Novel ini hasil dari pengumpulan cerbung-cerbung episodeyang dibagikan Tere Liye melalui fanpage Facebook nya. Episode 1: ‘Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah’ Prolog Waktu kecil, enam tahun, aku suka memikirkan banyak hal yang aneh, yang boleh jadi menjelaskan tabiatku kelak saat dewasa, salah-satunya aku pernah sibuk memikirkan, jika kita buang air besar di hulu sungai Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu untuk tiba di muaranya, melintas di depan rumah papan terapung kami? Aku bertanya pada Bapak, Bapak yang sedang membereskan jaring hanya tergelak, ‘Kau ada- ada saja Borno, urusan kotoran saja kaulamunkan’. Bapak bukannya menjawab, malah mentertawakan. Aku melipat ekspresi rasa ingin tahu, berganti kecewa, lantas bertanya pada Ibu. Ibu yang sedang memilah-milah hasil tangkapan semalam melotot, menyuruhku segera mengantar pesanan ikan tetangga, ‘Borno! Jangan tanya macam-macam, melihat tingkah kau satu macam saja ibu sudah pusing. Sana antar tiga pesanan!’ Sebelum Ibu meneriakiku dua kali, aku bergegas lari membawa tampuk tali bambu yang ikannya kait-mengkait seperti setangkai buah rambai, atau buahanggur (meski aku belum pernah sekalipun lihat buah anggur). Tiba di rumah Koh Acung, pemilik toko kelontong yang menghadap persis sungai Kapuas, pemesan ikan pertama pagi ini, aku bertanya sambil menjulurkan setampuk ikan segar. “Koh, berapa panjang Kapuas?” “Mana aku tahu.” Koh Acung yang lagi sibuk melayani salah dua perahu merapat, nelayan yang berbelanja keperluan rumah setelah pulang melaut, tidak memedulikan. “Koh pernah ke hulu Kapuas?” Aku mendesak. “Haiya, kau tidak lihat aku sedang sibuk? Berapa liter tadi gulanya? Satu setengah? Kau jadi ambil karung goni berapa? Tiga? Ahiya, semuanya jadi….” Koh Acung menceracau rincian belanja dan harga, soal berhitung cepat, mencongak, tak ada yang mengalahkan Koh Acung. Kalkulator besar milik pedagang di perempatan kota saja kalah cepat. Terkenal sekali, misalnya kalian bawa selembar kertas belanjaan, jangan yang mudah, bawa saja yang rumit sekalian, misalnya tiga perempat bungkus kopi, satu tujuh perdua liter minyak tanah, enam butir baterei senter, tigabesar, dua kecil, satu sedang, enam per delapan liter gula, satu setengah botol spiritus, dua kotak korek api, sepuluh dua pertiga belas liter beras…. Haiya, tunggu sekejap, dan Koh Acung macam dukun Dayak sakti merapal mantera, menyebut angka tanpa salah. Sekian. Jangan protes dia salah hitung, atau perahu kalian tidak boleh merapat ke toko kelontongnya. “Ayolah, Koh, bagaimana mungkin Koh tidak tahu.” Mendesak untuk dua hal, satu untuk pertanyaanku, satu lagi untuk setampuk ikan yang tidak dipedulikannya. “Kau menganggu saja, Borno, bawa sana ikannya ke belakang, jangan ditaruh di atas etalase kaca mahalku.” Koh Acung melotot sambil mereken uang kembalian, mana peduli dua-dua urusanku pagi ini. Transaksi usai. Beberapa awak nelayan melempar karung belanjaan ke perahu, mereka hitam legam nan kekar, khas nelayan dari pedalaman. Aku bersungut-sungut membawa ikan ke bagian belakang toko kelontong Koh Acung, istrinya sedang sibuk meniup-niup tungku, tertawa senang melihatku membawa ikan segar, menyerahkan uang. Masih sisa dua tampuk, aku harus bergegas. Tiba di warung makan Cik Tulani, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. Kutanyakan pada Cik Tulani, dia yang sedang berpeluh membuka tutup panci gulainya menyeringai. “Kau tanya apa tadi, hah?” “Cik pernah ke hulu kapuas?” “Belum pernah.” “Cik tahu di mana hulu kapuas?” 1 “Tidak tahu.” “Cik tahu, berapa lama naik kapal ke sana?” “Hah, kalau kau bertanya soal racikan pindang ikan yang mantap, atau bagaimana membuat jengkol santan yang lezat aku tahu. Mana urusan dengan hulu Kapuas…. Mana ikannya? Ah, alangkah sedikitnya ikan yang kau bawa ini? Mana cukup untuk sehari?” “Bapak bilang tangkapan lagi dikit-dikitnya, Cik.” “Ah, macam mana ini, kalau setiap pagi hanya setampuk ini, tidak cukup. Kemarin siang saja warungku kedatangan rombongan turis dari Jakarta. Habis semuanya, rakus mereka makan, sampai kelelahan bersandar kursi, melapas kancing baju, memperlihatkan buncit perut. Kalau selalu dikit seperti ini, lama-lama aku beli ikan ke nelayan yang lalu-lalang depan warungku saja.” Cik mana peduli pertanyaanku, dia sibuk mengoceh protesnya yang setiap kali aku mengantar ikan selalu saja diulang-ulang. ‘Jangan dengarkan,’ itu kata Ibu mengingatkan, ‘Dia selalu mengomel.’ Aku mengangguk, semua orang di sepanjang tepian Kapuas ini juga tahu kalau Cik Tulani memang suka mengomel, pernah aku membawa ikan satu ember besar, sampai tersengal menyeretnya, masih saja dia bilang sedikit, bilang nanti siang ada Gubernur Kalimantan Barat dan rombongan yang hendak makan di warungnya. ‘Ah itu alasannya saja, agar bisa menawar ikan lebih murah. Kalau dia mau, dari dulu dia bisa beli dari nelayan yang sering makan di warungnya.’ Itu penjelasan Bapak, dan aku pikir masuk akal, lihatlah, Cik Tulani butuh bermenit-menit menghitung uang, menyerahkannya padaku, lantas bilang, ‘Kau bilang bapak kau, Borno, besok kalau tetap sedikit ini harganya dipotong seperempat’. Aku sebal, salah tempat bertanya, bukan dijawab malah diomeli, bergegas membawa tampuk ikan terakhir ke tujuan berikutnya. Pak Tua itu sedang duduk takjim menunggu. Perahu kayu sederhana ukuran panjang delapan meter, lebar dua meter, dengan tempat duduk melintang, bermesin tempel (yang lebih sering disebut ‘perahu tempel’), berjejer di dermaga kayu. Satu perahu tertambat di tonggak, beberapa penumpang yang hendak menyeberangi Kapuas hati-hati loncat, mengetem sejenak, petugas timer sibuk mengarahkan penumpang, barang lima belas menit, perahu baru tiga perempat penuh, pemilik perahu yang mengantri sudah sibuk menyuruh jalan, yang lain juga butuh penumpang. “Selamat pagi, Borno.” Pak Tua tersenyum melihatku. Aku menjawab salamnya, meletakkan tampuk ikan di atas perahu tempelnya. “Wah, besar-besar.” “Iya, Pak, tetapi sedikit.” “Tidak masalah.” Pak Tua melambaikan tangannya ringan, menyerahkan dua lembar uang, “Hanya untuk makanku, dua hari juga tidak akan habis. Terima-kasih, Borno.” Aku memperhatikan sedikit keributan di dermaga kayu. Kota kami memang kota air, dibelah dua oleh aliran sungai Kapuas yang menuju muaranya di Laut Cina Selatan. Lebar Kapuas tidak kurang dua kali panjang lapangan bola, penduduk kota yang memiliki keperluan di seberang sana-sini, selalu menuju ke dermaga ini (dan beberapa dermaga kayu lainnya), untuk menyeberang. Lebih cepat menumpang perahu tempel. Naik bus, angkot, akan memutar jauh sekali, sudah mahal, tidak praktis pula. Pemerintah tercinta hanya membangun satu jembatan besar jauh menjorok di dalam kota sana agar tidak mengganggu lalu-lalang kapal besar. Pagi seperti ini, dermaga kayu ramai oleh anak sekolah yang menyeberang, pekerja kantoran, orang- orang berbaju rapi. Ada rombongan besar datang, petugas timer perahu tempel berseru-seru menyuruh mereka naik ke perahu yang gilirannya merapat, berisi separuh, rombongan itu menolak, tidak muat, beberapaorang harus naik perahu berikutnya. 2 “Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu, Borno.” Pak Tua menyeringai, memutus lamunanku memperhatikan pertengkaran. Selain memang menyenangkan dan berpengetahuan luas, inilah yang aku suka dengan Pak Tua, dia pandaimembaca raut wajah. “Iya,” aku menggangguk, “Pak Tua pernah ke hulu Kapuas?” “Sering. Waktu aku masih muda.” Tidak perlu sedetik, Pak Tua sudah menjawab mantap. Aku bersorak senang. “Berapa jauh?” “Jauh sekali, Borno.” “Berapa panjang?” “Panjang sekali. Berkelok-kelok, beratus-ratus cabang anak sungai, terus masuk ke pedalaman Kalimantan. Tidak terbayangkan betapa eloknya.” “Berapa hari perjalanan dengan perahu?” Aku makin antusias. “Tergantung perahu kau. Dengan mesin tempel tercepat, papan terkuat, buatan tukang terbaik akan lebih cepat. Sebaliknya, kalau hanya perahu macam ini, hanya tinggal papannya saja yang sampai ke sana.” Pak Tua terkekeh menunjuk perahu-perahu tempel kapasitas sepuluh orang di sekitarnya. Aku menyibak anak rambut yang mengganggu ujung mata, “Anggap saja pakai perahu tercepat. Berapa hari?” Memperbaiki pertanyaan. “Itu juga tergantung, Borno. Apakah pengemudinya tangguh atau tidak?” “Apa pentingnya?” Aku menyeringai. “Tentu saja penting, Borno. Untuk menuju hulu Kapuas,kau harus melintasi rimba lebat, hutan dipenuhi binatang buas, lubuk-lubuk besar dalam, buaya buas, ular raksasa. Belum lagi melewati perkampungan suku Dayak pedalaman. Orang-orang rimba, salah pongah, kau ditombak dari atas pohon besar, atau diteluh macam jadi burung jatuh menggelepar. Kalau hanya seorang nelayan biasa, tidak akan tahan dua hari, sudah terkencing-kencing ingin pulang.” “Pengemudinya tangguh.” Aku memperbaiki lagi variabel pertanyaan. “Nah, itu juga tergantung, kau pergi awal tahun, tengah tahun atau akhir tahun?” “Itu tidak penting, Pak Tua.” Aku protes tidak sabaran, poin utama pertanyaanku bukan itu, apa pula hubungannya kapan pergi dengan sampai ke sana. “Tidak penting? Ini penting, karena aliran sungai Kapuas, kebiasaan di sekitarnya mengikuti siklus musim. Setiap musim penghujan, airnya deras dan be-riam. Setiap kemarau, lebih banyak buaya dan binatang buas merapat ke tepian.” Dahi tua Pak Tua menyembul lipatan, berusaha menjelaskan. Aku mendengus, bergegas menjelaskan muasal kenapa aku bertanya. Aku hanya ingin tahu berapa panjang Kapuas, berapa hari perjalanan, sekadar untuk menghitung butuh berapa lama waktu yang dibutuhkan kotoran itu tiba di depan rumah. Tidak ada hubungannya dengan semua cerita seram perjalanan menuju hulu Kapuas, tidak ada juga hubungannya dengan banjir, musim penghujan dan sebagainya itu. “Astaga?” Pak Tua terbahak, menepuk dahinya, menatapku ganjil. Aku menyeringai, apa salahnya dengan rasa ingin tahuku? “Kau bertanya hanya ingin tahu soal itu?” Aku mengangkat bahu. Petugas timer meneriaki Pak Tua, giliran perahu tempelnya mengisi penumpang. Pak Tua sambil tertawa segera menyalakan mesih motor ber-merk Jepang itu, buih mengebul di permukaan sungai, suara gemeretuk mesin tempel memenuhi langit-langit, “Kauada-ada saja, Borno. Ini sungai paling besar, paling panjang seluruh Kalimantan, bahkan termasuk salah-satu 3 sungai paling hebat di seluruh dunia. Dan kau hanya bertanya untuk itu? Salam buat Bapak dan Ibu kau, terima-kasih untuk ikannya.” Aku hanya bisa menatap perahu tempel itu bergerak, kemudian merapat anggun ke dermaga kayu. Sebal mau bilang apalagi. Beberapa penumpang berloncatan, tertib duduk di papan melintang tiga-tiga enam baris, satu menit penuh, dermaga sedang ramai-ramainya. Pak Tua menggerakanmesin tempel, sekejap perahu itu sudah membelah aliran sungai Kapuas, menuju seberang. Matahari pagi cerah. Langit biru tersaput sedikit awan. Dari tepian Kapuas tempatku berdiri, kota Pontianak terlihat elok. Deretan bangunan dua-tiga tingkat berbaris. Burung walet terbang melenguh, kapal ferry tak kalah penuh penumpang melintas, asap dari pabrik pengolahan karet mentah, mobil, motor, sepeda melintas. Kota ini mulai tenggelam dengan kesibukannya. Aku bergegas kembali ke rumah. Ah, tetapi dari semua hal aneh yang sibuk kupikirkan sejak kecil, bergudang pertanyaan tentang hal unik, menarik dan ganjil, yang terkadang membuat orang di sekitarku kehabisan kata, sebal, jengkel karena ditanya-tanya, tidak ada yang bisa mengalahkanku memikirkan hal itu, menanyakan tentang itu… apalagi kalau bukan, soal cinta… cinta sejati. Itu pertanyaan terbesar dalam hidupku. ***bersambung Episode 2: ‘Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah' Prolog-2 Usia dua belas, aku mengalami hari terburuk dalam hidupku. Bapak tercinta, nelayantangguh yang menjadi tulang punggung keluarga kami entah apa pasal terjatuh dari perahu saat melaut. Jatuh bukan masalah, bukan nelayan kalau tidak pernah jatuh, lagipula Bapak bisa berenang semalaman kalau dia mau. Badai juga tidak masalah, berpuluh tahunjadi pelaut, Bapak mewarisi kepandaian melewati hujan badai secara turun-temurun. Dikepung hiu buas, ikan pari, atau binatang besar lainnya juga hal biasa. Bapak lebih dari cakap mengatasinya. Namanya ubur-ubur, mahkluk transparan nan kecil, lebih lembutdari agar-agar itulah pelakunya. Ubur-uburlah yang mengakhiri semuanya. Bapak jatuh, tersengat belalai hewan yang bagi kebanyakan orang tidak penting, bahkan tidak tahu betapa mematikan. Sengatan yang membuatnya kejang seketika, dan nelayan lain yang menyertai Bapak tahu, hanya soal waktu detak jantung Bapak terhenti. Ibu membangunkanku, pagi buta, yang kenapa disebut buta, karena kalian bisa jatuh tersuruk- suruk di jalanan gelap, menumpang perahu tempel Pak Tua, ditemani Cik Tulani dan Koh Acung, kami bergegas menyeberangi sungai Kapuas, memaksa mobil omprengan pengangkut sayur ditumpangi, lantas berlari-lari kecil menuju rumah sakit daerah pontianak. Lorong rumah sakit lengang, menyisakan perawat yang menguap dan beberapa keluarga pasien menunggui kerabatnya. Ibu dan Pak Tua masuk ke dalam ruangan gawat darurat, mendengarkan penjelasan dokter. Cik dan Koh bersama nelayan yang pergi melaut bersama Bapak berdiri di ujung lorong, mendesah resah, berbisik. Aku duduk menjeplak. 4 Menatap kosong petak keramik putih, dinding putih dan lampu neon. Bau obat-obatan terbang melintasi kisi-kisi. Beberapa perawat dan sepertinya dokter menyusul masuk ke dalam ruang gawat darurat. Tampang mereka bukan kabar baik. Di depanku tiba-tiba sudah berdiri seorang gadis kecil, seumuranku. Aku tidak peduli, mungkin anggota keluarga pasien lain. Gadis itu menatapku, lamat-lamat. Aku melirik selintas, rambutnya di kepang dua, wajahnya China, matanya redup oleh kesedihan, ia sama cemasnya denganku. Bagian otakku yang biasanya dipenuhi rasa ingin tahu sedang malas bekerja. Aku tetap abai. Sial, gadis itu malah ikut duduk menjeplak, sambil terus menatapku. Pernah kalian diperhatikan seperti tontonan yang menarik? Aku belum, baru kali itu. Setengah menit, aku mulai jengkel. Ikut menatapnya, melipat dahi. Tetapi dia tetap memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung rambut, seperti sedang menatap makhluk dari galaksi lain. Satu menit, aku melotot, “Apa?” Gadis itu mengangkat bahunya, menggeleng. Lantas kenapa kau sibuk melihatiku? Kurang lebih begitu ekspresi wajah sebalku, terganggu. Gadis kecil itu tidak bersuara. Sebelum aku sempat mengusirnya, Cik Tulani berteriak memanggil, menyuruhku masuk ke ruang gawat darurat. Aku segera lupa kejadian di lorong rumah sakit. Rasa cemasku berubah menjadi beribu perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Dokter menghela nafas, bilang tidak ada solusinya. Ibu tertunduk mendekap bahuku. Dokter menjelaskan beberapa hal lagi, juga disertai penjelasan Ibu. Astaga! Bukan kabar tidak ada lagi jalan keluar yang membuatku tiba-tiba sesak. Tetapi kabar, entah apa yang ada di kepala Bapak, sebelum tubuhnya benar-benar berhenti bekerja, dia ternyata menyetujui hal paling gila yang pernah kupikirkan. Tidak jauh dari bangsal gawat darurat itu, terkulai lemah seorang pasien gagal jantung. Berbulan-bulan mencari donor tidak bertemu. Beberapa menit lalu Dokter menjelaskan situasi dengan cepat, Bapak mengangguk lemah, menyetujui. “Bapak belum mati!” Aku berteriak marah. “Bapak kau tahu persis apa yang dilakukan, Borno.” Ibu bersimbah air-mata memelukku erat- erat. “Bapak belum mati! Kenapa dadanya dibelah!” Aku berusaha menyibak tangan Ibu. “Secara klinis sudah meninggal.” Itu penjelasan singkat dokter beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi mulai bekerja. “Bapak belum matiiii! Dia bisa sadar kapan saja.” Aku loncat, berusaha menggedor pintu ruangan operasi, memaksa masuk. Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua bergegas membantu Ibu menahanku. “Lepaskan! Bapak belum matiiii!” Aku beringas, berusaha memukul. Tenaga mereka jauh lebih besar, satu menit, aku terkulai menyerah. Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit beberapa jam kemudian, terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Kalian tahu, meski bersahaja, Bapak adalah orang terbaik di seluruh Pontianak yang pernah kukenal. Aku tidak tahu, apakah ubur-ubur yang membuatnya meninggal, atau pisau bedah dokter? Dia boleh jadi masih bisa siuman, diselamatkan, bukan? Mukjijat bisa datang kapan saja, bukan? Umurku dua belas, aku tidak pernah tahu jawabannya. ***bersambung 5 Episode 3: ‘Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah’ Gang Di Tepian Kapuas Kalian tahu kenapa kota ini dinamakan Pontianak? Kupikir Pak Tua dulu bergurau, ternyata tidak, cobalah tengok seluruh peta di dunia, lihat nama kota-kota paling eksotis dan terkenal sekalipun, tidak ada yang seganjil nama kota kami. Bahkan kota muasal cerita drakula, manusia srigala, atau hantu China yang suka loncat-loncat seperti yang kulihat di televisi, tidak ada yang dinamakan kota ‘Vampire’ atau kota ‘Drakula’. Apatah kota yang bernama ‘Pocong’, ‘Sundal Bolong’, seperti judul film-film murahan yang banyak beredar belakangan. Tidak ada yang mau memakai namanya—bahkan buat nama sepotong jalan saja tidak. Tetapi kota ini dinamakan Pontianak. Siapa itu pontianak—kalaulah dia bisa dan boleh disebut ‘siapa’? Pontianak adalah nama hantu dalam bahasa Melayu. Seramnya beda- beda tipis dengan kuntil anak. Pendiri kota ini, seloroh Pak Tua suatu ketika, seorang pemuda yang tentulah pemuda perkasa turunan raja-raja asli, harus mengalahkan si pontianak ini saat membangun istananya. Menggidikkan mendengar cerita lengkap Pak Tua, apalagi dibumbu-bumbui tentang ibu-ibu hamil, kengerian si pontianak menculik bayi-bayi, malam-malam gelap penuh teror, dan sebagainya. Nah, karena sang pemuda ini bukan saja sakti mandraguna, juga beradab dan elok perangainya, dia dengan senang hati memberikan nama kota ini dengan nama musuh besarnya itu, ‘pontianak’—bukan namanya sendiri apalagi nama leluhurnya. Mana ada coba perangai se- terpuji itu? Aku terpesona kehabisan tanya, Pak Tua sudah kembali asyik memeriksa onderdil mesin perahu tempel. Jadilah kota indah kami bernama demikian. Pagi ini, entah pagi ke berapa ratus ribu sejak si pontianak bertekuk lutut, kota kami terlihat sibuk—semakin sibuk saja malah. Aku menguap, menggeliat nikmat, mengucek mata, bilang pamit pada ibu yang masih tiduran di dipan. Ibu mengangguk, lagi tidak enak badan, tadi hanya sempat masak sarapan seadanya lepas bangun jam empat shubuh. Aku menuju mulut gang, jalan selebar rentangan tangan pria dewasa yang sekarang dipenuhi anak-anak sekolah, pekerja kantoran, ibu-ibu, bapak-bapak. Motor sekali, dua kali, tiga kali, sebenarnya berkali-kali memaksa menepi.Tidak sabaran menyalip pejalan kaki di gang ini, padahal plang besar berbiaya ratusan ribu dari kepala kampung jelas-jelas terpasang di ujung gang, ‘Dilarang Ngebut’. Mana peduli mereka, juga tidak pedulinya mereka dengan plang ‘Pukul 21.00, motor harap dituntun’. Untung rumah papan terapung Ibu jauh dari gang ini, jadi tidak terdengar raungan biker yang kurang sopan malam-malam. Dari gang ini, belok kanan sana, akan menuju jalan besar yang telah dipenuhi kendaraan, mengepul asapnya, angkutan umum yang mobilnya sudah tua, terkentut berisik. Pedagang asongan, penjaja koran pagi, berteriak menawarkan barang, berlari-lari kecil. Aku terus berjalan lurus menelusuri gang sepanjang Kapuas. Rumah sempit memadati tepian sungai. Menemukan anak-anak yang asyik mandi,di baskom, pakai gayung, tidak loncat ke sungai. Ibu-ibu yang cuek mencuci di air keruh. Beberapa tetangga menyapa, aku mengangguk samar. “Berangkat kerja, Borno?” Aku nyengir, mengiyakan. “Mana seragam keren kau itu?” Menggoda. Aku tertawa. “Gagah sekalikau, Borno. Belum mandi saja sudah se-gagah ini.” Tetangga bermulut usil lain, yang pagi-pagi sambil ngopi, asyik nongkrong di depan rumah kayunya ikut berkomentar. “Tutup mulut.” Aku pura-pura mengacungkan tinju. Semua orang punya pekerjaan, bukan? Aku juga. Apa kata pujangga, ‘hidup adalah bekerja, 6 kalau kau pemalas, duduklah di depan gerbang kampung menjadi peminta-minta’. Atau apa kata kitab suci, ‘tidak satupun mahkluk melata di atas dunia yang tidak dijamin rezekinya’, tentu ayat menakjubkan itu diluar konteks bagi si pemalas. Lepas Bapak meninggal, ajaib, aku tetap bertahan sekolah hingga usia delapan belas. Jangan tanya dari mana biayanya, Ibu bekerja keras. Sebulan lulus dari SMA, salah-satu pabrik pengelolaan karet yang banyak terdapat di tepian Kapuas menerimaku. Itu tempat bekerja pertamaku. Dikasih seragam berwarna oranye. Gagah memang, Ibu sampai tertawa tertahan melihatku siap berangkat pagi-pagi. Bagi Ibu, tertawa tertahan adalah ekspresi rasa senang tertingginya, sama levelnya dengan atlet terjun payung, yang loncat dari pintu pesawat sambil berteriak ‘geronimo’. Aku ikut tertawa bersama Ibu. Sorenya saat pulang, Ibu tertawa lagi, kali itu aku hanya nyengir. Bagi Ibu, tertawa tertahan juga ekspresi rasa iba tertingginya. Kenapa? Tidak masalah tubuhku banjir keringat, membuat seragam oranye-nya lusuh nan kusam, namanya juga menjadi buruh pabrik, toh sejak kecil aku sudah biasa bekerja disuruh-suruh. Yang jadi soal adalah bau badanku. Tidak terkatakan. Kalian pernah datang ke pabrik pengelolaan karet? Pekerjaan di sana mudah saja, bal-bal karet (ada yang berbentuk kotak, seperti bantal, lonjong, bundar) hasil sadapan petani bercampur cuka pembentuk bantalan karet, dikirim ke pabrik lewat perahu-perahu. Jauh sekali kapal-kapal pengirim sadapan karet berhiliran dari kebun rakyat di hulu-hulu Kapuas. Lantas mesin pabrik akan mengolahnya menjadi lembaran-lembaran tipis belasan meter, lembaran ini kemudian dikeringkan menjuntai dari atap gudang tinggi-tinggi macam menjemur kain selendang, diangin- anginkan. Setelah kering, lembaran karet dimasukkan ke dalam kontainer, diangkut oleh truk besar, di bawa ke pelabuhan, menuju pabrik berikutnya. “Oh itu, ada yang diekspor, China, Eropa, Amerika, ada juga beberapa kapal yang menuju Surabaya atau Jakarta.” Penyelia kerjaku menjelaskan. “Oh itu, kita hanya mengolah karet menjadi setengah mentah, Borno. Bukan urusan kita berikutnya jadi apa.” Penyelia itu mulai terganggu. “Oh itu, ada yang jadi sendal jepit, botol-botol, mainan, kabel, roda mobil, bahkan pesawat terbang ulang-alik.” Sedikit sebal menjawab. “Hah, pesawat terbang?” Aku ingin tahu. “Bahkan celana dalam yang kau pakai sekarang saja itu salah-satunya dibuat dari gulungan karet muasal pabrik ini.” Penyelia itu melotot mengusirku, urus pekerjaan kau segera. Aku berhenti bertanya, kembali berpeluh menarik lembaran karet yang masih basah dari gilingan mesin. Bau, tentu saja, itulah soal paling memberatkan bekerja di pabrik ini. Hasil sadapan bercampur cukanya saja sudah bau, apalagi setelah diolah dan diberi cairan kimia berikutnya, bau sekali. Radius ratusan meter baunya sudah menyengat, dan aku persis berada di hadapannya. Masker kain tiga lapis tidak mempan, partikel bau itu menusuk membuat tersengal. Maka seragam oranye itu bercampur bau sudah tidak ada gagah-gagahnya lagi ketika aku pulang. “Tidak masalah, Borno. Semua pekerjaan baik.” Ibu membesarkan hati. “Borno tahu, Bu. Tetapi tidak semua pekerjaan itu bau.” Aku menggerutu (bukan pada Ibu, mana boleh aku menggerutu padanya, melainkan pada ember cucianku). “Haiya, kau jangan dekat-dekat toko kelontongku.” Koh Acung, sebaliknya, melotot mengecilkan hati. Aku bersungut-sungut melempar uang, dan dia sebaliknya sambil tertawa melempar bungkusan gula pesanan Ibu. “Woi, kau jauh-jauh sana. Macam mana ini,warungku bisa sepi pengunjung empat puluh hari empat puluh malam.” Cik Tulani ikut-ikutan menyebalkan—padahal aku Cuma lewat saja di 7 depan warungnya. Hanya Pak Tua yang cukup nyengir, santai mempersilahkanku naik ke perahu tempel, aku menumpang menyeberangi Kapuas, pulang ke rumah. “Harusnya ada peraturan naik sepit.” Sayangnya tidak untuk dua penumpang, dua gadis seumuranku, duduk di dekatku berbisik-bisik, melirik-lirik. “Benar itu. Mana tahan aku. Mual.” Menunjuk-nunjuk. Kalau saja tidak sedang di atas perahu tempel yang melaju membelah Kapuas, mau rasanya aku menimpuk dua gadis ini dengan gulungan kertas. Pak Tua yang sedang mengendalikan motor perahu tertawa, memicingkan mata, bersabarlah, Borno, sepuluh menit lagi sepit merapat. Aku mendengus mengkal,melotot pada dua gadis yang sekarang memalingkan wajah sambil ekspresif menutup hidung. Itulah nasib bekerja di pabrik karet, pekerjaan pertamaku lulus SMA dua tahun lalu. Di luar soal bau, bekerja di sana menyenangkan. Pemilik pabrik memperlakukan kami dengan baik. Gaji dan bonus mengalir, sebulan sekali ada pemeriksaan kesehatan, kadang ada acara makan siang bersama gratis di kantin pabrik, belum lagi sembako gratis dua bulan sekali. Top. Sayang, enam bulan di sana, aku dipecat, bersama ratusan karyawan lain. ***bersambung Episode 4: ‘Kau, Aku & Kota Kita’ Gang Di Tepian Kapuas “Berangkat kerja, Kawan?” Suara khas itu menyapa. Andi, teman seperjuanganku lulus SMA dulu (dengan NEM nyaris tak sampai standar Pemerintah berkuasa), sepagi ini, bukan main, sudah berkutat oli dan jelaga mesin. Di salah- satu pojokan gang, dia bekerja pada bapaknya yang punya bengkel motor sekaligus cuci salju. Jangan bayangkan seperti bengkel-bengkel keren authorized seperti di jalan protokol Pontianak, bapak Andi yang seratus persen Bugis hanya memanfaatkan depan rumah sempit mereka. Bekas minyak pelumas tumpah, serakan busi dan perkakas menghiasi, hitam-hitam di dinding menjadi grafiti, umbul-umbul kusam pemberian distributor oli sebagai penanda bengkel, dan etalase seadanya berisi spare-part. Sementara yang disebutnya dengan snow-wash itu ya cuma modal satu mesin pompa ban plus dikasih deterjen banyak-banyak. Mana tahu penduduk gang ini beda antara salju dan busa. ‘’Ya-lah.” Aku mengangguk, berhenti sebentar, memperhatikan serakan onderdil motor yang dilepas. Kasus Andi pagi ini menarik nian, satu motor gagah berwarna hitam terkapar di depannya. “Sudah berapa kali kau gonta-ganti pekerjaan, Borno. Macam tidak ada tempat yang bisa membuat kau betah saja.” Bapak Andi yang masih sarungan, mengunyah pisang goreng, mengawasi anaknya bekerja, bertanya menyeringai. Aku mengangkat bahu, sebal menjawabnya. Seluruh gang juga tahu, kalau ada penghargaan bagi orang yang suka gonta- ganti pekerjaan, maka dua tahun terakhir aku pemenangnya. Kadang jadi bahan gurauan tidak lucu. Hanya Pak Tua yang berseloroh santai, “Itu artinya kau anti-thesis, Borno. Kata siapa mencari pekerjaan di negeri ini susah?” Menurut Ibu, “Sepanjang kau tidak berharap macam- macam, bekerja sebaik mungkin, selalu ihklas setiap pagi berangkat, senantiasa bersyukur setiap sore pulang, maka kau tidak akan kekurangan tempat bekerja, Borno. Jangan macam 8 orang kebanyakan, selalu mengeluh, selalu sirik dengan pekerjaan orang lain, padahal pekerjaannya sudah baik sekali. Sayang sekali, sudah gajinya terbatas, mengeluh pula. Dunia tak dapat, akherat digadaikan dengan keluhan.” “Ini motor siapa?” Aku ingin tahu. “Motor kepala kampung. Baru dapat kemarin. Dikasih temannya dari Kuching, murah katanya beli di Malaysia. Tapi kondisinyarusak.” Andi menyeka pelipis, membuat tambah hitam dahinya. Aku bergumam, mengangguk. Sejenak memperhatikan, teringat sesuatu, bergegas melanjutkan langkah, aku harus tiba di tempat kerjaku sesegera mungkin. Pamit pada bapak Andi yang sekarang sibuk menepis-nepis ujung sarung—mungkin ada laba-laba atau serangga jahil masuk. Bapak Andi benar, dua tahun ini, meski bau, tempat bekerja paling lama bagiku di pabrik karet itu. Enam bulan. Yang lain satu-dua bulan saja. “Kau tidak merokok, yah?” Itu pertanyaan pemilik pabrik karet saat mewawancariku sehari sebelum masuk kerja. China separuh baya, rambutnya sepertiga menguban, perutnya separuh gendut, tampangnya pol kebapakan. Aku menggeleng. “Bagus. Di sini tidak ada yang merokok, yah. Bukan tidak boleh, ini bukan pom bensin, boleh- boleh saja, yah. Tapi saya tidak suka ada yang merokok, yah.” Aku mengangguk-angguk, sok setuju, sok paham. “Namamu siapa tadi, yah? Borneo? Oh, Borno. Kau tahu, aku pernah punya pabrik tebu di Jawa Timur, tidak jauh dari pabrik rokokbesar di sana, pemiliknya taipan paling kaya di seluruh negeri, mandi uang dia dari kepul asap rokok orang-orang. Semakin kaya dia, semakin sakit para perokoknya, yah. Hebat sekali bisnisnya, bisa dapat uang dari asap. Malah konon masuk daftar orang terkaya dunia dia, yah.” Tertawa, lembe di dagunya terlihat bergoyang-goyang. Aku ikut tertawa, memasang seringai paling top. Lima belas menit tanya-tanya, aku diterima— lupa sisa pembicaraan tentang apa. Disuruh menghadap staf administrasi, diminta menyerahkan fotokopi KTP dan berkas lain. Staf itu bilang gaji per-bulanku, aku kali ini sungguh tulus menyeringai lebar, tertawa ihklas. Gajinya top. Ternyata ijasah SMA-ku sakti mandraguna, atau boleh jadi cara bicaraku amat meyakinkan, atau mungkin riwayat hidupku yang ditulis dengan pulpen warna hitam di atas kertas folio itu nampak mentereng. “Semoga hari pertama kau membawa keberuntungan di pabrik ini, Borno. Tanggal lahir kau bagus sekali, aura wajah dan tubuhmu positif, semuanya cocok dengan fengshui pabrik.” Esoknya saat datang dengan seragam oranye, pemilik pabrik menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum tanggung, baru tahu kalau aku diterima bukan karena betapa tingginya kualifikasi yang kumiliki, aku diterima begitu saja karena ada ‘mahkluk’ bernama fengshui. Dangaris keberuntungan yang kubawa itu ternyata keliru, belum genap hari pertama aku kerja di pabrik karet itu, tiga omprengan padat penumpang merapat ke halaman pabrik, membawa spanduk, menenteng toa, ber-bandana macam serial condor heroes, berjaket, berteriak, berbusa-busa. Dari kisi-kisi pabrik, mengintip, aku menerka, sepertinya mereka sibuk demo soal lingkungan hidup. “Pabrik Membawa Bau!”, “Jangan Buang Limbah Ke Sungai Kami!”, “Usir Pabrik Karet Di Sepanjang Kapuas!” Demikian tulisan di spanduk. Pemilik pabrik berbaik-hati menemui pendemo, berdialog, bersitegang, keributan kecil terjadi, petugas pabrik sibuk membuat tameng, massa tiga puluh orang itu tiba-tiba menjadi tidak terkendali, berteriak-teriak, melemparkan apa saja didekatnya. Sebelum situasi semakin kacau, penyelia-ku jahil mengeluarkan ember-ember berisi air peras-an dari mesin pembuat lembaran karet, menyuruh kami menyiramkannya ke pendemo itu. Kocar-kacirlah mereka, nampaknya air itu lebih menyeramkan dibanding gas air mata polisi. 9
Description: