BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kini kita telah memasuki abad 21, abad dimana berbagai informasi dapat diperoleh oleh semua orang di penjuru dunia tanpa terkecuali. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) juga berkembang begitu pesat, kini tak ada batasan ruang dan waktu lagi bagi tiap manusia untuk mencari informasi dan berkomunikasi. Pesatnya perkembangan IPTEK berimbas pada tantangan dan persaingan global yang dihadapi oleh setiap negara, khususnya Indonesia. Terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan dan persaingan global tersebut. Adanya sumber daya manusia berkualitas diharapkan mampu untuk berkompetisi dengan masyarakat luas, khususnya di dunia pekerjaan. Abad 21 menuntut setiap individu untuk memiliki kecakapan atau keterampilan baik hard skill maupun soft skill yang mumpuni agar dapat terjun ke dunia pekerjaan dan siap berkompetisi dengan negara lain. Keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap individu pada abad 21 menurut Bernie Trilling dan Charles Fadel (2009:48): “the core subjects and interdisciplinary 21st century themes are surrounded by three sets of skills most in demand in the 21st century: (i) learning and innovation skills, (ii) information, media and technology skills, (iii) life and career skills”. Senada dengan pendapat tersebut National Education Association (2002) menyatakan bahwa terdapat 18 macam 21st Century Skills 1 yang perlu dibekalkan pada setiap individu, dimana salah satunya keterampilan abad 21 ialah Learning and Innovation Skills yang terdiri dari 4 aspek, yaitu critical thinking (berpikir kritis), communication (komunikasi), collaboration (kolaborasi/ kerjasama), dan creativity (kreativitas). Learning and Innovation Skills 4Cs dapat dikuasai oleh generasi penerus bangsa salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan merupakan alternatif utama untuk mempersiapkan generasi penerus yang siap berkompetisi di abad 21. Kini peningkatan mutu pendidikan sangatlah diperlukan untuk menghadapi persaingan di era globalisasi. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ialah dengan membenahi atau penyempurnaan kurikulum pendidikan yang berlaku. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 dalam Kemendikbud (2003) menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendidikan dan kurikulum merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Berdasarkan pengertian kurikulum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suatu rencana (kurikulum) tidak akan berarti apabila tidak diimplementasikan dalam kegiatan pendidikan yaitu pembelajaran, begitu pula sebaliknya tanpa adanya kurikulum yang jelas sebagai 2 acuan maka proses pembelajaran tidak akan berlangsung secara afektif. Pada saat ini kurikulum di Indonesia kembali mengalami pembaharuan yaitu dari kurikulum 2006 atau yang biasa disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan gerbang awal untuk memasuki pendidikan di abad 21. Pendidikan abad ke-21 menuntut peserta didik untuk menyelesaikan masalah melalui ilmu pengetahuan yang mereka peroleh serta memberi kesempatan bagi peserta didik untuk dapat mengambil keputusan berdasarkan bukti yang diperoleh dari proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah pada kehidupan kesehariannya. Penggunaan Kurikulum 2013 yang memasuki abad 21 juga mengubah paradigma belajar dunia, yakni dari paradigma teaching menjadi learning. Kini bukan lagi guru yang menjadi pusat belajar, namun peserta didiklah yang menjadi pusat belajar. Peranan guru dalam kurikulum 2013 diharapkan tidak hanya menjadi sumber belajar melainkan juga sebagai fasilitator dalam seluruh kegiatan pembelajaran (Sholeh Hidayat, 2013: 122). Perubahan paradigma belajar ini sejalan dengan kompetensi lulusan yang diharapkan sesuai dengan amanat dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 35 dalam Kemendikbud (2003), yaitu “kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah 3 disepakati”, sehingga dalam hal ini pembelajaran harus melibatkan peserta didik untuk lebih aktif dan kritis serta pembelajaran lebih menekankan pada keterampilan peserta didik, agar nantinya dapat tercetak lulusan yang memiliki keterampilan mahir di bidangnya. Keterampilan abad 21 yang dikembangkan dari penerapan kurikulum 2013 diharapkan dapat mengembangkan keterampilan berpikir peserta didik. Partnersip for century 21st (2009) menyatakan bahwa kerangka kompetensi abad 21st menunjukkan bahwa berpengetahuan melalui core subject saja tidak cukup, harus dilengkapi dengan kemampuan berpikir, dimana salah satunya ialah kemampuan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan 4 Cs skills yang dibutuhkan di abad 21. Sumber daya manusia yang kritis melalui gagasan cemerlangnya dipastikan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di era globalisasi abad 21. Kemampuan berpikir kritis akan lebih mudah diasah apabila peserta didik diberikan permasalahan berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh. Berpikir Kritis menurut Dede Rosyada (2004: 109) ialah kemampuan berpikir lebih tinggi dari sekedar mengetahui, memahami, mengaplikasi menganalisis, mensintesis, akan tetapi kemampuan tersebut bisa dilatih dan dikembangkan, kemudian diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yang memungkinkan untuk pengembangan berpikir tersebut. Oleh karena itu keterampilan 4 berpikir kritis perlu diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran, salah satunya adalah IPA. Pada hakikatnya IPA merupakan produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah (Trianto, 2014: 137), sehingga diharapkan apabila keterampilan berpikir kritis dapat diintegrasikan melalui pembelajaran IPA dengan berbagai model pembelajaran yang sesuai maka akan mampu mendorong peserta didik untuk melek sains dan teknologi serta mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik agar memiliki kreativitas berfikir, pemecahan masalah, dan interaksi serta membantu dalam penyelidikan yang mengarah pada penyelesaian masalah-masalah nyata adalah Project Based Learning (PjBL) atau pembelajaran berbasis proyek (Thomas dalam Made Wena, 2009: 144). Hal ini diperkuat dengan pendapat The George Lucas Educational Foundation (2005) yang mengungkapkan bahwa project based learning dapat menstimulasi motivasi, proses, dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik dengan menggunakan masalah-masalah yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu pada situasi nyata. Sejauh ini pelaksanaan pembelajaran kurikulum 2013 khususnya di bidang IPA masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil observasi yang telah peneliti lakukan di salah satu SMP yang menerapkan kurikulum 5 2013, khususnya pada pembelajaran IPA. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMP N 1 Wonosari menunjukkan bahwa sebagian besar guru yang mengajar IPA di kelas IX masih menggunakan metode ceramah dan mengerjakan latihan soal untuk menyelesaikan materi sehingga dapat mengejar target UN, hasil yang hampir serupa juga diperoleh peneliti ketika melakukan observasi di kelas VII dan VIII. Guru IPA yang mengajar di kelas VII dan VIII juga menggunakan metode ceramah dan sangat jarang melakukan praktikum di laboratorium. Pembelajaran IPA di SMP N 1 Wonosari belum dapat menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, sebagian besar pembelajaran hanya terpaku di buku Kurikulum 2013. Selain itu guru IPA di SMP 1 Wonosari belum ada yang mengembangkan bahan ajar lain. Secara kognitif peserta didik SMP N 1 Wonosari memang dapat dikatakan tinggi akan tetapi dengan kurang sesuainya model pembelajaran IPA yang digunakan dan bahan ajar yang hanya mengacu pada buku IPA kurikulum 2013 menjadikan peserta didik hanya sekedar menghafal pengetahuan yang mereka peroleh sehingga mengakibatkan terbatasnya keterampilan berpikir kritis yang dimiliki tiap peserta didik di SMP N 1 Wonosari. Dengan demikian perbaikan pengajaran IPA khususnya pada aspek berpikir kritis mutlak untuk dikembangkan. Salah satu pokok bahasan IPA untuk kelas VII semester I pada jenjang SMP yang materinya sangat dekat dengan pengalaman peserta didik dalam 6 kehidupan sehari-hari ialah Perubahan Benda-benda di Sekitar Kita. Pada pokok bahasan tersebut peserta didik dapat mempelajari tentang berbagai perubahan materi yang ada di sekitar kita, baik perubahan secara fisika maupun kimia serta dapat memahami teknik pemisahan campuran yang ada pada kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan hal tersebut, maka untuk menyiapkan peserta didik atau sumber daya manusia yang memiliki keterampilan berpikir kritis diperlukan sebuah bahan ajar yang sesuai, salah satunya bentuk bahan ajar yaitu modul. Hal tersebut dilakukan mengingat belum tersedianya bahan ajar selain buku IPA Kurikulum 2013 di SMP N 1 Wonosari. Selain itu bahan ajar cetak yang ada di lapangan hanya menekankan pada penyampaian pengetahuan dengan berbagai teori yang mengakibatkan peserta didik bosan dan tidak memahami materi. Modul pembelajaran IPA pun masih sangat terbatas keberadaannya sebagai bahan ajar pendamping dalam proses pembelajaran. Keterbatasan bahan ajar ini menimbulkan ketidakefektifan dan efisiennya proses pembelajaran. Sehingga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya IPA perlu dilakukan inovasi bahan ajar seperti modul pembelajaran IPA. Modul merupakan perangkat pembelajaran yang bersifat mandiri, dimana peserta didik dituntut untuk belajar mandiri tanpa bimbingan guru secara langsung (Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2007: 132). Pembelajaran melalui modul memungkinkan peserta didik untuk meningkatkan aktivitas belajar optimal sesuai dengan 7 tingkatan kemampuan serta kemajuannya selama proses belajar berlangsung. Keberadaan modul sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan tujuan pembelajaran yang diharapkan karena mampu memberikan informasi dan menuntun kegiatan belajar siswa menjadi lebih terarah. Akan tetapi modul yang mampu mendukung pencapaian 4Cs Skills belum banyak tersedia di lapangan dan kebanyakan guru IPA juga belum mampu menyusunnya secara mandiri. Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka diperlukan adanya pengembangan bahan ajar yaitu modul IPA berbasis PjBL pada pokok bahasan Perubahan Benda-benda di Sekitar Kita untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis peserta didik SMP. Pada penelitian ini peneliti mengambil judul “Pengembangan Modul IPA Berbasis Model Project Based Learning pada Pokok Bahasan Perubahan Benda-benda di Sekitar Kita untuk Menumbuhkan Keterampilan Berpikir Kritis Peserta Didik SMP Kelas VII. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan produk yang layak sebagai bahan ajar dalam rangka menumbuhkan keterampilan berpikir kritis peserta didik. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 8 1. Pembelajaran IPA sesuai amanat pada kurikulum 2013 menekankan peserta didik untuk aktif dan menjadi pusat belajar, namun faktanya pembelajaran IPA di lapangan masih didominasi oleh guru. 2. Keterampilan abad 21 yang dikembangkan dari penerapan kurikulum 2013 diharapkan dapat mengembangkan keterampilan berpikir peserta didik, akan tetapi berdasarkan hasil observasi aspek berpikir kritis peserta didik dalam pembelajaran IPA belum dikembangkan secara optimal. 3. Keterampilan berpikir kritis lebih mudah diasah apabila peserta didik diberikan permasalahan berdasarkan pengalaman yang telah mereka peroleh, akan tetapi di lapangan kegiatan pembelajaran IPA hanya terpaku buku kurikulum 2013 baik itu buku siswa maupun buku guru. 4. Pembelajaran IPA di SMP N 1 Wonosari belum menggunakan model pembelajaran yang inovatif, sehingga perlu adanya inovasi model pembelajaran tertentu, salah satunya ialah Model PjBL (Project Based Learning) yang didasarkan pada pembuatan proyek secara mandiri guna melatih keterampilan berpikir kritis peserta didik. 5. Penggunaan bahan ajar berupa modul pembelajaran IPA diperlukan untuk membantu mengoptimalkan tujuan pembelajaran dan menuntun kegiatan pembelajaran menjadi lebih terarah dengan abad 21, namun di SMP N 1 Wonosari 9 belum pernah dikembangkan modul IPA yang mampu mendukung pencapaian keterampilan abad 21. 6. Penggunaan bahan ajar berupa modul IPA berbasis Project based Learning (PjBL) untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis peserta didik perlu dilakukan, akan tetapi di lapangan modul IPA berbasis Project based Learning (PjBL) belum pernah dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran IPA. C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, untuk memfokuskan penelitian maka masalah penelitian dibatasi pada nomor 2, 4, 5 yaitu belum dikembangkannya keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA secara optimal, selain itu pembelajaran IPA di lapangan belum menggunakan bahan ajar dan model pembelajaran yang inovatif, sehingga perlu adanya pengembangan bahan ajar dengan model pembelajaran yang inovativ untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis peserta didik yang berupa modul. Modul IPA yang dikembangkan berbasis Project Based Learning (PjBL) pada pokok bahasan Perubahan Benda-benda di Sekitar Kita. 10
Description: