ebook img

Analisis CSIS tahun XXVI No. 2 1997 PDF

83 Pages·1997·4.6 MB·English
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Analisis CSIS tahun XXVI No. 2 1997

TAHUN XXVI, NO. 2 MARET-APRIL 1997 Pemilu Mengebiri Demokrasi? PENGANTARREDAKSI • Perilaku PolitikPemuda Perkotaan: Kasus Surabaya ^ARTIKEL • Kampanye danProfil Pemilu 1997 Pemberdayaan Organisasi Peserta Pemilu (OPP) • Pemantau Independen dan Kualitas PemS? pada Pemilu 1997: Suatu Proyeksi di Tengah Pluralisme Politik ANALISIS PERISTIWA Mengkaji Ulang Praktek Pemilihan Umum Kita ^ • tenomena Pohtik Kek,erasan dan Kerusuhan Massal >• Korpri-Golkar, Pemilu 1997, dan Demokrasi Desember 1996 - Januari 1997 Centre for Strategic and International Studies Pengantar Redaksi DALAM mengevaluasi pelaksanaan hasil Pemilu 1992, terlihat sejumlah gejala yang menarik untuk dibahas secara mendalam, misalnya menurunnya perolehan suara Golkar, semakin kritisnya para pemilih baik yang berada di wilayah per- kotaan maupun pedesaan, menguatnya kembali garis-garis politik lama, keterlibatan OPP yang baru terbatas pada rapat-rapat resmi dan belum menyangkut hal-hal yang operasional sifatnya, semakin meningkatnya mutu kecurangan yang tidak dapat dibuktikan nammi di- rasakan, meningkatnya pluralisme politik dan status kompetitif ketiga OPP, dan sebagainya. Kendati dalam kurun waktu 1990-1995 muncul angin segar bempa "keterbukaan dan demo- kratisasi", nammi menurut Faisal Siagian ada sejumlah faktor lain yang mempengaruhi ke- hidupan infrastruktur politik di Indonesia, antara lain ketidakmandirian dan ketergantung- an Parpol/Golkar pada pemerintah, ditambah lagi dengan pergulatan faksi-faksi politik dan kurangnya koherensi di antara elit Parpol. Tugas Parpollah untuk meningkatkan kohesi dan kapasitas absorpsinya sehingga mampu memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Tinggi rendahnya partisipasi politik rakyat menunjukkan tinggi rendahnya bobot dan kua- litas politik masyarakat, karena dianggap sebagai faktor pengimbang yang dinamis dari suprastruktur politik. Yang diharapkan semua pihak agar Pemilu 1997 merupakan wujud de- mokrasi yang bermakna tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi Pancasila yang kita anut. Pengkajian ulang praktek pemilu dipandang perlu oleh Riza Sihbudi, kalau kita ingin meningkatkan kualitas demokrasi kita. Terungkap bahwa DPR/DPRD tidak mewa- kili kepentingan masyarakat, sebab para wakil pada umumnya berasal dari atas. Legislatif tak berdaya mengontrol eksekutif dan hanya menjadi stempel politik eksekutif, sedangkan rakyat tak dapat mengontrol anggota legislatif. Karena anggota perwakilan tidak mengakar ke bawah, pemerintah daerah/pusat belum bisa dikatakan berasal dari dan mementingkan rakyat. Keadaan inilah akibat dari terlalu kuatnya dominasi dan intervensi pemerintah PENGANTARREDAKSI 135 dalam struktur maupun proses pemilu. Jika demikian terus-menerus, tidak akan pemah pe- milu berlangsung luber dan jurdil. Mekanisme perhitungan suara dilakukan oleh kepanitiaan yang didominasi pemerintah tanpa melibatkan OPP atau saksi independen. Politik massa mengambang menjauhkan parpol dari pedesaan dan minggu tenang memungkinkan apa- rat mengintimidasi warga desa agar memilih Golkar. Semboyan PNS sebagai abdi negara di- kaburkan menjadi abdi pemerintah dan abdi Golkar, sampai pimpinan PNS cenderung menyalahgunakan posisinya untuk memenangkan Golkar. Pemberlakuan litsus dan re- call menyebabkan para wakil rakyat hanya membenarkan politik pemerintah. Maka, pe- milu seharusnya dijauhkan dari intimidasi, manipulasi dan sikap pemerintah yang tidak netral. Diingatkan oleh Victor Silaen bahwa pegawai negeri boleh diorganisasi dalam Korpri hanya berorientasi kesejahteraan, bukan politik. Ketika Korpri diharuskan menjadi Golkar, itu tidak betul. Sejauh ini pegawai negeri tidak atau kurang ada individualitas. Dinanuka di- lemahkan dan demokrasi dimatikan. Pendapatnya hams seragam, menyamakan diri dengan atasan. Bapakisme dan yesmanisme sebagai jalan aman guna memperoleh dukungan dan pro- mosi. Tanggung jawab individual tak bisa diharapkan, bila semuanya didasarkan petun- juk atasan. Sebab dalam banyak urusan rakyat memerlukan mereka, pegawai negeri me- rasa diri bagaikan raja-raja kecil. Terbuka kesempatan kolusi, pungli dan korupsi dengan membuat birokrasi sepanjang mungkin dan penuh liku. Bahkan ada peluang mendikte dan mengintimidasi rakyat agar mengikuti kemauan mereka mencoblos Golkar dalam pe- milu. Padahal, hakikat demokrasi memberi keleluasaan individu untuk beraneka ragam demi pengembangan potensi-potensi yang seluas-luasnya dalam keharmonisan. Jika kon- sekuen melaksanakan demokrasi pilihan kita, maka segala perbedaan dan keanekaragam- an di masyarakat harus diakomodasi dan individualitas diberi keleluasaan berkembang, ter- masuk memilih apa pun dalam pemilu. Untuk menjamin kebebasan ini, tak ada salahnya menyelenggarakan pemilu pada hari libur. Muhammad Asfar meneliti perilaku politik pemuda kota Surabaya. Yaitu, pilihan politik dalam pemilu. Rupanya ada kesejajaran antara pilihan politik kaum muda dan orang tuanya. Terutama yang orang tuanya ABRI. Tetapi pada pihak lain, khusus untuk putra ABRI angka Golput pada Pemilu 1992 mencapai 25%. Angka Golput ini jauh lebih besar dari angka rata-rata ketidakhadiran pemilih selama pemilu Orde Baru, yang tidak sampai mencapai angka dua digit. Fungsi pemilu meniuiit F.S. Swantoro haruslah menjamin adanya kemungkinan peru- bahan susunan kekuasaan, sekaligus perubahan elite politik. Jika peluang itu ditutup me- lalui serangkaian mekanisme pengendalian politik, artinya pemilu sudah menjadi sarana pem- benaran status quo. Makanya berkembang sorotan bahwa selama ini pemilu terkesan dire- kayasa sebagai sarana legitimasi kekuasaan daripada sarana reformasi politik, apalagi pemilu belum mencerminkan hak politik rakyat. Juga menggejala berbagai kekecewaan rakyat yang sangat merisaukan keadaan sekarang dengan adanya pembusukan politik. Sebab itu amat- lah relevan perlunya isu kampanye pemilu: penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan ANALISIS CSIS, 1997-2 136 baik dengan pengawasan politik demokratis, dipentingkannya proses politik yang irans- paran, didorongnya pembentukan civil society melalui pemberdayaan rakyat agar seluruh or- ganisasi sosial-politik bangkit dari kelumpuhannya, di samping keberanian meninjau kem- bali UU bidang politik dan dituntaskannya soal suksesi pimpinan nasional. Di antara berbagai faktor, rejim politik suatu negara dikemukakan T.A. Legowo men- jadi faktor paling mempengaruhi kualitas pemilu, sebab rejim menentukan bukan hanya "Pemilu untuk apa" melainkan juga "bagaimana Pemilu diselenggarakan". Dia dapat men- dominasi proses penyelenggaraan pemilu secara ketat agar hasil-hasilnya tidak menyim- pang dari kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Konkretnya, tahapan-tahapan crucial pemilu seperti pendalitaran pemilih, pemungutan suara dan perhitungan suara tidak meli- batkan OFF atau kalau melibatkan, peran mereka hanya sebagai pelengkap saja. Absah tidaknya pemungutan suara dan perhitungan suara ditentukan oleh Kelompok Fenyeleng- gara Femungutan Suara yang seluruh anggotanya adalah aparat pemerintah yang berafi- liasi Golkar. Maka, berdirinya badan pemantau independen bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilu, karena akan mempersulit dilakukannya kecurangan oleh penyelenggara dan menyadarkan warga negara akan hak dan tanggung jawab politiknya dalam pemilu. Namun, hasil nyata keberadaan badan inilah bersifat jangka panjang dan bisa jadi juga berdampak pada penyehatan kehidupan politik nasional secara keseluruhan. H. Anton Djawamaku meninjau peristiwa di tanah air dari bulan Desember 1996 sampai Januari 1997, khususnya fenomena politik kekerasan dan kemsuhan massal. Di- kemukakan bahwa dalam kurun waktu tadi telah terjadi peningkatan intensitas gejala tersebut dengan sosok yang semakin bervariatif. Upaya mengatasi gejala ini tidak cukup dengan menindak tegas pelaku dan aktor intelektualnya yang memang sudah seharus- nya, tetapi perlu disimak apa yang menjadi akar persoalan dari berbagai kerusuhan itu. Akar persoalan yang sesungguhnya adalah frustrasi masyarakat menyaksikan berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan dalam birokrasi pemerintahan, seperti korupsi, kolusi, manipulasi, arogansi kekuasaan dan ketidakadilan dalam berbagai kebi- jakan pembangunan. Masalah ini begitu luas dan kompleks, sehingga hams diatasi secara mendasar, konsisten dan konsekuen. Semuanya itu mpanya menuntut revitalisasi sistem politik nasional demi memperkukuh NKRI di atas sendi-sendi Fancasila, UUD 1945, paham kebangsaan dan wawasan Nusantara. Maret 1997 REDAKSI Pemberdayaan Organisasi Peserta Pemilu (OPP) pada Pemilu 1997 Suatu Proyeksi di Tengah Pluralisme Politik FaisalSiagian Pendahuluan Paradigma yang mengisyaratkan bahwa — "demokrasi itu mahal" sebentar lagi pa- SEBAGAIMANA sudah dimaklumi, ~ ling tidak untuk Indonesia akan gugur. Pemilu 1997 mendatang memiliki Anti tesis yang menggembirakan masyara- makna yang penting karena pada kat politik itu tercermin dari gagasan-ga- Pemilu kali ini berlangsung dalam suasa- gasan dari berbagai pejabat pemerintah dan na berakhirnya Pelita VI dan memasuki pakar-pakar sosial-politik, yang mempunyai Pelita VII yang merupakan tahap lanjutan otoritas untuk menggambarkan sebuah setelah lima tahun "tinggal landas" da- "pesta demokrasi" yang sarat makna pada lam Pembangunan Jangka Panjang II (PJP Pemilu 1997 mendatang. II) di masa Orde Bam ini. PJP II dianggap telah memberikan ber- Untuk masyarakat kita yang telah enam bagai hasil positif, terutama pada skala kali mengalami suka-duka Pemilu sejak Re- pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Pe- publik ini didirikan, saat-saat menantikan milu dalam masa Orde Bam ini telah ber- datangnya "pesta demokrasi" itu memang langsung secara teratur setiap lima tahun direspon dengan harap-harap cemas. Pe- sekali. Kemajuan-kemajuan itu ikut me- nuh harap karena dengan terselenggara- ningkatkan tuntutan-tuntutan masyarakat nya Pemilu, diharapkan akan muncul se- pada berbagai bidang kehidupan, di sam- buah iklim politik yang lebih demokratis ping melebarnya kesenjangan sosial aki- dan terbuka. Dclim politik bam tersebut di- bat dampak negatif dari pembangunan harapkan dapat menelorkan sebuah setting itu. Perkembangan-perkembangan negatif kepemimpinan nasional yang tangguh, ber- itu tidak dapat dihindarkan akan mempe- wibawa dan mampu mengajak masyarakat ngamhi persepsi masyarakat yang negatif untuk membangun negara secara aspiratif terhadap pembangunan. dan konstruktif ANALISISCSIS. 1997-2 138 ~ Penuh cemas karena masyarakat kita Kedua, apakah Parpol dapat "member- yang heterogen ini - mempunyai penga- dayakan" kemampuannya untuk menyong- laman pahit yang memilukan sebagai "tum- song Pemilu 1997, di tengah-tengah kuat- bal" dalam proses-proses Pemilu, yang me- nya cengkeraman suprastruktur politik atau mang senantiasa bermuara kepada persoal- negara dengan sistem politik yang demi- an "kalah" dan "menang". Kecemasan ma- kian hegemonik? Pertanyaan-pertanyaan syarakat, terutama masyarakat kelas bawah ini kiranya penting untuk dijawab paling yang mnumnya awam politik, dengan cer- tidak sebagai sebuah diskursus (wacana) dik diantisipasi oleh pejabat pemerintah dan politik untuk mengkondisikan respons Par- Parpol dan Kelompok Kepentingan. Berba- pol (Golkar, PPP dan PDI) dalam mengan- gai dimensi dalam Pemilu ~ menurut catat- tisipasi datangnya Pemilu 1997. an saya ~ seperti persoalan: mengenai "vote getter", sistem Pemilu, ekses Pemilu, kuali- Setiap negara di dunia yang ingin di- tas Caleg, kader politik, kampanye politik, anggap demokratis, membentuk Parpol, me- undang-undang tentang perubahan atas laksanakan Pemilu dan sebagainya. Parpol Undang-Undang No. 2 Tahun 1985 tentang adalah organisasi yang menyalurkan aspi- Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD rasi masyarakat. Hams ada organisasi-or- mengenai pengurangan jumlah anggota ganisasi sosial-politik, sebab rakyat tidak Legislatif dari ABRI dari 100 orang menja- dapat memilih langsung para pemimpin- di 75 orang, Peraturan Pemerintah No. 10 nya, oleh karena itu hams melalui Parpol. Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Pemilu, terwujud menjadi suatu Ciri terpenting dari Partai Politik ada- lah bahwa proses pembentukannya diten- kebijakan politik. tukan sepenuhnya oleh kerangka sosio- Pada prinsipnya apa yang telah disa- politik masyarakatnya (David Apter, 1987: rankan dan diimplementasikan oleh peme- 193). Kehadiran Parpol sejalan dengan tum- rintah adalah baik dan tepat, karena bagai- buhnya kesadaran anggota masyarakat akan manapun upaya untuk fneminimalisir suasa- hak-hak politiknya. Tumbuhnya kesadaran na Pemilu yang sulit dipisahkan dari sua- ini tidak dapat dihindari, sebab kesadaran sana emosional konfrontatif adalah sebuah ini berjalan seiring dengan makin modem- pemikiran yang terpuji. Namun demikian, nya suatu masyarakat. Mereka tergantung sebelum gagasan cemerlang dari pemerin- pada derajat modemisasi di dalam suatu tah itu direalisasikan, ada beberapa perta- masyarakat bagi pluralisme dan diversitas nyaan kecil yang hams dijawab. Parpol. Pertama, sudah mampukah masyarakat Parpol membutuhkan sebuah kerangka kita untuk memasuki sebuah era pesta de- acuan konstitusional atau rejim politik yang mokrasi yang menekankan kepada dimen- cocok dengan fungsi mereka (terlepas dari si intelektual? Kalau belum, persyaratan apa apa tipenya). Keanggotaan Parpol tergan- yang hams dipenuhi oleh masyarakat kita tung pada pengelompokan di dalam masya- tersebut? rakat. PEMBERDAYAANORGANISASI PESERTAPEMILUPADAPEMILU 1997 Parpol dibentuk untuk mengorganisir Sedangkan Golkar adalah Parpol yang aneka macam kepentingan dalam masyara- terbentuk di luar Parlemen. Dalam hal ini kat. Bila variasi kepentingan itu tidak di- Golkar bisa dikatakan sebagai "partai yang organisir, besar kemungkinan konflik ke- hegemonik" karena inisiatif penyusunan pentingan akan menampakkan diri dalam agenda politik dipegang oleh Golkar se- kehidupan sehari-hari. Selain itu, bila kon- bagai partai yang mendominasi dari satu flik sebagai wujud dari tuntutan yang sa- Pemilu ke Pemilu berikutnya (David Reeve, ilng berbeda dalam masyarakat tidak dise- 1985). derhanakan oleh Paqjol, besar kemungkin- Sedangkan sistem Pemilu yang dianut an sistem politik yang berlaku tidak ber- ada dua yaitu sistem proporsional dan sis- fiingsi. Kehadiran Parpol dengan demikian tem distrik (Joseph F. Zimmerman, 1994: dapat dipandang sebagai sarana pengenda- 674). Melihat kondisi geografis Kepulauan li konflik dalam suatu masyarakat. Indonesia dan sifat heterogenitas masya- Sebagai suatu ide Parpol tidak diben- rakat Indonesia, maka pemilihan sistem pro- tuk untuk memajukan sebuah konflik po- porsional dalam Pemilu kita sudah tepat. litik dalam masyarakat, apalagi di dalam tubuh Parpol itu sendiri ada benih-benih perpecahan secara internal. Namun sebagai Evaluasi terhadap Performance OPP suatu ajang permainan politik (political pada Pemilu 1992 play), maka Parpol merupakan suatu sum- ber terjadinya konflik kepentingan (con- Dalam mengevaluasi kapasitas OPP pa- flict of interest). da Pemilu 1992 yang lewat, maka timbul serangkaian pertanyaan yang perlu dija- Dalam pengertian ini, Parpol merupa- wab secara akurat antara lain: kan "variabel terikat" (dependent variables), sementara itu masyarakat dan organisasi 1. Gejala-gejala apa yang dapat dievaluasi pemerintahan, Pemilihan Umum atau prose- dari hasil Pemilu 1992 secara nasional? dur pemimgutan suara, sebagai "variabel be- 2. Sejauh mana tingkat/kapasitas OPP pada bas" (independent variables). Pemilu 1997 mendatang? Dalam dinamika kehidupan Demokrasi 3. Faktor-faktor apa saja yang mempenga- ada dua sarana yang sangat menonjol fung- ruhi persepsi (positif atau negatif) pemi- sinya yaitu pembentukan suatu Parpol dan lih terhadap OPP pada Pemilu 1997 men- sistem Pemilu yang dianut. Pembentukan datang dengan berbagai aspeknya? suatu Parpol bisa berasal dari dalam Parle- 4. Apa dan bagaimana proyeksi OPP dalam men yaitu Partai yang dibentuk untuk ke- Pemilu 1997 mendatang di tengah plural- pentingan anggota Parlemen atau Parpol isme politik yang sedang tumbuh? yang dibentuk di luar Parlemen. Melihat sejarah Parpol di Indonesia, PPP dan PDI Pembangunan di bidang politik selama adalah Parpol yang dibentuk di dalam Par- masa lima kali Penylu (1971-1992) di masa lemen. Orde Baru, telah mendatangkan berbagai 140 ANALISISCSIS, 1997-2 kemajuan pada postur OPP baik secara kua- tanda ada maraknya keterbukaan dan de- litas maupiin kuantitas, baik dari segi tek- mokratisasi. Namun akibat penurunan suara nik berorganisasi maupun dalam persiapan Golkar ini banyak tokoh Golkar (khusus- kader-kader politiknya. nya yang duduk di jajaran Birokrasi ne- gara) terancam kedudukannya. "Penurunan Di bawah ini akan kami paparkan kom- suara Golkar ini tidak merisaukan, namun pilasi hasil perolehan kursi masing-masing memalukan" (Riswanda Imawan, 1992). Ke- OPP di DPR selama empat kali Pemilu dua, ada. indikasi para pemilih di wila- (1977, 1982, 1987 dan 1992). yah pedesaan tidak kalah kritisnya dengan para pemilih di wilayah perkotaan. Dengan label 1 kata lain, masyarakat desa mulai sadar akan HASIL PEMILU DENGANTIGAKONTESTAN hak politiknya dan mereka mulai sulit un- tuk dimobilisir untuk mendukung OPP ter- Kontestan Pemilu tentu. Ketiga, adanya "political realign- 1977 1982 1987 1992 ment" yaitu menguatnya kembali garis- garis politik lama yang pemah muncul da- Golkar 232 242 299 282 lam Pemilu pertama tahun 1955. Seharus- PPP 99 94 61 62 nya adanya "political realignment itu ti- PDI 29 24 40 56 dak terjadi lagi, sebab pemerintah sudah mengundangkan UU No. 3 Tahun 1985 yang Sumber: LembagaPemilihan Umum 1993. mengharuskan semua Orsospol dan Ormas Pada Pemilu 1992 yang lewat, ada se- untuk memakai Pancasila sebagai satu-sa- mentara anggapan timbulnya kecendening- tunya asas. Keempat, keterlibatan OPP da- an meningkatnya jumlah pemilih pemula lam penyelenggaraan Pemilu baru terbatas yang menggunakan hak pilihnya, di samping pada rapat-rapat resmi, belum menyang- itu ada pula yang tidak mengguna- kut hal yang sifatnya operasional baik pa- kan hak pilihnya alias Golput. Salah satu da tingkat PPP maupun pada tingkat PPD. Kelima, berbagai praktek kecurangan baik kemungkinan alasan dari sikap-sikap se- perti itu adalah adanya persepsi masyara- di tingkat Kabupaten, Kecamatan maupun desa menunjukkan kualitas yang semakin kat (positif atau negatif) terhadap hasil- hasil pembangunan yang telah ditempuh prima. Disebut prima karena "kecurangan umumnya, khususnya di bidang pemba- itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat di- buktikan". Keenam, kehadiran ketiga OPP ngunan politik. semakin merata di semua daerah pemilih- Dalam mengevaluasi pelaksanaan hasil an. Ketiga OPP telah berhasil menempat- Pemilu 1992 terlihat sejumlah gejala yang kan wakilnya di semua DPRD Tingkat I. menarik untuk dibahas. Hasil Pemilu 1992 Apabila kehadiran ketiga OPP yang se- setidaknya menunjukkan beberapa ciri khu- makin merata dapat dijadikan sebagai indi- sus yaitu: Pertama, Golkar mengalami pe- kator pluralisme politik, maka Pemilu 1992 nurunan suara secara besar. Walaupun Gol- menunjukkan "pluralisme politik" yang se- kar tetap menjadi "'single majority", kenaik- makin meluas. Yang paling tinggi plural- an suara OPP lain semisal PDI dan PPP ter- isme politiknya adalah Jawa menyusul PEMBERDAYAANORGANISASl PESERTAPEMILUPADAPEMILU 1997 141 Kalimantan dan Sumatera. Ketujuh, status label 2 kompetitif ketiga OPP. Untuk merebut se- STATUS KOMPETITIFATAUNONKOMPETITIF banyak mungkin suara maka ketiga Parpol DALAM PEMILU 1987 DAN 1992 DI TINGKAT PROPINSI dan Golkar melakukan kompetisi secara ter- buka. Dalam Pemilu 1992 terjadi kompetisi Propmsi Pemilu 1987 Pemilu 1992 politik khususnya di kota-kota besar. Ge- jala kompetisi politik ini sudah mengge- rU\lTAAjc^ejknk ^^ "J oumut 1 jala pada Pemilu 1987 dan menaik pula pa- oumDar i da Pemilu 1992. Kompetisi ini tampak sa- Pli\aJiaiU 11 ngat menonjol di Propinsi Jawa Timur, Pro- Sumsel 1 Jambi 1 pinsi yang mengalami penurunan peroleh- Bengkulu 1 an kursi Golkar di DPR sebanyak 10 kursi T tkTnm1no 1 (tahun 1987 46 kursi, tahun 1992 tinggal 36 Jabar 1 rU>fv>il 1J 1J kursi). Untuk lebih jelasnya kami tunin- Jateng 1 J-3 kan status kompetitif atau tidaknya ketiga rU\liIv 11 J-1 Orsospol di 27 Propinsi (lihat Tabel 2). Janm z KalDar l 1 Indeks di atas disusun berdasarkan N.aiicng 1 11 Kalsel 2 2 suatu asumsi bahwa suara yang diperlu- Kaltim 2 2 kan Golkar untuk mempertahankan hege- Sulut 1 moninya adalah sekitar 60%. Dengan de- Sulteng 1 mikian, kalau Pemilu dilaksanakan secara Sultenggara 1 Sulsel 1 "fairpoliticalplay", maka PPP dan PDI da- Bali 1 pat mencapai 20 suara. Angka 20% dijadi- NTB 1 NTT kan patokan, sebab jika suatu OPP menca- 1 Maluku pai 20% suara, maka dia mendapat nilai 1 Iija 1 (1) misalnya DKI Jakarta. Di DKI Jakarta Timtim 1 ketiga OPP (Golkar 54,41%, PPP 23,81% dan PDI 21,78%) mendapat suara di atas 20%. Sumber: RiswandaImawan (1992). Jadi untuk DKI mendapat nilai 3. Keterangan: 21 ==TKoimdpaektKiotmipfeSteidtainfg 3 = KompetitifTinggi Berdasarkan Tabel 2 tersebut tampak bahwa Pemilu 1992 "lebih kompetitif' di- banding Pemilu 1987. Artinya PPP dan PDI DKI, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kalau memiliki kesempatan untuk mengimbangi Pemilu 1997 bisa dilakukan lebih "fair po- Golkar. Tabel 2 itujuga memmjukkan bahwa litical play", maka bisa saja PPP dan PDI pembahan ke arah Pemilu yang lebih kom- dapat mendapat nilai di atas tiga. petitif terlihat jelas pada kasus Jawa Tengah Kedelapan, rekrutmen politik. Dari Ta- dan DI Yogyakarta. bel 3 dapat terbaca bahwa lebih dari se- Menarik untuk disimak bahwa daerah paruh caleg pada Pemilu 1992 yang le- yang kompetitif terdapat di Pulau Jawa wat (223 caleg atau 55,75%) didominasi khususnya di daerah perkotaan, seperti oleh warga DKI Jakarta. Jakartanisasi caleg ANALISIS CSIS, 1997-2 142 label 3 ASAL DAERAH CALEGPADA PEMILU 992 BERDASARKAN PARPOL 1 Parpol Jawa Luar Jawa Indonesia Jakarta Daerah Jakarta Daerah Jakarta Daerah PPP 12 (34%) 23 (66%) 12 (46%) 14 (54%) 24 (39%) 37(61%) Golkar 77 (54%) 66 (46%) 108 (69%) 48 (31%) 185 (62%) 1 14 (38%) PDI 9 (33%) 18(67%) 5 (38%) 8 (62%) 14 (35%) 26 (65%) Sumber: Comelis Lay, Kompas 1 Juni 1992. 1992 berikut implikasinya menunjukkan der jenggot" sudah tidak mendapat tem- kuatnya "Jakarta centris" dalam penentuan pat lagi dalam Pemilu mendatang. caleg. Gejala caleg yang "Jakarta centris" ini dapat ditafsirkan berdasarkan empat alasan: Pemberdayaan Kapasitas OPP dan Proyeksi Pemilu 1997 1. Hal ini menunjukkan semakin merosot- nya kekuatan politik pinggiran "vis a Selama kurun waktu 1990-1995 berba- vis" kekuatan politik pusat. Ini berarti gai peristiwa politik telah mempenganihi rekmtmen politik "menjauhi" pola pri- kehidupan infrastruktur politik antara lain: mordialisme. 1. Terdapat "angin segar" dalam kehidup- 2. Hal ini mengindikasikan kegagalan ke- an Orsospol berupa keterbukaan dan kuatan politik dalam hal kaderisasi po- demokratisasi yang semakin transparan. litik. Baik Golkar maupun PPP dan PDI Cuma dirasakan berbagai "ganjalan" da- kurang berhasil menciptakan kader po- lam kehidupan berdemokrasi antara lain litik yang handal. hegemoni"singlemajority"Golkar. Single 3. Hal ini semakin mengabsahkan kuatnya majority Golkar yang membawa impli- "orientasi ke atas" dalam budaya poli- kasi kepada budaya politik yang "mau tik nasional kita. Pusat menjadi tumpu- menang sendiri" dan diskriminasi ter- an harapan semua politisi di DPR. hadap dua Orsospol PPP dan PDI da- lam berbagai segi. 4. Ini berarti mekanisme rekmtmen politik yang kita gunakan lebih banyak meng- 2. Perilaku politisi baik dari Golkar mau- hasilkan tokoh karbitan. Cara seperti ini pun PPP dan PDI yang hanya men- jelas-jelas sudah ketinggalan jaman dan jalankan "asas manfaat" atau " aji tidak sejalan dengan meningkatkan daya mumpung" yang condong menguta- nalar para pemilih. Para pemilih dalam makan kepentingan diri sendiri atau Pemilu 1997 mendatang akan lebih sadar golongan dengan "menafikan" kepen- bahwa tokoh yang dicalonkan oleh OPP tingan yang lebih besar yaitu kepen- berbobot atau tidak. Oleh karena itu "ka- tingan masyarakat, bangsa dan negara.

See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.