BAB III KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PRESPEKTIF KH. HASYIM ASY’ARI DALAM KITAB ADABUL ‘ALIM WAL MUTA’ALLIM A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari 1. Latar Belakang KH. Hasyim Asy’ari Nama lengkap KH. Hasyim Asy‟ari adalah Muhammad Hasyim Asy‟ari ibn „Abd al-Wahid ibn „Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abdur ar-Rohman yang dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya ibn Abdullah ibn Abdul Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin disebut Sunan Giri. Hasyim Asy‟ari lahir pada hari Selasa, 24 Dzulqa‟dah 1287 H. Bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871 M di Gedang, yang terletak di sebelah utara kota Jombang (Jawa Timur). Beliau meninggal dunia pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H/1947 M. Jenazahnya dikebumikan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.35 Menurut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH. Hasyim Asy‟ari memiliki garis keturunan sampai Rasulullah dengan urutan sebagai berikut: a. Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) b. Abdurrohman atau Jaka Tingkir (Sultan Pajang) c. Abdul Halim (Pangeran Benawa) 35M. Hasyim Asy‟ari, Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007), h. xi-xiv. 59 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 60 d. Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda) e. Abdul Halim f. Abdul Wahid g. Abu Sarwan h. KH. Asy‟ari (Jombang) i. KH. Hasyim Asy‟ari (Jombang)36 Dalam usia 15 tahun perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Diantaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan Madura di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil). Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. Hasyim Asy‟ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut di dalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu di dalam WC, dengan 36 MQ Al-Madyuni, Sang Kiai Tiga Generasi, (Tebuireng: Pustaka Al-Khumul, 2013), 3. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 61 penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam‟iyah Nahdlatul Ulama‟ yang dibawa KH. As‟ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi‟iyah Situbondo). Pada tahun 1303 H/1892 M. Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya‟qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadist Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air. Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti, demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy‟aridi tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. Empat puluh hari kemudian, putra beliau Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 62 Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya. Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317H/1899 M), KH. M. Hasyim Asy‟ari menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putrid Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 putra dan putrid yaitu: a. Hannah b. Khoiriyah c. Aisyah d. Azzah e. Abdul Wahid f. Abdul Hakim (Abdul Kholiq) g. Abdul Karim h. Ubaidillah i. Mashurroh j. Muhammad Yusuf Masa dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy‟ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 63 Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai 4 orang putra-putri yaitu: a. Abdul Qodir b. Fatimah c. Chotijah d. Muhammad Ya‟qub Masa dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy‟ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan. Pada masa muda KH. M. Hasyim Asy‟ari, ada dua sistem pendidikan bagi penduduk pribumi Indonesia, Pertama adalah sistem pendidikan yang disediakan untuk para santri muslim di pesantren yang fokus pengajarannya adalah ilmu agama. Kedua adalah sistem pendidikan barat yang dikenalkan oleh colonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan baik tingkat rendah maupun menengah.37 Semasa hidupnya, KH. M. Asy‟ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd al-Wahid, terutama pendidikan dibidang Al-Qur‟an dan 37Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulam a-Biografi KH. Hasyim Asy‟ari, cet. Ke-III (Jogjakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara, 2008), h. 26. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 64 penguasaan beberapa literatur keagamaan. Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke Baduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. M. Hasyim Asy‟ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya‟qub yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Ya‟qub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan KH. M. Hasyim Asy‟ari sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun. Setelah menikah, KH. M. Hasyim Asy‟ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertuanya menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Makkah. Menuntut ilmu di kota Makkah sangat diidam-idamkan oleh kalangan santri saat itu, terutama dikalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatera dan Kalimantan. Secara struktur sosial, seseorang yang mengikuti pendidikan di Makkah biasanya mendapat tempat lebih terhormat dibanding dengan orang yang belum pernah bermukim di Makkah, meski pengalaman kependidikannya masih dipertanyakan. Sebagai seorang intelektual, KH. M. Hasyim Asy‟ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur keagamaan dan sosial. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 65 2. Situasi Pendidikan Pada Masa KH. Hasyim Asy’ari Sejak Islam masuk di Indonesia pada abad VII M dan berkembang pesat sejak abad VII M dengan munculnya sejumlah kerajaan Islam. Pendidikan Islam pun berkembang mengikuti irama dan dinamika perkembangan Islam tersebut. Dimanapun ada komunitas kaum muslimin, di sana ada aktifitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tempat mereka berada. Sehingga kondisi ini menjadi suatu pola pengajaran yang paten hingga Pemerintahan Hindia Belanda masuk dan menjajah Indonesia pada akhir abad ke-16 dan merubahnya.38 Pertama kali yang mendapatkan perlakuan tidak sejalan akan perubahan yang dilakukan oleh Belanda terhadap karakter pendidikan adalah pesantren. Pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, dengan harus berhadapan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka. Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji. Selain itu Belanda juga membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan Negara-negara Islam yang lain. Hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan perkembangan Islam menjadi tersendat. 38Dilihat di http://makalah-ibnu.blogspot.co m/2009/12/sistem-pendidikan-Islam-pada-masa- orde, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 66 Awal abad ke-20 atas usul Snouck Hurgronje Belanda membuka sekolah-sekolah bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan asumsi masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah tersebut dengan kebudayaan Belanda. Sekolah-sekolah ini hanya diperuntukkan bagi kalangan Ningrat dan Priyayi saja dengan tujuan Westernisasi kalangan Ningrat dan Priyayi secara umum. Kelak sebagai akibat dari sekolah model Belanda ini adalah munculnya golongan Nasionalis- Sekuler yang kebanyakan berasal dari kalangan Priyayi. Sikap pemerintahan Hindia Belanda menghadapi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dinyatakan di dalam pasal 179 (2) I.S (Indische Staatsregeling) dalam beberapa ordonasi yang secara singkat menjelaskan: “pengajaran umum adalah netral artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pelajaran agama hanya boleh berada di luar sekolah”. Telah beberapa kali di dalam Volksraad diusulkan agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum, tetapi usulan tersebut selalu gagal dan gagal. Sampai akhir pemerintahan Belanda pengajaran agama Islam tidak pernah dimasukkan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah umum.39 39 Muljanto Sumardi, Sejarah SingkatPendid ikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1977), h. 5. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 67 Melihat kondisi seperti itu banyak para Kyai berijtihad selain mengajarkan pendidikan agama juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa Belanda, yang dipelopori oleh pesantren Tebuireng pada tahun 1920. Selain itu para Kyai juga mulai membuka pesantren-pesantren khusus bagi kaum wanita. Hasilnya sungguh memuaskan, pondok pesantren semakin diminati. Dalam tahun 1910-1920 jumlah pesantren dan santri-santrinya melonjak berlipat ganda dari ratusan menjadi ribuan. Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy‟ari waktu itu mengeluarkan fatwa yaitu wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif oleh umat Islam Surabaya yang dikomandai oleh Bung Tomo dan terkenal dengan Resolusi Jihad. Melihat paparan sejarah singkat kondisi pendidikan Islam, maka penulis dapat menarik benang merah bahwa orientasi pengarangan kitab tersebut oleh KH. Hasyim Asy‟ari diakibatkan pendidikan yang sudah mengikuti pola paten mewarisi pendidikan pada masa berdirinya kerajaan Islam dirubah oleh pemerintah dengan mensekulerkan pendidikan tanpa menginternalisasikan dengan agama, bahkan lebih ekstrim lagi pendidikan agama tidak diperkenankan diajarkan di sekolah-sekolah umum yang secara politik sangat strategis dalam mencetak warga-warga pribumi untuk mengkibarkan bendera kemerdekaan. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 68 3. Guru-guru KH. Hasyim Asy’ari KH. Hasyim Asy‟ari sering menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka sehingga ia menjadi seorang yang ta‟ahhul dalam ilmu agama. Adapun guru-guru KH. Hasyim Asy‟ari selama di Mekkah dan di Nusantara,40 yaitu Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, Syekh Bafadhal, Syekh Nawawi al-Bantani, Kyai Asy‟ari (orang tuanya sendiri), Kyai Khalil Bangkalan 1925 (guru tatabahasa, sastra arab, fiqih dan tasawuf selama 3 tahun), Kyai Ya‟kub (guru fiqih), Syekh Ahmad Khatib Sambas. Dan diantara guru-gurunya yang berasal dari keturunan Nabi SAW yaitu Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al- Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi. Setelah ilmunya dinilai mumpuni, KH. Hasyim Asy‟ari dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minangkabawi, dll. Adapun ulama-ulama yang pernah belajar dengan KH. Hasyim Asy‟ari sewaktu di tanah haram yaitu: Syekh Sa‟dullah al-Maimani (mufti di Bombay, 40 Zamakhasari Dhofir, Tradisi Pesantren S tudi tentang pandangan hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 24. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Description: