BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dituliskan mengenai teori-teori yang akan digunakan untuk mengerjakan tugas akhir. Materi yang dituliskan pada bab ini bersumber dari buku dan jurnal. Pada bab ini juga akan dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang mendukung ataupun menjadi pembanding untuk tugas akhir ini. 2.1 Persediaan Persediaan bisa muncul karena memang direncanakan atau merupakan akibat dari ketidaktahuan terhadap suatu informasi. Jadi ada perusahaan yang memiliki persediaan karena sengaja membuat produk lebih awal atau lebih banyak waktu tertentu, ada juga karena merupakan akibat dari permintaan yang terlalu sedikit dibandingkan dengan perkiraan awal (Pujawan, 2005). Menurut Chopra & Meindl (2014) inventory merupakan keseluruhan raw material, work in process dan produk jadi yang tercakup dalam supply chain. Sedangkan definisi persediaan menurut Tersine (1994) adalah material yang ditahan dalam suatu keadaan idle atau keadaan tidak sempurna menunggu masa depan, penggunaan atau transformasi. Pada prinsipnya persediaan adalah suatu sumber daya menganggur (idle resources) yang keberadaannya menunggu proses lebih lanjut. Yang dimaksud dengan proses lebih lanjut disini dapat berupa kegiatan produksi seperti dijumpai pada system manufaktur, kegiatan pemasaran seperti yang dijumpai pada sistem distribusi ataupun kegiatan konsumsi seperti dijumpai pada sistem rumah tangga, perkantoran dan sebagainya (Bahagia, 2006). Sebagai sumber daya menganggur keberadaan persediaan dapat dipandang sebagai pemborosan (waste) dan ini berarti beban bagi suatu unit usaha dalam bentuk ongkos yang lebih tinggi. Oleh karena itu keberadaannya perlu dieliminasi. Bila tidak mungkin untuk dieliminasi, keberadaannya harus minimalkan dengan tetap menjamin kelancaran pemenuhan permintaan pemakainya (Monden, 1983). 4 5 2.2 Permasalahan Persediaan Untuk dapat melakukan pengelolaan sistem persediaan dengan baik, perlu dilakukan identifikasi permasalahan riil (real problem) yang ada secara seksama. Disini hendaknya dibedakan antara permasalahan riil dan permasalahan yang diduga (perceived problem). Permasalahan riil adalah permasalahan yang diidentifikasi berdasarkan fakta dan data objektif. Fungsi utama persediaan adalah menjamin kelancaran mekanisme pemenuhan permintaan barang sesuai dengan kebutuhan pemakai sehingga sistem yang dikelola dapat mencapai unjuk kinerja (performance) yang optimal. Permasalahan persediaan yang pertama adalah permasalahan kebijakan persediaan (inventory policy) adalah permasalahan dalam sistem persediaan yang berkaitan dengan bagaimana menjamin agar setiap permintaan pemakai dapat dipenuhi dengan ongkos yang minimal. Masalah ini terkait dengan penentuan besarnya operating stock dan safety stock, yaitu berapa jumlah barang yang akan dipesan/dibuat, kapan saat pemesanan/pembuatan dilakukan serta berapa jumlah persediaan pengamannya. Jenis permasalahan ini pada hakikatnya dapat dikuantifikasikan dan jawabannya akan terkait dengan jenis metode pengendalian persediaan terbaik yang digunakan. Permasalahan yang kedua adalah permasalahan operasional, permasalahan ini lebih bersifat kualitatif dan pada prinsipnya berkaitan dengan permasalahan kelancaran dan efisiensi mekanisme serta prosedur pengoperasian sistem persediaan. Permasalahan ini bersifat rutin sebab selalu dijumpai dalam pengelolaan sistem persediaan sehari-hari (day to day operation). Permasalahan operasional ini dapat dibedakan atas permasalahan pengorganisasian dan administrasi persediaan, permasalahan koordinasi antar unit organisasi yang terkait dan permasalahan eksternal yang biasanya diluar kendali pengelola sistem (Bahagia, 2006). 6 2.3 Klasifikasi Persediaan Persediaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu berdasarkan bentuknya, fungsinya dan sifatnya. Berdasarkan bentuknya, Persediaan diklasifikasikan menjadi bahan baku (raw material ) , barang setengah jadi (WIP) dan produk jadi (finished product). Klasifikasi ini biasanya hanya berlaku pada konteks perusahaan manufaktur. Kemudian berdasarkan fungsinya, persediaan bisa dibedakan menjadi empat yang pertama adalah pipeline/transit inventory adalah persediaan yang muncuk karena lead time pengiriman dari satu tempat ke tempat lain. Yang kedua cycle Stock adalah persediaan yang memiliki siklus tertentu, pada saat pengiriman jumlahnya banyak kemudian sedikit demi sedikit berkurang akibat dipakai atau dijual sampai akhirnya habis atau hampir habis kemudian mulai dengan siklus baru lagi. Kemudian berdasarkan fungsinya yang ketiga adalah Persediaan pengaman (safety Stock) berfungsi sebagai perlindungan terhadap ketidakpastian permintaan maupun pasokan.Yang terakhir adalah anticipation Stock adalah persediaan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi kenaikan permintaan akibat sifat musiman dari permintaan terhadap suatu produk. klasifikasi yang terakhir adalah berdasarkan sifat ketergantungan kebutuhan antara satu item dengan item lainnya. Item-item yang kebutuhannya tergantung pada kebutuhan item lain dinamakan dependent item. Sebaliknya, kebutuhan independent demand item tidak tergantung pada kebutuhan item lain. Yang termasuk dalam dependent demand item biasanya adalah komponen atau bahan baku yang akan digunakan untuk membuat produk jadi. Kebutuhan bahan baku dan komponen tersebut ditentukan oleh banyaknya jumlah produk jadi yang akan dibuat dengan menggunakan komponen atau bahan baku tersebut. Ketergantungan permintaan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk struktur/komposisi produk atau bill of materials (BOM). Produk jadi biasanya tergolong dalam independent demand item karena kebutuhan akan satu produk jadi tidak langsung mempengaruhi produk jadi yang lain (Pujawan, 2005). Dalam manajemen persediaan, barang-barang dapat dibagi menurut beberapa sudut pandang/pendekatan, yang antara lain yaitu menurut jenis terbagi menjadi dua 7 yaitu barang umum (general materials) dan suku cadang (spare parts). Kemudian jenis barang menurut harganya terbagi menjadi tiga yaitu berharga tinggi (high value item) barang ini biasanya berjumlah sekitar hanya 10% dari jumlah item persediaan, namun jumlah nilainya mewakili sekitar 70% dari seluruh nilai persediaan dan oleh sebab itu memerlukan tingkat pengawasan yang sangat tinggi. Yang kedua adalah barang berharga menengah (medium value item) barang ini biasanya berjumlah kira-kira 20% dari jumlah item persediaan dan jumlah nilainya juga sekitar 20% dari jumlah nilai persediaan, sehingga memerlukan tingkat pengawasan cukup saja. Pembagian jenis barang menurut harganya yang terakhir adalah barang berharga rendah (low value items) berlawanan dengan barang berharga tinggi, jenis barang ini biasanya berjumlah kira-kira 70% dari seluruh pos persediaan, namun nilai harganya hanya mewakili 10% saja dari seluruh nilai barang persediaan, sehinggahanya memerlukan tingkat pengawasan rendah. Pembagian jenis barang yang selanjutnya adalah menurut frekuensi penggunaan barang yang cepat pemakaian atau pergerakannya (fast moving items) barang ini frekuensi penggunaaanya dalam 1 tahun lebih dari sekian bulan tertentu, misalnya lebih dari 4 bulan sehingga barang jenis ini memerlukan frekuensi perhitungan pemesanan kembali yang lebih sering. Kemudian barang lambat pemekaian atau pergerakannya (slow moving items) barang yang frekuensi penggunaannya dalam 1 tahun kurang dari sekian bulan tertentu misalnya dibawah 4 bulan sehingga barang jenis ini memerlukan frekuensi perhitungan pemesanan kembali yang tidak sering. Pembagian jenis barang selanjutnya bersadarkan gabungannya dengan produksi terdapat barang langsung (direct materials) jenis barang yang langsung digunakan dalam produksi akhir. Jadi bahan mentah, bahan penolong, barang setengah jadi, barang jadi dan barang komoditas termasuk dalam kategori ini. Kemudian barang tidak langsung (indirect materials) merupakan jenis barang yang tidak ada hubungannya dengan proses produksi namun diperlukan untuk memelihara mesin dan fasilitas yang digunakan untuk proses produksi (Indrajit & djokopranoto, 2003). Dalam sistem persediaan multiproduct, tidak semua produk dapat menghasilkan keuntungan yang sama. 8 Karena itu klasifikasi produk penting dilakukan untuk membedakan produk mana yang menguntungkan dan produk mana yang tidak menguntungkan. Klasifikasi ABC ini menggunakan konsep ekonomi pareto effect, dimana sejumlah besal total dollar volume dari penjualan sering disebabkan oleh sejumlah kecil dari item persediaan (Nahmias, 2009). 2.3.1 Metode ABC Pada tahun 1906 seorang ekonom berkebangsaan Italia Vilfredo Pareto melakukan observasi terhadap sebagian kecil item dalam sebuah kelompok jabatan yang memiliki proporsi yang signifikan. Pada sat itu dihadapkan pada sedikit sekali individu-individu yang secara ekonomi nampaknya memperoleh pendapatan terbaik, ini juga terjadi diperusahaan dimana hanya sedikit sekali batang yang laku dijual, dalam organisasi sukarelawan hanyak sedikit orang yang mengerjakan yang terbaik dalam pekerjaannya, Penemuan ini dialikasikan dalam manajemen persediaan yang disebut dengan ABC analisis atau yang disebut juga dengan prinsip Pareto (Zulfikarijah, 2005). Pada prinsipnya analisis ABC ini adalah mengklasifikasikan jenis barang yang didasarkan atas tingkat investasi tahunan yang terserap didalam penyediaan persediaan untuk setiap jenis barang. Berdasarkan prinsi Pareto, barang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Yang pertama kategori A (80-20%) terdiri dari jenis barang yang menyerap dana sekitar 80% dari seluruh modal yang disediakan untuk persediaan dan jumlah jenis barangnya sekitar 20% dari semua jenis barang yang dikelola. Kategori B(15-30) terdiri dari jenis barang yang menyerap dana sekitar 15% dari seluruh modal yang disediakan untuk persediaan (sesudah kategori A) dan jumlah jenis barangnya sekitar 30% dari semua jenis barang yang dikelola. Kategori C (5-50%) terdiri dari jenis barang yang menyerap dan hanya sekitar 5% dari seluruh modal yang disediakan untuk persediaan (yang tidak termasuk kategori A dan B) dan jumlah jenis barangnya sekitar 50% dari semua jenis barang yang dikelola (Bahagia, 2006). 9 Langkah-langkah dalam membuat analisis ABC yang pertama membangun karakteristik item yang mempengaruhi hasil manajemen persediaan. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh penggunaan dolar tahunan tetapi mungkin terdapat kriteria lain, seperti kelangkaan bahan. Yang kedua mengklasifikasikan item ke dalam kelompok berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Langkah ketiga menerapkan tingkat kontrol sebanding dengan pentingnya kelompok. Faktor yang mempengaruhi pentingnya item termasuk penggunaan dolar tahunan, biaya tiap unit dan kelangkaan material. Untuk sederhananya, hanya penggunaan dolar tahunan yang akan digunakan dalam tulisan ini. Prosedur untuk mengklasifikasikan dengan penggunaan dolar tahunan adalah sebagai berikut. Yang pertama menentukan penggunaan tahunan untuk setiap item. Kedua kalikan penggunaan tahunan setiap item dengan biaya untuk mendapatkan total penggunaan dolar tahunan. Langkah yang ketiga daftar item sesuai dengan penggunaan dolar tahunan mereka. Keempat hitung kumulatif penggunaan dolar tahunan dan persen kumulatif tiap item. Langkah terakhir adalah mengelompokkan item dalam kelompok A,B dan C berdasarkan persentase penggunaan tahunan (Arnold, dkk. 2008). 2.4 Simulasi Monte Carlo Simulasi Monte Carlo menurut Tersine (1994), adalah simulasi probabilistik yang mendekati solusi sebuah masalah dengan sampling dari suatu proses random data. Simulasi Monte Carlo merupakan model simulasi statis atau independen terhadap waktu. Tujuan simulasi ini adalah untuk mengestimasi distribusi dari output variabel yang nilainya tergantung pada variabel-variabel input yang memiliki probabilitas sehingga simulasi Monte Carlo menggunakan distribusi peluang pada bilangan random dalam perhitungannya. Data random digunakan untuk menjelaskan pergerakan setiap variabel acak dari waktu ke waktu dan memungkinkan untuk mendekati keadaan realistis dari sebuah peristiwa yang terjadi. Simulasi Monte Carlo merupakan sebuah cara dalam melihat masalah bahwa ada banyak kemungkinan yang dapat muncul dalam sebuat project, seperti 10 kemungkinan harga, volume dan lain sebagainya. Langkah-langkah melakukan simulasi Monte Carlo adalah sebagai berikut : 1. Melakukan input variabel yang akan digunakan 2. Mendefinisikan distribusi probabilitas dari beberapa variabel utama 3. Membuat kumulatif ditsirbusi untuk masing-masing variabel 4. Membua interval dari hasil kumulatif distribusi untuk random digit dari masing-masing variabel 5. Menentukan bilangan acak dari kumulatif distribusi probabilitas untuk menentukan nilai variabel tertentu untuk digunakan dalam simulasi 2.5 Biaya Persediaan Menurut Tersine (1994) tujuan dari inventory management adalah memiliki material dalam jumlah yang tepat, pada tempat yang tepat di waktu yang tepat dan dengan biaya yang rendah. Berikut ini adalah biaya-biaya yang termasuk dalam biaya persediaan adalah purchase cost, merupakan harga beli dari suatu item yang dibeli dari sumber eksternal. Purchase cost juga disebut unit production cost jika item tersebut diproduksi sendiri secara internal perusahaan. Kemudian order/setup cost, merupakan biaya pemesanan suatu item atau bahan baku dari supplier. Order cost akan disebut sebagai setup cost apabila perusahaan melakukan produksi sendiri dalam pengadaan bahan baku atau item tersebut. Biaya persediaan yang berikutnya adalah holding cost, adalah biasa yang terkait dengan penyimpanan inventory dan stockout cost, adalah biaya yang terjadi akibat adanya external dan internal shortage. Eksternal Shortage terjadi apabila pesanan customers tidak bisa dipenuhi, sedangkan internal shortage terjadi apabila pesanan dari suatu departemen dalam perusahaan tidak bisa dipenuhi. Secara umum dapat dikatakan bahwa ongkos persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan selama horizon perencanaan waktu tertentu. Adapun komponen-komponennya terdiri atas ongkos pembelian yang merupakan ongkos yang dikeluarkan untuk membeli barang persediaan. Besarnya ongkos pembelian ini tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang. Kemudian ongkos pengadaan (procurement cost) adalah 11 ongkos yang harus dikeluarkan untuk setiap proses pengadaan barang. Ongkos ini dibedakan atas dua jenis sesuai asal-usul barang tersebut, yaitu ongkos pemesanan (order cost) bila barang didatangkan dari luar sistem dan ongkos persiapan (set up cost) bila barang berasal dari dalam sistem. Yang terakhir adalah ongkos simpan (holding cost) adalah biaya yang timbul akibat penyimpanan barang, ongkos ini meliputi ongkos memiliki barang, ongkos gudang, ongkos kerusakan dan penyusutan, ongkos kadaluarsa (absolence cost), ongkos asuransi (insurance cost), ongkos administrasi dan lainnya (Bahagia, 2006). 2.6 Safety Stock dan Service Level Resiko dan ketidakpastian dalam persediaan disebabkan oleh banyak variable, biasanya yang umum terjadi adalah demand dan lead time yang bervariasi. Safety stock atau buffer stock atau fluctuation stock adalah persediaan ekstra yang tetap disimpan sebagai antisipasi terhadap kekurangan karena gangguan alam atau lingkungan. Safety stock diperlukan karena forecast atau perkiraan demand tidak tepat atau tidak sesuai dan supplier kadang-kadang gagal untuk mengirimkan barang tepat waktu. Kedua situasi tersebut dapat menyebabkan kondisi stockout jika tidak terdapat safety stock. Safety stock akan lebih besar jika stockout cost atau service level tinggi, holding cost rendah, variasi demand besar dan variasi lead time besar (Bahagia, 2006). Service level menunjukkan kemampuan stok untuk memenuhi permintaan pelanggan. Service level biasanya juga didefinisikan untuk beberapa waktu tertentu, ketika pesanan biasanya dipenuhi dari stok, atau dalam cara tepat lainnya. Terdapat beberapa cara dalam mengukur service level yaitu, dapat dihitung dalam unit, yang, transaksi atau pesanan. Tidak ada ukuran service level yang biasanya tepat untuk semua item dalam persediaan. Penetapan nilai service level merupakan hasil dari pertimbangan manajemen secara subjektif. Peningkatan investasi dalam persediaan akan meningkatkan service level. Jika pesanan pelanggan selalu dapat dipenuhi ketika diminta, maka service levelnya adalah 100%. Dalam lingkungan make to stock, nilai 12 service level 100% berarti perusahaan melakukan investasi persediaan dalam jumlah yang sangat besar (Pujawan, 2005). ๐ข๐๐๐ก ๐๐๐๐๐๐๐๐๐ SL =1- ๐ฅ 100% ๐๐๐ก๐๐ ๐๐๐๐๐๐ 2.7 Kebijakan Persediaan Fenomena persediaan probabilistik, yaitu suatu keadaan persediaan yang mengandung ketidakpastian. Dalam sistem persediaan ketidakpastian dapat berasal dari pemakai (user) yang berupa fluktuasi permintaan yang dicerminkan oleh variansi atau deviasi standarnya (S), ketidakpastian yang selanjutnya adalah pemasok (supplier) yang berupa ketidaktepatan waktu pengiriman waktu pengiriman barang yang dicerminkan oleh waktu ancang-ancangnya (lead time/ L), selain itu sistem manajemen (pengelola) yang berupa ketidakhandalan pengelola dalam menyikapi permasalahan yang dicerminkan dengan faktor resiko yang mampu ditanggung (๐ ). Ketidakpastian ๐ผ yang dimaksud disini bersifat acak tetapi dengan pola distribusi kemungkinan diketahui. Secara statistik fenomena probabilistik adalah fenomena yang dapat diprediksi parameter populasinya baik ekspektasi, variansi, maupun pola distribusi kemungkinannya. Adanya fenomena probabilistik didalam sistem persediaan mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih sulit bila dibandingkan dengan sistem persediaan deterministik, sebab dengan adanya fenomena ketidakpastian akan menyebabkan timbulnya variansi yang merupakan sumber penyimpangan dari rencana yang telah dibuat. Adanya fenomena ini akan mengakibatkan perlunya cadangan pengaman (safety stock) yang akan digunakan untuk meredam fluktuasi permintaan atau fluktuasi pasokan selama waktu ancang-ancang atau selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian dalam sistem persediaan probabilistik yang dimaksud dengan kebijakan persediaan hanya terkait dengan operating stock, tapi juga dengan cadangan pengaman, secara operasional kebijakan persediaan dijabarkan ke dalam 3 keputusan yaitu menentukan besarnya ukuran lot pemesanan ekonomis (๐ ) , 0 menetukan saat pemesanan ulang dilakukan (r) dan menentukan besarnya cadangan 13 pengaman (ss). Dengan adanya cadangan pengaman dalam sistem persediaan probabilistik, bukan berarti bahwa permintaan barang dijamin dapat selalu dipenuhi namun kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan masih bisa terjadi. Dengan demikian tingkat pelayanan seperti yang akan terjadi pada sistem persediaan probabilistik tidak data dijamin 100% seperti yang terjadi pada sistem persediaan deterministik. Oleh karena itu perlu ditentukan tingkat pelayanan yang baik dengan memperhitungkan ongkos kekurangan barang (shortage cost). Untuk menentukan kebijakan persediaan probabilistik dikenal adanya 2 metode dasar, yaitu metode Q dan metode P. Untuk dapat menggunakan kedua metode ini asumsi yang digunakan adalah permintaan barang bersifat probabilistik dengan distribusi kemungkinan diketahui, kemudian asumsi kedua harga barang yang dipesan konstan dan tidak bergantung pada ukuran lot pemesanan, asumsi yang terakhir adalah ongkos satuan simpan konstan dan tidak bergantung pada besarnya barang yang disimpan. Ongkos pesan tetap untuk setiap kali pemesanan, serta ongkos kekurangan barang sebanding dengan jumlah kekurangannya. Kebijakan persediaan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu continuous review dan periodic review (Bahagia, 2006). Berikut pedoman pemilihan kebijakan pengendalian persediaan berdasarkan pemilihan continuous atau periodic review (Silver, dkk. 1998). Tabel 2.1 Pedoman Kebijakan persediaan Continuous Review Periodic Review Klasifikasi A (s,S) (R,s,S) Klasifikasi B (s,Q) (R,S) 2.7.1 Continuous Review Policy Metode continuous review policy peninjauan persediaan dilakukan secara kontinu atau terus menerus dan order dilakukan ketika persediaan mencapai tingkat tertentu atau reorder point (Silver, dkk. 1998). Continuous review policy adalah
Description: