Ilmu Ushuluddin, Januari 2011, hlm. 1-21 Vol. 10, No. 1 ISSN 1412-5188 ISLAM TRANSNASIONAL DAN MASA DEPAN NKRI: Suatu Perspektif Filsafat Politik Irfan Noor Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari. Jl. A. Yani Km 4,5 Banjarmasin. Diterima 15 November 2010/Disetujui 17 Desember 2010 Abstract Tulisan ini membahas fenomena kehadiran organisasi-organisasi Islam radikal transnasional di ruang bangsa Indonesia dalam kurun 10 tahun pasca reformasi. Dalam konteks transisi demokrasi, fenomena ini merefleksikan tendensi kepada pembentukan “komunalisme agama” bercorak teokratik di atas realitas masyarakat yang majemuk, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi “spirit” awal gerakan reformasi. Secara geneologis, kehadiran Islam transnasional tidak bisa dilepaskan dari peran DDII yang menjadi wadah persemaian ideologi Salafi abad 20 yang tidak hanya menekankan pemurnian keagamaan semata, tapi menjadi ideologi alternatif atas modernisme, sekularisme, dan kapitalisme melalui eksperimentasi negara Islam lintas bangsa. Walaupun kehadiran Islam model ini ditengarai akan berpotensi menjadi penyebab perpecahan bangsa, namun penanganannya bukan seperti pengalaman Orde Baru tetapi melalui pendekatan hukum dan strategi de-radikalisasi yang sistematik. Kata Kunci: Islam Transnasional, reformasi, de-politisasi Islam. Pendahuluan Salah satu arus balik reformasi yang bisa kita saksikan dalam kurun waktu 10 tahun pasca reformasi adalah maraknya gerakan Islam radikal berkarakter transnasional di berbagai daerah.1 Dianggap sebagai arus balik 1Nurrohman dan Marzuki Wahid, “Politik Formalisasi Syari’at Islam dan Fundamentalisme Islam”, dalam Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Istiqro’, Vol. 01, No. 01, 2002, h. 45. Gerakan Islam radikal transnasional yang dimaksud adalah gerakan Islam yang muncul dalam 10 tahun ini yang memiliki agenda kerja “pemberlakuan syari’at Islam” dalam kehidupan umat Islam dan berupaya untuk “memformalkan” syari’at 2 Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1 reformasi karena gerakan ini bertendensi membentuk “komunalisme agama” bercorak teokratik di atas realitas masyarakat yang majemuk, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi “spirit” awal gerakan reformasi. Kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal transnasional di Indonesia pasca Orde Baru ini, memang, memancing debat terbuka di kalangan para ahli. Persoalannya, secara praktek, hampir di semua masya- rakat muslim muncul anggapan bahwa agama berkaitan dengan persoalan publik. Anggapan bahwa agama hanya menjadi urusan pribadi seperti yang telah terjadi di sebagian negara di Eropa Barat, tampaknya tidak berlaku untuk masyarakat muslim. Oleh karena itu, dengan menguatnya fenomena ini di ranah kebangsaan kita saat ini, maka fenomena ini telah menandai salah satu ciri dari proses transisi demokratis yang sedang berjalan di negeri ini, di mana sebelumnya di era Orde Baru fenomena ini sangat ditabukan. Amburadulnya Reformasi dan Politik Identitas Mengapa reformasi mengalami “arus balik” ? Menurut Lipset2 dan O’Donnell dan Schmitter,3 pemerintahan baru yang berada dalam proses transisi demokrasi dari sistem pemerintahan otoriter ke sistem pemerintahan demokratis cenderung tidak memiliki stabilitas dengan legitimasi yang kuat di masyarakat. O’Donnell dan Schmitter bahkan pernah mengingatkan bahwa transisi demokrasi adalah “perubahan dari satu rezim otoriter menuju ‘sesuatu yang lain’ yang belum jelas”.4 Wajah-wajah yang lain itu bisa berwujud tegaknya sebuah demokrasi politik atau malah sebaliknya. Artinya, sejalan dengan proses transisi demokrasi yang menawarkan kebebasan yang sangat luas sebagai antitesis pemerintahan otoriter masa lalu, pemerintahan baru yang ingin dibangun dalam konteks Islam ke dalam batang tubuh sistem negara, yang tujuan akhirnya adalah perubahan dasar negara untuk menjadi “negara Islam” dalam pengertian kekhilafahan internasional. 2Seymour Martin Lipset, Political Man; The Social Bases of Politics, (Maryland: Baltimore, 1981). 3Guillermo O’Donnell & Philippe C Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule, (Bal- timore: The Johns Hopkins University Press, 1986). 4O’Donnell, Transitions from Authoritarian…., h. 89. IRFAN NOOR Islam Transnasional 3 ini cenderung memiliki ciri yang tidak stabil dan “gamang”, sehingga euforia kebebasan berjalan bebas tanpa adanya kontrol dari negara. Situasi ini benar-benar terefleksi ketika Indonesia selama tahun-tahun pertama reformasi memasuki suasana yang governmentless dan lawless. Pemerintah tidak berwibawa, hukum tidak berjalan, sistem tidak bekerja, membuat masyarakat tidak sabar. Salah satu “wajah lain” yang umum berkembang adalah politik identitas. Politik identitas Islam pasca Orde Baru ini sebenarnya dapat dibaca dalam tiga fase utama, yaitu “konflik antaragama” di Maluku dan Poso, proyek Islamisasi ruang publik kebangsaan, dan penyerangan terhadap aliran sesat dan anti kristenisasi.5 Konflik antarumat beragama di Maluku dan Poso merupakan fase pertama politik identitas Islam pasca Orde Baru. Konflik horizontal ber- nuansa agama yang terjadi sepanjang tahun 1997 hingga berpuncak di Maluku dan Poso yang berakhir tahun 2002. Konflik ini telah mengubah cara pandang keagamaan dan ketegangan masyarakat di seluruh Indone- sia, sehingga melegitimasi muncul sejumlah organisasi Islam beraliran radikal. Diawali oleh Front Pembela Islam (FPI) yang berdiri tahun 1998 di Jakarta, bermunculan organisasi Islam lainnya, seperti Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur tahun 1998, Tholiban di Tasikmalaya tahun 1999, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta tahun 2000, dan Forum Umat Islam (FUI) di Jakarta tahun 2005. Dalam konteks lahirnya organisasi Islam tersebut, lahir juga organisasi Islam yang bersifat transnasional. Tercatat, Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASWJ) yang kemudian melahirkan Laskar Jihad (1999), Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Kehadiran organisasi Islam ini menandai gerakan baru Islam di Indonesia yang berbeda dengan organisasi-organisasi Islam yang lebih dulu hadir, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama (NU), al-Irsyad, Jami’atul Khoir, dan lain-lain. Selanjutnya, fase kedua politik identitas Islam pasca Orde Baru adalah Islamisasi ruang publik bangsa dalam bentuk penegakan Syari’at Islam. Upaya Islamisasi ruang publik bangsa tampak secara kasat mata dalam 5Ismail Hasani, et.all., Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, (Jakarta: SETARA Institute, 2011). 4 Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1 konstelasi politik pasca runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998,6 dimana modus operandinya dimulai dari polemik nasional di Sidang Tahunan MPR pada tahun 1999 dan terus menggelinding pada Sidang Tahunan berikutnya tentang desakan dicantumkan kembali tujuh kata yang pernah dicoret dari Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”, ke dalam konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945.7 Setelah mengalami kegagalan di tingkat nasional ini, muncul skenario baru dalam perjuangan penegakan Syari’at Islam, yakni perjuangan di tingkat daerah melalui pencantuman ke dalam Peraturan Daerah (Perda) atau peraturan perundang-undangan lain di tingkat daerah,8 terutama di tingkat kabupaten/kota. Karenanya sejak tahun 2000-2009, muncul berbagai Perda Syariah yang mengatur kesusilaan, seperti busana muslim/muslimah, pandai membaca al-Qur’an, khulwat, miras, pelacuran dan perjudian. 6Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. v. 7Secara historis, di Indonesia, pembicaraan tentang posisi Syari’at Islam dalam konstitusi, setidak-tidaknya, pernah dibicarakan dalam lima kali kesempatan, yakni: pada sidang BPUPKI- PPKI tahun 1945, sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959, Sidang Umum MPRS tahun 1966-1968, Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan Sidang Tahunan MPR tahun 2001. Lihat Arskal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama – Negara, (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999), h. 8-11. 8Diawali di Bekasi, hingga kini Perda bernuansa Syariat Islam8 bertebaran di lebih dari 22 Kabupaten dan kota se-Indonesia. Berbeda dengan Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) yang melaksanakan Syariat Islam secara formal berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, maka implementasi di 22 Kabupaten/kota di atas rata-rata menerapkan Anti Maksiat, Kewajiban Berjilbab, ataupun Fasih baca Alquran melalui Peraturan Daerah. Daerah-daerah tersebut antara lain, Provinsi Banten, Provinsi Riau, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sumatera Barat, Kota Makasar, Kota Ternate, kota Palembang, Kabupaten Banjar (Martapura), kabupaten Serang, kabupaten Tasikmalaya, kabupaten Sukabumi, kabupaten Cianjur, dan kabupaten Garut. Bahkan, empat kabupaten yang disebut terakhir, secara demonstratif, telah mendeklarasikan “pemberlakuan syari’at Islam” pada 1 Muharram tahun 2001. Lihat Nurrohman dan Marzuki Wahid, “Politik Formalisasi Syari’at Islam dan Fundamentalisme”, dalam Jurnal Istiqro’, Vol. 01, No. 01, 2002, (Jakarta: Dir.Pertais, 2002), h. 47; dan Majalah Tempo edisi 8, 14 Mei 2006. Penamaan Perda Bernuansa Syariat menjadi Perda Syariat atau Peraturan Daerah bernuansa Syariat Islam mulai digunakan pada saat sebuah interupsi di DPR RI dalam sebuah Sidang Paripurna oleh Constant Ponggawa yang kemudian diikuti dengan sebuah surat permohonan kepada Ketua DPR RI agar menyurati Presiden RI guna mencabut dan membatalkan Perda bernuansa syariat Islam tersebut. Surat tersebut dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 2006 yang kemudian dalam pemberitaan Pers selanjutnya sering disingkat menjadi Perda Syariat saja. Lihat juga uraian Audy WMR Wuisang dalam http://audywuisang.blogspot.com /2007/05/ perda-syariat-vs-nasionalisme-indonesia. html. IRFAN NOOR Islam Transnasional 5 Fase kedua dari politik identitas Islam pasca Orde Baru ini ber- barengan dengan munculnya partai-partai politik dengan berbagai aliran.9 Di Pemilu 1999, ikut bersaing 48 partai politik. Tercatat 11 partai Islam ikut bersaing di Pemilu 1999, seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII 1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi), dan PP (Partai Persatuan), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sementara fase ketiga dari politik identitas Islam pasca Orde Baru adalah penyerangan terhadap aliran sesat, anti kristenisasi, dan anti maksiat. Sasaran utama yang dituju adalah Jemaat Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya (Lia Eden dan Mushaddiq), tempat-tempat ibadah umat Kristen, dan tempat-tempat serta praktik yang dianggap maksiat. Penyerangan kelompok Islam radikal terhadap Jemaah Ahmadiyah di Parung merupakan aksi induk yang pada gilirannya menjalar ke daerah-daerah lainnya. Dinamika yang begitu terasa dari fenomena ini adalah munculnya mainstreaming penegakkan syariat Islam secara radikal, sehingga sering disebut dengan “radikalisme”. Indikator utamanya adalah kemunculan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang keras dan cenderung tanpa kompromi untuk mencapai agenda-agenda tertentu yang berkaitan dengan kelompok muslim tertentu, atau dan bahkan dengan pandangan dunia (world view) Islam tertentu. Kelompok-kelompok yang masuk dalam kategori radikal ini antara lain Jundullah (tentara Allah), Laskar Jihad, dan Hizbullah (partai Allah) atau organisasi yang kelihatan lebih besar, seperti Front Pembela Islam (FPI).10 Ironisnya, gerakan baru ini sudah merambah kelompok Islam tradisionalis, terutama ulama dan santri pesantren. Basis massa yang dulunya direkrut dari para pemuda dari berbagai latar belakang (pengangguran, preman, pemuda fanatik), kini bercampur dengan anak- anak muda pesantren yang digerakkan oleh para ulama. 9Di Pemilu 1955, Lance Castle dan Herbeth Feith membagi aliran politik ke dalam lima aliran: sosial demokrat, nasionalisme, komunisme, tradisionalisme Jawa, dan Islam. Lihat Lance Castle dalam Lance Castle dan Herbeth Feith, Pemikiran Politik Indonesia (1945-1965), (Jakarta: LP3ES, t.th.), h. Iv. 10Azyumardi Azra, “Muslim Indonesia: Viabilitas “Garis Keras” dalam Gatra, edisi khusus 2000, h. 44. 6 Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1 Gerakan Islam radikal ini, dalam beberapa tahun terakhir ini, menunjukkan kekuatannya sebagai daya tekan (oposisi) kepada rezim yang tidak aspiratif terhadap Islam. Pada titik selanjutnya, isu “negara Islam” dan “syariat Islam” menjadi propaganda krusial tentang relasi Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah proses transisi demokrasi bangsa ini. Dengan menguatnya radikalisme Islam di atas, maka proses transisi demokrasi bisa dikatakan telah mengalami pembusukan dari dalam. Pembusukan ini dikarenakan proses demokratisasi yang dijalankan lebih banyak menitikberatkan pada proses prosedural daripada substansi demokrasi itu sendiri, seperti tegaknya kepastian hukum, good governance, dan sebagainya. Oleh karena itulah, bisa dipahami jika reformasi yang merupakan gerbang masuk utama proses demokratisasi bangsa Indonesia hari demi hari mengalami proses arus balik yang tak terelakkan. Geneologi Radikalisme Islam Transnasional di Indonesia Tampak sekali, radikalisme Islam tidak lahir begitu saja tetapi berdasarkan latar belakang konteks sosial, politik, dan ekonomi yang mendahuluinya.11 Namun demikian, adakah faktor teologis dan ideologis yang menjadi dasar perkembangan gerakan Islam ini ? Munculnya gerakan radikalisme Islam di ranah kebangsaan kita ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehadiran ideologi Islam beraliran salafisme khas abad 20,12 yaitu suatu aliran gerakan Islam yang tidak hanya 11Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 181. 12Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. (Ithaca, New York: Southeast Asia Program, Cornell University, 2006), h. 18. Jauh sebelumnya radikalisme Islam awal sesungguhnya dapat ditelusuri pada gerakan kaum Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan ‘Ali ibn Abî Thâlib dengan prinsip- prinsip radikal dan ekstrim dapat dilihat sebagai gerakan radikalisme Islam klasik dalam sejarah. Langkah radikal mereka diabsahkan dengan semboyah la hukma illâ lilllâh (tidak ada hukum kecuali bagi Allah) dan la hakama illâ Allâh (tidak ada hakim selain Allah) yang dielaborasi berdasar QS. al-Mâ’idah [5]: 44 yang berbunyi: “wa man lam yahkum bimâ anzalallâh faulâika hum al kâfirûn” (siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir). Karena alasan demikian, kelompok Khawarij tidak mau tunduk kepada Ali dan Mu’awiyah. IRFAN NOOR Islam Transnasional 7 menekankan pemurnian keagamaan semata, tapi menjadi ideologi perlawan- an terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain.13 Tokoh- tokohnya antara lain, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb (Ihkwânul Muslimîn) dan Abu al-A’lâ al-Maududî (Jama’ati Islami). Secara historis dan visioner, sejarah Islam mengenal gerakan-gerakan Islam radikal yang muncul dalam rangka pemurnian agama. Yang pertama kali ialah gerakan Hanbali yang dipelopori oleh Abu Muhammad al- Barbahari. Al-Barbahari dan gerakan Hanbalinya pada awal abad ke-10 menyerukan perlawanan terhadap penyimpangan itu dengan cara kembali kepada aqidah salaf. Gerakan pemurnian kedua juga timbul di kalangan masyarakat Hanbali, yaitu gerakan Ibnu Taimiyyah di Damaskus pada abad ke-14. Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Berikutnya, dari gerakan pemurnian ialah gerakan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab pada awal abad ke-19. Ini juga gerakan yang tumbuh di kalangan mazhab Hanbali di Arabia. Gerakan-gerakan pemurnian di masa lalu ditujukan untuk melawan tiga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pertama, ialah rasionalisme Mu’tazilah yang dipandang sebagai aliran yang mengaburkan simplisitas ajaran teologi Islam. Gerakan al-Barbahari pada awal abad ke-10 dengan jelas mewakili usaha pemurnian semacam itu. Kedua, ialah antinomianisme dan spekulatifisme dari gerakan tasawuf. Gerakan pemurnian Ibn Taimiyah menggambarkan perlawanan terhadap Umumnya, gerakan radikalisme Islam, di samping bersandar pada akar teologi juga menggunakan instrumen yang disebut ‘jihad’ yang diartikan dengan ‘perang’. Konsep jihad ini sering kali dilegitimasi oleh kalangan radikalisme Islam untuk melakukan tindakan kekerasan. Alasan yang sering mendasari jihad secara teologis adalah ayat QS. al-Baqarah [2]: 120: “Tidak akan rela baik Yahudi maupun Nasrani sehingga engkau tunduk kepadanya”. Ayat ini dipahami secara literal bahwa orang Yahudi maupun Nasrani adalah pihak yang perlu diwaspadai karena selalu menyerang, terutama terhadap akidah umat Islam. Ayat lainnya yang juga ditengarai sebagai sumber radikalisme Islam terdapat dalam surat al-Taubah [9] ayat 29 yang artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan patuh dan tunduk.” Lihat juga Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’ah: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, [Seri Disertasi], (Jakarta: PSAP, 2007), h. 204-211. 13Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia... h. viii. 8 Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1 kecenderungan itu. Ketiga, ialah berkembangnya syirik dan khurafat yang melawan konsep tauhid. Perlawanan terhadap kecenderungan ini dilakukan oleh Gerakan Wahhabi. Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah bagaimana ideologi salafisme khas abad 20 berkembang di Indonesia ? Sejak zaman pra-kemerdekaan Indonesia, organisasi Islam radikal telah menunjukkan wajahnya yang signifikan mendampingi wajah Islam lainnya.14 Jejak-jejak radikalisme Islam di kalangan umat Islam Indonesia bukanlah hal yang sama sekali baru. Di awal abad ke-20, dalam peningkatan semangat nasionalisme melawan kolonialisme Belanda dan deprivasi ekonomi yang kian parah di kalangan pribumi, radikalisme Islam dimuncul- kan oleh kelompok-kelompok Sarekat Islam (SI) lokal dalam “ideologi” revivalisme Islam; Mahdiisme atau Ratu Adil; dan antikolonialisme.15 Sementara dalam konteks Indonesia pasca kemerdekaan, gerakan Islam ini hadir sebagai respon terhadap buruknya pola relasi negara terhadap masyarakat. Oleh karenanya, bila ditelusuri akar radikalisme Is- lam di Indonesia akan berdahan-ranting cukup kuat dalam gerakan Masyumi dan DDII. Keterkaitan gerakan Masyumi dan DDII dengan radikalisme Islam pasca Orde Baru ini terletak dari peristiwa berpalingnya tokoh-tokoh Masyumi dari arena politik kepada aktivitas dakwah Islam sebagai akibat langsung kebijakan “depolitisasi Islam” era Orde Baru.16 Proses berpalingnya 14Clifford Geertz, The Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960). Lihat R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 1999), h. 304. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), dan Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999). 15Azyumardi Azra, “Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis Keras”, dalam Gatra edisi khusus 2000, h. 44. Gerakan Imran, Warman, pengeboman BCA dan Candi Borobudur dan peristiwa Tanjung Priok adalah bentuk perlawanan umat Islam terhadap pemerintah yang mengakibatkan munculnya radikalisme. Lihat Laporan Tempo, “NII: Islam atau Negara Islam?”, 5 Maret 2000, h. 15 16Pada November 1945, Masyumi didirikan sebagai representasi utama tradisi politik intelektual muslim. Tidak seperti Masyumi sebelumnya yang disponsori Jepang, Masyumi sekarang mencakup baik organisasi-organisasi Islam non-politik yang telah bergabung dengan Masyumi pada era Jepang maupun organisasi-organisasi politik Islam pra-pendudukan Jepang, seperti PSII. Selama periode Demokrasi Terpimpin, Masyumi mengalami demoralisasi, terdiskreditkan, terpecah-belah. Sudah sejak Februari 1958, keterlibatan para pemimpin Masyumi IRFAN NOOR Islam Transnasional 9 tokoh-tokoh Masyumi ini berawal dari ditolaknya keinginan mereka untuk merehabilitasi Masyumi oleh pemerintahan awal Orde Baru pada tahun 1967.17 Maka sejak saat itu, berkembang paradigma baru para mantan pemimpin Masyumi ini untuk memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik.18 Natsir mengungkapkan: “Kita tak lagi mengada- kan dakwah dengan cara-cara politik, tetapi terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik dengan cara-cara dakwah. Sejak saat itu, istilah “dakwah” menjadi populer dalam ruang publik Indonesia. Tepatnya 26 Februari 1967, para mantan pemimpin Masyumi ini mengadakan pertemuan di masjid al-Munawarrah (Tanah Abang, Jakarta), yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).19 Karena pengaruh lobi Natsir, DDII dalam perkembangan berhasil mendapatkan akses ke lembaga-lembaga donor dari negara-negara Timur Tengah, seperti Rabithah Alam Al-Islami. Dengan dana dari lembaga ini, DDII mampu membiayai aktivitas-aktivitas dakwah, dalam pemberontakan PRRI menyebabkan partai tersebut dilarang di daerah-daerah tempat pemberontakan tersebut meletus. Di samping itu, ketidakpercayaan para pemimpin Masyumi terhadap Sukarno dan penolakan Masyumi untuk menerima Manipol-USDEK dan Nasakom, dijadikan dalih bagi Sukarno untuk melarang partai tersebut pada Agustus 1960. Dan sejak 1960 hingga 1966, para tokoh Masyumi yang terlibat dalam pemberontakan PRRI dan yang menentang doktrin-doktrin Sukarno dipenjarakan dengan lama hukuman yang berbeda. Lihat Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 419-20. 17Sejak 16 Desember 1965, terbentuk Badan Koordinasi Amal Muslim yang menyatukan 16 organisasi Islam yang bekerja demi direhabilitasinya Masyumi. Dalam menjawab permohonan organisasi-organisasi Islam itu, Suharto menjawab “faktor-faktor legal, politik, dan psikologis telah membuat pihak Angkatan Darat berpandangan bahwa Angkatan Darat tidak bisa menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi”. Tidak hanya sampai di situ, penolakan rehabilitasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan upaya-upaya menghalangi para pemimpin berpengaruh Masyumi dari arena politik praktis dengan membuat stigma bahwa mereka tidak mendukung Orde Baru. Cara-cara seperti ini sempat membuat Muhammad Natsir bersungut dan meng- ungkapkan kekesalan yang dipendamnya itu dalam sebuah rapat para pemimpin Islam pada 1 Juni 1972 dengan mengucapkan kata-kata: “mereka telah memperlakukan kita seperti kucing kurap”. 18Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa …, h. 497. 19Resminya lembaga ini berdiri pada Mei 1967 dengan digawangi oleh Muhammad Natsir dan H. M. Rasyidi sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Di samping itu juga, DDII membuat publikasi dakwah, yakni Majalah Media Dakwah. Semua ini dimaksudkan agar DDII bisa memposisikan dirinya sebagai sumber utama dan agen konsultasi bagi dakwah Islam yang efektif di masyarakat modern. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Gerakan Revivalisme Islam ke Indonesia (1980-2002), (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 83. 10 Ilmu Ushuluddin Vol. 10, No. 1 membangun dan melengkapi perpustakaan-perpustakaan di masjid-masjid, universitas-universitas, dan lembaga-lembaga dakwah. DDII juga bereksperimen dengan mengumpulkan pemimpin pesantren, aktivis Islam dan tokoh-tokoh sosial untuk mendirikan pesantren model Ma’had ‘Aly.20 Di samping itu, DDII juga mengirim para siswa Indonesia belajar ke Timur Tengah. Hingga 2004, DDII telah mengirim sebanyak 500 mahasiswa ke Timur Tengah dan Pakistan. Para alumnus pendidikan Timur Tengah inilah yang belakangan menjadi aktor utama penyebaran gerakan revivalisme Islam di Indonesia. DDII juga menjadi penggagas serta me- diator berdirinya Lembaga Ilmu Islam dan Arab (LIPIA) yang merupakan cabang Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyadh.21 Lembaga ini telah meluluskan ribuan alumni yang menjadi agen gerakan Salafi serta aktor penting di kalangan Tarbiyah.22 20Contoh paling sukses dari eksperimen ini adalah Pesantren Ulil Albab, Bogor, yang berhasil melahirkan tokoh seperti Didin Hafiduddin. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal..., h. 85. 21Upaya membuka cabang di Indonesia diawali dengan datangnya Syekh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, seorang murid tokoh paling penting Salafi, Syekh Abdullah bin Baz ke Jakarta. Oleh bin Baz, ia diperintahkan untuk bertemu dengan Mohammad Natsir. Natsir menyambut baik rencana pendirian lembaga ini dan bersedia menjadi mediator dengan pemerintah Indonesia. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal..., h. 105. 22Yusuf Usman Baisa, alumnus LIPIA ini melanjutkan studi ke Arab Saudi, Afghanistan dan Pakistan, terutama Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Setelah itu, ia mendirikan pesantren al-Irsyad di Salatiga. Abu Nida yang pada awalnya belajar di madrasah NU di Gresik melanjutkan studi di Akademi Pendidikan Muhammadiyah di Gresik, Pada 1976, ia belajar di Pesantren Karanasem Paciran, Lamongan dan mengikuti rogram DDII di Kalimantan Barat selama dua tahun. Kemudian dipilih menjadi mubalig DDII di Jakarta dan mendapatkan beasiswa melalui DDII untuk belajar kepada guru Salafi di Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Melalui DDII Riyadh, Abu Nida berkenalan dengan organisasi Kuwait Jamiat Ihya al-Turats al- Isami. Setelah lulus 1985, ia pergi ke perbatasan Pakistan-Afghanistan untuk bergabung dengan Jamilur Rahman selama tiga bulan. Lalu ia kembali ke Indonesia untuk mengajar di Pesantren Ngruki pimpinan Abu Bakar Baasyir. Pada 1986 ia menikah dengan santri Ngruki dan pindah ke Sleman Yogyakarta untuk mengajar di pesantren DDII, yaitu Pesantren Ibnul Qoyyim. Ja’far Umar Thalib, pimpinan Laskar Jihad sebelum lulus di LIPIA ia pergi ke Institut Maududi di Lahore, Pakistan dengan bantuan beasiswa DDII pada 1986. Ia juga belajar dan dilatih Jamilur Rahman di perbatasan Pakistan-Afghanistan. Setelah mengajar di Pesantren al-Irsyad yang dipimpin Yusuf Baisa selama dua tahun, ia tinggal di Yaman pada 1991 untuk belajar kepada tokoh Salafi, Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi di Dammaz. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal..., h. 108.
Description: