JL3T Journal of Linguistics, Literature & Language Teaching NASIB FILSAFAT DI TANGAN BAHASA: EVALUASI KRITIS FILSAFAT ANALITIK, STRUKTURALISME DAN DEKONSTRUKSI Miswari IAIN Langsa [email protected] ABSTRACT Tulisan ini adalah sebuah kritik evaluatif terhadap beberapa diskursus filsafat tentang bahasa. Diskursus dimaksud adalah Filsafat Analitik, Strukturalisme dan Dekonstruksi. Filsafat Analitik mengklaim, terma-termafilsafat tidak memiliki rujukan objektif. Aliran ini terma filsafat hanyalah sebatas imajinasi para filosof. Strukturalisme adalah studi tentang bahasa yang hanya berfokus tentang struktur bahasa. Karena itu, aliran ini tidak akan mampu bahasa yang digunakan para filosof. Dekonstruksi adalah studi yang menolak untuk memberikan makna pada terma-terma penting. Sebenarnya, untuk memahami cara kerja para filosof, harus memahami terma-terma kunci yang dipakai para filosof. Tiap-tiap terma yang digunakan para filosof memiliki makna yang nyata, gagasan umum memiliki rujukan pada alam-alam metafisik. Filsafat tidak bisa dianalisa dengan Filsafat Analitik, Strukturalisme dan Dekonstruksi. Aliran-aliran sistem analisa bahasa tersebut telah terjebak oleh paradigma Positivisme. Positivisme hanya tunduk pada rujukan kata-kata dari yang terinderai saja. Tulisan ini mencoba untuk menyampaikan dan mengevaluasi Filsafat Analitik, Strukturalisme dan Dekonstruksi dengan menggunakan gagasan filsafat. Tulisan ini juga menawarkan alasan Filsafat Analitik, Strukturalisme dan Dekonstruksi mustahil dapat digunakan untuk mengevaluasi filsafat. Kata kunci Filosofi, bahasa, filosofi analitik, strukturalisme, dekonstruksi PENDAHULUAN Filsafat dari tangan pertama sebenarnya tidak terlalu membingungkan. Bahasa-bahasa yang mereka pakai umumnya sangat mudah dan indah. Tetapi filsafat menjadi rumit ketika orang kedua atau pengkaji pemikiran filosof mencoba mengeksporasi pemikiran-pemikiran sang filsuf. Filsafat bahasa atau filsafat analitik adalah reaksi terhadap filsafat, terutama idealisme, yang memakai istilah-istilah yang dianggap sulit dipahami JL3T. Vol. II, No. 2 December 2016 147 Miswari seperti: 'existent', 'substance', 'nothingness' dan lainnya. Istilah-istilah filsafat dicurigai oleh pemikir analitik sebagai istilah-istilah yang mengandung kebermaknaan ganda (ambiguity), artinya kabur (vagueness) dan ketidak-terangan (inexplicitness). Karena itu, mereka menerapkan kriteria logis untuk menentukan apakah istilah-istilah itu bermakna atau tidak. (Musytansyir, 1984:7) Sebab, bila suatu istilah yang tidak bermakna diajukan sebagai fondasi, maka seluruh bangunannya hanya fantasi. Bila istilah itu dijadikan pertanyaan, maka upaya mencari jawabannya adalah kesia-siaan belaka. Strukturalisme mengusung asumsi bahwa segala reaksi yang teramati secara inderawi adalah bukti eksistensi sebuah reaksi di alam metafisik. Aliran ini meyakini sesuatu tidak terjadi secara tunggal, melainkan memiliki keterkaitan satu sama lain. Ajaran ini merusaha menyususun pemusatan gejala, tabiat, watak atau sifat realitas sehingga menjadi beberapa titik untuk dikonstruksi sebagai struktur. Srukturalisme semiotik meyakini bahasa memiliki referensi objektif yang akurat yang berangkat dari berbagai peristiwa termasuk gejala-gejala metafisika. Namun mereka mengakui bahwa gelaja sosoal dan kebudayaan serta realitas metafisik tidak dapat dijangkau sehingga yang dapat dilakukan hanya menganalisa tanda-tandanya yang telah diwakili oleh bahasa sebagai penanda dari petanda realitas. Dekonstruksi adalah sebuah sistem membaca teks dengan pesimis. Ajaran ini meyakini antara teks sebagai penanda dengan rujukannya yakni petanda, tidak pernah dapat disebut akurat. Ajaran ini merupakan penolakan terhadap adanya pusat. Dekonstruksi lahir sebagai kritik atas sistem kajian teks yang dibangun strukturalisme. Ketiga mazhab analisa bahasa tersebut melakukan evaluasi kritis dan radikal terhadap berbagai jenis teks, termasuk filsafat. Tulisan ini berusaha melakukan evaluasi kritis terhadap ketiga aliran tersebut karena penulis JL3T. Vol. II, No. 2.December 2016 148 JL3T Journal of Linguistics, Literature & Language Teaching melihat kritik-kritik mereka terhadap bahasa dalam teks filsafat adalah berangkat dari asumsi yang keliru terhadap bahasa filsafat. Tulisan ini juga berusaha memperjelas watak bahasa yang digunaka para filosof sehingga dapat menunjukkan bahwa sistem evaluasi yang diterapkan ketiga aliran analisa bahasa tersebut terhadap karya-karya filsafat adalah berangkat dari kegagalan memahami esensi bahasa filsafat. 1. Filsafat Analitik Akar filsafat analitik telah ada sejak Plato hingga Immanuel Kant. Namun baru menjadi fokus untuk mengkritisi posisi logis istilah-istilah yang digunakan filosof, baru berkembang pada abad keduapuluh. Tokoh utamanya Ludwig Wittgenstein (1899-1951) dan Bertrand Russell (1872-1970). Filsafat analitik tidak mempersoalkan status realitas dari istilah-istilah filsafat. Namun hanya mempersoalkan status logis istilah-istilah tersebut. Karakter ini yang membuat filsafat analitik layak digolongkan sebagai logosentris. Dalam dialog Sokrates yang dilaporkan oleh Plato, tampak Sokrates menjadi inspirasi awal lahirnya sistem analitika filsafat. Sokrates mempertanyakan argumen-argumen kaum sofis. Dengan pola demikian, dia dapat menguji argumen-argumen maupun istilah-istilah yang dilontarkan kaum sofis. Dengan mempertimbangkan argumen-argumen kaum sofis menurut tinjauan logika, Sokrates mampu menyaring mana yang logis dan mana yang tidak logis dari argumen-argumen tersebut. Dia menerima argumen-argumen yang dapat dipertahankan secara logis dan membuang argumen-argumen yang tidak dapat dipertahankan secara logis. Kadang, Sokrates mempertahankan argumen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh sofis, namun dikiranya tepat secara formal-logis dengan memberi pendekatan berbeda terhadap argumen model demikian. JL3T. Vol. II, No. 2 December 2016 149 Miswari Melanjutkan sistem dialektika Sokrates, Aristoteles berperan besar dalam mengatur sistem logika dengan merintis hukum-hukum berpikir dengan menetapkan identitas, definisi, makna, kategori, sistem penyimpulan dan kesesatan-kesesatan berfikir. Hukum-hukum ini membantu filosof untuk tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sehingga dapat memudahkan pemahaman. Akibatnya, istilah-istilah yang dipakai filosof dalam berfilsafat menjadi bermakna dan terhindar dari banyaknya istilah- istilah yang tidak bermakna. Rene Descartes telah memberi sumbangsih besar terhadap filsafat analitik ketika ia berpendapat bahwa pengertian yang benar harus dapat menjamin dirinya sendiri. Ia menyusun empat syarat sebuah pengertian dapat dianggap benar. Pertama, hati-hati dalam menentukan istilah. Sebuah istilah yang dipakai haruslah hal yang yang tidak mengandung keraguan. Kedua, setiap istilah yang dipakai harus dapat diuraikan selebar mungkin sehingga terbuka peluang untuk ditinjau kembali nantinya. Hal ini dilakukan agar sebuah istilah tidak hanya bersifat inklusif sehingga menjadi dogma tetapi juga harus ekslusif sehingga dapat menjadi objektif. Ketiga, sebuah istilah yang dipakai harus sederhana sehingga dapat dipahami bersama agar dapat memberikan makna bagi subjek-subjek peneliti yang majemuk. Keempat, setiap istilah harus universal sehingga dapat menghimpun partikularitas- partikularitas yang majemuk. Sekalipun pandangan Descartes yang terlalu universalis (baca: rasionalis) bertentangan dengan prinsip yang dianut umumnya filosof analitik, namum gagasan-gagasannya, terkait sistem analitik, memberikan inspirasi besar kepada filosof analitik untuk mempetimbangkan banyak kemungkinan yang akan muncul dari tiap-tiap istilah filsafat. Sehingga mereka dapat menghindarkan diri mereka dari kemungkinan menganggap suatu istilah tidak JL3T. Vol. II, No. 2.December 2016 150 JL3T Journal of Linguistics, Literature & Language Teaching bermakna sebelum mempertimbangkan kemungkinan bermakna dengan sudut pandang lain. Namun apakah demikian yang dilakukan para ahli filsafat analitik, terutama Wittgenstein? Immanuel Kant juga memberi banyak inspirasi bagi filsafat analitik. Pada bagian peran inderawi dalam diskursus Kant, ahli filsafat analitik sangat bersemangat dengan pendapat Kant yang mengedepankan subjek, sekalipun mungkin mereka tidak dapat sepenuhnya menerima pandangan Kant tentang kemurnian ruang dan waktu. Tentang pembahasan pikiran, terutama kategori yang dirumuskan Kant sangat berguna bagi filsafat analitik. Kategori tersebut adalah: (1) kuantitas, yang meliputi singularitas (kesatuan), partikularitas (sebagian), dan universal (umum); (2) kualitas, yang meliputi realitas (kenyataan), negasi (pengingkaran) dan limitasi (pembatasan); (3) relasi, yang meliputi kategori (tidak bersyarat), hipotetis (sebab dan akibat), disjungtif (saling meniadakan), dan; (4) modalitas, yang meliputi: mungkin-tidak mungkin, ada-tiada dan keperluan-kebetulan. (Mustansyir, 1984). Namun tentang rasio, filosof analitik yang bercorak positivistik tidak akan sepakat karena Kant mengaitkannya dengan ide teologis (Tuhan) ide psikologis (jiwa) dan ide kosmologis (dunia). Filosof analitik yang secara umum menolak metafisika, selalu menegasikan pandangan metafisika para filosof yang menginspirasi mereka; sekalipun persoalan yang diulas para filosof merupakan impikasi dari pandangan metafisika mereka. Misalnya George Edward Moore (1873-1958) yang banya mengambil semangat ajaran Hegel. Dia adalah pemikir Inggris yang menjadi salah seorang ikon penting penentangan atas ajaran idealisme. Ahli filologi klasik yang kemudian memilih berfokus untuk meneliti bahasa-bahasa filsafat ini mengatakan idealisme tidak memiliki dasar logika yang kuat. JL3T. Vol. II, No. 2 December 2016 151 Miswari Moore mengkritik tata bahasa dan penggunaan istilah dalam filsafat. Menurutnya kebanyakan tata bahasa dan istilah-istilah yang digunakan para filosof, tidak sesuai dengan akal sehat. Maksudnya adalah tidak sesuai dengan sistem penalaran logis. Hal ini dapat dimaklumi karena dia bukan filosof sehingga tidak memiliki beban untuk membahasakan realitas. Padahal dalam filsafat, perpsoalan konsep primer, sekunder logika dan sekunder filsafat perlu diklasifikasi dengan hati-hati (Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, Jakarta: Sadra Press, 2012). Sistem kritik Moore terhadap bahasa filsafat menjadi inspirasi terpenting bagi para filosof analitik dalam menyrusun sistem analitik terhadap bahasa filsafat. Sebagian filosof analitik mengakui bahasa biasa mapan dipakai sebagai bahasa filsafat, namun susunannya saja yang bermasalah. Sebagian lagi mengatakan bahasa biasa tidak mapan digunakan sebagai bahasa filsafat. Di antara aliran yang termasuk kelompok kedua adalah positvisme logis dan atomisme logis dengan salahsatu tokohnya adalah Bertrand Russell. Bahasa biasa memang mapan dipakai sebagai bahasa filsafat. Namun syaratnya harus memahami teks filsafat yang dipakai sang filsuf. Karena, sekalipun kata yang dipakai sama, namun maksudnya berbeda. Atomisme logik menjadikan bahasa sebagai proposisi-proposisi elementer melalui analisa bahasa. Karya utama yang membahas tentang persoalan ini adalah Logic and Knowledge karya Bertrand Russell dan Tractus Logico-Philosophicus karya Ludwig Wittenstein I. Russell tidak ingin memaksakan bahasa filsafat harus bersifat empirik sebab dapat menghambat pemahaman atas filsafat. Karena itu, dia menawarkan konsep atomisme yang berbasis empirik atau logik sehingga dapat menampung konsep-konsep universal yang termuat dalam bahasa filsafat. Russell melihat, terdapat kesesuaian antara kata dengan rujukannya. Terdapat tiga pengelompokan JL3T. Vol. II, No. 2.December 2016 152 JL3T Journal of Linguistics, Literature & Language Teaching unsur-unsur bahasa yakni: (1) nama diri yang rujukannya adalah partikular seperti Jono, Indonesia; (2) nama diri logik yakni acuannya lebih dari satu objek tergantung situasi dan kondisi seperti, dia kamu, itu; (3) penunjukan batas tunggal, yakni suatu acuan tertentu yang telah dibatasi sedemikian rupa, misal, presiden pertama Republik Indonesia. Dalam pandangan Russell, akurasi proposisi majemuk tergantung pada akurasi proposisi atomik. Dan akurasi proposisi atomik terletak pada bahasa yang dipakai untuk menggambarkan partikularitas yang pasif. Sementara Ludwig Wittgenstein I menegaskan bahwa filsafat tidak memiliki indikator apakah istilah-istilah yang dipakai itu bermakna atau tidak. Dia mengatakan bahasa filsafat sebelumnya bukannya salah, namun tidak terpahami. Dia menuding filsafat sebelumnya tidak mengerti bahasa logika. Tetapi tampaknya di sini sasarannya adalah filsafat aliran idealisme, khususnya filsafat Hegelian. Wittgenstein I menginginkan bahasa filsafat harus tertib secara logis. Dia menginginkan satu kata hanya berlaku untuk satu rujukan dan satu kalimat hanya menginformasikan satu peristiwa. Kesesuaian struktur bahasa dengan struktur realitas diistilahkan dengan ‘the picture theory’. Russell sebelumnya telah melakukan analisa isomorfi yang merupakan kajian kesepadanan bahasa dengan realitas. Namun akan muncul kritik dari kalangan idealis. Bahwa mereka juga akan mengakui setiap bahasa yang dipakai memiliki struktur realitas. Namun realitas bagi kaum idealis bukanlah yang terinderai saja. Tetapi mereka mengakui realitas idea lebih real daripada realitas empirik. Kalau ahli filsafat analitik menuntut ketertiban struktur bahasa untuk menggambarkan ketertiban realitas, maka kaum idealis akan menjawab bahwa makna 'terstruktur' pada ranah idea tidak bisa disamakan dengan kriteria 'terstruktur’ dalam ranah empirik. Bahkan Wittenstein I JL3T. Vol. II, No. 2 December 2016 153 Miswari sendiri tidak dapat mencantumkan contoh bagi kategori elementer yang merupakan suatu kategori paling sederhana akan suatu realitas. Tetapi tuntutan filsafat analitik ini patut dipertimbangkan oleh aliran filsafat apapun termasuk idealisme dalam rangka penulisan filsafat di masa depan. Dalam tinjauan filsafat analitik, suatu peristiwa tidak dapat dianalisa benar atau salahnya. Yang dapat dianalisa adalah proposisi elementernya. Bila sesuai dengan situasi atomik, maka proposisi itu benar. Bila tidak sesuai, berarti proposisi itu keliru. Tampaknya, situasi atomik yang dimaksud adalah konsepsi sesuatu dari realitas luar ke dalam unsur terkecilnya, misalnya: suatu peristiwa pembunuhan yang berlangsung satu jam, dapat dibentuk sebuah peristiwa atomik: menghunus pisau. Peristiwa menghunus pisau ini ketika digambarkan ke dalam bahasa: 'menghunus pisau', disebut sebagai proposisi elementer. Wittgenstein I menginginkan setiap konsep untuk dibedakan dengan konsep nyata dengan konsep formal. Konsep nyata adalah konsep yang dapat dibuktikan realitasnya melalui demostrasi. Sementara konsep formal tidak perlu harus memiliki rujukan asalkan memiliki makna secara strukrur logis. ''... Sesuatu yang termasuk ke dalam konsep formal sebenarnya tidak dapat diungkapkan ke dalam sebuah proposisi, melainkan hanya ditunjukkan oleh objek itu sendiri melalui sebuah simbol”, “... sebab sifat-sifat formal tidak dapat menghasilkan fungsinya secara jelas, ...''. (Mustasyir, 1984: 64) Pandangan Wittgenstein I yang mejadikan aliran idealisme sebagai sasaran utamnya tampak mirip seperti usaha Aristoteles dalam menyusun struktur logika berdasarkan idealisme Plato sebagai sasaran utama. Wittgenstein I mengakui, filsafat memiliki batas sehingga seharusnya hal-hal yang diumkapkan hanyalah yang dapat dipahami saja. Sementara yang tidak dapat difahami didiamkan saja. Dia mengatakan (1) subjek, yang JL3T. Vol. II, No. 2.December 2016 154 JL3T Journal of Linguistics, Literature & Language Teaching merupakan batas dunia, bukan termasuk lingkup dunia; (2) kematian yang bukan bagian dari kehidupan, dan; (3) Tuhan yang tidak menyatakan dirinya dalam dunia, semua itu adalah termasuk metafisik, yakni hal-yang yang berada di luar jangkauan pengetahuan manusia. Wittgenstein I mengakui bahwa analisa bahasa yang disusun dalam Tractatus Logico-Philosophicus adalah semacam sebuah sampan yang harus ditinggalkan setelah selesai menyebarangi sungai. Kejujuran pemikir ini tampak jelas ketika setelah karya ini, yang sering disebut sebagai periode Wittgenstein I, menuju periode selanjutnya yang disebut Wittgenstein II. Namun, pemikiran Wittgenstein I memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga bila tidak dievaluasi secara kritis, akan mewariskan kesalahpahaman besar terhadap filsafat. Kalangan positivisme logis yang diwakili oleh Moritz Schlick (1882- 1936) menjadikan ajaran Russell dan Wittgenstein menjadi lebih ketat. Dia menyatakan bahwa suatu proposisi dapat dikatakan bermakna bila dapat dibuktikan secara empirik. Pandangan ini banyak menuai kritik. Penerusnya Alfred Ayer (1910-1989) ebih longgar ketika menyatakan bahwa proposisi dapat anggap bermakna tidak hanya dapat dibuktikan secara empirik saja tetapi juga dianggap bernakna bila dapat dianalisa. Mengikuti Ayer, maka sebuah proposisi dapat dibagi menjadi proposisi empirik dan proposisi analitik. Proposisi empirik adalah proposisi yang memiliki kemungkinan pengecekan secara empiris, baik proposisi itu benar atau salah, tidak masalah, yang penting memungkinkan untuk dicek secara empiris. Sementara proposisi analitik disyaratkan dengan tiga perkara. (1) Benar melalui pembatasan, yakni kebenaran yang diukur dengan berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolnya, misalnya ' dua tambah dua' adalah simbol dari 'empat'; (2) bukan berdasarkan pengalaman empirik melainkan dengan a priori refleksi logis, misalnya, ‘yang menyusui pasti JL3T. Vol. II, No. 2 December 2016 155 Miswari seorang perempuan’; (3) mengandung tautologi, yakni sebuah pernyataan yang pasti benar secara logis, misalnya, ‘seorang manusia pasti mati’, dan; (4) maknanya tergantung pada kepastian proposisi yang mana tidak ada pembuktian bahwa suatu proposisi itu salah secara logis, yang perlu dibuktikan bukan realitas empirisnya, tetapi istilah yang digunakan. Ayer berusaha untuk mengapuskan istilah-istilah metafisika seperti 'substansi', 'eksistensi', 'keabadian jiwa', karena menurutnya, selain tidak bisa dibuktikan secara empirik, juga tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya. Dia menganjurkan supaya filsafat kembali kepada bahasa sehari-hari yang setiap istilah hanya memiliki satu rujukan. Ia juga menginginkan bahasa filsafat disesuaikan dengan pandangan positivistik. Saran pertama tentu adalah salan yang kirang tepat, mengingat bahasa sehari-hari, sekalipun umumnya memiliki satu rujukan, tetapi maknanya ambigu. Saran kedua tentu sama sekali tidak sesuai dengan kaidah filsafat karena objekkajian filsafat adalah ontologi. Pada satu sisi, pandangan Ayer mengenai kritiknya terhadap metafisika perlu ditentang karena latar belakang lahirnya filsafat pada masa awal, yakni kosmosentrisme Yunani, justru karena filosofnya ingin menjelaskan tentang substansi. Selanjutnya, filsafat tidak pernah meninggalkan metafisika, bahkan ontologi, yang merupakan jantung filsafat, identik dengan realitas metafisik. Namun pada sisi lain, kritikan Ayer sangat perlu dipertimbangkan karena dua alasan. Pertama, karena pembahasan metafisika menjelang masa Ayer semakin tidak mempedulikan tentang instrumen komunikasi filsafat yakni bahasa. Kedua, kritik Ayer sangat patut dipertimbangkan dalam menulis metafisika di masa depan supaya dapat mengkomunikasikannya dengan bahasa yang dapat diukur secara logis. JL3T. Vol. II, No. 2.December 2016 156
Description: