18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H Amar Ma’ruf Nahi Munkar Oleh: Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. Pustaka al Bayaty www.wahonot.wordpress.com 1 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H Judul: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Oleh: Ust. Muhammad Nur ihsan, M.A. Pustaka al BAyaty Silakan memperbanyak isi ebook ini dengan syarat bukan untuk tujuan komersil, serta menyertakan sumbernya E‐book ini di ambil dari www.muslim.or.id Kunjungi: http://www.wahonot.wordpress.com http://www.pustakaalbayaty.wordpress.com Email: [email protected] HP: 08121517653 08889594463 SERIAL e‐book # 7 170608 2 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Oleh: Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, KSA) Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49) Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)” Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalanamalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, 3 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orangorang yang beriman tiga tingkatan, masingmasing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkattingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427) Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan: 1. Mengingkari dengan tangan. 2. Mengingkari dengan lisan. 3. Mengingkari dengan hati. Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata. Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak‐anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka. 4 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185) Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan. Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran‐ kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa. Imam Ibnu Rajab berkata ‐setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits‐ hadits yang senada dengannya‐, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258) Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581) Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan 5 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258‐259) Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab: “Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577) Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak: Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitabkitab diturunkan dengan 6 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang orang yang berbuat baik dan orangorang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orangorang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hambaNya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah: “Wahai orangorang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al‐Maa’idah: 105) Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah) Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.” Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan RasulNya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4) Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini: 7 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H 1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan. 2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan. 3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa. 4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255) Kedua: Karakteristik orang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar Sekalipun amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan‐ tingkatan) di atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria berikut ini: 1. Berilmu. 2. Lemah lembut dan penyantun. 3. Sabar. Berilmu Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah ibadah yang sangat mulia, dan sebagaimana yang dimaklumi bahwa suatu ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali apabila ikhlas kepada‐Nya dan sebagai amal yang saleh, suatu amalan tidak akan mungkin menjadi amal saleh kecuali apabila berlandaskan ilmu yang benar. Karena seseorang yang beribadah tanpa ilmu maka ia lebih banyak merusak daripada memperbaiki, karena ilmu adalah imam amalan, dan amalan mengikutinya. Syaikhul Islam berkata, “Jika ini merupakan definisi amal saleh (yang memenuhi persyaratan ikhlas dan ittiba’) maka seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi 8 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H mungkar wajib menjadi seperti ini juga terhadap dirinya, dan tidak akan mungkin amalannya menjadi amal saleh jika ia tidak berilmu dan paham, dan sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, “Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya lebih banyak dari apa yang diperbaikinya,” dan dalam hadits Mu’adz Bin Jabal, “Ilmu adalah imam amalan, dan amalan mengikutinya,” dan ini sangat jelas, karena sesungguhnya niat dan amalan jika tidak berlandaskan ilmu maka ia adalah kebodohan, kesesatan dan mengikuti hawa nafsu… dan inilah perbedaan antara orang orang jahiliyah dan orangorang Islam.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Mungkar, hal. 19. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah) Ilmu di sini mencakup ilmu tentang kebaikan dan kemungkaran itu sendiri, bisa membedakan antara keduanya dan berilmu tentang keadaan yang diperintah dan yang dilarang. Lemah Lembut dan Santun (ArRifq dan Al Hilm) Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar hendaklah mempunyai sifat lemah lembut dan penyantun, sebab segala sesuatu yang disertai lemah lembut akan bertambah indah dan baik, dan sebaliknya jika kekerasan menyertai sesuatu maka akan menjadi jelek, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah lemah lembut ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HR. Muslim no. 2594) “Sesungguhnya Allah Maha Penyantun, Ia menyukai sifat penyantun (lemah lembut) dalam segala urusan, dan memberikan dalam lemah lembut apa yang tidak diberikan dalam kekerasan dan apa yang tidak diberikan dalam selainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 9 18 Juni 2008 www.wahonot.wordpress.com 13 Jumadil Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik Akhir 1429 H Imam Ahmad berkata, “Manusia butuh kepada mudaaraah (menyikapinya dengan lembut) dan lemah lembut dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, tanpa kekerasan kecuali seseorang yang terangterangan melakukan dosa, maka wajib atasmu melarang dan memberitahunya, karena dikatakan, ‘Orang fasik tidak memiliki kehormatan’ maka mereka tidak ada kehormatannya.” Jika ini di zaman Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, zaman di mana ilmu dan sunnah lebih dominan dalam kehidupan manusia dan mewarnai perilaku mereka kecuali ahlul bid’ah, tentu manusia di zaman kita sekarang ini lebih membutuhkan lemah lembut dan santun dalam menghadapi dan menyikapi kesalahan yang mereka lakukan, apalagi dengan berkembangnya kebodohan di kalangan kaum muslimin dan semakin jauhnya mereka dari bimbingan Al‐Qur’an dan Sunnah kecuali orang‐orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala. Kita berdoa semoga Allah mengembalikan kaum muslimin kepada kebenaran, amiin. “Mesti ia menyeru dengan lemah lembut dan merendahkan diri, jika mereka memperdengarkan (memperlihatkan) kepadanya apa yang dibenci jangan ia marah, karena (kalau marah) berarti ia ingin membalas untuk dirinya sendiri.” Sabar Hendaklah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar bersifat sabar, sebab sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap orang yang mengajak kepada kebenaran dan kebaikan serta mencegah dari kemungkaran pasti akan menghadapi bermacam bentuk cobaan, jika ia tidak bersabar dalam menghadapinya maka kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana Firman Allah tentang wasiat Luqman terhadap anaknya, “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. 10
Description: