakto-ovo 12 12 banyak pada sumber makanan hewani. Pada kelompok vegetarian masih mengkonsumsi protein hewani dari lakto-ovo masih mengonsumsi makanan sumber hewani telur dan susu yang mengandung protein dengan nilai yaitu susu dan telur sedangkan pada vegan sama sekali kecernaan yang lebih tinggi. Pada kelompok vegan tidak mengkonsumsi sumber makanan hewani sehingga walaupun mempunyai asupan protein lebih tinggi tetapi berpotensi terjadinya defisiensi vitamin B pada jangka protein nabati umumnya mempunyai nilai kecernaan 12 panjang. yang lebih rendah sehingga status protein serum vegan Status gizi orang dewasa dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dibanding lakto-ovo vegetarian walau ditentukan dengan mengukur IMT dan pengukuran asupannya lebih tinggi (8). kadar hemoglobin, serum feritin, dan serum protein Nilai feritin terutama ditentukan oleh asupan zat secara laboratorium. Rerata IMT kelompok vegan besi pada tubuh.Lebih tingginya kadar feritin pada vegan yaitu 22,65, lebih rendah daripada kelompok lakto-ovo didukung oleh asupan besi pada kelompok vegan yang vegetarian 25,17. Penelitian yang dilakukan EPIC-Oxford melebihi 100% AKG dan mempunyai perbedaan yang terhadap beberapa kelompok yang mempunyai pola mendekati nilai signifikan dibanding kelompok lakto- diet yang berbeda menunjukkan berat badan rata-rata ovo vegetarian. Makanan nabati mengandung banyak kelompok vegan lebih rendah daripada kelompok lainnya. zat besi, namun zat besi yang terdapat pada makanan Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kadar IMT nabati adalah zat besi nonheme yang sesungguhnya pada kelompok vegan Africans American lebih rendah lebih sulit diserap di usus. Selain itu sebagian makanan daripada kelompok lakto-ovo vegetarian (6,7). nabati mengandung fitat, polifenol, dan serat yang dapat Lebih rendahnya IMT pada kelompok vegan menghambat penyerapan zat besi. Di sisi lain, makanan didukung oleh asupan lemak yang lebih rendah pada vegetarian mengandung banyak vitamin C yang dapat kelompok vegan dibanding kelompok lakto-ovo membantu penyerapan zat besi di Pada penelitian ini vegetarian. Makanan vegan lebih rendah lemak daripada asupan vitamin C kedua kelompok cukup tinggi dan lakto-ovo vegetarian karena sumber lemak makanan asupan vitamin C pada vegan lebih tinggi dibanding vegan berasal dari nabati yang sebagian besar adalah kelompok lakto-ovo vegetarian. Tingginya konsumsi lemak tak jenuh. Satu gram lemak dapat menghasilkan vitamin C pada vegetarian sangat membantu dalam proses 9 kkal sedangkan satu gram karbohidrat menghasilkan penyerapan zat besi nonheme pada vegetarian (9). 4,1 kkal dan satu gram protein menghasilkan 4,1 kkal. Asupan protein hewani sangat membantu proses Asupan karbohidrat dan protein pada vegan lebih tinggi penyerapan zat besi. Sumber protein kelompok lakto-ovo daripada lakto-ovo vegetarian, namun karena jumlah vegetarian yang masih mengandung protein hewani dapat kalori yang dihasilkan dari karbohidrat dan protein lebih membantu penyerapan zat besi nonheme sehingga dapat rendah dibanding lemak, maka asupan energi vegan meningkatkan zat besi dalam darah. Beberapa makanan lebih rendah daripada lakto-ovo vegetarian. Hal ini sumber protein nabati seperti kacang kedelai dan legum, mendukung IMT vegan lebih rendah dibanding lakto- walaupun mengandung fitat dan polifenol yang dapat ovo vegetarian. menghambat penyerapan zat besi, namun keberadaan Hasil pemeriksaan protein serum menunjukkan protein nabati seperti pada tempe dapat mencegah nilai protein serum semua responden berada pada nilai terjadinya hambatan penyerapan itu. Hal ini membawa cukup. Hal ini didukung oleh rata-rata asupan protein keuntungan bagi vegan yang mempunyai asupan protein kedua kelompok di atas 100% AKG. Rata-rata protein yang tinggi yang sebagian besar dari tempe (10). serum kelompok lakto-ovo vegetarian lebih tinggi Kadar Hb merupakan salah satu parameter yang daripada kelompok vegan dan berbeda secara bermakna. digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 • 147 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta anemia. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar mempunyai asupan vitamin B lebih rendah dibanding 12 hemoglobin kedua kelompok berada pada nilai normal. kelompok lakto-ovo vegetarian. Terdapat perbedaan Rata-rata kadar hemoglobin pada vegan lebih tinggi yang bermakna pada kedua kelompok. Vitamin B 12 daripada kelompok lakto-ovo vegetarian dan mempunyai banyak terdapat pada sumber makanan hewani. Pada perbedaan bermakna. Lebih tingginya kadar hemoglobin kelompok lakto-ovo vegetarian masih mengkonsumsi pada vegan didukung oleh beberapa asupan zat gizi yang sumber makanan hewani yaitu susu dan telur. Pada lebih tinggi pada vegan antara lain asupan protein, zat kelompok vegan sama sekali tidak mengkonsumsi sumber besi, asam folat, dan vitamin C. Asupan protein kelompok makanan hewani sehingga berpotensi terjadinya defisiensi vegan lebih tinggi daripada kelompok lakto-ovo vitamin B dalam jangka panjang. Penelitian di Riau 12 vegetarian. Kedua kelompok mempunyai asupan protein menunjukkan bahwa kelompok lakto-ovo vegetarian juga di atas 100% AKG. Hal ini didukung dari pemeriksaan berpotensi kekurangan vitamin B jika tanpa asupan 12 kadar protein serum dengan nilai cukup. Protein serum sumber makanan vitamin B yang cukup (12). 12 penting dalam proses pembentukan hemoglobin karena Rendahnya beberapa asupan zat gizi antara lain seng, proses pembentukan heme membutuhkan protein dan asam folat, vitamin B dalam jangka panjang berpotensi 12 globin sendiri juga adalah unsur protein. Kekurangan menyebabkan terjadinya anemia dan harus menjadi protein dapat menyebabkan terjadinya anemia. perhatian bagi pada pelaku vegetarian dalam menyusun Lebih lanjut, zat besi merupakan zat utama komposisi makanan. Berdasarkan hasil uji statistik, asupan dalam pembentukan heme. Asupan zat besi pada kedua zat besi berhubungan dengan kadar serum feritin dengan kelompok menunjukkan nilai di atas 80% AKG. Asupan kekuatan hubungan sedang. Sebagian besar zat besi dalam zat besi kelompok vegan lebih tinggi dibanding kelompok tubuh dipergunakan untuk membentuk sel darah merah. lakto-ovo vegetarian, dan terlihat dari lebih tingginya Sedangkan kelebihan zat besi dalam tubuh akan disimpan kadar serum feritin pada kelompok vegan. Asupan sebagai feritin, hemosiderin, limpa, dan sum-sum tulang asam folat pada penelitian ini tergolong rendah pada belakang. Kekurangan asupan zat besi dalam darah dua kelompok responden yaitu di bawah 80% AKG. menyebabkan penggunaan cadangan zat besi dan dalam Penelitian lain menunjukkan kadar folat yang tinggi jangka panjang akan dapat menurunkan kadar serum feritin, pada vegan sedangkan pada lakto ovo vegetarian lebih demikian juga sebaliknya peningkatan asupan zat besi akan rendah. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua meningkatkan kadar serum feritin (13). kelompok responden pada penelitian ini (11). Seng Asupan zat besi memegang peranan penting dalam diperlukan dalam fungsi berbagai enzim dalam proses menentukan kadar hemoglobin. Dua per tiga kandungan metabolisme. Dalam sintesa heme, seng diperlukan zat besi dalam tubuh berbentuk hemoglobin. Asupan zat dalam sintesa δ ALA dehydratase yang juga diperlukan besi yang kurang berpotensi terjadinya anemia. Dalam dalam sintesa heme sehingga kekurangan seng juga dapat penelitian ini menunjukkan ada hubungan bermakna menyebabkan anemia. Asupan seng kedua kelompok di antara asupan zat besi dengan kadar hemoglobin pada bawah 80% AKG. kekuatan hubungan sedang dengan koefisien korelasi Asupan vitamin B pada kedua kelompok di atas o,45. Penelitian di Bali menunjukkan korelasi yang 6 80% AKG. Kelompok lakto-ovo vegetarian mempunyai kuat dan bermakna antara asupan zat besi dengan kadar asupan lebih tinggi daripada kelompok vegan. Dalam hemoglobin. Semakin tinggi asupan zat besi, semakin proses sintesis heme , vitamin B berperan dalam rendah kemungkinan terjadinya anemia atau semakin 6 pembentukan suksinil-KoA dan glisin dan diperlukan tinggi kadar hemoglobin (14). dalam sintesa enzim δ-aminolevulinic acid synthase, Defisiensi dalam tubuh terbagi dalam tiga tahap. suatu enzim yang berperan dalam proses pembentukan Tahap pertama yaitu berkurangnya simpanan zat besi heme sehingga kekurangan vitamin B juga dapat dalam hati tetapi belum mempengaruhi pembentukan 6 menyebabkan anemia. Rata-rata asupan vitamin B pada sel darah merah (deplesi besi). Tahap kedua yaitu 12 kedua kelompok dibawah 80% AKG. Kelompok vegan berkurangnya zat besi yang tersedia untuk sistem 148 • Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 Lusia Anggraini, dkk: Asupan gizi dan status gizi vegetarian pada komunitas vegetarian di Yogyakarta eritropoiesis yaitu pembentukan sel-sel darah merah 3. Abdulla M, Andersson I, Asp NG, Berthelsen K, Birkhed dalam sum-sum tulang. Pada tahap ini nilai Hb masih D, Ockerman PA, et al. Nutrient intake and health status of vegans: chemical analyses of diets using the normal atau mungkin turun sedikit. Tahap ketiga adalah duplicate portion sampling technique. Am J Clin Nutr keadaan ketika kadar hemoglobin sudah menurun 1981;34(11):2464-77. dan terjadinya anemia. Uji multivariat menunjukkan 4. Haddad EH, Berk LS, Kettering JD, Hubbard RW, Peters hubungan yang erat dan bermakna antara asupan zat besi WR. Dietary intake and biochemical,hematologic,and dengan kadar hemoglobin (p=0,000) (15). immune status of vegans compared with nonvegetarians. Semakin berkurangnya status gizi seseorang Am J Clin Nutr 1999;70(3 Suppl):586S-93S. 5. Ball MJ, Bartlett MA. Dietary intake and iron status of seiring dengan semakin lamanya vegetarian kemungkinan australian vegetarian women. Am J Clin Nutr 1999; disebabkan oleh semakin longgarnya pengaturan makanan 70(3):353-8. para pelaku vegetarian. Sebagian besar responden 6. Rosell M, Appleby P, Spencer E, Key T. Weight gain over yang lebih dari 5 tahun vegetarian adalah kelompok 5 years in 21. 966 meat-eating, fish-eating, vegetarian, pekerja sebagai karyawan yang mempunyai pengaturan and vegan men and women in EPIC-Oxford. Int J Obes makanan yang longgar dan seadanya. Hasil penelitian (Lond) 2006;30(9):1389-96. 7. Toohey ML, Harris MA, DeWitt W, Foster G, Schmidt ini menunjukkan perlunya pengaturan dan perencanaan WD, Melby CL. Cardiovascular disease risk factors are makanan yang lebih baik walaupun seseorang semakin lower in african-american vegans compared to lacto-ovo lama menjalani vegetarian. Pengaturan makan yang baik –vegetarian. J Am Coll Nutr 1998;17(5):425-34. akan menjamin tetap terpenuhinya asupan zat gizi yang 8. Linder MC. Biokimia nutrisi dan metabolisme. Jakarta: akan mempengaruhi status gizi vegetarian. Universitas Indonesia Press; 2006. 9. DeBruyne LK, Pinna K, Whitney E. Nutrition and diet therapy. Belmont: Thomson Wadsworth; 2008. SIMPULAN DAN SARAN 10. Baynes RD, Stipanuk MH. Iron. In : Stipanuk, M.H. ed. Biochemical and physiological aspects of human Pola diet lakto-ovo vegetarian dan vegan dapat nutrition. Philadelphia: Saunders; 2000. memenuhi kecukupan asupan gizi karbohidrat, lemak, 11. Gilsing AM, Crowe FL, Lloyd-Wright Z, Sanders TA, protein, zat besi, vitamin B , dan vitamin C. Namun, Appleby PN, Key TJ, et al. Serum concentrations of 6 asupan seng, asam folat, dan vitamin B belum mencapai vitamin B12 and folate in British male omnivores, 12 80% AKG. Kelompok vegan perlu memperhatikan asupan vegetarians and vegans: results from a cross-setional analysis of the EPIC-Oxford cohort study. Eur J Clin vitamin B dengan menambah asupan tempe, suplemen 12 Nutr 2010;64(9):933-9. vitamin B , atau makanan dengan fortifikasi vitamin B . 12 12 12. Susianto. Peran formula tempe sebagai sumber vitamin Dengan perencanaan dan pengaturan makanan yang baik B dan implementasinya untuk diet vegetarian [Disertasi]. 12 agar semua asupan gizi yang dibutuhkan tubuh dapat Jakarta: Universitas Indonesia; 2011. terpenuhi melalui makanan sehari-hari yang dikonsumsi. 13. Dallma PR. Iron. In: Brown ML. ed. Present knowledge in nutrition. 6th ed. Washington: International Life Sciences Institute (ILSI) Press; 1990. RUJUKAN 14. Widarini NP. Asupan zat gizi dan kejadian anemia pada remeja putri vegetarian di Kabupaten Badung Propinsi 1. Sabate J. The contribution of vegetarian diets to health and Bali [Tesis]. Fakultas Kedokteran: Universitas Gadjah disease: a paradigm shift. Am J Clin Nutr 2003;78:502S- Mada; 2008. 7S. 15. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Iron deficiency 2. Dewell A, Weidner G, Sumner MD, Chi CS, Ornish D. A anemia. In: Hillman RS, Ault KA, Rinder HM, ed. very low fa vegan diet increases intake of protective dietary Hematology ini clinical practice. New York: McGraw factors and decreases intake of pathogenic dietary factors. Hill; 2005. J Am Diet Assoc 2008 Feb;108(2):347-56. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 • 149 Elisa Sulistyaningrum, dkk: PersJepusi ribnu teantla nGg miakzania nK oblesiongeinkis s eIbangadi faoktnor erissikioa obesitas pada anak sekolah dasar Volume 11 No. 04 April • 2015 Halaman 150-160 Persepsi ibu tentang makanan obesogenis sebagai faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar Mother perception about obesogenic food as a risk factors of obesity in elementary school children Elisa Sulistyaningrum1, Hamam Hadi2, Madarina Julia3 ABSTRACT Background: Prevalence of children with over nutrition is a global problem that continues to increase every year. Obesity in children have an obese risk in adulthood. Parents, especially mothers have a great role in determining the chilrdren nutritional intake so mothers understanding to the type of food that causes obesity is very important. Objective: To determine the mother’s perception of obesogenic food and its relation to the risk of obesity in elementary school children. Methods: This study was a case-control study. Mothers who have an obese child (≥ 95 th percentile) as a case and mothers of children with nonobese (<95th percentile) as a control. Primary research locations in the City of Yogyakarta and Bantul District. The samples was selected by using the random sampling method. The minimum sample of cases and controls was 63 people 63 people (1: 1). Data analysis were using Chi-Square statistical tests and conditional logistic regression. Results: Subjects of the study consisted of 244 cases and 244 controls. There was no significant difference between the two groups cn the characteristics of gender. Chi-square test showed that mother’s perception of the obesogenis food can not be used as a predictor for the occurrence of obesity in children (p>0.05). Children of mothers who have a wrong perception about sweet drinks and fast food have a obesity risk 1.85 and 1.76 times greater than children of mothers who have a right perception to sweet drinks and traditional fast food. Then the children of mothers who had a wrong perception of full cream milk and other dairy products have a risk of obesity 3.3 times smaller than the mother who has the correct perception to the full cream milk and other dairy products. Mother’s perception about obesogenic foods as risk factor of obesity in children is not influenced by the level of education, household expenditure, and maternal work status (p>0.05). Conclusion: Perception mother of obesogenic foods can not be used as a predictor for the occurrence of obesity in children (p>0.05). The level of maternal education, maternal work status, and household expenses rather than as a factor does not affect the mother’s perception of the food obesogenis. KEY WORDS: children; obesity; obesogenic foods; perception mother ABSTRAK Latar belakang: Anak dengan status gizi lebih merupakan masalah global yang prevalensinya terus meningkat setiap tahunnya. Masalah obesitas yang terjadi pada anak akan berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa. Peran orang tua terutama ibu sangat besar dalam menentukan asupan gizi anak sehingga pemahaman ibu terhadap jenis makanan yang menyebabkan obesitas sangat penting. Tujuan: Mengetahui persepsi ibu tentang makanan obesogenis dan kaitannya dengan risiko kejadian obesitas pada anak sekolah dasar. Metode: Penelitian kasus kontrol dengan kasus adalah ibu yang memiliki anak obes (≥ 95 persentil) dan kontrol adalah ibu yang memiliki anak tidak obes (< 95 persentil). Lokasi penelitian di sekolah dasar Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Penentuan sampel dengan menggunakan metode random. Sampel minimal kasus adalah 63 orang dan kontrol 63 orang (1:1). Uji statistik Chi-Square dan conditional logistic regression dilakukan untuk mengidentifikasi variabel yang merupakan faktor risiko. Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 244 orang kasus dan 244 orang kontrol. Pada karakteristik jenis kelamin ada perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok. Uji Chi-Square menunjukkan persepsi ibu terhadap makanan obesogenis tidak bisa dijadikan sebagai prediktor untuk terjadinya obesitas pada anak (p>0,05). Anak dari ibu yang memiliki persepsi salah tentang minuman manis dan fast food tradisional berisiko obesitas masing-masing 1,85 kali dan 1,76 kali lebih besar dari anak yang memiliki ibu berpersepsi benar terhadap minuman manis dan fast food. Anak dari ibu yang memiliki persepsi salah tentang susu full cream dan produk olahannya berisiko obesitas 3,3 kali lebih kecil dibandingkan dengan ibu yang memiliki persepsi benar terhadap susu full cream dan produk olahannya. Persepsi ibu tentang makanan obesogenis sebagai faktor risiko kejadian obesitas pada anak tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengeluaran rumah tangga, dan status bekerja ibu (p>0,05). Simpulan: Persepsi ibu terhadap makanan obesogenis tidak bisa dijadikan sebagai prediktor untuk terjadinya obesitas pada anak (p>0,05). Tingkat pendidikan ibu, status bekerja ibu, dan pengeluaran rumah tangga tidak berpengaruh terhadap persepsi ibu terhadap makanan obesogenis. KATA KUNCI: anak; obesitas; makanan obesogenis; persepsi ibu 1 Korespondensi: Elisa Sulistyaningrum, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281, e-mail: [email protected] 2 Universitas Alma Ata Yogyakarta 3 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito / Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 150 • Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 Elisa Sulistyaningrum, dkk: Persepsi ibu tentang makanan obesogenis sebagai faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE Anak dengan status gizi lebih merupakan Jenis penelitian ini adalah observasional dengan masalah global yang prevalensinya terus meningkat. menggunakan rancangan kasus kontrol. Kasus adalah Pada tahun 2010, secara global, jumlah anak usia di anak sekolah dasar yang mengalami obesitas dengan nilai bawah lima tahun dengan status gizi lebih, diperkirakan indeks massa tubuh (IMT) menurut umur z-score ≥ 2 (6). jumlahnya lebih dari 42 juta (1). Prevalensi obesitas Kontrol adalah anak sekolah dasar yang tidak overweight pada anak usia sekolah di Provinsi Daerah Istimewa dan berasal dari sekolah dan kelas yang sama dengan Yogyakarta (DIY) sebesar 7,6% pada anak laki-laki kasus. Penelitian ini dilakukan di dua daerah yaitu di Kota dan 4,8% pada anak perempuan. Riset Kesehatan Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang dilaksanakan Dasar (Riskesdas) 2010 memperoleh data prevalensi pada bulan Januari – Juni 2013. Subjek penelitian adalah anak gemuk (kelebihan gizi dan obesitas) usia 6-12 siswa di sekolah dasar Kota Yogyakarta dan Kabupaten tahun mencapai angka 9,2% pada angka nasional dan Bantul kelas 1 – 5, laki-laki dan perempuan yang rata- 7,8% di DIY (2). rata berusia 6 – 12 tahun. Teknik pengambilan sampel Masalah obesitas yang terjadi pada anak akan pada tahap screening dengan menggunakan metode berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa probability proportional to size (PPS) (7). Pada tahapan dan berpotensi mengalami berbagai penyebab risiko screening ada 30 klaster di setiap lokasi, tetapi sebagai utama untuk beberapa penyakit kronis yang terkait langkah antisipasi jika ada sekolah yang berkeberatan diet. Akibat yang ditimbulkan dari meningkatnya risiko maka diambil 35 klaster. Total siswa yang diukur status yaitu meninggal lebih awal hingga kondisi kronis yang gizinya adalah 3.483 siswa dengan 2.076 siswa dari serius yang dapat menurunkan kualitas hidup (3). sekolah dasar Kota Yogyakarta (32 klaster) dan 1.407 Salah satu penyebab obesitas pada anak di Indonesia siswa dari sekolah dasar di Bantul (35 klaster). yaitu perubahan gaya hidup ke westernisasi yang Metode yang digunakan untuk tahap pengambilan mengakibatkan pola makan yang merujuk pada pola data case control adalah metode random. Besar sampel makan tinggi kalori, lemak, dan kolesterol. Makanan dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus dan di luar rumah, seperti di restoran cepat saji cenderung software sample size WHO (8). Maka besar sampel menambah asupan makanan yang tinggi lemak dan minimal dalam studi ini sebanyak 63 subjek untuk setiap tinggi energi. Hal ini merupakan kontributor yang kelompok sehingga jumlah total subjek yang dibutuhkan signifikan untuk terjadinya kenaikan berat badan yang sebesar 126 anak. Penelitian ini merupakan penelitian berlebih (4). berkelompok, maka dalam praktek pengambilan data Orang tua mempengaruhi pemilihan makanan anak diambil jumlah sampel terbanyak yaitu 244 kasus dan dengan mengendalikan ketersediaan makan, berperan 244 kontrol. Pengambilan data kualitatif dilakukan sebagai pemberi contoh dan mendorong anak untuk kepada ibu dari anak yang terpilih dalam random mengkonsumsi makanan tertentu. Pengetahuan tentang sampel. Kriteria inklusi dalam studi ini yaitu siswa gizi yang dimiliki orang tua juga berpengaruh terhadap SD berusia 6 – 12 tahun dan orang tua siswa terutama pemilihan makan anak. Minimnya pendidikan gizi yang ibu bersedia mengikuti penelitian dengan persetujuan dimiliki orang tua menyebabkan rendahnya pengetahuan melalui informed concent. Kriteria eksklusinya adalah gizi yang dimiliki oleh anak. Pendidikan gizi yang tidak menyelesaikan tahapan penelitian. Variabel dalam dimiliki orang tua bisa mempengaruhi persepsi tentang penelitian ini meliputi variabel bebas (persepsi ibu makanan, yang akhirnya akan berpengaruh pula pada tentang makanan obesogenis), variabel terikat (status gizi perilaku dan jenis makanan yang dikonsumsi anak (5). anak), dan variabel pengganggu (pendidikan ibu, status Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui persepsi bekerja ibu, dan pengeluaran rumah tangga). ibu tentang makanan obesogenis dan kaitannya dengan Persepsi ibu tentang makanan obesogenis adalah risiko kejadian obesitas pada anak sekolah dasar (SD) di makanan yang meningkatkan risiko obesitas. Jenis Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. makanan itu sendiri yaitu makanan manis, minuman Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015 • 151 Elisa Sulistyaningrum, dkk: Persepsi ibu tentang makanan obesogenis sebagai faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar manis (minuman dengan kadar gula tinggi), snack asin, pendapatan orang tua adalah sumber pendapatan orang minuman bersoda, dan fast food. Penilaian skor dengan tua dalam sebulan. Kategori pendapatan orang tua dibagi cut off menggunakan median (Q2 dengan cut off ≥ 18 menjadi 2 yaitu pendapatan kurang dari atau sama dengan untuk skor total dan Q2 dengan cut off ≥ 8 untuk skor upah minimum regional (UMR) (≤ 1 juta rupiah) dan makanan obesogenis). Persepsi ibu terhadap makanan pendapatan lebih dari UMR (> 1 juta rupiah). obesogenis dibagi menjadi 2 kategori yaitu persepsi Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini benar adalah ibu memiliki persepsi bahwa jenis makanan diantaranya kuesioner persepsi ibu tentang makanan obesogenis merupakan makanan yang tidak sehat dan obesogenis, pedoman wawancara mendalam mengenai memacu obesitas dan persepsi salah adalah ibu memiliki persepsi orang tua tentang makanan obesogenis, dan persepsi bahwa jenis makanan obesogenis merupakan kuesioner terstruktur untuk mengetahui karakteristik makanan yang sehat untuk dikonsumsi. Demikian juga sosiodemografi dan ekonomi subjek penelitian. Proses pada persepsi ibu terhadap makanan non-obesogenis pengambilan data dalam penelitian ini, peneliti dibantu dibagi menjadi 2 kategori yaitu persepsi benar adalah ibu oleh enumerator yang merupakan alumni S1 Gizi memiliki persepsi bahwa jenis makanan non-obesogenis Kesehatan Fakultas Kedokterna Universitas Gadjah merupakan makanan yang sehat dan persepsi salah Mada. Sebelum melakukan pengambilan data, para adalah ibu memiliki persepsi bahwa jenis makanan non- enumerator diberikan penjelasan mengenai instrumen obesogenis merupakan makanan yang tidak sehat untuk yang digunakan hingga proses pengambilan data. dikonsumsi. Penelitian ini berjalan setelah peneliti mendapatkan Status gizi anak dikategorikan dalam dua kelompok surat kelaikan etik penelitian dari Komite Etik Penelitian yaitu obesitas dan tidak obesitas. Dalam penelitian ini, Biomedis pada Manusia FK UGM. status gizi anak diketahui dengan menggunakan IMT Analisis data menggunakan uji Chi-Square dan yang diperoleh dengan mengukur berat badan (kg), tinggi dilanjutkan dengan uji Odds Ratio (OR). Analisis badan (cm), dan umur (bulan). Berat badan diperoleh multivariat menggunakan uji regresi logistik untuk dengan menimbang anak menggunakan timbangan mengetahui variabel luar yang mempengaruhi variabel digital. Tinggi badan diperoleh dengan melakukan dependen selain variabel independen. Analisis kualitatif pengukuran tinggi badan menggunakan microtoice. dengan menganalisis isi (content analysis) terhadap Data hasil pengukuran berat badan, tinggi badan, dan pernyataan informan tentang pandangannya terhadap umur tersebut digunakan untuk menentukan IMT per makanan obesogenis umur yang mengacu pada growth reference data for 5-19 years, World Health Organization (WHO) 2007 (6). HASIL Perhitungan IMT per umur (IMT/U) dalam penelitian ini menggunakan software WHO Anthroplus. Kategori IMT Karakteristik subjek penelitian per umur dalam z-score dikelompokkan menjadi 4 status Hasil analisis variabel karakteristik yang gizi yaitu kurus (z-score <-2), normal (z-score ≥ -2 dan ≤ menunjukkan perbedaan secara signifikan antara siswa 1), kelebihan gizi atau overweight (z-score >1 dan < 2), obes dan tidak obes adalah variabel jenis kelamin dan serta obesitas (z-score ≥ 2). kepemilikan kendaraan bermotor (p<0,05). Berdasarkan Variabel pengganggu dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak yang obesitas pendidikan ibu adalah pendidikan formal terakhir yang (63,11%) dibandingkan dengan anak perempuan (36,89%) ditempuh. Kategori pendidikan orang tua rendah yaitu (Tabel 1). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara tamat sekolah SD sampai SLTP sedangkan kategori kasus dan kontrol pada karakteristik subjek penelitian pendidikan tinggi yaitu melanjutkan pendidikan setelah kelompok usia, kabupaten/kota, wilayah tempat tinggal, SLTP (tamat SLTA, Diploma, Strata 1). Status bekerja ibu pendidikan ibu, status bekerja ibu, pendidikan ayah, adalah ada atau tidaknya pekerjaan yang menjadi mata pekerjaan ayah, pengeluaran keluarga, anggota rumah pencaharian utama bagi orang tua. Selanjutnya, variabel tangga, dan jumlah televisi (TV) di rumah, hal ini 152 • Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Vol. 11, No. 4, April 2015
Description: