ebook img

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN A. KENAKALAN SISWA a PDF

39 Pages·2016·0.51 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN A. KENAKALAN SISWA a

10 BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN A. KENAKALAN SISWA a. Pengertian Kenakalan Siswa Definisi siswa dalam pengertian umum, adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sedangkan dalam arti sempit siswa adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik.1 Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar dan peserta didik merupakan sinonim (persamaan), semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari satu lembaga pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa siswa merupakan semua orang yang sedang belajar, baik pada lembaga pendidikan secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.2 Menurut Oemar Hamalik siswa merupakan suatu komponen masukan dalam sistem pendidikan, selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional.3 karenakan yang diteliti penulis adalah tingkatan sekolah MTs Al Manar Medan yang siswa masih bisa di golongkan bagian dari masa remaja. Remaja adalah masa perkembangan sikap tergantung terhadap orang tua kearah kemandirian, minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu moral. Sedangkan masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun, (b) remaja madya: 16-18 dan (c) remaja yang berusia 19-22 tahun.4 Menurut Sigmun Freud (1856-1939), yang dikutip Sunaryo mengemukakan bahwa fase remaja yang berlangsung dari usia 12-13 tahun hingga 1 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: FIP IKIP, 1986), h. 120. 2 Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, h. 248 3 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, Cet 4, 2003 ), h. 7. 4 Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 184. 11 20 tahun.5 Sedangkan menurut Elizabeth B. Hurlock yang dikutip Masganti Sitorus “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari tahap ketahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola prilaku, dan juga jenuh dengan masalah-masalah.”6 Oleh karenanya remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikis atau kejiwaan yang sebagai akibat terjadinya perubahan sosial.7 Perkembangan yang sedang dihadapi oleh remaja cukup banyak dan yang paling kelihatan adalah pertumbuhan jasmani cepat. Badannya berubah dari kanak-kanak menjadi dewasa dalam masa empat tahun (usia 13-16 tahun). Perubahan tubuhnya tidak serentak dan kadang-kadang tidak seimbang, sehingga terjadi ketidak serasian gerak tulang.8 Hal ini terutama tampak jelas pada hidung, kaki dan tangan.9 Namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya, (ketidak sesuaian antara body image dengan self picture) dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kekurangan percaya diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak profesional. Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh norma-norma dapat menjerumuskan pada penyimpangan prilaku seksual.10 Pada masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan- dorongan baru yang dialami sebelumnya, perasaan cinta, rindu dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal perkembangan emosinya menunjukkan sikap yang sensitif dan reaktif sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan 5 Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan (Jakarta: EGC, 2004), h. 44. 6 Masganti Sitorus, Perkembangan Peserta Didik (Medan: Perdana Publising, 2012), h. 202. 7 Ibid,. 202. 8 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: CV Ruhama, 1998), h. 87. 9 Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 193. 10 Masganti Sitorus, Perkembangan Peserta Didik, h. 70. 12 temperamental (mudah tersinggung/marah atau mudah sedih/murung). Sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya.11 Kenakalan remaja sering di istilahkan dengan juvenile delinquency seperti menurut kartini Kartono misalnya menyatakan juvenile delinquency (juvenilis=muda, delinquency dari delincuare = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, antara lain dilatar belakangi untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.12 Dengan demikian juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda: merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.13 M. Arifin mengemukan istilah kenakalan remaja merupakan terjemahan dari kata juvenile delinquency yang dipakai di dunia barat. Istilah ini mengandung pengertian tentang kehidupan remaja yang menyimpang dari berbagai pranata dan norma yang berlaku umum. Baik yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, tradisi, maupun agama, serta hukum yang berlaku.14 Menurut Zakiah Daradjat ada beberapa bentuk kenakalan siswa di sekolah/Madrasah: 1. Kenakalan ringan, misalnya keras kepala, tidak patuh pada orang tua dan guru, lari (bolos) sekolah, tidak mau belajar, sering berkelahi, suka mengularkan kata-kata yang kurang sopan, cara berpakaian yang tidak rapi dan sebagainya. 2. Kenakalan yang mengganggu ketentraman dan keamanan orang lain, misalnya mencuri, memfitnah, merampok, menodong, menganiaya, merusak milik orang lain, membunuh dan sebagainya. 11 Ibid,. h. 196. 12 Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan (Jakarta: CV Rajawali, Ed. 2, 2002), h. 209. 13 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. 5, 2003), h. 6. 14 M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama (Jakarta: PT.Golden Trayon Press, Cet. 5, 1994), h. 79-80. 13 3. Kenakalan berat a. Terhadap jenis lain. b. Terhadap orang jenis.15 b. Faktor Penyebab Kenakalan Siswa Masalah yang muncul pada kehidupan siswa dalam lingkungan sekolah seringkali termanifestasi dalam bentuk kesulitan dalam menghadapi pelajaran di sekolah, baik dalam tulisan maupun penyelesaian tugas. Kesulitan semacam ini bukan timbul semata-mata karena reaksi spontan terhadap suatu keadaan, tetapi biasanya merupakan akibat dari satu rangkaian peristiwa yang sudah berlangsung lama atau berlarut-larut. Siswa yang mengalami problem di sekolah pada umumnya mengemukakan keluhan bahwa mereka tidak ada minat terhadap pelajaran dan bersikap acuh tak acuh, prestasi belajar menurun kemudian timbul sikap-sikap dan perilaku yang tidak diinginkan seperti membolos, melanggar tata tertib, menentang guru, berkelahi, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai dimensi penyebab yaitu faktor-faktor di antaranya adalah: a. Kenakalan Karena instabilitas psikis Tipe ini banyak terdapat pada anak-anak gadis, dengan sikap yang pasif, tanpa kemauan dan suggestible sifat biasanya mereka itu tidak memiliki karakter, terlalu labil mentalnya.16 Para siswa sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga sering kali mereka terlihat “tidak memikirkan akibatnya” dari perbuatan mereka.17 Kurang adanya kematangan fisik, mental dan emosi sesuai dengan teman sebaya dan harapan sosial. 1) Adanya hambatan fisik atau kelainan organisme, baik pendengaran, penglihatan, cacat tubuh dan sebagainya. 2) Kemauan yang kurang atau justru terlalu tinggi. 15 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, h. 90. 16 Kartini Kartono, Patologis Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, h. 210. 17 Masganti Sitorus, Perkembangan Peserta Didik, h. 207. 14 3) Adanya hambatan atau gangguan emosi akibat tekanan dari orang dewasa khususnya guru sebagai pendidik di sekolah.18 Sedangkan menurut Zakiah Daradjat yang dikutip Mukhtar penyebab terjadinya kemorosotan moral (akhlak) yang nantinya akan berakibat pada kenakalan siswa. adalah sebagai berikut: 1) Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap orang dalam masyarakat. 2) Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi maupun sosial politik. 3) Pendidikan moral yang tidak terlaksana menurut semestinya, baik di sekolah, keluarga, maupun dalam masyarakat luas. 4) Suasana rumah tangga siswa yang kurang baik dan harmonis. 5) Diperkenankanya secara popular obat-obatan dan alat anti hamil secara lebih luas dan terbuka. 6) Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian- kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar, dan tuntutan moral yang seimbang dengan pembentukan karakter siswa. 7) Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang dengan cara yang lebih baik dan membawa kepada pembinaan moral. 8) Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dalam mendukung terwujudnya peningkatan moral siswa.19 b. Kenakalan siswa karena rendahnya pemahaman agama Sebagian besar siswa mengalami kemunduran kepercayaan terhadap Allah. Hal ini ditandai dengan semangkin berani remaja melanggar larangan Allah SWT, hal ini ditandai dengan beraninya remaja melanggar larangan Allah SWT secara terang-terangan seperti tidak salat, tidak puasa, berpacaran di tempat umum dan lain-lain. Pada saat melakukan berbagai pelanggaran 18 Endang Poerwanti & Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), h. 134. 19 Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003), h. 74. 15 terhadap larangan Allah SWT sebahagian besar remaja sudah tidak menunjukkan rasa takut atau malu kepada Allah SWT.20 B. PERANAN GURU BIDANG STUDI 1. Pengertian Peranan Guru Dalam penelitian ini pengertian peran secara etimologis adalah merupakan suatu bagian yang bertindak terhadap terjadinya suatu peristiwa. Sedangkan menurut kamus besar Indonesia ialah seperangkat tingkah yang di harapkan memiliki oleh setiap orang yang berkedudukan di masyarakat.21 Menurut Levinson yang dikutip oleh Soekanto mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain: a) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. b) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.22 Sedangkan kata dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar.”23 Guru merupakan salah satu trend yang banyak dipakai untuk menyebut seorang yang dijadikan panutan. Penggunaan tern ini tidak hanya dipakai dalam dunia pendidikan, tetapi hampir semua aktivitas yang memerlukan seseorang pelatih, pembimbing atau 20 Masganti Sitorus, Perkembangan Peserta Didik, h. 211. 21 Depertemen pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. 2, 1994), h. 751. 22 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers 2009), h. 213. 23 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 330. 16 sejenisnya. Menurut Malik Fadjar “Guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik dan membimbing.”24 Sedangkan menurut M. Uzer Usman, “guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjan sabagai guru.”25 Dalam pendidikan peran guru tidak dapat dilepaskan, karena guru berperan sebagai agen pembaruan, mengarahkan siswa dan juga sebagai anggota masyarakat mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk mencapai pembaruan yang diinginkan itu mustahil dilakukan tanpa perubahan. Untuk melakukan perubahan perlu ada pendidikan dan proses pendidikan tidak berjalan dengan sendirinya akan tetapi perlu diarahkan dan di sinilah peranan dan fungsi guru sebagai agen perubahan.26 Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang disiapkan melalui proses pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhinya, maka semakin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhinya, maka semakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya. Tinggi redahnya pengakuan profesionalisme sangat bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan.27 Secara formal, untuk menjadi profesional guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik minimum dan bersertifikat pendidik. Guru-guru yang memenuhi kriteria profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya secara efektif dan efisien untuk mewujudkan proses pendidikan dan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, 24 A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia [LP3NI], 2008), h. 221. 25 Usman, et al, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 5. 26 T, Raka, et al, Wawasan Kependidikan Guru (Jakarta: Depdikbud, 2004), h. 8-9. 27 Abdul Racman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000 ), h. 165. 17 cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.28 Peran guru secara umum ialah mendidik, yaitu membantu dalam mengupayakan perkembangan siswa dalam mengoptimalkan segala potensi hidupnya. Dalam hal ini setidaknya ada tiga persyaratan yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa menjadi seorang guru, yaitu: 1. Kewibawaan yaitu pengaruh positif normatif yang diberikan kepada orang lain atau siswa dengan tujuan agar yang bersangkutan dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Dengan kewibawaan, maka secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan kepercayaan diri siswa kepada guru sehingga dengan sendirinya akan timbul suatu kepatuhan dari siswa kepada guru. 2. Guru harus mengenal secara pribadi siswanya. Sebagai contoh, secara otomatis pendidik hafal nama asuhannya (terutama untuk pendidik anak luar biasa). 3. Guru harus mengetahui bahwa siswa adalah “aku’’ yang berpribadi dan ingin bertanggung jawab, dan ingin menentukan diri sendiri.29 Berikut adalah beberapa peran guru yang harus diketahui dan dipahami oleh guru agar dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan membimbing anak guna untuk mencetak generasi yang bermoral, di antara peran guru itu antara lain: 1. Guru sebagai ahli instruksional. Guru harus secara tetap membuat keputusan tentang materi pelajaran dan metodenya. Keputusan ini di dasarkan sejumlah faktor yang meliputi mata pelajaran yang akan disampaikan, kebutuhan dan kemampuan siswa, serta seluruh tujuan yang akan dicapai.30 28 Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 18. 29 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 48-49. 30 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikolgi Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2006), h. 27. 18 2. Guru sebagai motivator. Untuk meningkatkan semangat belajar yang tinggi, siswa perlu memiliki motivasi yang tinggi, baik motivasi dari dalam dirinya sendiri (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) terutama yang berasal dari gurunya, seperti, memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar lebih giat, memberikan tugas kepada siswa sesuai kemampuan dan perbedaan individual siswa. Menurut pendapat Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abidin ada lima cara memberikan motivasi kepada anak didik yaitu: (a) Memberikan hadiah atau hukuman. (b) Melibatkan harga diri dan memberitahu hasil karya murid. (c) Memberikan tugas-tugas kepada mereka. (d) Mengadakan kompetisi belajar yang sehat. (e) Sering mengadakan ulangan (tes).31 Peranan guru bidang studi itu merupakan tanggung jawab penuh pendidik untuk mengembangkan dan mengarahkan interaksi dengan peserta didik dalam proses belajar mengajar dengan sumber belajar sesuai kapasitas dan kemampuan yang dimiliki dan sesuai dengan kedudukannya. Komunikasi antara guru sangat berkaitan dan berpengaruh pada kemajuan dan kesuksesan dari anak didik. Chalijah Hasan mengemukakan adapun peranan guru dalam interaksi belajar mengajar antara lain: a) Sebagai fasilator, ialah menyediakan situasi dan kondisi yang dibutuhkan oleh individu yang belajar. b) Sebagai pembimbing, ialah memberikan bimbingan siswa dalam interaksi belajar agar, siswa mampu belajar dengan lancar dan berhasil secara efektif. c) Sebagai motivator, ialah memberi dorongan semangat agar siswa mau dan giat belajar. d) Sebagai organisator, ialah mengorganisasikan kegiatan belajar mengajar siswa maupun guru. 31 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 72. 19 e) Sebagai manusia sumber, dimana guru dapat memberikan informasi apa yang dibutuhkan oleh siswa, baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap. 32 Bidang studi Akidah Akhlak ini merupakan rumpun pelajaran pendidikan agama Islam, maka dalam mendidik seorang guru harus mempunyai sifat kepribadian, Islam sebagai mana menurut Zuhairini et al, guru agama Islam merupakan pendidik yang mempunyai tanggung jawab dalam membentuk kepribadian Islam siswa, serta bertanggung jawab terhadap Allah SWT. Dia juga membagi tugas dari agama Islam, antara lain: a) Mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam. b) Menanamkan keimanan dalam jiwa anak. c) Mendidik anak agar taat menjalankan agama. d) Mendidik anak agar berbudi pekerti yang mulia.33 Sedangkan Menurut Mahmud Junus menghendaki sifat-sifat guru muslim sebagai berikut: a) Menyayangi siswanya dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri. b) Hendaklah guru memberi nasehat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak mendudukinya. c) Hendaklah guru memperingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan kepada Tuhan, bukan untuk menjadi pejabat, untuk bermegah-megahan atau untuk bersaing. d) Hendaklah guru melarang muridnya berkelakuan tidak baik dengan lemah lembut bukan dengan cara mencaci maki. e) Hendaklah guru mengajarkan kepada siswa-siswanya mula-mula bahan pelajaran yang mudah dan banyak terjadi di dalam masyarakat. f) Tidak boleh guru merendahkan pelajaran lain yang tidak diajarkan. 32 Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan (Surabaya: Al Ikhlas, 1994), h. 66. 33 Zuhairi, et al., Metode Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 34.

Description:
Bidang studi Akidah Akhlak ini merupakan rumpun pelajaran pendidikan agama Islam, maka dalam .. Islam maka materi Akidah Akhlak bersumber dari Alquran dan Hadits. Karena .. Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar. Yaitu perbuatan yang . Kepada gurunya, seorang wajib pajak, seorang bawahan
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.