BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca melahirkan ibu akan mengalami beberapa perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis, seorang ibu akan merasakan gejala gejala psikiatrik setelah melahirkan, beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh ibu. Sebagian ibu bisa menyesuaikan diri dan sebagian tidak bisa menyesuaikan diri, bahkan bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri mengalami gangguan gangguan psikologis dengan berbagai macam sindrom atau gejala, oleh peneliti hal ini disebut postpartum blues (Marshall, 2004). Angka kejadian postpartum blues cukup tinggi yakni 26,00% - 85,00%. Dari beberapa penelitian dijelaskan sebanyak 50,00% ibu setelah melahirkan mengalami depresi setelah melahirkan dan hampir 80,00% ibu baru mengalami perasaan sedih setelah melahirkan atau sering disebut Postpartum Blues ( Kasdu, 2003). Pieter & Lubis (dalam Kusumadewi, 2010) menyatakan 50 – 70 % dari seluruh wanita pasca melahirkan akan mengalami sindrom ini. Sedangkan di Indonesia menurut Hidayat yaitu 50 – 70 % dan hal ini dapat berlanjut menjadi depresi postpartum dengan jumlah bervariasi dari 5% hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan (Daw dan Steiner dalam Bobak dkk., 2005). Postpartum blues (PPB) atau sering juga disebut Maternity blues atau Baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan dan memuncak 1 pada hari ke tiga sampai kelima dan menyerang dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Arfian, 2012). Adapun tanda dan gejalanya seperti: reaksi depresi/sedih/disforia, menangis, mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat (Murtiningsih, 2012). Faktor faktor yang mempengaruhi postpartum blues adalah yang faktor psikologis yang meliputi dukungan keluarga khusunya suami. faktor demografi yang meliputi usia dan paritas, factor fisik yang disebabkan kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti popok, dan faktor sosial meliputi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, status perkawinan (Nirwana, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi postpartum blues biasanya tidak berdiri sendiri sehingga gejala dan tanda postpartum blues sebenarnya adalah suatu mekanisme multifaktorial. Kondisi sosio ekonomi seringkali membuat psikologi ibu terganggu. pada keluarga yang mampu mengatasi pengeluaran untuk biaya perawatan ibu selama persalinan, serta tambahan dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak merasakan beban keuangan, akan tetapi keluarga yang menerima kelahiran seorang bayi dengan suatu beban finansial dapat mengalami peningkatan stres, stres ini bisa mengganggu perilaku orang tua 2 sehingga membuat masa transisi untuk memasuki pada peran menjadi orang tua akan menjadi ledih sulit (Bobak et all, 2005). Menurut Murtiningsih (2012) postpartum blues merupakan masalah yang wajar terjadi setelah melahirkan. Tetapi terdapat wanita yang mengalami baby blues dengan kondisi tingkatan yang berbeda, lebih lama dan perubahan sikap serta perilaku yang lebih parah dan sering disebut dengan postpartum blues. Oleh karena itu dari beberapa faktor yang ada wanita yang mengalami postpartum blues, sangat membutuhkan perhatian khususnya dari keluarga, serta kesiapan untuk menjadi orang tua baik secara fisik maupun materil. Kondisi yang lebih ringan dari depresi postpartum disebut dengan postpartum blues. Pada kondisi ini, perempuan tersebut mengalami tanda- tanda sebagaimana pada depresi postpartum hanya saja dalam intensitas yang lebih ringan dan dalam rentang waktu yang lebih pendek. Menurut Danuatmaja (2003) kondisi ini tergolong normal dan hanya sementara. Kondisi yang lebih berat dari depresi postpartum adalah postpartum psikosis. Gangguan ini sangat jarang ditemukan, diperkirakan 4 dari 1000 kelahiran (Cunningham, 2006). Melihat gangguan psikologis pospartum di atas masalah yang paling penting pada gangguan psikologis postpartum adalah depresi postpartum, mengingat angka kejadiannya yang tinggi dan penatalaksanaan yang salah dapat mengakibatkan gangguan jiwa yang serius. Penelitian kejadian depresi pascasalin di Amerika Serikat berkisar antara 8%-26%, dan sekitar 13% perempuan primipara mengalami depresi pascasalin pada periode tahun pertama pascasalin. (O’Hara :1986). Penelitian 3 serupa yang dilakukan di Taiwan (Yunitasari: 2005) menemukan bahwa insiden kejadian depresi pascasalin ringan sampai berat sebesar 40%. Penelitian lain menemukan bahwa 18 perempuan menderita depresi dari 40 partisipan yang diteliti. Depresi yang dialami berhubungan dengan tidak dapat menahan perasaan, sering marah, kerusakan hubungan dengan pasangan/suami, keluarga, teman dan juga tenaga profesional. Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara dilaporkan bahwa terdapat 50%-80% ibu- ibu primipara mengalami postpartum blues, sedangkan depresi pascasalin sedang atau berat atau gangguan bipolar berkisar 30 sampai 200 per 1000 kelahiran hidup. Insiden gangguan psikosis ringan berkisar 1 setiap 1000 kelahiran hidup (Field T :2009). Setyowati dan Uke Riska (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues diantaranya pengalaman kehamilan dan persalinan yang meliputi komplikasi dan persalinan dengan tindakan, dukungan sosial diantaranya dukungan kelurga, keadaan bayi yang tidak sesuai harapan. Dari 31 ibu yang melahirkan dan memenuhi kriteria, terdapat 17 ibu (54,48%) mengalami postpartum blues yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, pengalaman kehamilan dan persalinan sebesar 38,71%, dukungan social 19,53%, keadaan bayi saat lahir 16,13%. Baby blues seharusnya segera ditangani. Jika tidak, baby blues akan berujung pada gangguan mental yang memotivasi sang ibu untuk menyakiti dirinya sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung mencatat 33% ibu yang bersalin mengalami depresi pascasalin dan di RSUP 4 Cipto Mangunkusumo Jakarta mencatat bahwa terdapat 37,3% perempuan yang bersalin mengalami depresi (Alfiben : 2000). Selain itu dalam penelitian Bina Melvia Girsang tahun 2013 bahwa di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang adalah salah satu rumah sakit di Indonesia yang menangani masalah psikologis ibu postpartum yang menerima persalinan 1.198 setiap tahun. Rerata ada 100 ibu bersalin setiap bulan, dengan lama hari rawat berkisar 3 - 5 hari. Wawancara dengan seorang perawat pelaksana rumah sakit tersebut pada Juli 2011, diketahui bahwa pada hari ketiga setelah melahirkan sering menemukan gejala-gejala seperti bersedih, cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur, kurang perhatian pada bayi yang menangis. Hal tersebut merupakan bagian dari gejala gangguan psikologis ibu yang mengarah pada depresi postpartum. penelitian Y. Imaninditya dan Murwati : 2013) bahwa depresi postpartum bisa berdampak negatif pada kesehatan ibu, anak dan keluarga. Pada ibu yang mengalami depresi pasca persalinan, minat dan ketertarikan terhadap dan bayinya kurang. Ibu sering tidak merespon positif pada bayinya seperti pada saat menangis, tatapan mata ataupun gerak tubuh. Akibat lanjut ibu yang mengalami DPP tidak mampu merawat bayinya secara optimal termasuk malas menyusui. Sehingga akan mempengaruhi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan sang bayi. Banyak faktor yang diduga berperan pada sindroma ini antara lain adalah kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu (Tim Psikologi Universitas Indonesia, Psikologi terhadap postpartum, 2008), faktor hormonal, faktor umur, dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan 5 (keluarga bahagia, 2008, postpartum blues), dukungan sosial lingkungannya diantaranya dukungan keluarga dan suami (Sylvia, 2006). sehingga perlu dilakukan upaya penanganan serius terhadap ibu postpartum guna mengantisipasi kejadian depresi postpartum. Salah satu upaya tersebut adalah dengan tehnik GIM (Guided Imagery and Music). Cara sederhana dan efektif untuk mengelola stres, depresi dan kecemasan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa banyak hal yang berkorelasi dengan kejadian depresi pasca persalinan, baik secara fisik, psikis maupun social dan budaya. Faktor tersebut diantaranya adalah perubahan hormonal, ketidaksiapan memelihara bayi, masalah ekonomi, stress dan depresi selama kehamilan, dukungan sosial yang rendah serta masalah perkawinan. Faktor kepribadian ibu yang mudah cemas, kurang percaya diri dan penakut serta adanya riwayat depresi sebelumnya dapat meningkatkan resiko (Lowdermilk & Perry, 2004; Kasdu,2005; Andri, 2010). Perubahan kadar hormon progesterone, estrogen, kelenjar tiroid, endofrin, estradiol, cortisol dan prolaktin merupakan kondisi fisiologis dan terjadi pada sebagian besar ibu bersalin. Tetapi pada kenyataannya hanya sekitar 10-15% ibu yang mengalami depresi pasca persalinan. Perubahan hormon memiliki peran dalam munculnya depresi pasca persalinan tetapi perannya tergantung juga dengan kerentanan ibu terhadap perubahan hormonal tersebut. Kelelahan Fisik setelah proses persalinan, dehidrasi, kehilangan banyak darah, atau faktor fisik lain dapat menurunkan stamina ibu 6 yang akhirnya dapat meningkatkan kerentanan ibu terhadap perubahan hormonal pada dirinya (Lowdermilk & Perry, 2004) Belum ada tes definitif yang dapat menentukan seorang ibu menderita depresi pasca persalinan. Hal inilah yang menyebabkan sebagian besar penderita depresi pasca persalinan tidak terdiagnosa dan tidak mendapatkan penanganan secara dini. Screening dapat dilakukan dengan mengumpulkan catatan medis klien dan keluarga secara komprehensif terutama dengan mengobservasi tanda-tanda yang muncul. Tenaga kesehatan harus menjadi pendengar aktif dan melibatkan empati dalam interaksi dengan ibu bersalin agar dapat menemukan tanda dini depresi pasca persalinan. (Sri Karyati , Islami : 2013). Banyak faktor yang diduga berperan pada sindroma ini antara lain adalah: kesiapan melahirkan bayi dan menjadi ibu (Tim Psikologi Universitas Indonesia,2008). Faktor hormonal berupa perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah, faktor umur dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan (Keluarga bahagia, 2008). Dukungan sosial lingkungannya diantaranya dukungan keluarga dan suam(Sylvia.2006). Dukungan suami merupakan faktor terbesar untuk memicu terjadinya postpartum blues. Hal ini dikarenakan dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress( Ingela,1999). Penelitian yang mendukung hal ini adalah penelitian di Universitas Tarumanegara mengenai persepsi perempuan primipara tentang dukungan 7 suami dalam usaha menanggulangi gejala pasca persalinan. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, dimana dilaporkan bahwa dukungan suami dapat menurunkan terjadinya gejala postpartum blues (keluarga bahagia, 2008). Dari penelitian diatas diperoleh kesan bahwa rendahnya dukungan suami akan meningkatkan kejadian postpartum blues pada seorang Ibu. Berdasarkan dari dampak dan ketidakmampuan ibu dalam melakukan perannya dalam mengatasi postpartum blues serta adanya faktor yang mempengaruhi baik dari faktor internal dan eksternal, maka perlu dilakukan upaya penanganan serius terhadap ibu postpartum guna mengantisipasi kejadian dari depresi postpartum. Salah satu upaya tersebut tersebut adalah dengan teknik GIM (Guided Imagery and Music). Cara sederhana dan efektif untuk mengelola stres dan kecemasan. Cara sederhana dan efektif untuk mengelola stres dan kecemasan adalah melalui teknik relaksasi (Kozier ddan Berman : 2010). Teknik relaksasi merupakan salah satu intervensi non-farmakologi yang telah terbukti efektif mengurangi kecemasan dan telah sering digunakan dalam bidang kesehatan, penggunaan intervensi non-farmakologi. Intervensi non-farmakologis sering digunakan dalam bidang kesehatan, penggunaan intervensi non-farmakologi. Intervensi non-farmakologis sering disebut dengan intervensi tubuh dan pikiran seperti meditasi, yoga, doa, hipnoterapi, imagery, auto sugesti, latihan autogenik, tai-chi, dan biofeedback (Weigensberg MJ et al: 2009). 8 Menurut Ellis (dalam Corey, 1995) karena manusia sendiri yang menciptakan pikiran sertap perasaan yang terganggu maka manusia juga memiliki kekuatan untuk mengontrol masa depan emosinya. Dengan demikian penggantian bayang-bayang (khayalan) negatif memungkinkan pikiran dalam keadaan positif, tubuh rileks, dan keadaan emosi yang tenang. Salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah bayang-bayang negatif pada pikiran ialah guided imagery. Imagery sendiri merupakan kemampuan manusia untuk mengolah dunia internal dan eksternal tanpa guided imagery menggunakan bahasa Imagery sering pula dipertukarkan dengan istilah visualisasi. (Greenberg :2002) menggunakan istilah imagery dan visualisasi dan visualisasi secara bergantian. (Gawain: 2000) menggunakan istilah visualisasi kreatif untuk menyebut teknik imagery yang digabungkan dengan teknik afirmasi dan meditasi. Setiap orang pada dasarnya sering memparktekkan imagery. Jika imajinasi yang dilakukan individu sepertinya bekerja secara tidak disadari, maka berusaha mengarahkan imajinasi secara sengaja untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (Carter : 2006) menerapkan guided imagery untuk mengurangi tingkat stres, penyebab dan gejala-gejala yang menyertai stres. (Van Tilburg, dkk :2009) menerapkan Guided Imagery dalam menangani gangguan sakit perut pada anak-anak. (Mei : 2006) menggunakan guided imagery and music untuk menggali pengalaman pasien depresi. Kombinasi metode altered state of consciousness, afirmasi dan 9 visualisasi digunakan untuk mengatasi Obesitas (Midasari & Prabowo : 2007). Imajinasi terbimbing merupakan suatu bentuk pengalihan fasilitator yang mendorong pasien memvisualisasikan atau memikirkan sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian tertentu misalnya nyeri persalinan atau gambaran proses persalinan yang menjadi sumber kecemasan. (Marmi :2011). Teknik imajinasi terbimbing atau guided imagery terbukti lebh efektif meningkatkan relaksasi jika diberikan bersama-sama dengan teknik relaksasi lainnya seperti relaksasi nafas dan relaksasi otot (Urech : 2010 dan Donner : 2013)). Menambahkan efek musik dalam kegiatan latihan relaksasi merupakan strategi untuk memfokuskan latihan relaksasi disamping musik juga dapat menciptakan kondisi relaksasi (Djohan: 2009). Guided Imagery atau imajinasi terbimbing merupakan salah satu teknik relaksasi dengan imajinasi yang memberikan manfaat relaksasi. Para ahli dalam bidang teknik imajinasi terbimbing berpendapat bahwa imajinasi merupakan terapi pendukung yang efektif. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi, dan asma (holistik nline : 2006). Teknik Relaksasi guided dan imagery termasuk teknik non-farmakologi dalam penanganan stres, dengan imajinasi terbimbing maka akan membentuk bayangan yang diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra maka dengan membayangkan sesuatu yang indah/ menyenangkan perasaan akan merasa 10
Description: