9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Juang Faaid Abdillah Muqsith (2013), “Studi Analisis Semiotika Komunikasi Konsep Manusia Sebagai Khalifah Fil Arld dalam lagu Iwan Fals Pada Album “Keseimbangan” 2010”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Iwan Fals menghadirkan album “keseimbangan” dan mampu memberikan pemahaman baru tentang konsep rdh yang dihadirkan dalam album “keseimbangan” pada masa kekinian. Adapun hasil dari penelitian tersebut, peneliti tersebut menemukan konsep Khalifah Fil Ardh dalam album Keseimbangan Iwan Fals yang terdapan delapan lirik lagu. Keseluruhan lirik lagu tersebut yang mengandung konsep tersebut, penulis kategorikan kedalam tiga kriteria fungsi manusia didunia ini, yaitu : Fungsi Manusia Sebagai Personal Yang Fitrah (sadar akan ke-diri-an), Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Fungsi Manusia Terhadap Alam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa manusia mensinergikan ketika fungsinya dengan baik maka ia layak sebagai pemimpin, sebagai wakil Allah dimuka bumi (Khalifah Fil Ardh). Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut, karena penelitian ini fokus lebih kepada nilai-nilai dakwah dalam teks lagu Iwan Fals dibeberapa album yang sudah dikeluarkan. Sedangkan penelitian tersebut fokus pada konsep Khalifah Fil Ardh dan fokus terhadap album Keseimbangan. 10 2. Bima Agung Sanjaya (203), “Makna Kritik Sosial Dalam Lirik Lagu “Bento” Karya Iwan Fals (Analisis Semiotika Roland Barthes)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna kritik sosial yang digambarkan dalam lirik lagu “Bento” karya Iwan Fals. Adapun hasil penelitian tersebut Lirik lagu Bento yang diciptakan oleh Iwan Fals dan Naniel yang direkam di Condet, April 1989. Bento adalah judul lagu yang menggema di penjuru negeri pada tahun 1990-an. Penggambaran lirik lagu Bento adalah seseorang pengusaha papan atas. Bento disini dikisahkan sebagai seorang yang tampan, berkuasa dan kaya raya. Namun Bento ternyata licik, dia memanfaatkan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan, menipu dan menerima upeti. Dalam kesehariannya Bento menutupi keburukannya dengan selalu bicara soal moral dan keadilan ini merupakan makna sesungguhnya dari lirik lagu Bento. Sedangkan makna konotasi dari lirik lagu Bento adalah gambaran riil dari kuatnya negara pada waktu Orde Baru. Orde baru merupakan suatu rezim yang telah memberikan berbagai catatan sejarah panjang dari kekuasaan otoriter yang menghegemoni masyarakat. Lagu Bento ini merupakan salah satu lagu yang berisikan kritik-kritik sosial terhadap pemerintahan Orde Baru yang terjadi pada akhir 90-an . Orde baru merupakan suatu rezim yang telah memberikan berbagai catatan sejarah panjang dari kekuasaan otoriter yang menghegemoni masyarakat. Kekuasaan negara yang begitu kuat membelenggu sendi-sendi kehidupan setiap warga negara. Kritikan tersebut sebagai reaksi terhadap kondisi sosial pada waktu itu, telah menjadi inspirasi bagi perubahan sosial dalam masyarakat. 11 Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut, karena penelitian ini fokus terhadap nilai-nilai dakwah yang terkandung dalam lirik lagu-lagu Iwan Fals yang terdapat dibeberapa album Iwan Fals. Sedangkan penelitian tersebut fokus menganalisis makna lirik lagu Bento saja. 3. Zamal Abdul Nasir (2014) “Analisis Isi Pesan Dakwah Dalam Lagu Abatasa Karya Grup Band Wali”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dominan mana dalam lirik lagu Abatasa per baitnya. Adapun hasil penelitian tersebut yaitu lagu Abatasa memuat pesan-pesan dakwah yang berdimensi akidah, syariah dan akhlak. Pesan akidah direprentasikan dalam bagian reff dan song II yang mengekspresikan symbol-simbol keislaman seperti “tuhan”, “taqwa”, “syurga”, “mukmin”, dan “haqqul yaqin”. Pesan akidah tersebut diartikulasikan dalam jalinan wacana keakidahan yang cukup koheren, sehingga idiom-idiom religious yang diungkapkan dalam lagu tersebut memiliki pertautan erat antara satu sama lain. Pesan yang paling dominan dalam lagu Abatasa adalah pesan akidah. Wacana akidah yang sangat dominan dalam lagu Abatasa ini dimaksudkan untuk memperkenalkan, menanamkan dan memperkuat akidah umat Islam, khususnya kalangan anak-anak Muslim. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut, karena penelitian ini tidak hanya fokus pada satu lagu, tapi pada keseluruhan lirik lagu dan semua lagu. Sedangkan penelitian tersebut meneliti dominan mana dalam lirik lagu Abatasa yang mengandung pesan dakwah. 12 B. Kerangka Teori 1. Analisis Semiotika a. Pengertian Semiotika Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris : semiotics. Berpangkal pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Produksi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Nama lain semiotika adalah semiology. Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotika atau semiology berasal dari bahasa Yunani : semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan berikut : Apa yang dimaksud dengan X? X dapat berupa apa pun, mulai dari sebuah kata atau isyarat hingga kesuluruhan komposisi musik atau film. Jika kita mempresentasikan makna (atau makna-makna) yang dikodifikasi X dengan huruf Y, maka tugas utama analisis semiotika secara esensial dapat direduksi menjadi upaya untuk menentukan sifat relasi X = Y. Sebagai contoh pertama, kita ambil makna dari red (mera istilah berbahasa Inggris dari warna. Seperti yang nanti terlihat, bukan hanya ada satu jawaban untuk pertanyaan mengenai apa makna dari kata red tersebut1. Berikut di antaranya2 : 1) Jika ia muncul sebagai sinya lalu lintas, ia berarti “berhenti” bagi siapa pun yang melihat tanda tersebut di sebuah perempatan. 1 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna Teori Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi (Jalasutra : 2011) Hlm 5 2 Ibid 13 2) Jika ia digunakan dalam ekspresi “turning red” (mukanya merah), maka ia merupakan bahasa kiasan yang merujuk pada kondisi emosional tanpa harus menyebutkannya secara gamblang. Beberapa pakar susastra telah mencoba mendefinisikan semiotika yang berkaitan dalam bidang keilmuannya. Khusus dalam bidang susastra, A. Teeuw (1982 : 18) memberi batasan semiotika adalah tanda sebagai tindak komunikasi. Dua tahun berikutnya (1984 : 6) pendapat Teeuw itu lebih disempurnakan dan khusus dalam kajian susastra, “semiotika adalah model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun juga3”. Dick Hartoko (1984 : 42) memberi batasan semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Sebuah batasan yang di anggap lengkap adalah batasan yang diberikan oleh Sutadi Wiryaatmadja (1981 : 4) menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dalam maknanya yang luas di dalam masyarakat, baik yang lugas (literal) maupun yang kias (figuratif), baik yang menggunakan bahasa maupun non bahasa4. 3 Ibid. Hlm 3 4 Ibid 14 Aart Van Zoest (dalam Sudjiman, 5) mendefinisikan semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Secara khusus semiotika dibagi atas tiga bagian utama, yaitu (1) sintaks semiotik, studi tentang tanda yang berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, dan pada caranya bekerja sama menjalankan fungsinya; (2) semantik semiotik, studi yang menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkannya; dan (3) pragmatik semiotik, studi tentang tanda yang mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerima5. b. Komponen Dasar Semiotika Membicarakan komponen dasar semiotika tidak lepas dari masalah-masalah pokok mengenai tanda (sign), lambang (smbol), dan isyarat (nal). Pemahaman masalah lambang mencakup pemahaman masalah penanda (signifier; signans; signifant) dan pertanda (signified; signatum; signifie). Ketiga masalah di atas dimasukkan ke dalam cakupan ilmu semiotika dikarenakan memungkinkan terjadinya komunikasi antaran subjek dan objek dalam jalur pemahaman sebagai komponen dasar semiotika6. 1) Tanda merupakan bagian dari ilmu semiotika yang menandai sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan objek kepada 5 Ibid 6 Ibid. hlm 4 15 subjek. Dalam hal ini tanda selalu menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai contoh konkret, yaitu adanya petir selalu ditandai oleh adanya kilat yang mendahului adanya petir tersebut. Tanda-tanda tertentu dapat dilaksanakan oleh makhluk lain yang tidak memiliki sifat-sifat kultural, misalnya bunyi-bunyi binatang yang menunjuk pada “nama binatang” itu sendiri. Seolah-olah bunyi yang ditimbulkan oleh binatang itu tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali sebagai pertanda dari binatang itu sendiri. Tiruan bunyi seperti “wok wok kethekuur” akan menunjuk nama binatang merpati, “koor tetilang” menunjuk nama binatang perkutut, “kukuruyuk” akan menunjuk nama binatang ayam dan sebagainya. Tanda-tanda tersebut dari dulu sampai sekarang tetap saja, tidak berubah dan tanpa kreatif apa pun. Jadi, tanda adalah arti yang statis, umum, lugas, dan objektif7. 2) Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan objek terselip adanya pengertian sertaan. Suatu lambang selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional. Warna merah putih pada bendera kita “Sang Kaka Merah Putih” merupakan lambing kebanggaan bangsa Indonesia. Warna merah diberi makna secara situasional, kondisional, dan kultural oleh bangsa Indonesia adalah: 7 Ibid 16 gagah, berani, dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula pada warna putih, secara kondisional, situasional dan kultural diberi makna: suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan penuh kasih saying. Jadi, lambang adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan majas. Dalam karya sastra, baik yang berupa puisi, cerita rekaan maupun drama, terdapat berbagai macam lambing, antara lain: lambing warna, lambing benda, lambing bunyi, lambing suasana, lambing nada, dan lambing visualisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah atau tipografi. Peirce berpendapat bahwa lambing merupakan bagian dari tanda. Setiap lambing adalah tanda, dan tidak setiap tanda itu dapat sebagai lambang. Adakalanya tanda dapat menjadi lambing secara keseluruhan, yaitu dalam bahasa. Bahasa sesungguhnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda dan petandanya. Penanda adalah yang menandai dan sesuatu yang segera terserap atau teramati, mungkin terdengar sebagai bunyi atau terbaca sebagai tulisan, misalnya: [cinta], tetapi mungkin pula terlihat dalam bentuk penampilan, misalnya: wajahnya memerah, nafasnya terengah-engah, gerakannya gemetaran, tampangnya menyeramkan, dan sebagainya. Petanda adalah sesuatu yang tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun non-bahasa. Hubungan penanda dan petanda terdapat 17 berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan bahasa akan menjadi dasar struktur semiosis. Penanda adalah sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam suatu segi pandangan. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi seseorang; seseorang ini adalah penafsir, penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari segi pandangan; segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam komponen dasar semiotika ini akan dikenal adanya empat istilah dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar8. 3) Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek kepada objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat pada waktu itu juga. Jadi, isyarat selalu bersifat temporal (kewaktuan). Apabila ditangguhkan pemakaiannya, isyarat akan berubah menjadi tanda atau perlambang. Ketiganya (tanda, lambing, dan isyarat) terdapat nuansa, yakni perpbedaan yang sangat kecil mengenai bahasa, warna dan sebagainya9 c. Tokoh-Tokoh Dalam Semiotika Tokoh-tokoh penting dalam bidang semiotik adalah Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss dan Roland Barthes dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi dan konotasi dari Prancis. 8 Ibid. Hlm 4-6 9 Ibid. Hlm 6 18 Saussure mendefinisikan „semiotika‟ (semiotics) di dalam Course in General Linguistics, sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam definisi tersebut adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyadarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Sedangkan semiotika dalam pandangan Roland Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda10. Ada dua pendekatan penting atas tanda-tanda. Pertama, pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan11. Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang Roland Barthes (1915) menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Dengan demikian makna dalam tataran mitos dapat 10 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Cet. 4, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, hal. 13. 11 Ibid., hal 31.
Description: