EEEEKKKKLLLLEEEEKKKKTTTTIIIISSSSIIIISSSSMMMMEEEE DDDDAAAALLLLAAAAMMMM TTTTAAAAQQQQNNNNÎÎÎÎNNNN HHHHUUUUKKKKUUUUMMMM KKKKEEEELLLLUUUUAAAARRRRGGGGAAAA DDDDIIII DDDDUUUUNNNNIIIIAAAA IIIISSSSLLLLAAAAMMMM Abdul Ghofur Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, Indonesia E-mail: [email protected] Sulistiyono Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract: The Qur’ân was revealed with justice and equality for human beings regardless of their sex, race, social class and ethnicity, as cardinal principles and intrinsic values in Islamic sharî‘a. If this is the case, modern Muslim society with Islamic law is necessarily of equality and justice. However, their family laws which are grounded on assumptions of past centuries and have little bearing on contemporary realities have not reflected gender relations. Inequality that occurs within the context of Muslim family laws is one of the subtle but most pervasive areas of discrimination against women. It has resulted in a different set of dynamics that help create new demands in favor of change of laws. This study explores the reform strategy through legal mobilization in the Muslim family laws around the world. The findings of the study reveal that the substantive and pluralistic legal mobilization is important to Muslims, and the reinterpretation and renewal of laws have been mobilizing debates among both proponents and opponents, framed by orientations to the modernists who advocate reinterpretation of the original sources and the traditionalists who insist on literal adherence to the received doctrinal corpus. Keywords: Muslim family laws, gender equality, progressive eclecticism, conservative eclecticism. Pendahuluan Pada era informasi teknologi di mana dunia yang kita tempati sudah menjadi ‘kampung global’ seperti sekarang, pertanyaan mengenai persamaan hak dan kewajiban jender menjadi perhatian yang mengemuka secara serius. Fiqh klasik tentang hukum keluarga, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Volume 8, Nomor 2, Maret 2014; ISSN 1978-3183; 261-291 Abdul Ghofur dan Sulistiyono seperti akad pernikahan, warisan, kedudukan wanita, dikonsepsikan oleh para juris Muslim pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi (4/5 A.H) dalam sebuah konteks sosio historis yang menerima konsepsi kesenjangan/inekualitas jender dan subordinasi perempuan. Pada masa modern, di mana persamaan jender menjadi mainstream berbagai pranata sosial, seperti hukum, ekonomi, budaya, dan politik, asumsi dasar hukum klasik keluarga Muslim dianggap tidak lagi sesuai dengan realitas kontekstual. Pada beberapa dekade terakhir, terdapat sebuah kecenderungan umum di dunia Muslim, untuk mengamandemen hukum privat klasik akibat besarnya desakan berbagai kelompok untuk mengubah hukum keluarga yang sudah berumur berabad-abad tersebut. Gerakan ini terutama digerakkan oleh kalangan modernis, liberal, dan feminis, tetapi tidak jarang didukung pula oleh kelompok intelektual- konservatif, seperti Muh}ammad Sayyid T}ant}âwî, Grand Shaykh al- Azhar periode 1996-2010.1 Di dunia Muslim, komitmen dan proses perubahan untuk mengasesmen kembali inekualitas jender sudah berlangsung, walaupun berjalan secara pelan tetapi meyakinkan. Akselerasi tersebut, walaupun tidak bisa menggambarkan sepenuhnya tipologi masyarakat Muslim yang kompleks, tetapi cukup memberitahu adanya komitmen mendalam oleh sebagian besar masyarakat wanita Muslim untuk mendapatkan autentisitas spiritual dan kultural mereka. Proses ini dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk wanita Muslim pada khususnya dan dunia Muslim secara umum. 1 Pada waktu mengunjungi sebuah sekolah menengah di pinggiran Kairo yang berafiliasi dengan Universitas al-Azhar di bulan Oktober 2009, Grand Shaykh al- Azhar, Muh}ammad Sayyid T}antâwî, yang merupakan salah satu otoritas spiritual Sunnî paling berpengaruh di dunia, meminta kepada seorang gadis remaja pemakai niqâb (cadar wajah penuh yang menutupi seluruh tubuh kecuali mata) untuk melepaskannya dan menyuruhnya untuk tidak memakainya lagi dengan mengatakan: “Niqâb adalah sebuah tradisi, itu tidak ada hubungannya dengan agama”. Selanjutnya, ia bertekad untuk secara resmi mengeluarkan fatwa terhadap penggunaannya di sekolah-sekolah dan melarang setiap pemakai niqâb masuk sekolah yang terafiliasi pada al-Azhar. Shaykh T}ant}âwî termasuk ulama yang peduli pada isu-isu persamaan jender seperti menyetujui aborsi pada wanita korban pemerkosaan dan tidak setuju terhadap khitan pada wanita. Lihat Sami Zubaida, Law and Power in the Islamic World (London: L.B Tauris, 2012) dan artikel Adrian Blomfield, “Egypt Purges Niqab from Schools and Colleges”, dalam www.telegraph.co.uk bertanggal 5 Oktober 2009 (terakhir dikunjungi pada 08.14 WIB, 10 Desember 2014). 262 ISLAMICA, Volume 8, Nomor 2, Maret 2014 Eklektisisme dalam Taqnîn Konsekuensinya, hari ini baik Muslim laki-laki atau perempuan harus siap berjuang untuk pertanyaan lebih lanjut antara pemertahanan ortodoksi yang mendalam dalam kepercayaan spiritual dan identitas kultural mereka sekaligus dapat melegitimasi hak-hak wanita tanpa mengorbankan hubungan kultural yang sangat bernilai tinggi tersebut. Kesenjangan dalam aplikasi hukum Islam dalam ranah keluarga tersebut akan terasa antagonistik dengan karakter dasar Islam yang akan selalu relevan dengan kebutuhan sosial mengenai persamaan dan kesetaraan. Pada dasarnya, Islam yang mengandung unsur-unsur dasar yang sangat berbeda dengan pranata sosial apapun, termasuk hukum. Pemahaman mengenai hukum keluarga Islam harus didasarkan pada cara pandang bahwa Islam sudah menyediakan seperangkat sistem legal dasar yang secara idealis adalah adil dan setara. Dalam konteks ini, pengalaman Muslim di luar negara Muslim seperti Eropa, Australia, dan Amerika Utara yang telah sukses mengintegrasikan kepercayaan religius dan warisan etnik mereka dalam jalan hidup (the way of life) Barat akan menjadi hal yang sangat bernilai. Di sini terlihat bahwa ada bukti hidup bahwa Islam tidak hanya agama “oriental” an sich, tetapi agama dunia yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan kaum Muslim dalam semua era historis dan semua lokasi geografis. Pembahasan mengenai legislasi hukum keluarga Islam dalam tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu (1) tipologi aspek- aspek fundamental sebagai dasar untuk mengetahui aspek-aspek apa saja dalam hukum keluarga Islam yang dipandang urgen dalam mendorong kesetaraan jender, (2) konsepsi taqnîn atau legislasi legal hukum keluarga Islam yang mengarah pada mobilisasi berbagai sumber hukum dan mengorientasikan keadilan dan persamaan dalam keluarga yang pada masa modern diformalkan dalam bentuknya yang baru sebagai hasil sintesis antara keadilan Tuhan sebagai sifat dasar hukum Islam, persamaan jender, dan tuntutan HAM, (3) eklektisisme Hukum Keluarga: Eksaminasi teori dan praktik, yang dalam pembahasannya akan banyak mengutip sumber-sumber tradisional Islam untuk menunjukkan problematika fiqh yang seringkali mis- understanding atau misaplikasi teks-teks al-Qur’ân akibat distorsi kultur atau bias patriarkal, (4) tren kontemporer di negara-negara Muslim dan negara Barat dalam legislasi dan reformasi Hukum Keluarga Islam, dan (5) wajah egalitarian ortodoksi Muslim yang menampilkan Volume 8, Nomor 2, Maret 2014, ISLAMICA 263 Abdul Ghofur dan Sulistiyono hasil-hasil reformasi di negara-negara Muslim sekaligus sebagai dasar- dasar transformasi hukum keluarga Islam. Tipologi Aspek-aspek Fundamental Hukum Keluarga Islam Seiring dengan naiknya visibilitas pada Islam di arena internasional, hal ini memunculkan kompromi dan perhatian yang besar mengenai hak-hak wanita dalam Islam. Masyarakat luar seperti Amerika dan Eropa mengalami distorsi informasi mengenai Islam dan hukum Islam dianggap menyubordinasikan wanita pada posisi yang lemah, seperti kewajiban hijab, pengawalan dengan mah}ram, larangan berkendara, dan hukuman rajam pada pezina muh}s}ân. Pada faktanya, salah satu sebab mendasar adanya kontestasi diskriminasi wanita pada berbagai lapangan kehidupan Muslim terletak pada hal yang lebih halus dan pervasif, yaitu adanya ketidakadilan dan ketidakpersamaan dalam hukum keluarga Muslim.2 Hukum keluarga Muslim yang menjadi perhatian mendasar untuk mengalienasi kesenjangan jender adalah hijab, kebolehan memakai jilbab pada lembaga-lembaga pendidikan dan pekerjaan, formalitas dan kapasitas wanita untuk menikah, validitas pernikahan di bawah tangan, poligami, hak talak unilateral oleh lelaki, hak cerai oleh wanita (khulu‘), kewajiban nafkah setelah cerai, dan pengasuhan anak. Lebih lanjut, di luar konteks tuntutan akan persamaan hak wanita dalam hukum patriarkal tersebut, sesungguhnya visi dasar Islam sangat menekankan persamaan derajat seksual, moralitas pernikahan, keadilan dalam keluarga, menciptakan kesalehan, dan ketenangan (sakînah/tranquility) antara kedua pihak (suami-istri) dalam keluarga dan masyarakat.3 Sebagai dasar bagi klasifikasi aspek-aspek fundamental dalam taqnîn hukum Islam, perkembangan legislasi hukum Islam di Maroko perlu dijadikan sebagai dasar, di mana gerakan feminisme Maroko berhasil menekan pemerintahan monarki untuk mengakui posisi perempuan dan mengesahkan perundangan yang menyamakan hak- hak wanita. Setidaknya ada dua elemen penting dalam pembaruan hukum keluarga Islam, yaitu semangat eklektisisme sumber-sumber dalam konteks hukum modern untuk mendapatkan citra pembaruan 2 Zainah Anwar dan Jana S. Rumminger, “Justice and Equity in Muslim Family Laws: Challenges, Possibilities, and Strategies for Reform”, Wash and Lee L. Rev, Vol. 64 (2007), 1529. 3 Helen M. Alvaré, “Moral Reasoning of Family Law: The Case of Same-Sex Marriage”, Loyola University of Chicago: Law Journal, Vol. 38 (2006), 349. 264 ISLAMICA, Volume 8, Nomor 2, Maret 2014 Eklektisisme dalam Taqnîn yang lebih inklusif-plural dan penilaian kembali ijtihad. Hal yang mengesankan dari gerakan feminis Maroko dalam pembaruan hukum keluarga adalah orientasinya yang tidak hanya mereformasi hukum legal modern tetapi juga memusatkan pada hukum Islam tradisional, yakni pembaruan ijtihad sebagai dasar reformasi hukum.4 Karena bagaimana pun transformasi hukum keluarga Islam yang bercorak fiqh-oriented menuju hukum yang restoratif-emansipatif jender tidak bisa begitu saja diubah tanpa mengubah dahulu legitimasi ijtihad model klasik.5 Kaum reformis menuntut pengkajian ulang mengenai keharusan ijtihad pada masa modern, yang berdasar pada prinsip universalitas Islam tanpa terikat pada konteks sosio-historis dan geografis, dan pembedaan antara pewahyuan dan pemahaman manusia terhadap hukum Tuhan.6 Hukum keluarga Islam yang disarikan dari berbagai 4 Tradisional di sini diasosiasikan dengan hukum Islam di dunia Muslim yang diderivasikan dari pandangan para imam mazhab. Sebagai misal, Maroko menerapkan hukum keluarga dengan mengacu pada pandangan mazhab Malik, negara-negara Asia Tenggara mengacu pada mazhab Shâfi‘î, Turki, negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan mengacu pada mazhab H}anafî, sedangkan mazhab H}anbalî digunakan sebagai panduan konstitusi di Arab Saudi. Pada saat ini, aspek rasionalisme atau skripturalisme mazhab, di mana mazhab H}anafî digolongkan pada kelompok pertama dan H}anbalî secara kontradiktif pada kelompok terakhir, (Mâlikî dan Shâfi‘î berada di tengah antara keduanya), dipandang tidak lagi memadai untuk menghasilkan hukum yang sesuai dengan dunia modern. Kesimpulan demikian penulis dapatkan melalui analisis pada sejumlah tulisan artikel mengenai reformasi hukum keluarga Islam di berbagai negara dengan berbagai mazhab hukum. Maka, pembaruan hukum keluarga Islam, terutama mengenai hak wanita, tidak bisa berkorespodensi terus menerus dengan mazhab. Hal ini karena pandangan dalam berbagai mazhab selain banyak terjadi perbedaan juga tidak sesuai dengan konteks kontemporer. Lihat Narendra Subramanian, “Legal Change and Gender Inequality: Changes in Muslim Family Law in India”, Law and Social Inquiry, Vol. 33, No. 3 (2008), 631-672. Hal ini menuntut umat Islam beserta pemerintah mereka untuk mengubah metode istinbât} dalam mazhab yang mereka anut. Kebijakan nasional yang paling monumental adalah kebijakan nasional Maroko yang mengharuskan mereka untuk menilai kembali metode ijtihad untuk menghasilkan hukum keluarga yang lebih inklusif dan plural. Lihat Ziba Mir‐Hosseini, “How the Door of Ijtihad was Opened and Closed: a Comparative Analysis of Recent Family Law Reforms in Iran and Morocco”, Wash and Lee Law: Review, Vol. 64 (2007), 1499. 5 Azizah Y. al-Hibri, “Muslim Women’s Rights in the Global Village: Challenges and Opportunities”, J. L. and Religion, Vol. 15, No. 37 (2000); dan Mir‐Hosseini, “How the Door of Ijtihad was Opened and Closed”, 1499. 6 Nahda Y. Shehada, “Flexibility versus Rigidity in the Practice of Islamic Family Law”, PoLAR: Political and Legal Anthropology Review, Vol. 32, No. 1 (2009), 28-46. Volume 8, Nomor 2, Maret 2014, ISLAMICA 265 Abdul Ghofur dan Sulistiyono pendapat juris Islam pada masa pembentukan7 dipandang mengandung bias kultur patriarkal. Hukum keluarga Islam yang muncul hingga mapan pada masa abad ke-2 dan ke-3 Hijriah dipandang sarat pengaruh nilai-nilai sosio-ekonomi, politik, nilai kesukuan, dan masa-masa pra-Islam (socio-economic, political and indigenous tribal values of the prevailing times). Distorsi kultur atau bias patriarkal ini merupakan problematika fiqh sehingga seringkali mis- understanding atau misaplikasi teks-teks al-Qur’ân.8 Selama fase pembentukan mazhab inilah, para juris sering mengadopsi pendekatan pria-sentris terhadap hak-hak wanita dan hukum keluarga.9 Pada masa modern, kondisi politik dan sistem pemerintahan juga memengaruhi kemauan penguasa untuk mengubah hukum keluarga Islam.10 Selain itu, berbeda dengan pemerintahan republik- 7 Lihat historisitas hukum Islam secara lebih mendetail dalam N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: University Press, 1964); Joseph Schaht, Introduction of Islamic Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1965). 8 al-Hibri, “Muslim Women’s Rights”, 40. 9 Javaid Rehman, “The Sharia, Islamic Family Laws and International Human Rights Law: Examining the Theory and Practice of Polygamy and Talaq”, International Journal of Law, Policy and the Family Vol. 21, No. 1 (2007), 108- 127. 10 Dalam hal ini, masyarakat Muslim modern seperti mengalami disorientasi sistem hukum antara hukum modern dengan kondisi historis pembentukan mazhab- mazhab hukum Islam yang dianut. Hukum modern yang menyaratkan satu otoritas pembentuk hukum nasional sangat berbeda dengan sejarah pembentukan mazhab hukum di mana otoritas terletak di tangan juris (akar dasar yurisprudensi) yang memegang otoritas legislasi hukum, terutama pada masa Umayyah dan awal ‘Abbâsîyah. Pada masa sekarang, fanatisme mazhab yang bersatu dengan prinsip otoritas hukum nasional menjadi faktor yang semakin menyulitkan pembaruan hukum Islam. Afiliasi mazhab mayoritas rakyat biasanya dijadikan sebagai sumber hukum kemasyarakatan untuk kemudian ditawarkan dan dilegislasikan oleh pemerintah sebagai satu-satunya pemegang otoritas. Mengubah hukum seperti ini akan lebih rigid dibandingkan dengan masa-masa awal Islam, di mana otoritas hukum dipegang oleh berbagai juris dalam pandangan yang berbeda-beda dan qâdi pengadilan mempunyai kebebasan untuk berafiliasi pada mazhab manapun tanpa ada campur tangan pemerintah baik dalam legislasi ataupun yudikasi. Sehingga hukum menjadi lebih dinamis dan fleksibel terhadap perubahan. Lebih lanjut baca Ahmad Hassan, The Early Development Of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1978); Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change in Islamic Law (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2001); Schaht, Introduction, 199- 201; Bernard G. Weiss, “Interpretation in Islamic Law: The Theory of Ijtihâd”, The American Journal of Comparative Law (1978), 199-212; dan Muhammad Muslehudin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist: A Comparative Study of Islamic Legal System, 2nd ed, (Lahore: Islamic Publication, Ltd., 1980), 55. 266 ISLAMICA, Volume 8, Nomor 2, Maret 2014 Eklektisisme dalam Taqnîn parlementar yang konstitusinya lebih mudah diubah karena ditentukan berdasarkan keterwakilan dan platform politik partai berkuasa, sistem monarki, terutama monarki absolut seperti Maroko, Arab Saudi, Yordania, dan Brunei Darussalam lebih sulit mengubah hukum- hukumnya karena lebih tergantung pada figur raja. Sebagai misal, poligami di Maroko diregulasikan kembali oleh pengadilan, perluasan tipe cerai yang memungkinkan wanita mengambil inisiatif cerai, serta mengurangi hak cerai oleh laki-laki dalam bentuk oral dan mutlak, pewajiban akad pernikahan secara tertulis untuk melindungi kepentingan kaum perempuan, dan konsep untuk memberi kewenangan setara bagi kedua pihak untuk mendapatkan hak pengasuhan anak walaupun seorang wanita telah menikah kembali atau anaknya telah mencapai batas umur pengasuhan oleh ibu (maternal custody).11 Berdasarkan putusan-putusan dalam hukum Maroko, sebagaimana yang terdapat dalam artikel Bruce Maddy-Weitzman, maka dapat diklasifikasikan beberapa aspek fundamental dalam hukum keluarga Islam yang patut untuk diperhatikan, yaitu perkawinan, waris, hak cerai, hak pengasuhan, hak-hak anak, poligami, dan kewajiban wanita saat berada di ruang publik (hijab, pengawalan oleh mah}ram). Sebagian besar hukum tersebut merupakan upaya untuk menyamakan hak antara suami-istri dan laki-laki-perempuan baik dalam ruang privat atau ranah publik.12 11 Anwar dan Rumminger, “Justice and Equity in Muslim Family Laws”, 1529. 12 Bruce Maddy-Weitzman, “Women, Islam, and the Moroccan State: The Struggle over the Personal Status Law”, The Middle East Journal (2005), 393-410. Aspek-aspek fundamental dalam reformasi hukum keluarga Muslim, pada sejumlah besar tulisan yang mengkaji tentang hukum keluarga Muslim di berbagai negara Muslim, hampir mempunyai keseragaman yaitu pernikahan, poligami, cerai, warisan, pengasuhan, nasab, hijab dan pengawalan mah}ram. Lihat persamaan aspek-aspek ini untuk kasus Palestina dalam Nahda Y. Shehada, “Uncodified Justice: Women Negotiating Family Law and Customary Practice in Palestine”, Development, Vol. 47, No. 1 (2004), 103-108. Untuk kasus Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lihat Anwar dan Rumminger, “Justice and Equity in Muslim Family Laws”, 1529-1549; dan Norani Othman, “Muslim Women and the Challenge of Islamic Fundamentalism/Extremism: An overview of Southeast Asian Muslim Women’s Struggle for Human Rights and Gender Equality”, Women’s Studies International Forum, Vol. 29. No. 4, (2006). Kasus India (sekaligus perbandingan hak-hak wanita di Tunisia, Libya, Jordania, Bangladesh, Indonesia, Algeria, Nigeria, Sudan, Iran, Maroko) dapat dilihat dalam Subramanian, “Legal Change and Gender Inequality”, 631-672. Kasus Maroko dan Yordania dapat dibaca dalam Janine A. Clark dan Amy E. Young, “Islamism and Family Law Reform in Morocco and Volume 8, Nomor 2, Maret 2014, ISLAMICA 267 Abdul Ghofur dan Sulistiyono Sintesis antara Keadilan Tuhan, Persamaan Jender, dan HAM dalam Taqnîn Hukum Keluarga Pada dasarnya, pada masa sekarang, konsepsi taqnîn (legislasi hukum legal) tidak lagi hanya mengarah pada formalisasi teks normatif pada ranah kehidupan masyarakat, tetapi sudah meluas pada mobilisasi berbagai sumber hukum dan mengorientasikan keadilan dan persamaan dalam keluarga.13 Undang-undang pidana modern (penal codes) menjadi sumber pokok reformasi hukum keluarga Islam. Hal ini karena regulasi merupakan jantung relasi jender dan filosofi dasar pandangan terhadap aksi wanita, baik dalam ruang privat maupun ruang publik, yang membatasi perilaku wanita dan kontrol keluarga dan masyarakat terhadapnya.14 Dalam hal ini diperlukan reformasi eklektis hukum keluarga Islam yang tidak hanya menempatkan yurisprudensi Islam klasik sebagai satu-satunya sumber Jordan”, Mediterranean Politics, Vol. 13, No. 3 (2008), 333-352. Kasus Iran dan Maroko dalam Mir‐Hosseini, “How the Door of Ijtihad was Opened and Closed”, 1499, dan artikel Fatima Sadiqi, “The Central Role of the Family Law in the Moroccan Feminist Movement”, British Journal of Middle Eastern Studies Vol. 35, No. 3 (2008), 325-337. Kasus Mesir dalam Saba Mahmood, “Sectarian Conflict and Family Law in Contemporary Egypt”, American Ethnologist, Vol. 39, No. 1 (2012), 54-62. Kasus Iraq dalam artikel Kristen Stilt, “Islamic Law and the Making and Remaking of the Iraqi Legal System”, George Washington International Law Review, Vol. 36 (2004), 695. Tunisia dalam artikel Amira Mashhour, “Islamic Law and Gender Equality: Could there be a Common Ground?: A Study of Divorce and Polygamy in Sharia Law and Contemporary Legislation in Tunisia and Egypt”, Human Rights Quarterly, Vol. 27, No. 2 (2005), 562-596. Kasus Bangladesh dalam artikel Attila Ambrus, Erica Field, dan Maximo Torero, “Muslim Family Law, Prenuptial Agreements, and the Emergence of Dowry in Bangladesh”, The Quarterly Journal of Economics, Vol. 125, No. 3 (2010), 1349-1397. Untuk negara-negara di sabuk Sahel Afrika dapat dilihat dalam Abd-el Kader Boye, et al., “Marriage Law and Practice in the Sahel”, Studies in Family Planning, Vol. 22, No. 6 (1990), 343-349. Turki bisa lihat pada Akile Gürsoy, “Abortion in Turkey: a Matter of State, Family or Individual Decision”, Social Science and Medicine, Vol. 42, No. 4 (1996), 531-542. Kasus Indonesia dapat dibaca dalam Jennifer Brown, “Rural Women’s Land Rights in Java, Indonesia: Strengthened by Family Law, But Weakened by Land Registration”, Pac. Rim L. and Pol’y J., Vol. 12 (2003), 631, dan Adriaan Bedner dan Stijn Van Huis, “Plurality of Marriage Law and Marriage Registration for Muslims in Indonesia: a Plea for Pragmatism”, Utrecht L. Rev. Vol. 6 (2010), 175. 13 Subramanian, “Legal Change and Gender Inequality”, 631. 14 Amira El Azhary Sonbol, “Muslim Women and Legal Reform: the Case of Jordan and Women’s Work” dalam Yvonne Yazbeck Haddad dan Barbara Freyer Stowasser (eds.), Islamic Law and the Challenge of Modernity (Walnut Creek, USA: Alta Mira Press, 2004), 213-232. 268 ISLAMICA, Volume 8, Nomor 2, Maret 2014 Eklektisisme dalam Taqnîn normatif legislasi hukum keluarga, tetapi telah meluas pada sintesis, bahkan eklektis, berbagai sumber hukum modern, adat dan hukum Islam untuk mengorientasikan keadilan dan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan pria dalam kehidupan keluarga. Dari sini, kata taqnîn mengarah pada dua makna. Pertama, mengarah pada proses pembentukan hukum dengan menggali dari sumber-sumber yang tersedia. Hukum di dunia Muslim modern ditentukan oleh berbagai aspek yang bersangkut-paut, seperti hukum adat, hukum Islam, hukum kolonial (Perancis, Inggris, Belanda, dan bekas kolonialis lainnya), dan hukum sipil.15 Dalam membentuk hukum keluarga dengan orientasi yang baru, berbagai sumber hukum yang dapat digali untuk tujuan tersebut antara lain, (1) hukum Barat transnasional, (2) hak-hak konstitusional warga negara, (3) hukum kriminal, yang relevan dengan kehidupan keluarga, (4) hukum Islam transnasional, (5) statuta hukum kelompok tertentu, (6) tradisi legal baik adat atau kelompok, yang belum terkodifikasi, (7) norma kelompok, (8) inisiatif dan praktik kelompok tertentu, dan (9) hukum dan adat sub-kelompok. Kedua, mengarah pada legalisasi hukum dalam konteks modern, yakni melegalisasikan hasil reformasi eklektis hukum keluarga Islam tersebut untuk dilegitimasi oleh otoritas negara untuk mendapatkan kekuatan hukum yang berlaku mengikat, efektif, sistematis, masif dan struktural dalam berbagai jenjang pengadilan nasional di tiap negara Muslim. Legislasi dan pengadilan tersebut terutama berbentuk pengorganisasian hak-hak wanita, serta orientasi pembuat kebijakan untuk meregulasikan visi dasar normatif dalam hukum keluarga berupa keadilan dan persamaan derajat. 16 Proses reformasi hukum keluarga tersebut memerlukan dasar struktural masyarakat yang sadar akan perlunya membentuk hukum keluarga dengan visi dan orientasi baru tersebut. Akan tetapi, dalam konteks sosial masyarakat Muslim, reformasi hukum Islam, baik pidana atau sipil, masih mendapatkan restriksi akibat besarnya sikap taken for granted pada fiqh klasik Islam. Sebagian besar restriksi dari beberapa tantangan kunci sebagai dasar reformasi hukum berikut lebih mengarah pada konteks psikologi sosial kaum Muslim, yaitu adanya mainstream bahwa hukum keluarga Islam merupakan hukum Allah per se, yang final dan tidak berubah, sehingga setiap usaha reformasi akan dianggap sebagai tidak Islami. Kedua, banyak orang 15 Boye et. al., “Marriage Law and Practice in the Sahel”, 150-158 16 Subramanian, “Legal Change and Gender Inequality”, 672. Volume 8, Nomor 2, Maret 2014, ISLAMICA 269 Abdul Ghofur dan Sulistiyono mempunyai asumsi bahwa laki-laki dan wanita tidak mempunyai hak yang setara dalam Islam secara umum, seperti tuntutan dalam kesetaraan hak untuk menikah, hak yang sama untuk cerai, pengawalan, dan kewarisan digambarkan sebagai sikap melawan hukum Tuhan. Ketiga, baik individu maupun masyarakat sering mengekspresikan pandangan tradisional bahwa hanya ulama yang mempunyai otoritas untuk berbicara atas nama Islam. Karena biasanya ulama tidak menjadi ujung tombak reformasi hukum, maka kelompok masyarakat sipil dan intelektual yang kemudian menjalankan reformasi hukum, tetapi otoritas dan mandat mereka dipertanyakan dan dianggap sebelah mata. Di sini, kaum wanita pada masyarakat Muslim mempunyai kesulitan untuk mereformasi karena kekurangan dukungan pemerintah dan otoritas religius. Keempat, banyak Muslim yang takut untuk membincangkan isu publik di ranah publik, karena kontras dengan pandangan ortodoksi. Mereka takut menimbulkan kontroversi atau diberi label anti-Islam oleh ekstremis. Ketakutan ini semakin bertambah dengan diamnya kaum intelektual progresif yang cakap dalam intelektualitas dan kredibilitasnya untuk ikut berbicara. Kelima, konflik antara jaminan konstitusional mengenai kesetaraan dan non-diskriminasi dan pengakuan terhadap hukum agama dan hukum adat menjadi bumerang dengan digunakan sebagai sarana diskriminasi perempuan di berbagai negara dengan dalih untuk memertahankan agama dan pengakuan keberagaman budaya.17 Ada beberapa faktor utama reformasi hukum (re-eksaminasi dan re-legislasi Hukum Keluarga Islam). Pertama adalah tuntutan akan hak asasi manusia (internasionalisasi hukum Islam).18 Hal ini didasari bahwa kontinuasi hukum keluarga Islam pada masa sekarang akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia. Artikulasi substansi sharî‘ah dalam konteks hukum keluarga Islam 17 Shehada, “Flexibility versus Rigidity”, 28-46. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan penolakan terhadap reformasi lebih menjurus pada alasan psiko-sosial dibandingkan dengan alasan paradigmatik-metodologis. Secara umum, semua sumber hukum, metodologi, urgensi dan tujuan reformasi dan re-legislasi hukum keluarga Islam tersedia secara memadai, termasuk penilaian kembali relevansi ijtihad. 18 Penerapan hukum keluarga Islam di beberapa negara Arab telah menyesuaikan dengan prinsip HAM, walaupun belum komprehensif dan jauh tertinggal. Diskusi lebih lanjut dapat dilihat dalam Mohamed Y. Mattar, “Unresolved Questions in the Bill of Rights of the New Iraqi Constitution: How Will the Clash between Human Rights and Islamic Law Be Reconciled in Future Legislative Enactments and Judicial Interpretations”, Fordham Int’l Law Journal, Vol. 30 (2006), 126. 270 ISLAMICA, Volume 8, Nomor 2, Maret 2014
Description: