ebook img

Andi Suwirta PDF

38 Pages·2010·0.31 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Andi Suwirta

Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 PERS, REVOLUSI, DAN DEMOKRATISASI: KEHIDUPAN DAN PANDANGAN LIMA SURAT KABAR DI JAWA PADA MASA REVOLUSI INDONESIA, 1945-47 Oleh: Andi Suwirta *) ABSTRAKSI: Pengantar Para peneliti dan pengkaji pers acapkali mengabaikan periode penting dalam sejarah kehidupan pers pada masa revolusi Indonesia. Dalam mengkaji perjuangan pers yang ideal dan kebebasan pers yang besar, misalnya, pembahasan lebih difokuskan pada kehidupan pers di zaman pergerakan nasional (1900-45) dan di zaman pasca revolusi kemerdekaan *)Drs. Andi Suwirta, M.Hum. adalah Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 9 Oktober 1962. Menyelesaikan pendidikan sarjana (Drs.) di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Bandung tahun 1989; dan pendidikan S-2 (M.Hum.) di Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI Jakarta tahun 1996 dengan menulis tesis Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), 1945-1947 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 2000). Banyak menulis buku, di antaranya adalah Tasawuf dan Proses Islamisasi di Indonesia (Bandung: Historia Utama Press, 2002). Untuk kepentingan akademis, Drs. Andi Suwirta, M.Hum. dapat dihubungi dengan alamat rumah: Komp. Vijaya Kusuma B11/15 Cipadung, Cibiru, Bandung, Jawa Barat. Tlp.(022) 7837741. 1 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 (1950 - sekarang).1 Sedangkan kehidupan dan kebebasan pers pada masa revolusi Indonesia, betapapun sudah ada beberapa studi yang sangat singkat, nampaknya kurang mendapat perhatian yang serius.2 Padahal kalau saja mau mengkaji kehidupan pers, khususnya surat kabar, pada masa revolusi itu paling tidak akan ditemukan dua hal menarik. Pertama, pers pada masa revolusi Indonesia mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan visi politiknya secara sangat bebas, dimana kebebasan itu sendiri merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan semangat kemerdekaan. Kedua, pers mampu memainkan peranannya, meminjam kata-kata Ulrich Kratz, sebagai media koordinatif antara hasrat rakyat Indonesia yang ingin lepas dan merdeka di satu sisi, dengan 1Tentang kehidupan pers pada zaman pra kemerdekaan lihat, misalnya, studi yang dilakukan oleh Evert-Jan Hoogerwerf, Persgeschiedenis van Indonesie tot 1942, Geannoteerde Bibliografie (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1990); Ahmat bin Adam, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913) (Ithaca, New York: Cornell University, 1995); dan Dewi Yuliati, “Pers Bumiputera dalam Era Kolonial Belanda, Sinar Djawa-Sinar Hindia: Cermin Pergerakan Sarekat Islam Semarang 1914-1924, Tesis Magister (Jakarta: Program Studi Ilmu Sejarah Pascasarjana UI, 1993). Sedangkan tentang kehidupan pers pada zaman pasca kemerdekaan lihat Edward C. Smith, Pembreidelan Pers di Indonesia 1949-1965, Terjemahan (Jakarta: Grafiti Pers, cet.kedua, 1986); Oey Hong Lie, Indonesian Government and Press during Guided Democracy (England: The University of Hull, 1971); Ahmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia, 1966-1974 (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 1995); Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1996); dan David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). 2Lihat, misalnya, tulisan Susanto Zuhdi, “Perjanjian Linggarjati Dilihat oleh Beberapa Surat Kabar Lokal di Jawa” dalam A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (ed.), Menelusuri Jalur Linggarjati (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 135-50; Hilman Adil, “Pers di Kalimantan Selatan Sesudah Tahun 1945” dalam Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Jakarta: Leknas LIPI dan Deppen RI, 1980), hlm. 125-40; dan Suwirta, “Bertempoer atau Beroending: Tanggapan Pers di Jawa pada Masa Awal Revolusi Indonesia” dalam Zulfikar Ghazali (ed.), Sejarah Lokal, Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Proyek IDSN, Depdikbud, 1995), hlm. 62-87. 2 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 visi dari elite politik Indonesia tentang wujud kemerdekaan yang dicita-citakan di sisi lain.3 Tulisan ini akan mengkaji tentang kehidupan pers, khususnya surat kabar, yang terbit di Jawa pada masa revolusi Indonesia. Pembahasan akan difokuskan pada lima surat kabar yang terbit di kota-kota penting di Jawa, yaitu Merdeka di Jakarta, Soeara Merdeka di Bandung, Warta Indonesia di Semarang, Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta, dan Soeara Rakjat di Surabaya. Pemilihan pada lima surat kabar itu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, pada zamannya surat kabar itu merupakan pers yang berpengaruh bila dilihat dari jumlah oplah dan daerah penyebarannya yang relatif luas bila dibandingkan dengan pers lain yang terbit pada masa revolusi Indonesia.4 Dengan begitu maka apa yang disajikan oleh lima surat kabar itu, baik dalam bentuk berita (news) maupun pandangan-pandangan (views), dianggap penting oleh pemerintah dan masyarakat pembacanya. Kedua, kelima surat kabar itu relatif independen dalam artian tidak memiliki hubungan secara formal dengan organisasi sosial dan politik tertentu. Dengan demikian, dalam derajat tertentu, pandangan- pandangannya pun relatif independen dengan lebih mementingkan kepentingan masyarakat banyak dari pada kepentingan partai politik tertentu. 3Ulrich Kratz, “Peranan Pers dalam Revolusi” dalam Collin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi, Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia, 1986), hlm. 49-51. 4Sebenarnya sulit menentukan jumlah oplah dan daerah penyebaran pers pada masa revolusi Indonesia itu. Namun berdasarkan catatan dan pengakuan dari pihak redaktur pers sendiri, jumlah oplah surat kabar pada masa itu berkisar antara 5.000 - 10.000 eksemplar. Surat kabar Merdeka di Jakarta, misalnya, mengklaim telah mencapai oplah 10.000 eksemplar, suatu jumlah yang sangat besar pada masa revolusi Indonesia, dengan daerah penyebaran tidak hanya menjangkau kota-kota penting di Jawa, tetapi juga sampai ke kota-kota lainnya di luar Jawa. Selanjutnya lihat B.M. Diah, “Soerat Terborka oentoek Wartawan Indonesia”, Merdeka (Jakarta: 11 Nopember 1946), hlm. 2; dan Merdeka (Jakarta: 13 Juni 1947), hlm. 4. 3 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 Adapun kurun waktu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah dari tahun 1945, tepatnya bulan September dan Oktober 1945, sampai dengan bulan Juni dan Juli 1947. Sebagaimana diketahui bahwa kelahiran pers Indonesia yang berjiwa “republikein”, dalam arti pers yang membela dan memperjuangkan tegaknya negara RI yang baru merdeka itu, adalah pada akhir bulan September dan awal bulan Oktober 1945. Hampir di setiap kota penting dan hampir semua organisasi sosial-politik di Indonesia menerbitkan surat kabar sebagai salah satu media pemberi informasi, pembentuk opini publik, dan pembela kepentingan-kepentingan politiknya. Pertumbuhannya demikian subur sehingga sering digambarkan oleh kalangan pers sendiri seperti cendawan yang tumbuh di musim hujan.5 Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama ketika persediaan kertas, tinta, dan bahan baku percetakan lainnya mulai menipis akibat blokade tentara Belanda pada awal tahun 1947, maka pers Indonesia yang berjiwa “republikein” itu mulai surut pertumbuhannya. Lebih-lebih setelah pihak Belanda melakukan Aksi Militer I pada bulan Juli 1947, tidak sedikit pers Indonesia yang sering diejek oleh Belanda sebagai “pers kiblik” dengan konotasi jelek itu, mulai gulung tikar karena dibredel atau ditutup penerbitannya. Apa yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah pertama- tama menguraikan tentang kelahiran dan pertumbuhan pers di Jawa pada masa awal revolusi Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka, pemerintah RI sangat membutuhkan dukungan dan peranan pers untuk memberikan informasi yang benar dan positif kepada masyarakat di satu sisi, dan untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Indonesia adalah negara demokratis di sisi lain. Dalam hal ini pembahasan akan 5 Lihat “Pengoemoeman Pemerintah Repoeblik Indonesia tentang Persoeratkabaran”, Merdeka (Jakarta: 12 Oktober 1945), hlm. 2. 4 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 difokuskan pada kelahiran dan peranan yang dimainkan oleh kelima pers yang terbit di Jawa itu. Sementara itu visi dan jati diri pers yang acapkali identik dengan pandangan dan kepentingan pemimpin redaksinya, juga akan dikaji dengan cara melihat profil para redaktur pers pada masa revolusi Indonesia. Pembahasan akan difokuskan pada latar belakang sosial, usia, pendidikan, dan orientasi pemikiran ideologinya, sehingga diperoleh gambaran tentang visi dan jati diri pers yang dikelolanya itu. Isyu-isyu politik dan sosial yang aktual pada zamannya, yang acapkali disorot oleh pers melalui sajian berita dan opini, juga akan dikaji secara selintas untuk memberikan gambaran tentang sikap, pandangan, dan pendirian kelima surat kabar di Jawa yang terbit pada masa revolusi Indonesia. Surat Kabar Merdeka di Jakarta Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945. Kelahiran surat kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M. Diah dan kawan-kawannya, yang pada akhir bulan September 1945 mengambil alih kantor surat kabar Asia Raya dan menduduki gedung percetakan De Unie di Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta), tempat surat kabar milik Jepang itu diterbitkan.6 Terbit setiap hari dengan dua lembar atau bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat atau dua halaman, Merdeka menyatakan dirinya sebagai pers yang berjiwa republiken. Dalam edisi perdananya, sebagaimana nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”, Merdeka menyatakan akan mendukung pemerintah RI di satu sisi, dan membangkitkan semangat 6 JR. Chaniago et.al., Ditugaskan Sejarah, Perjuangan Merdeka 1945-1985 (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987), hlm. 12. 5 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.7 Sikapnya itu semakin dipertegas dengan menetapkan motto yang populer bagi Merdeka, yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik Indonesia”. Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini akan membeo saja kepada kemauan dan kepentingan politik pemerintah. Sebagaimana akan diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata memiliki kebebasan yang besar dalam mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Hal itu nampaknya sejalan dengan motto lain yang ditetapkan oleh surat kabar ini, yaitu: “Merdeka berfikir, merdeka berbitjara, dan merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”. Pada awal penerbitannya Merdeka tidak mencantumkan susunan nama-nama redakturnya. Baru pada akhir tahun 1945, surat kabar ini menuliskan nama B.M. Diah sebagai Pemimpin Umum dan R.M. Winarno sebagai Pemimpin Redaksi.8 Oplah surat kabar Merdeka termasuk paling besar pada zamannya, yaitu 10.000 eksemplar, dengan daerah penyebaran yang luas, tidak hanya menjangkau kota-kota penting di Jawa tetapi juga di luar Jawa.9 Dengan oplah dan daerah penyebaran yang 7 Lihat Merdeka (Jakarta: 1 Oktober 1945), hlm. 1. 8 Lihat Merdeka (Jakarta: 20 Desember 1945), hlm. 2. Menurut JR. Chaniago et.al., Op.Cit., hlm. 11, susunan dewan redaksi surat kabar Merdeka itu adalah: B.M. Diah (Pemimpin Umum), R.M. Winarno (Pemimpin Redaksi), Rosihan Anwar (Redaktur Umum), M. Supardi dan Ramlan (Redaktur Dalam Negeri), Dal Bassa Pulungan, M.T. Hutagalung, D.M. Yahya, M. Salim Machmud, dan M. Husin (Staf Redaksi), H.B. Angin, A.Y. Mendur, dan S. Mendur (Bagian Foto), dan Abdul Salam (Karikatur). 9 Mengenai oplah surat kabar ini, lihat B.M. Diah, “Soerat Terborka oentoek Wartawan Indonesia”, Merdeka (Jakarta: 11 Nopember 1946), hlm. 3. Sedangkan mengenai daerah penyebarannya, selain memiliki agen di beberapa kota penting di Jawa seperti: Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Cikampek, Karawang, Indramayu, Cirebon, dan Tasikmalaya (Jawa Barat); Tegal, Purwokerto, Kudus, Magelang, dan Solo (Jawa Tengah); Blitar dan Malang (Jawa Timur); juga tercatat nama-nama kota di luar Jawa seperti: Palembang dan Tanjung Pandan (Sumatera); Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan); dan Makasar/Ujung Pandang (Sulawesi). Selanjutnya lihat Merdeka (Jakarta: 13 Juni 1947), hlm. 4. 6 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 luas itu, Merdeka termasuk pers yang berpengaruh bila dibandingkan dengan pers sezaman yang terbit di Jakarta seperti: Berita Indonesia, Ra’jat, dan Siasat misalnya. Berita-berita dan pandangan-pandangan Merdeka acapkali dirujuk oleh surat kabar lain, termasuk juga surat kabar yang sangat pro Belanda. Karena berita (news) dan pandangan-pandangan (views) Merdeka yang sangat pro Republik -- sementara ia tetap berada di daerah pendudukan tentara Sekutu, yaitu Inggris dan Belanda -- surat kabar itu pernah ditutup penerbitannya oleh tentara Belanda pada tanggal 20 Juli 1947, ketika terjadi peristiwa Agresi Militer I Belanda itu. Visi dan jati diri Merdeka acapkali diidentikkan dengan sosok pribadi B.M. Diah, Pemimpin Umum surat kabar itu. Boerhanoeddin Mochamad Diah (biasa disingkat B.M. Diah), dilahirkan di Aceh, Sumatera, pada tanggal 7 April 1916.10 Pada masa awal revolusi, dengan demikian, usia B.M. Diah mencapai 29 tahun. Dalam usia yang relatif muda itu, B.M. Diah sudah memimpin surat kabar Merdeka di Jakarta. Dengan bekal pendidikan yang pernah dilaluinya -- mulai dari HIS, MULO, AMS (pendidikan dasar dan menengah pada zaman Belanda) dan Sekolah Jurnalistik Ksatrian Institut di Bandung - - B.M. Diah tumbuh menjadi seorang jurnalis yang nasionalis. Visi dan pribadi B.M. Diah sebagai jurnalis yang nasionalis itu juga ditempa oleh pengalaman hidupnya, ketika ia mulai bekerja sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Deli di Medan pada tahun 1937-38. Keluar dari Sinar Deli (Medan) ia besama- sama dengan Djojopranoto, seorang Digulis yang berideologi kiri (Murba), menerbitkan Warta Harian di Jakarta (1939-41). 10 Mengenai biodata B.M. Diah lihat Dasman Djamaluddin, Butir-butir Padi B.M. Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman) (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), hlm. 1-238; Gunseikanbu, Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986), hlm. 282; dan Soebagijo I.N., Jagat Wartawan Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm. 470-76. 7 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 Pada zaman Jepang B.M. Diah, sebagaimana para pemimpin nasionalis dan tokoh pers lainnya, bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang itu dan ditempatkan sebagai komentator bagian bahasa Inggris dan penyiaran bahasa Indonesia pada “Hoso Kyoku” (radio militer Jepang). B.M. Diah kemudian bekerja sebagai Staf Redaksi bagian Luar Negeri pada Asia Raya, surat kabar milik Jepang, di Jakarta (1942-45). Memasuki zaman revolusi Indonesia, B.M. Diah, bersama dengan teman-teman muda lainnya, mengambil alih dan merubah surat kabar Asia Raya menjadi Merdeka. Pandangan- pandangan B.M. Diah dalam surat kabar Merdeka, selain nampak dalam kolom tajuk rencana yang sering ditulisnya, juga muncul dalam catatan pojok dengan nama samaran yang populer, yaitu “Dr. Clenik”. Sebagai pemimpin pers yang terbit di daerah pendudukan tentara Sekutu (Inggris dan Belanda), B.M. Diah sangat mendukung politik diplomasi yang dijalankan pemerintah Sjahrir pada masa awal revolusi Indonesia. Dalam pandangan B.M. Diah, politik diplomasi yang ditujukan kepada dunia internasional agar mau mengakui kemerdekaan dan kedaulatan negara RI itu “[...] soenggoeh soeatoe pedoman jang sangat diperloekan oleh rakjat dalam menghadapi dan mengalami zaman pantjaroba ini”.11 Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika politik diplomasi itu menghasilkan Perundingan Linggarjati (Nopember 1946-Maret 1947) yang isinya dianggap merugikan eksistensi negara RI, B.M. Diah menentangnya dengan sikap, pandangan, dan pendirian yang sangat keras. Tajuk-tajuk dan catatan-catatan pojok surat kabar Merdeka di Jakarta dari bulan Nopember 1946 sampai dengan bulan Juli 1947 berisi pandangan yang sangat kritis, oposisional, dan menyerang kebijaksanaan politik 11 Lihat “Pedoman Menoedjoe Kemenangan”, tajuk Merdeka (Jakarta: 16 Desember 1945), hlm. 1. 8 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 pemerintah.12 Dalam hal ini tidak terkecuali, tentu saja, kepada pihak-pihak yang mau berkolaborasi dengan pihak Belanda, seperti nampak dalam kasus didirikannya Negara Indonesia Timur di Makasar (sekarang Ujung Pandang), Sulawesi Selatan, dan Negara Pasundan di Bandung, Jawa Barat, surat kabar Merdeka menyerangnya dengan cara yang kasar dan emosional. Presiden NIT (Negara Indonesia Timur), Soekawati, misalnya, namanya diejek dengan diplesetkan menjadi “Sukamati” yang berarti lebih baik mati.13 Sedangkan Presiden Negara Pasundan, Kartalegawa, juga didiskreditkan dengan cara memberi arti lain singkatan namanya, yaitu “KARTALEGAWA = Kaula Anak Rahayat Talaekan Anu Linglung Ewed Gundal Agung Walanda Asalna” yang artinya: saya (Kartalegawa) anak rakyat jajahan yang linglung dan bingung, asalnya budak besar dari Belanda.14 Dan ketika Belanda melakukan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan berhasil menduduki kota-kota penting di Jawa dan di Sumatera, Merdeka termasuk pers yang dibredel oleh tentara Belanda karena sajian berita dan opininya dianggap menghasut dan sangat provokatif. Orang-orang Belanda sendiri sering mengejek surat kabar Indonesia yang berjiwa “republiken” itu, termasuk di dalamnya Merdeka, sebagai “pers kiblik” dengan konotasi yang kurang baik. Akhirnya B.M. Diah baru boleh menerbitkan kembali surat kabar Merdeka di Jakarta pada 12 Lihat, misalnya, tajuk-tajuk Merdeka (Jakarta) seperti: “Toenggoe Doeloe !” (29 Nopember 1946); “Sikap Pemimpin Negara” (13 Desember 1946); “Tidak Oesah Pessimistis” (28 Pebruari 1947); “Linggardjati Manakah jang akan Ditandatangani ?” (19 Maret 1947); dan “Keadaan Perdjoeangan Kita” (27 Juni 1947). 13 Lihat “Notes Dr. Clenik”, pojok Merdeka (Jakarta: 1 Pebruari 1947), hlm. 2. 14 “Notes Dr. Clenik”, pojok Merdeka (Jakarta: 28 April 1947), hlm. 2. 9 Andi Suwirta, Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Studi tentang Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-47 tanggal 1 Oktober 1947 dengan visi dan citra diri yang lebih moderat.15 Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung Surat kabar Soeara Merdeka terbit pada bulan September 1945.16 Surat kabar ini terbit di atas reruntuhan surat kabar Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran yang dimainkan oleh Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam mengambil alih kantor surat kabar Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi Soeara Merdeka menjadi penting, sebab kedua orang itulah yang kemudian menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit setiap hari dengan 4 halaman, Soeara Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot Postweg-Oost 54-56 (sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana banjir pada bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan desakan tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang berjiwa republiken, Soeara Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan beralamatkan di Jalan Galunggung 46, Tasikmalaya. Baik ketika masih di Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan jati diri Soeara Merdeka sebagai pers yang ingin menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia di satu sisi, dan membela kepentingan politik negara RI di sisi lain tetap tidak berubah. Pada zamannya Soeara Merdeka termasuk pers yang berpengaruh. Dengan oplah sekitar 5.000 - 7.500 eksemplar, 15 Lihat, misalnya, “Doea Sa’at”, tajuk Merdeka (Jakarta: 1 Oktober 1947), hlm. 1. 16 Edisi perdana Soeara Merdeka yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta adalah tanpa nomor, tanggal, bulan, dan tahun penerbitan. Namun menurut John R. Smail dalam studinya Bandung in the Early Revolution 1945-1946 (Ithaca, New York: Cornell University, 1964), hlm. 49, Soeara Merdeka itu terbit pada tanggal 17 September 1945. 10

Description:
diudara merasa belum dapat terbang dengan sewadjarnja, terbang masih .. yang tepat.72 Namun tidak hanya faktor pengaruh ruang dan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.