ebook img

bab i berbagai aliran linguistik PDF

31 Pages·2017·0.86 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview bab i berbagai aliran linguistik

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN BAHASA INDONESIA BAB I BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK Drs Azhar Umar, M.Pd KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB I BERBAGAI ALIRAN LINGUISTIK A. Tujuan Setelah mempelajari sumber belajar ini, guru diharapkan dapat memahami dan mengembangkan materi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan aliran-aliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional. B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi Kompetensi Guru Mata Indikator Pencapaian Kompetensi Pelajaran Memahami konsep, teori, dan 1. Mengidentifikasi teori linguistik materi berbagai aliran struktural yang terkait dengan linguistik yang terkait dengan pembelajaran materi fonologi bahasa pengembangan materi Indonesia dengan tepat. pembelajaran bahasa. 2. Mengidentifikasi teori linguistik strutural yang terkait dengan pengembangan materi kelas-kata bahasa Indonesia dengan tepat. 3. Mengidentifikasi teori linguistik deskriptif yang terkait dengan pengembangan materi kelas kata bahasa Indonesia dengan tepat 4. Mengidentifikasi teori linguistik fungsional yang terkait dengan materi pembelajaran sintaksis bahasa Indonesia dengan tepat. 5. Mengidentifikasi teori linguistik struktural yang terkait dengan materi 1 pembelajaran morfologi bahasa Indonesia dengan tepat. 6. Mengidentifikasi teori linguistik struktural yang terkait dengan materi pembelajaran sintaksis bahasa Indonesia dengan tepat. 7.Mengidentifikasi teori linguistik fungsional yang terkait dengan materi pembelajaran morfologi bahasa Indonesia dengan tepat. 8. Mengidentifikasi teori linguistic deskriptif yang terkait dengan materi pembelajaran morfologi bahasa Indonesia dengan tepat. 9. Mengidentifikasi materi pembelajaran morfologi bahasa Indonesia berdasarkan aliran deskriptif dengan tepat. 10. Mengidentifikasi materi pembelajaran fonologi bahasa Indonesia berdasarkan aliran deskriptif dengan tepat. 11. Mengidentifikasi materi pembelajaran kelas kata bahasa Indonesia berdasarkan aliran fungsional dengan tepat. C. Uraian Materi 1. Aliran Linguistik Struktural 2 1.1 Konsep dan Objek Telaah Linguistik struktural adalah pendekatan dalam penyelidikan bahasa yang menganggap bahasa sebagai sistem yang bebas (Kridalaksana, 2008: 146). Aliran linguistik struktural lahir di Perancis pada awal abad XX bersamaan dengan diluncurkannya buku ”Course de linguistique Generale” karya Ferdinand de Saussure pada tahun 1916. Saussure memandang bahasa sebagai suatu struktur sehingga pendiriannya dipandang sebagai linguistik struktural atau structural linguistics. Melalui bukunya itu, Saussure memaparkan pandangan-pandangannya mengenai: (1) telaah sinkronik dan diakronik bahasa, (2) pembedaan langue dan parole, (3) pembedaan signifiant dan signifie, serta (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik (Endang, 2016: 4). Telaah sinkronik bahasa tidak lain adalah telaah bahasa dalam kurun waktu tertentu. Kata sinkronik sendiri berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ dan khronos yang berarti ‘waktu’. Di dalam telaah sinkronik, setiap bahasa dianalisis tanpa memperhatikan perkembangnnya pada masa lampau. Bahasa Indonesia, misalnya, dapat dianalisis tanpa mempedulikan perkembangannya dari bahasa Melayu Klasik. Yang tampak dalam analisis sinkronik adalah apa yang lazim disebut struktur, misalnya hubungan antara imbuhan dan kata dasar, hubungan antar-bunyi, hubungan antar-bagian kalimat, dan sebagainya. Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang waktu atau penyelidikan tentang perkembangan suatu bahasa. Kata ‘diakronik’ berasal dari bahasa Yunani dia yang bermakna ‘melalui’ dan khronos yang bermakna ‘waktu’. Secara sederhana, kata diakronik dapat diartikan sebagai studi antarwaktu. Apabila telaah diakronik dilakukan terhadap bahasa Indonesia, maka akan tampak bahwa bahasa Indonesia sekarang berbeda dari bahasa Melayu Klasik atau Melayu Kuno yang merupakan cikal bakalnya. Bahasa Melayu Kuno memiliki awalan mar- yang kemudian berubah menjadi me- dan ber- di dalam bahasa Indonesia sekarang. 3 Untuk membandingkan telaah sinkronik dan diakronik terhadap bahasa, Saussure memberikan ilustrasi berikut. Kalau kita membelah batang tumbuh- tumbuhan secara vertikal, dari atas ke bawah, maka akan tampak struktur tertentu berupa garis-garis tegak lurus yang memanjang. Kalau batang yang sama kita potong secara horizontal, maka akan tampak juga suatu struktur berupa garis-garis melingkar. Itu berlainan sekali dari struktur hasil belahan vertikal di atas. Penampang lintang hasil memotong batang secara horizontal dapat kita bandingkan dengan struktur sinkronik satu bahasa, sedangkan penampang bujur hasil membelah batang secara vertikal dapat kita sejajarkan dengan struktur diakronik bahasa (lihat Verhaar, 1981: 6-7). Langue adalah keseluruhan sistem tanda yang bersifat abstrak yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antar-anggota suatu masyarakat bahasa. Disebut sistem tanda yang abstrak karena langue tersimpan di dalam benak atau sistem berpikir setiap individu yang menjadi basis produksi bahasa setiap individu, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Langue juga menjadi acuan penggunaan bahasa yang benar dan salah bagi setiap individu dalam satu masyarakat bahasa. Dapat pula dikatakan bahwa langue menjadi fenomena dan milik masyarakat, bukan fenomena individual. Karena berbasis masyarakat bahasa, dengan demikian, langue sekaligus mengacu kepada bahasa tertentu, seperti bahasa Indonesia, bahasa Aceh, bahasa Sunda, dan lain-lain. Langue bersifat sosial karena kehadirannya merupakan konvensi atau kesepakatan di antara sekelompok pemakai bahasa. Karena bersifat sosial, individu pemakai bahasa tidak dapat mengubah atau memengaruhi perkembangn langue sesuka hati. Parole adalah bahasa sebagaimana ia digunakan oleh individu penuturnya, dalam bentuk lisan maupoun tertulis. Parole merupakan realitas fisik bahasa (lebih kurang merupakan realisasi langue) yang berbeda wujudnya pada satu individu dengan individu lain dalam masyarakat bahasa yang sama. Parole berwujud lebih konkret dan berciri individual. Sebagaimana dikemukakan Oka dan Suparno (1994: 60), parole terjadi dari pilihan perorangan yang jumlahnya 4 tidak terbatas; banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru. Jika kajian ilmiah diarahkan kepada parole, pemerian terhadapnya akan menjadi dan bersifat takterbatas. Signifiant adalah citra dari bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam alam pikiran , sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Dengan kata lain, signifiant adalah pelambang, sedangkan signifie adalah sesuatu atau hal yang dilambangkan. Tidak terdapat hubungan yang logis atau rasional antara signifiant dengan signifie. Tidak dapat dijelaskan secara rasional mengapa himpunan bunyi /k/, /u/, /d/, /a/ sebagai pelambang (signifiant) memiliki acuan seekor binatang yang relatif besar dan berkaki empat sebagai signifienya. Hubungan keduanya bersifat arbitrer atau mana suka. Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, dan bersifat linear. Dengan demikian, hubungan sintagmatik merupakan relasi antar-unsur bahasa yang hadir di dalam satu tuturan. Di dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi diucapkan. Di dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu juga dituliskan. Karena semua unsur yang berelasi atau berhubungan itu hadir, maka disebutlah hubungannya dengan hubungan sintagmatik. Sintagma adalah satuan yang terdapat dalam tuturan yang terbentuk dari dua unsur atau lebih secara horizontal. Apabila sebuah tuturan dapat disimbolkan dengan XY, maka tuturan tersebut mengandung sintagma yang terdiri atas X dan Y. Di dalam bahasa Indonesia, pada tataran fonologi, misalnya, terdapat bunyi- bunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Hubungan sintagmatik antara bunyi-bunyi tersebut dapat melahirkan macam-macam bentuk, seperti batu, buta, atau buat. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Unsur-unsur yang tidak hadir itu merupakan unsur yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, memiliki hubungan- hubungan asosiatif. Pilihlah kata kekerabatan saudara sebagai contoh. Ketika 5 digunakan, kata ini memiliki asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, paman, dan sebagainya (Oka dan Suparno, 1994: 77). Padahal, kata-kata yang disebutkan terakhir ini, misalnya, tidak hadir di dalam kata saudara pada tuturan atau tulisan berikut: Saudara harus mematuhi semua aturan yang berlaku di kantor ini. Aliran linguistik struktural sangat berkembang di Amerika pada 1930-an yang kemudian melahirkan Tata Bahasa Struktural Amerika (TSA). TSA dipelopori oleh Charles F. Hockett, Edward Sapir, dan Leonard Bloomfield. Di antara tokoh- tokoh ini, Bloomfield-lah yang paling berpengaruh dan menentukan arah TSA. Bloomfield sudah mencetuskan pikiran-pikirannya mengenai TSA melalui bukunya An Introduction to Linguistic Science. Ia pun pernah menuangkan pikiran-pikirannya melalui majalah Langue tentang ilmu bahasa umum dan bahasa-bahasa tertentu yang sangat berpengaruh pada zamannya. Namun demikian, puncak ide Bloomfield yang sesungguhnya tertuang di dalam bukunya Language yang terbit pada tahun 1933. TSA yang dipelopori Bloomfield beranjak dari psikologi behaviorisme dan logika positivisme yang tumbuh dominan di Amerika sejak 1920. Menurut penganut behaviorisme, tingkah laku manusia bisa diterangkan berdasarkan situasi-situasi eksternal – bebas dari faktor-faktor internal. Pengaruh behaviorisme tampak sekali ketika Bloomfield memberikan uraian tentang pemakaian bahasa yang dipandangnya sebagai bentuk tingkah laku inter-relatif antara stimulus-respons. Sementara itu, menurut logika positivisme, sebuah teori hanya dapat dianggap benar atau salah semata-mata setelah diujikan pada data kajian secara konkret. Dengan kata lain, sebuah teori hanya dapat dibenarkan setelah ia teruji secara empirik. Itulah sebabnya, dalam kajian bahasa, Bloomfield sangat memerhatikan ujaran atau korpus bahasa karena hal itulah yang empirik, paling objektif, dan mudah diamati secara langsung. Bagi Bloomfield, yang tidak dapat dijelaskan secara objektif harus ditangguhkan pengkajiannya. Pandangan inilah 6 yang mendasari mengapa pengkajian TSA lebih banyak dilakukan terhadap fonologi, sedikit terhadap morfologi, dan amat sedikit mengenai sintaksis. TSA tidak memberi perhatian sama sekali terhadap semantik (Alwasilah,1985:47). Bagi penganut TSA, semantik merupakan studi yang paling tidak objektif dan tidak mudah diamati secara langsung. TSA berpendirian, penelitian bahasa harus mampu menggambarkan bahasa sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya (Oka dan Suparno, 1994:297). Pikiran ini sejalan dengan logika positivisme yang dianut TSA yang sangat mengutamakan keterujian empirik sebuah kajian. Yang dimasudkan dengan bahasa sebagaimana adanya tidak lain adalah bahasa sebagaiman ia dipakai secara objektif-empirik oleh pemakai bahasa. Karena itulah, Bloomfield pernah mengatakan bahwa bukti-bukti material dalam ujaran langsung sangatlah penting. Itu pula sebabnya, Bloomfiled selalu mengumpulkan data kebahasaan dari informan. Dalam pengumpulan data kebahasaan itu, menurut Bloomfield (dalam Wasilah, 1985:79), keilmuan linguistik bergerak mengikuti tahapan-tahapan berikut: (1) observasi (2) laporan observasi (3) pernyataan hipotesis (4) penghitungan (5) prediksi, dan (6) uji coba prediksi melalui observasi lanjut Dari tahapan pengumpulan data bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa TSA memusatkan perhatiannya pada pendeskripsian dan pengklasifikasian data performansi (performance) atau parole bahasa. Performance adalah tampilan bahasa dalam wujudnya yang ril, atau bahasa sebagaimana ia digunakan untuk berkomunikasi (Simanjuntak, 1987:113). Ini sejalan dengan ide dasar TSA yang menegaskan bahwa totalitas ujaran yang mungkin dihasilkan oleh satu 7 masyarakat ujaran merupakan bahasa masyarakat ujaran itu (Bloomfield, 1939:13). Dalam pendeskripsian data performansi bahasa itu, TSA melakukan analisis formal (analisis bentuk bahasa) dengan struktur bahasa sebagai sasaran kajiannya. Pengkajian struktur bahasa ini dilakukan melalui penggunaan prinsip analisis unsur bawahan langsung (immediate constituent), yakni unsur yang secara langsung merupakan bagian dari suatu bentuk yang lebih besar. Dalam penerapan unsur bawahan langsung ini digunakan teknik segmentasi. Satu unsur bahasa disegmentasikan secara bertahap atau hirarkis sehingga diperoleh satuan- satuan pembentuknya. Lebih jelas mengenai analisis unsur bawahan langsung dapat dilihat dari analisis kalimat berikut ini. Anisah sudah belajar mengaji. Kalimat di atas terdiri atas dua unsur langsung, yakni Anisah dan sudah belajar mengaji. Satuan sudah belajar mengaji terdiri atas dua unsur langsung yang lebih kecil, yakni sudah dan belajar mengaji. Satuan belajar mengaji terdiri atas dua unsur bawahan langsung juga, yakni belajar dan mengaji. 1.2 Tata Bahasa Struktural Tata bahasa struktural mengkaji dua aspek penting struktur bahasa, masing-masing morfologi dan sintaksis (Ramlan, dalam Rusyana dan Samsuri (ed.), 1983: 33). Kedua struktur bahasa tersebut akan dibicarakan lebih lanjut pada bahagian berikut. 8 1.2.1 Morfologi Morfologi adalah cabang tata bahasa yang membicarakan seluk-beluk pembentukan kata. Berdasarkan bentuknya, menurut tata bahasa struktural, kata dapat dibedakan atas dua golongan, masing-masing kata asal dan kata kompleks. Kata asal adalah kata yang belum mengalami proses morfologis (afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan), seperti datang, lari, duduk. Kata kompleks adalah kata yang telah mengalami proses morfologis. Karena telah mengalami proses morfologis, kata kompleks dapat dikelompokkan atas tiga golongan, masing- masing (1) kata berimbuhan, (2) kata ulang, dan (3) kata majemuk. Kata berimbuhan adalah kata yang dibentuk melalui proses afiksasi. Afiksasi dapat berupa prefiksasi atau pemberian awalan, seperti kata ‘dibuang’ (di + buang), infiksasi atau pemberian sisipan, seperti kata ‘gelembung’ (gembung + el), dan sufiksasi atau pemberian akhiran, seperti kata ‘makanan’ (makan + an), dan konfiksasi atau gabungan imbuhan, kata ‘pertalian’ (per + tali + an). Kata ulang adalah kata yang dibentuk melalui proses reduplikasi atau perulangan. Reduplikasi dapat berupa reduplikasi seluruh, seperti tampak pada kata minum-minum; reduplikasi sebagian, seperti kata tetangga (dari bentuk asal tangga-tangga); reduplikasi yang berkombinasi dengan afiks, seperti terlihat pada kata kemerah-merahan (dari bentuk asal merah-merah + ke-an), dan reduplikasi dengan variasi fonem, seperti pada kata bolak-balik. Kata majemuk atau komposisi adalah kata yang dibentuk melalui proses pemajemukan atau penggabungan dua kata yang membentuk makna baru, seperti jaksa agung, rumah makan, rumah sakit, daya tahan, kambing hitam, dan sebagainya. Konstruksi ini harus dibedakan dari frasa yang kebetulan merupakan gabungan beberapa kata juga. Perbedaan keduanya terdapat pada keketatan hubungan antar-kata yang membangunnya. Hubungan antar-kata di dalam frasa lebih longgar daripada komposisi atau kata majemuk sehingga dapat disisipkan kata-kata lain di antaranya. Misalnya, frasa ‘rumah putih’ masih mungkin disisipkan kata ‘yang’ di antaranya sehingga menjadi ‘rumah yang putih’ Tidak 9

Description:
berdasarkan aliran-aliran linguistik struktural, deskriptif, dan fungsional. B. Kompetensi diakronik bahasa (lihat Verhaar, 1981: 6-7). Langue adalah
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.