KEJAYAAN KESULTANAN BUTON ABAD KE-17 & 18 DALAM TINJAUAN ARKEOLOGI EKOLOGI The Glorious Buton Sultanate 17 & 18th Century in Ecological Archaeology Review Muhammad Al Mujabuddawat Balai Arkeologi Ambon-Indonesia Jl. Namalatu-Latuhalat, Ambon 97118 [email protected] Naskah diterima: 23-02-2015; direvisi: 17-04-2015; disetujui: 25-05-2015 Abstract Buton Sultanate is a prosperous maritime sultanate in its heyday. Buton Sultanate land is not very fertile and does not produce a lot of commodities, but it is quite well known because of its location in the commercial lines, so that it becomes a stopover place for passing ships. This paper provides an overview of ecological archaeology towards the triumph case of Buton Sultanate in the 17th-18th century. The research method used in this paper is literature study and review of a theory through an observation of cultural ecology and environmental determinism. The results show that the ecological aspects affect the heyday of the Buton Sultanate. Buton Sultanate does not produce a lot of major commodities, but it is successfully adapt to environmental conditions and maximize the benefits derived from the ecological aspects by applying it to the structure of Sultanate society, a commercial network, and material culture. The profits are also applied to maintain its legitimacy in the great power of hegemony in the region. Success in 'conquering' the environment makes the Buton Sultanate victorious, even the identity of 'kebutonan' still embedded in Buton society until this day. Keywords: Ecological archaeology, Buton, environment, sultanate, trade Abstrak Kesultanan Buton merupakan kesultanan bercorak maritim yang cukup besar pada masa jayanya. Daratan Kesultanan Buton tidak begitu subur dan tidak banyak menghasilkan komoditi namun cukup terkenal karena lokasinya terletak di jalur niaga, sehingga menjadi lokasi singgah bagi kapal-kapal yang melintas. Penelitian ini berisi tinjauan arkeologi ekologi terhadap kasus kejayaan kesultanan Buton abad ke-17-18. Metode penelitian menggunakan studi pustaka dan tinjauan teori melalui tinjauan model cultural ecology dan environmental determinism. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek-aspek ekologi berpengaruh terhadap kejayaan Kesultanan Buton. Kesultanan Buton tidak banyak menghasilkan komoditi utama, namun berhasil menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya dan sukses memaksimalkan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari aspek ekologis. Dengan menerapkannya pada struktur masyarakat Kesultanan, jaringan perniagaan, budaya material, Kesultanan Buton mempertahankan legitimasi dalam hegemoni kekuatan besar di wilayahnya. Kesuksesan dalam ‘menaklukan’ lingkungan menjadikan Kesultanan Buton berjaya, bahkan hingga saat ini identitas ‘kebutonan’ masih melekat di dalam masyarakat Buton. Kata kunci: Arkeologi ekologi, Buton, lingkungan, kesultanan, niaga Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 Dalam ......, Muhammad Al Mujabuddawat 21 PENDAHULUAN penyebrangan menjadi suatu lokasi bagi Pada hakikatnya, manusia dan pertemuan budaya. Proses dialog, berdagang, lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat melihat, meniru, dan sebagainya dilakukan dipisahkan. Lingkungan sangat berperan dalam di pantai yang menjadi pusat perdagangan, mempengaruhi cara manusia beraktivitas, laut sebagai faktor integratif atau continuum sehingga manusia dapat menghasilkan kepulauan Nusantara (Lapian, 2009: 31). sesuatu. Begitu pula sebaliknya, manusia yang Posisi wilayah Nusantara terletak selalu tergantung pada lingkungannya dapat sangat strategis berada di persimpangan dua mempengaruhi keberadaan dan keseimbangan benua dan dua samudera, yaitu benua Asia dan ekosistem di dalam lingkungan tempat Australia, serta samudera Hindia dan samudera tinggalnya. Suatu ekosistem terbentuk oleh Pasifik menjadi tempat persimpangan kapal- adanya hubungan timbal balik yang tidak kapal untuk berdagang. Bentuk wilayah terpisahkan antara makhluk hidup dengan Nusantara yang berupa kepulauan menjadikan lingkungannya. Organisme di dalam suatu laut, selat, dan sungai yang saling terhubung komunitas berkembang bersama-sama dengan membentuk jalur pelayaran dan perdagangan lingkungan fisik sebagai suatu sistem dalam yang ramai. Jalur pelayaran dan perdagangan ekosistemnya dengan membentuk suatu menjadi sistem yang saling terkait dan siklus atau aliran energi, sehingga terbentuk menopang sehingga menimbulkan suatu suatu model ekosistem. Organisme akan kesamaan budaya meskipun tetap terdapat beradaptasi dengan lingkungan fisik dan pada perbedaan suku bangsa dan bahasa. Kesamaan perkembangan selanjutnya organisme pun iklim dan kesatuan geografis juga menjadi mempengaruhi lingkungan fisik sebagai akibat faktor penting dalam membentuk suatu pola usaha organisme untuk mempertahankan tertentu dalam kebiasaan makan dan kehidupan hidup (Todum, 1992: 17). lainnya. Secara luas keterkaitan ini tidak hanya Manusia yang termasuk organisme dalam kesatuan Nusantara tetapi juga kesatuan penyusun komponen biotik dalam suatu kawasan asia Tenggara (Reid, 1992: 16). ekosistem berperan besar dalam keseimbangan Selain itu, Nusantara juga terhubung secara model ekosistem. Manusia merupakan langsung maupun tidak langsung dengan dua makhluk hidup yang paling khas dibandingkan jalur perdagangan internasional di Asia yang dengan organisme lainnya sehingga mampu disebut jalur sutera. Jalur pertama adalah jalur mengubah susunan model ekosistem sebagai darat yang dimulai dari Tiongkok. Jalur kedua bentuk pengaplikasian fungsi akal pikirannya adalah jalur laut yang dimulai dari Tiongkok (Sue, 1972: 47). Pada dasarnya, manusia dan Nusantara melalui Selat Malaka ke India memodifikasi lingkungan sebagai usaha hingga pada akhirnya sampai ke Laut Tengah memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan (Van Leur, 1957: 40). memodifikasi lingkungan tersebut kemudian Kawasan Indonesia bagian timur tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan. terdapat pelabuhan-pelabuhan yang ramai Pengaruh lingkungan dapat diamati dari usaha dikunjungi oleh pedagang yang kemudian manusia untuk membangun kebudayaan membentuk jaringan pelayaran dari dan yang disesuaikan dengan keadaan alam menuju Sulawesi, seperti Pelabuhan Malaka, dan ketersediaan ekosistem sekitarnya Makassar, Sulu, dan Maluku. Kawasan (Sopher, 1967: 1). Interaksi antara keduanya Indonesia bagian barat juga terdapat kota- menjadi sangat penting dalam munculnya kota pelabuhan yang ramai, yaitu Batavia, suatu kebudayaan. Proses adaptasi terhadap Banten, Demak, dan Surabaya. Menguatnya lingkungan melahirkan ciri kebudayaan, pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan dan dan kebudayaan menjadi media untuk Sulawesi Tenggara seiring berjalan dengan menghasilkan ekonomi. Lingkungan pantai jatuhnya satu-persatu pelabuhan tersebut sebagai tempat pemberhentian dan tempat ke tangan VOC dan Portugis. Jatuhnya Kapata Arkeologi 22 Volume 11 Nomor 1, Juli 2015: 21-32 Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 niaga, begitu pun di dalam buku Edward L. menyebabkan para pedagang dan pelaut Poelinggomang yang berjudul ‘Makassar Abad mencari koloni dagang baru, salah satunya XIX,’ serta pembahasan di dalam tulisan yang adalah Makassar. Kemudian pada abad ke- ditulis oleh Sejarawan lainnya. Pembahasan 17 ketika banyak pelabuhan-pelabuhan di yang lebih khusus tentang Kesultanan Buton jawa dan Maluku jatuh ke tangan VOC, para ialah Susanto Zuhdi dalam bukunya yang pedagang Jawa dan pedagang dari pusat berjudul ‘Sejarah Buton yang Terabaikan perdagangan tersebut menjadikan kawasan Labu Rope Labu Wana.’ Zuhdi dalam bukunya Sulawesi bagian selatan tempat singgah dan sangat detil menuliskan sejarah Kesultanan pemasaran baru (Poelinggomang, 2002: 22). Buton hingga aspek budaya masyarakatnya, Politik monopoli yang dijalankan Kolonialis namun faktor-faktor yang berpengaruh mengakibatkan para pedagang memindahkan terhadap kejayaannya perlu pembahasan lebih tujuan dagangnya mencari tempat-tempat lanjut, terutama secara arkeologis. Melihat pelabuhan bebas, sehingga peran dari bagaimana Kesultanan Buton yang terdiri pelabuhan Makassar dan Buton pun semakin atas banyak pulau, ragam suku dan bahasa meningkat. bisa menjadi akses penting dalam jalur niaga Kesultanan Buton merupakan hingga mencapai masa jayanya sangat menarik kesultanan bercorak maritim yang terdiri untuk dibahas. Arkeologi sebagai ilmu yang atas banyak pulau, ragam suku dan bahasa. menganalisis dan merekonstruksi kejadian Wilayah Kesultanan Buton berada di tengah- masa lampau memiliki peranan dengan tengah kekuatan besar, yaitu Makassar, sejumlah teori dan metode untuk menganalisis Ternate, dan Belanda. Kesultanan ini tetap pertanyaan tersebut. Penelitian ini bermaksud dapat mempertahankan legitimasinya hingga meninjau teori arkeologi dalam kasus kejayaan mencapai kejayaan, meskipun dengan Kesultanan Buton. Pada tulisan ini, teori yang tekanan dua kondisi tersebut. Kejayaan berkenaan dengan aspek-aspek ekologis Kesultanan Buton sangat dipengaruhi oleh menjadi pilihan karena manusia sebagai keberadaan pelabuhan. Pelabuhan Buton pencipta kebudayaan merupakan sebuah merupakan pelabuhan yang sangat penting mekanisme yang adaptif terhadap alam, dan pada masa itu. Akses laut yang terbentang alam turut menentukan pola manusia dalam di nusantara menjadikan Pelabuhan Buton beradaptasi (Sutton & Anderson, 2010: 1), menjadi pelabuhan yang sangat penting untuk jadi dapat dikatakan bahwa faktor ekologi disinggahi. Munculnya jalur perdagangan telah merupakan sebuah dasar dari perkembangan memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan budaya. Tulisan ini akan menggunakan sudut pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pandang dari tinjauan arkeologi ekologi pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya untuk membahas aspek-aspek yang menjadi sejak abad ke 13-18 M (Tjandrasamita, 2009: pendorong kemajuan kesultanan Buton hingga 39). Karena faktor tersebut, kesultanan Buton mencapai kejayaannya. menjadi pusat perdagangan dari kapal-kapal pedagang yang singgah. Perputaran ekonomi METODE yang terjadi turut menjadikan Kesultanan Cakupan penelitian ini berfokus pada Buton menjadi wilayah kesultanan yang wilayah Kesultanan Buton yang mencakup tumbuh besar hingga mencapai masa pulau Buton dan pulau-pulau lainnya yang kejayaannya. termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Pembahasan mengenai sejarah Kesultanan Buton pada masa kejayaannya. kejayaan Kesultanan Buton sejauh ini sudah Pengumpulan data dilakukan melalui studi banyak ditulis. Anthony Reid dalam beberapa pustaka berdasarkan penelitian-penelitian tulisannya cukup banyak menjelaskan peran yang pernah dilakukan. Data-data yang dan kejayaan Kesultanan Buton dalam jaringan dikumpulkan berupa sumber literatur yang Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 Dalam ......, Muhammad Al Mujabuddawat 23 berkaitan dengan penelitian kesultanan Buton merupakan dasar kajian dari ilmu arkeologi. yang dipilih sesuai tema yang dibahas di dalam Inti dari kebudayaan ialah hasil adaptasi tulisan ini. Dalam merumuskan pembahasan manusia terhadap lingkungan. Arkeologi dari pertanyaan tulisan ini, tinjauan model ekologi secara konsep sangat berkaitan arkeologi ekologi menjadi metode yang dengan sejarah geografi dan determinisme digunakan. Arkeologi ekologi dalam lingkungan. Determinisme lingkungan adalah metodenya menggunakan beberapa konsep keyakinan bahwa lingkungan terutama model analisa. Model dari arkeologi ekologi faktor fisik seperti bentang alam atau iklim diantaranya, environmental determinism, menentukan pola budaya manusia dan possibilism model, cultural ecology model, pembangunan masyarakat. Para determinis ecosystem model, decism making model, dan lingkungan mengemukakan bahwa hanya general system model (Butzer, 1994: 32). faktor-faktor lingkungan, iklim, dan geografis Pada tulisan ini akan menggunakan tinjauan saja yang berdampak pada budaya manusia environmental determinism model dan cultural dan keputusan individu, sedangkan kondisi ecology model untuk menjawab konteks sosial hampir tidak memiliki dampak pada kejayaan kesultanan Buton berdasarkan perkembangan budaya. model arkeologi ekologi. Pada environmental Seperti yang telah diuraikan determinism model, faktor yang berpengaruh sebelumnya, tulisan ini menggunakan terhadap penunjang kemakmuran suatu dua model analisis arkeologi ekologi, masyarakat di suatu wilayah adalah kondisi yaitu Environmental Determinism Model geografis dan lingkungan, sedangkan pada dan Cultural Ecology Model. Analisis cultural ecology model, kondisi-kondisi yang dan interpretasi tinjauan Environmental ditinjau dari environmental determinism Determinism Model dilakukan terhadap model merupakan pendorong utama yang Struktur Masyarakat Kesultanan dan Jaringan berpengaruh dalam memodifikasi lingkungan Perdagangan Kesultanan Buton. Tinjauan sehingga melahirkan budaya materi maupun Cultural Ecology Model dilakukan terhadap non materi serta pola pikir masyarakat tersebut. Budaya Material Kesultanan Buton, dan Aspek-aspek yang mendukung kejayaan Hegemoni Kesultanan. Padabagian ini dibahas Kesultanan Buton amat berkaitan dengan lima hal pokok, yaitu Kondisi Lingkungan, faktor ekologis, maka dengan melakukan Struktur Masyarakat dan Kesultanan, Jaringan tinjauan model arkeologi ekologi secara Perdagangan, Budaya Material, dan Hegemoni komprehensif terhadap data-data sejarah yang Kesultanan Buton. telah tertulis dan diteliti sebelumnya akan 1. Kondisi Lingkungan Kesultanan mendapatkan pembahasan yang menjelaskan Buton faktor-faktor yang menjadikan Kesultanan Buton begitu besar dan jaya pada masanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914) (Hutagalung, 2010: 20). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Kunci dari ekologi adalah adaptasi, sedangkan adaptasi Gambar 1. Peta Wilayah Buton merupakan kunci dari kebudayaan yang (Sumber: Map Extraction peta dasar BIG diolah oleh Mujabuddawat, 2015) Kapata Arkeologi 24 Volume 11 Nomor 1, Juli 2015: 21-32 Kesultanan Buton pada masanya terletak di jazirah Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara. Pusat pemerintahan Kesultanan Buton berada di Kota Baubau, tepatnya di Kecamatan Betoambari merupakan tempat Keraton Buton berdiri. Keraton Buton merupakan wilayah bekas Kesultanan yang secara geografis terletak antara 5, 21˚ - 5, 30 LS dan 122, 30˚ - 122, 45˚ BT. Kondisi lingkungan Pulau Buton berbentuk perbukitan Gambar 3. Lansekap topografi daratan Buton dengan struktur tanah yang berbatu dan kering (Sumber: Dokumentasi Mujabuddawat 2011) dengan kemiringan tanah mencapai 40º, Secara umum lokasi Pulau Buton dengan ketinggian ± 100 m di atas permukaan dan pulau-pulau lain yang menjadi daerah laut. Jenis tanahnya yaitu tanah kambisol, kekuasaan Kesultanan Buton cukup strategis, podzolik, dan sebagian besar berupa tanah namun pulau-pulau tersebut tidak subur. Jenis litosol. Jenis tanah litosol mempunyai sifat tanaman yang dapat tumbuh adalah jagung tahan terhadap erosi, mudah menyerap air dan umbi-umbian, karena itulah, komoditi dan dapat menahan tanah dengan baik (Awat, yang diperdagangkan dari hasil kekayaan 2007: 40). Naskah Kakawin Nagarakretagama buton adalah budak sedangkan hasil bumi (1365) yang ditulis Mpu Prapanca menyebut hampir tidak ada. Bahkan untuk kebutuhan nama Buton sebagai salah satu negeri beras harus dibantu oleh VOC yang diimpor yang telah berhubungan dengan Kerajaan dari Maluku. Kesultanan Buton merupakan Majapahit dan berada di bawah pengaruhnya kesultanan bercorak maritim yang terdiri atas (Slametmulyana, 1979: 280). Kesultanan banyak pulau, ragam suku dan bahasa. Wilayah Buton bila ditinjau dari letaknya yang berada Kesultanan Buton berada di tengah-tengah di tengah-tengah lautan serta posisi Kraton kekuatan besar, yaitu Makassar, Ternate, yang berada di tepi garis pantai menunjukkan dan Belanda. Pelabuhan Buton merupakan bahwa kesultanan ini bercorak maritim. pelabuhan yang sangat penting pada masa Daerah kekuasaan yang tergabung dalam itu. Akses laut yang terbentang di nusantara Kesultanan Buton tidak hanya mencakup menjadikan Pelabuhan Buton menjadi Pulau Buton tetapi pulau-pulau lain, seperti pelabuhan yang sangat penting disinggahi. Muna, Kabaena, Tikula, Tobea Besar, Tobea Kecil, Mangkasar, Bataoga, Kadatuwang, 2. Tinjauan Environmental Determinism Masirieng, Siompo, dan Kepulauan Tukang Model terhadap Struktur Masyarakat Besi. dan Kesultanan Environmental determinism atau environmentalism merupakan teori utama mengenai interaksi antara budaya dan lingkungan, teori ini telah ada sejak masa klasik Yunani. Gagasan ini pada dasarnya menerangkan bahwa mekanisme lingkungan menentukan bagaimana budaya beradaptasi (Sutton & Anderson, 2010: 15). Manusia sebagai subjek penghasil budaya sejatinya beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya, proses adaptasi tersebut lalu Gambar 2. Lansekap di sekitar Benteng menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang Keraton Buton (Sumber: Dokumentasi Mujabuddawat 2011) terus berlangsung turun-temurun hingga Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 Dalam ......, Muhammad Al Mujabuddawat 25 memunculkan inovasi dan ciri khas yaitu budaya. Lingkunganlah yang memaksa proses adaptasi manusia untuk menyesuaikan diri agar bertahan hidup. Lingkungan yang dimaksud mencakup kondisi geografis, sumber daya alam, dan iklim. Pada hal ini, ditinjau dari environmental determinism model, kondisi wilayah Kesultanan yang terbentang banyak pulau, Gambar 4. . Lansekap daratan pesisir Buton maka Kesultanan Buton memiliki banyak suku (Sumber: Dokumentasi Mujabuddawat 2011) dan etnis. Karena kondisi geografis Kesultanan ini adalah Kesultanan Buton, maka perlu suatu Buton yang terpisah antar pulau, maka setiap bentuk decision making untuk melegitimasi pulau didiami oleh suku-suku yang berbeda. kekuasaan (Sutton & Anderson, 2010: 125). Pada kondisi masyarakat yang mendiami Dalam kasus Kesultanan Buton, legitimasi wilayah kekuasaan Kesultanan Buton cukup kekuasaan yang paling efektif ialah dengan beragam dan berasal dari berbagai suku membentuk struktur lapisan sosial. Lapisan bangsa yang berada di sekitar Sulawesi. Buton sosial dalam masyarakat Buton terbentuk yang mendiami Pulau Buton, suku Muna yang berdasarkan mitos yang terbangun dalam mendiami Pulau Muna, suku kabaena di Pulau masyarakat tentang asal-usul masyarakat Kabaena, dan suku yang mendiami Kepulauan Buton. Menurut mitos, asal-usul terbentuknya Tukang Besi. Selain itu terdapat suku laut Kesultanan Buton berasal dari mendaratnya yang disebut Orang Bajo. Orang Bajo adalah Sipanjonga beserta pengikutnya di Buton. suku pengembara laut yang pemukimannya Kemudian mereka membuka lahan di semak tersebar hampir di sepanjang garis pantai belukar yang disebut Welia atau Wolio atau Pulau Sulawesi, bahkan termasuk Kalimantan, Buton. Kemudian Sipanjonga menikah dengan Maluku, Nusa Tenggara, hingga Filipina. saudara perempuan Simalui lalu melahirkan Pada kawasan Kesultanan Buton, Orang Bajo anak laki-laki yang diberi nama Betoambari. mendiami pantai di Pulau Buton, Kabaena, Beranjak dari mitos ini diyakini akhirnya Poleang, Muna timur, Kepulauan Tukang Besi, membelah lapisan sosial yang ada menjadi Kaledupa, dan Kepulauan Tiworo. Secara dua, yaitu Kaomu dan Walaka. Pelapisan ini historis, orang-orang Bajo memiliki peranan berdasarkan antara kelompok orang yang yang cukup signifikan dalam Kesultanan menyebut sebagai orang Wolio dan bukan tersebut, sehingga mempunyai keistimewaan (Zuhdi, 2010: 74-77). tersendiri. Terbukti pada tinggalan arkeologis, Mitos menjadi dasar hukum bagi yaitu pada dua belas Terdapat suku pintu golongan Kaomu untuk terus mempertahankan gerbang Benteng Kraton Buton terdapat satu legitimasinya menjadi Sultan Buton. Sistem pintu gerbang yang disebut dengan Lamana pemilihan seperti ini adalah pemilihan Wajo. Penamaan pintu tersebut dimaksudkan terbatas hanya dari golongan Kaomu. Laki- untuk menandai orang yang menjaga pintu laki Kaomu tidak boleh menikah dengan tersebut atau pintu bagi keluar masuknya perempuan Walaka karena dikhawatirkan Orang Bajo yang ingin menghadap Sultan akan terjadi penurunan status. Perbedaan (Zuhdi, 2010: 44). lapisan masyarakat di Keraton Buton hingga Untuk mengikat semua perbedaan kini masih ada, meskipun tidak terlembagakan suku di banyak pulau tersebut, maka dalam lagi oleh adat. Perbedaan ini terlihat pada environmental determinism model menurut saat acara lamaran atau tunangan. Seorang Sutton & Anderson, kondisi masyarakat yang laki-laki dari dua golongan di atas (Kaomu terbentuk akibat lingkungan tersebut apabila dan Walaka) dapat kawin dengan seorang tergabung dalam satu kesatuan yang dalam hal perempuan dari lapisan yang lebih rendah, Kapata Arkeologi 26 Volume 11 Nomor 1, Juli 2015: 21-32 namun tidak sebaliknya untuk perempuan. wilayah Kecamatan Kapuntori, Barangka, Seandainya seorang perempuan dari lapisan dan sebagian Kecamatan Betoambari yaitu Kaomu atau Walaka melanggar peraturan ini, Desa Katobengke). Penggunaan Bahasa Muna ia dapat dikucilkan oleh keluarganya dan tidak terdapat di Kepulauan Muna Selatan atau boleh tinggal di dalam Keraton, akan tetapi biasa disebut Buton Utara yaitu di Kecamatan di masa Kesultanan ia akan dihukum mati Lakudo, Gu, Mawasangka, dan Sangia (Schoorl, 2003: 81). Wambulu (Awat, 2007: 47). Selain lapisan sosial kalangan atas Bahasa yang digunakan oleh pengguna yaitu Kaomu dan Walaka yang saling membagi bahasa berbeda dari rumpun yang sama kekuasaan pemerintahan, terdapat pula lapisan dengan bahasa Wolio dan karenanya tidak sosial lain di bawahnya. Lapisan sosial tersebut saling mengerti. Pengguna-pengguna bahasa yaitu Papara dan Batua. Golongan Papara, di setiap tempat di atas, juga tidak akan saling terdiri atas penduduk desa yang merdeka, memahami bahasa satu sama lainnya. Oleh mendiami daerah Kadie (desa). Mereka tidak karena itu, seseorang yang mengaku orang boleh tinggal di pusat (Keraton Buton) dan Buton, sebagian besar tidak berbahasa Buton, tidak ikut dalam pemerintahan Kesultanan. tapi tergantung dari tempatnya tinggal atau Namun, mereka wajib menyerahkan upeti atau berdomisili, serta bahasa ibunya. Hal ini tidak membayar pajak tahunan kepada Kesultanan terlepas pula dari peranan Kesultanan Buton dan mengerjakan jasa-jasa tertentu, antara lain pada masa lalu dalam membentuk sebuah membela negeri. Golongan Batua (budak) identitas ke-Buton-an, meskipun terdapat yang bekerja untuk golongan Kaomu dan berbagai kelompok pengguna bahasa dengan Walaka (Schrool, 2003: 138). rumpun yang beragam dalam kekuasaannya (Awat, 2007: 48). Pembentukan struktur sosial Pada saat ini, di Buton terdapat dalam masyarakat Kesultanan Buton terbukti beberapa pengelompokan masyarakat. efektif dalam melegitimasi kekuasaan bahkan Sebagai contoh, akan dikemukakan tiga pengaruhnya masih bertahan hingga saat ini. pengelompokan yang didasarkan pada Lingkungan mendorong bentuk decision letak geografis dan bahasa yang digunakan. making yang efektif untuk menyatukan Pengkategorian meliputi Buton Daratan, yaitu sebuah wilayah Kesultanan yang terbentang masyarakat yang berdomisili di Kota Bau- luas antar pulau. Kesultanan Buton berhasil Bau atau di pusat kekuasaan (Keraton). Buton membentuk karakter identitas ke-Buton-an Kepulauan, yaitu masyarakat yang mendiami pada masyarakatnya walaupun berbeda etis, Kepulauan Tukang Besi. Buton Pesisir, yaitu suku, dan bahasa. masyarakat yang menghuni wilayah pesisir di bagian selatan Pulau Muna. Berdasarkan 3. Tinjauan Environmental Determinism pengelompokan ini, ketiganya bahkan hampir Model terhadap Jaringan Perdagangan keseluruhan pengkategorian etnis dan bahasa Buton, seperti yang telah dijelaskan di Buton memiliki bahasa yang berbeda dan di atas bukanlah sebuah kawasan Kepulauan tidak dapat saling mengerti pembicaraan yang subur untuk menghasilkan komoditi masing-masing. Kelompok pengguna bahasa hasil bumi. Komoditas perdagangan di perlu dipertimbangkan dalam kategori suku kawasan ini adalah budak. Telah banyak “Buton” ini. Terdapat pengguna Bahasa perahu-perahu Ambon berukuran 16-24 ton Kepulauan Tukang Besi (kepulauan yang mendapatkan budak-budak, pisau besi, dan sekarang menjadi Kabupaten Wakatobi pedang dari kepulauan Banggai, Buton, dan yang meliputi Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Selayar (Roelofsz, 1962: 220). Akan tetapi, Binongko), Bahasa Kabaena (di wilayah yang kawasan Buton merupakan kepulauan yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten terletak di jalur yang cukup strategis dalam Bombana), dan Bahasa Muna (yang meliputi jalur perdagangan rempah-rempah. Ditinjau Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 Dalam ......, Muhammad Al Mujabuddawat 27 dari environmental determinism model, Disini terlihat fungsi Buton sebagai kondisi fisik lingkungan tersebut menjadikan pelabuhan singgah dari jalur pelayaran Asia pelabuhan Baubau di Buton menjadi dan nusantara yang menuju Kepulauan pelabuhan collecting points atau pusat Maluku. pengumpul. Alasan mengapa dijadikannya Tradisi lokal juga menguraikan Baubau sebagai pusat Kesultanan Buton tentang perkembangan awal sejarah Buton menjadi pelabuhan collecting points antara di wilayah bagian timur Indonesia dalam lain, pelabuhan Baubau memiliki pelabuhan rangka jaringan pelayaran. Lewat tradisi lisan alam yang baik untuk kapal menepi, Baubau diketahui adanya dua pelabuhan penting yaitu memiliki persediaan bahan pangan dan pasar Batauga di bagian barat dan Kamaru di timur lokal, Baubau memiliki tempat peristirahatan Pulau Buton. Kedua pelabuhan ini memainkan yang kaya, Baubau merpakan tempat perakitan peranan sesuai dengan angin musim yang barang-barang yang berasal dari feeder sedang bertiup (Zahari, 1977 dalam Awat, points, yaitu pelabuhan-pelabuhan kecil di 2007: 61). Pelabuhan Batauga berperan pada sekitarnya, dan Baubau dekat dengan jalur musim angin timur dan sebaliknya pelabuhan pelayaran internasional (Zuhdi, 2010: 64). Kamaru berperan pada musim angin barat. Dukungan angin musim yang bertiup dengan Batauga menghubungkan bagian barat Buton tepat dan baik membawa kemudahan dalam antara lain ke Muna dan Kabaena serta pulau- perjalanan menempuh rute Malaka – Borneo pulau kecil lainnya, sedangkan pelabuhan – Buton – Maluku. Hal ini senada dengan Kamaru melayani hubungan ke bagian timur catatan perjalanan Tome Pires mengenai jalur antara lain ke Kepulauan Tukang Besi (Awat, pelayaran dari Malaka menuju Maluku: 2007: 61). “Our well-equipped ships will not linger in 4. Tinjauan Cultural Ecology Model Ambonia; they must go on to the Moluccas, terhadap Budaya Material Kesultanan especially anyone who has been able to Buton learn and investigate how to come from Budaya sangat fleksibel dan selalu Portugal to the Moluccas in such a short mengalir sebagai sebuah mekanisme yang time; anyone will be able, as is known, when adaptif, karena pola perilaku yang bereaksi his turn comes and if he works-anyone who terhadap kekuatan alam bisa diperoleh, is jealous that things should be accomplished ditularkan, dan dimodifikasi selama individu in the service of the King our lord-to make hidup (Henry, 1995: 1). Setiap individu terpaut the journey of the Moluccas not by way of pada suatu budaya yang spesifik, individu- the coast of Java, but by Singapore, and from individu dalam basis yang sama membentuk Singapore to Borneo and from Borneo to the sebuah kelompok yang saling berbagi island of Buton (Butun).” (Cortesau, 1967: mempelajari dan menghasilkan pola perilaku 220). yang unik, setiap budaya jelas merupakan hasil dari adaptasi ekologi. Bentuk cultural ecology model merupakan kelanjutan dari proses adaptasi, yaitu memodifikasi lingkungan dan menghasilkan suatu produk pola pikir masyarakat, budaya materi maupun non materi (Sutton & Anderson, 2010: 97). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perkembangan pelayaran dan Gambar 5. Peta Jalur Niaga di Nusantara abad ke- perdagangan di Asia Tenggara pada masa 17 & 18 kurun niaga merupakan suatu kondisi yang (Sumber: Map Extraction peta dasar Badan mendorong munculnya kerajaan-kerajaan Informasi Geospasial diolah oleh Mujabuddawat, 2015) baru di asia Tenggara, tidak terkecuali Buton. Kapata Arkeologi 28 Volume 11 Nomor 1, Juli 2015: 21-32 Kesultanan Buton ialah Benteng Keraton Buton atau Benteng Wolio. Benteng Keraton Buton dibangun sekitar abad ke-16 hingga abad ke-17 oleh masyarakat Buton, pada masa pemerintahan Sultan Buton IV, Sultan La Elangi yang bergelar Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631 M). Benteng ini kemudian diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI, Sultan La Buke yang bergelar Gafur Wadudu (1632-1645 M). Pada masa lalu, di dalam benteng inilah pusat kegiatan pemerintahan dan pusat seluruh aktivitas kesultanan (Awat, 2007: 71). Gambar 6. Pembagian Lingkungan di Kompleks Keraton Buton (Sumber: Rustam Awat, 2007) Konsep entre-pot merupakan gejala umum yang hadir di seluruh kerajaan di Asia Gambar 8. Pemandangan laut dari Tenggara (Reid, 1992: 24). Dalam konsep Benteng Keraton Buton ini menjadikan pelabuhan juga berfungsi (Sumber: Dokumentasi Mujabuddawat 2011) sebagai pintu masuk Kerajaan. Sehingga Hasil adaptasi dari bentukan geografis kehadiran pelabuhan sangat penting sekali Kota Baubau yang berbukit dan berbatu, bagi keberlangsungan kerajaan tersebut. Benteng Keraton Buton terletak di atas bukit, Ciri yang dapat dilihat adalah pembangunan terbuat dari batu karang yang dispasi dengan Kraton atau Benteng-benteng yang umumnya kapur sebagai bahan perekat. Benteng ini dibangun dekat pelabuhan. Karena itulah tepat panjangnya 2.740 meter dengan tebal 1-2 meter kiranya bila Anthony Reid mengatakan port- dengan ketinggian antara 2-8 meter. Bentuk polity merupakan gejala umum yang ada di benteng tidak seperti benteng pada umumnya, Asia Tenggara. akan tetapi mengikuti bentang lahan sehingga Ditinjau dari cultural ecology model, bentuknya menyerupai huruf “Dal” dalam keraton dan benteng merupakan produk budaya aksara Arab (Awat, 2007: 66). Pembuatan material. Contoh budaya materi di dalam benteng dilakukan dengan memecahkan batu-batu karang sehingga berukuran kecil. Batu-batu yang telah dipecah disusun secara sederhana, tanpa proses penghalusan sehingga bagian permukaannya terlihat kasar. Adanya perbedaan tinggi rendah pada dinding benteng bagian luar disebabkan bentang lahan yang tidak rata sehingga dinding benteng yang berada di dekat lembah dibuat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tanahnya rata. Oleh karena itu, jika bagian dalam Gambar 7. Masjid Keraton Buton sebagai bentuk benteng dilihat dari permukaan maka akan tinggalan budaya material (Sumber: Dokumentasi Mujabuddawat 2011) memberi kesan rata. Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 Dalam ......, Muhammad Al Mujabuddawat 29 Lokasi benteng yang berdiri di atas Buton yang dapat ditaklukkan pada tahun bukit dan menghadap ke laut merupakan 1626 dan 1655 (Reid, 2004: 189). Setelah itu, sebuah bentuk adaptasi lingkungan terhadap pada tahun 1667, Belanda berkoalisi dengan keuntungan ekonomi dan politis. Benteng pasukan Ambon dan pasukan Bugis dari keraton Buton yang kokoh di atas bukit Arung Palakka untuk mengalahkan sebauah menghadap ke laut menjadi sebuah bentuk armada Makassar yang sedang menyerang pertahanan yang sempurna, dengan begitu Buton (Reid, 1999: 371). dapat memudahkan pengawasan pelabuhan Dalam hubungan jaringan pelayaran dari benteng, memantau pergerakan kapal ini, Buton dalam posisi terjepit di antara Ternate yang masuk dan keluar. Kompleks Keraton dan Makassar yang berkepentingan untuk yang menjadi pusat Kesultanan Buton berada merebut wilayahnya. Oleh karena itu, Buton dalam benteng, sehingga pusat pemerintahan kemudian bersekutu dengan Belanda dan berada di dalam lingkungan pertahanan yang membuat perjanjian kerjasama antara Sultan sangat kuat. Terdapat meriam sejumlah 52 Buton IV La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin) buah yang sebagian besar diletakkan di dalam dengan Apollonius Scotte (mewakili gubernur bastion (Awat, 2007: 85). Moncong meriam Belanda) pada 5 Januari 1613. Dalam diarahkan ke laut dan ke lembah untuk perjanjian tersebut, Sultan Buton meminta menghalau musuh di luar benteng menjadikan perlindungan keamanan dari gangguan benteng Keraton Buton merupakan tempat Makassar dan Ternate, sedangkan Belanda pertahanan yang paling kuat dan strategis pada akan diberi hak-hak istimewa di Buton yaitu masa jayanya. bebas berdagang tanpa dipungut upeti (bea). Selain itu, Sultan tidak akan mengizinkan 5. Tinjauan Cultural Ecology Model bangsa lain berdagang atau berlalu lalang, terhadap Hegemoni Kesultanan Buton jika hal itu merugikan orang-orang Belanda Berdasarkan tinjauan cultural ecology (Schoorl, 2003: 18-20). Pola sekutu ini tidak model, kondisi lingkungan geografis turut berlangsung terus menerus, namun tergantung mempengaruhi dalam proses pembentukan kepentingan kedua belah pihak, jika muncul decision making terhadap aspek politis (Sutton konflik maka pola sekutu berubah menjadi & Anderson, 2010: 91). Kesultanan Buton pola seteru (Zuhdi, 1999 dalam Schoorl, 2003: berada di dalam lingkungan peta hegemoni 19). yang saling ingin menguasai. Secara geopolitik Hubungan tersebut terlihat dari jalur pelayaran niaga, Kesultanan Buton banyaknya naskah perjanjian antara Sultan berada di tengah-tengah pengaruh kekuatan Buton dan pihak Belanda. Pihak Belanda besar yaitu Makassar, Ternate, dan Belanda. menjamin memberi jaminan bahwa orang- Makassar sangat gigih dalam menegakkan orang Belanda akan membantu melindungi supremasinya di Buton, untuk melawan negeri serta warga Buton dari serbuan musuh, pengaruh Ternate dan kemudian Belanda, Belanda akan mengirimkan lebih banyak adalah bagian dari upaya untuk mendominasi perlengkapan senjata dan sebuah kapal, rute rempah-rempah (Reid, 2004: 156). Belanda akan menjadi penengah pada Raja Masuknya Buton dalam jalur pelayaran di Makassar, agar meniadakan permusuhan Nusantara karena Buton berada pada posisi dengan Buton, dan mendesak Raja Ternate yang sangat strategis dengan pelabuhan yang agar warganya tidak menimbulkan kesusahan baik dan merupakan penghubung antara bagi Raja Buton dan warganya. Proses pelayaran dari Makassar ke Maluku, atau adaptasi dari cultural ecology model, sebaliknya. Oleh karena itu, pihak Belanda membentuk decision making politik yang sangat bernafsu untuk mendapatkan calon- diterapkan Kesultanan Buton menjadi salah calon penentang Makassar terutama daerah- satu kunci sukses dari strategi ‘menaklukan’ daerah di titik strategis ini, namun hanya lingkungan. Tidak hanya menarik keuntungan Kapata Arkeologi 30 Volume 11 Nomor 1, Juli 2015: 21-32
Description: