Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih Syamsul Anwar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Abstract: In this article, the writer investigates the possibility of the existence of the notion of legal norm hierarchy in Islamic Law through analysing several key concepts such as hukm shar’i (detailed legal rule), asl kulli (general principle), qaidah fiqhiyyah (legal maxim), and kulliyyat (universals). The writer comes to the conclusion that it is possible to say the Islamic law knows the hirarchical structure of legal norms, but not in the formal sense of the term, rather much more in the substansial one. This means that every legal norm in Islamic Law is based on a higher norm, but this higher norm does not function as a norm which formally autorizes its making, but forms a source from which it can be drived. Abstrak: Di dalam tulisan ini, penulis meneliti kemungkinan keberadaan gagasan pertingkatan norma di dalam hukum Islam melalui analisis beberapa konsep kunci seperti hukm syar’i, asl kulli (prinsip umum), qaidah fiqhiyyah dan kulliyyat. Penulis berkesimpulan bahwa dapat dikatakan hukum Islam mengenal struktur pertingkatan norma hukum, tetapi dalam pengertian yang formal ketimbang yang substansial mengenai istilah tersebut. Ini berarti bahwa setiap norma hukum dalam hukum Islam berdasar pada norma yang lebih tinggi, namun norma yang lebih tinggi tidak berfungsi sebagai norma yang secara formal berwenang membuatnya, tetapi hanya membentuk sebuah sumber yang bisa digali. Kata kunci: pertingkatan norma, ushul fikih, hukum Islam Pendahuluan Dalam hukum Islam secara umum sering ditemukan istilah al-usul dan al-furu’. Memang kedua istilah ini mempunyai pengertian yang beragam. Misalnya dalam sejumlah kitab fikih istilah al-usul dipakai untuk menyebut asal usul keturunan dalam garis lurus ke atas, dan istilah al-furu’ digunakan untuk menyebut keturunan dalam garis lurus Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 14 2 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih ke bawah. Ini terdapat dalam hampir semua kitab fikih.1 Jelas bukan arti ini yang dimaksud dalam tulisan ini. Pengertian lain dari kedua istilah tersebut adalah al-usul berarti asas-asas umum hukum, dan al-furu’ adalah norma-norma/kaidah /ketentuan hukum detail konkret. Misalnya al-Qarafi (w. 684/1285) menulis, “Sesungguhnya syariat agung yang dibawa Nabi Muhammad saw memuat usul dan furu’ (asas-asas umum dan norma- norma/ketentuan hukum detail kokret). Usul-nya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dinamakan usul fikih. Bagian kedua merupakan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat umum.”2 Pernyataan al- Qarafi, khususnya dikaitkan dengan arti kedua dari kata “uṣūl”, menggambarkan ada dua macam norma dalam hukum Islam, yaitu norma in conreto yang sering dikenal dengan hukum-hukum furuk (al- ahkam al-far‘iyyah) dan norma-norma yang lebih abstrak dan lebih umum yang disebut al-usul yang salah satu bentuknya adalah kaidah- kaidah hukum Islam (al-qawaíd al-fiqhiyyah). Selain itu beberapa fukaha hukum Islam memunculkan istilah kulli dengan jamaknya kulliyyat. Secara harfiah terma ini berarti universal, maksudnya suatu proposisi universal sebagaimana dalam logika, yang merupakan kaidah atau norma hukum yang bersifat umum atau yang merupakan asas umum hukum. Untuk itu, beberapa fukaha menulis kitab, misalnya al-Maqqari (w. 758/1357) yang menulis kitab berjudul al-Kuliyyat al-Fiqhiyyah.3 Ada pula ulama yang menggabungkan istilah usul dan kuliyyah sehingga menjadi al-usul al-kuliyyah yang merupakan jamak dari al-asl al-kulli, ‘asas umum’. Ini banyak ditemukan dalam karya usul fikih ternama al-Muwafaqat yang ditulis oleh asy- Syatibi (w. 790/1388). Dalam karya tersebut asy- Syatibi misalnya menegaskan, “asas umum bilamana mencapai tingkat qat‘i dapat menyamai dalil khusus, dan bisa juga melebihinya sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil khusus itu.”4 1 Lihat misalnya Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar, diedit oleh ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwad (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423/2003), V: 365. 2 Al-Qarafi, al-Furuq, diedit oleh ‘Umar Ḥasan al-Qayyam (Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1424/2003), I: 62. 3 Al-Maqqari, al-Kuliiyat al-Fiqhiyyah, diedit oleh Abu al-Ajfan (Tunis: ad-Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, 1997). 4 Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, diedit oleh Al Salman (al-Khubar, Arab Saudi: Dar Ibn ‘Affan, 1417/1997), I: 33. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih 143 Norma Hukum dan Hirarkinya Kata “norma” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Eropa yang masuk ke Indonesia melalui pengaruh bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda “norm” jamaknya “normen” berarti aturan, ukuran, nilai.5 Kata Eropa tersebut berasal dari bahasa Latin “norma”, yang secara harfiah berarti standar, pola, model, kaidah, aturan.6 Arti asal kata “norma” dalam bahasa Latin adalah ‘siku-siku’, yang merupakan alat tukang kayu untuk membuat sudut siku-siku (90º) dan untuk menguji apakah suatu yang dibuat itu (daun pintu misalnya) sudah siku (90º) atau belum. Jadi norma adalah ukuran, standar, yang berfungsi merumuskan bagaimana pola perilaku yang seharusnya dijalankan, dan berfungsi sejauhmana perilaku tersebut telah memenuhi standar yang ditentukan.7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “norma” didefinisikan sebagai “1. aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, [yang] dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima; 2. aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.”8 Dalam Kamus Dewan, “norma” diartikan sebagai “1. ukuran untuk menentukan sesuatu; 2. peraturan atau ketentuan yang telah menjadi kebiasaan yang dijangka akan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, dan sebagainya.”9 Ulwan menyebutkan beberapa pemakaian istilah “norma”, antara lain terma ini dipakai dalam arti “model yang dijadikan dasar pengukuran sesuatu.” Arti lain –dan ini yang banyak digunakan– “suatu yang seharusnya menjadi model perilaku umum atau sikap-sikap kolektif dari kesadaran yang berkembang dalam masyarakat.”10 5 Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1985), hlm. 428. 6 Ulwan, al-Qiyam adh-Dharuriyyah wa Maqasid at-Tasyri‘ al-Islami (Kairo: al- Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab, 1989), h. 102; “Norm,” Dictionary.com, http://dictionary.reference.com/browse/ norm; diakses tanggal 12 Desember 2015. 7 Rumokoi dan Maramis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2014), hlm. 51. 8 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 787, kolom 1. 9 Kamus Dewan, edisi ke-3 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002), h. 933, kolom 1. 10 Ulwan, al-Qiyam adh-Dharuriyyah, hlm. 103. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 14 4 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih Dalam perbincangan tentang hukum, norma sering juga dipadankan dengan kaidah, sehingga norma hukum, misalnya, disebut juga kaidah hukum. Ada banyak macam norma, misalnya norma berfikir, yaitu norma logika (logical norm), dan ada pula norma berprilaku. Norma perilaku ini mencakup empat kategori, yaitu norma agama, norma susila, norma kesopanan, dan norma hukum. Norma agama adalah ketentuan yang berasal dari Tuhan yang berupa perintah, larangan, dan atau petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.11 Norma susila adalah kaidah perilaku yang bersumber kepada hati nurani manusia yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk dan yang harus dipatuhi guna memelihara akhlak pribadi pelakunya. Contoh-contoh norma susila antara lain setiap orang harus jujur, harus menghormati sesama, tidak boleh iri hati, tidak boleh dengki, dan lain-lainnya.12 Norma kesopanan adalah kaidah perilaku yang berasal dari pergaulan hidup dalam masyarakat yang berasaskan kepantasan, kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dan adat istiadat masyarakat. Norma ini merupakan kaidah kesusilaan antar orang, dengan kata lain merupakan norma yang mengatur pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Contoh norma ini jangan bertamu ke rumah orang lain lewat pintu belakang, murid harus menghormati guru, dan lain-lain.13 Norma hukum adalah kaidah perilaku yang dibuat oleh pihak berwenang yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat dan mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat.14 Menurut Hans Kelsen, 11 Lihat Himpunan Putusan Tajih (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1430/2009), hlm. 278. 12 Komunitas Guru Pkn, “Pengertian Norma, Macam-macam Norma, dan Sanksi Bagi Pelanggar Norma,” http://komunitasgurupkn.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-norma-macam- macam-norma-dan.html; diakses 15 Desember 2015; lihat juga Jimly Asshiddiqie, “Norma Hukum dan Keputusan Hukum,” https://www.google.co.id/?gw s_rd=ssl#q=norma+hukum+dan+ keputusan+hukum+pdf; h. 3. 13 Komunitas Guru Pkn, “Pengertian Norma, Macam-macam Norma, dan Sanksi Bagi Pelanggar Norma,”; Asshiddiqie, “Norma Hukum dan Keputusan Hukum,” hlm. 3. 14 Komunitas Guru Pkn, “Pengertian Norma, Macam-macam Norma, dan Sanksi Bagi Pelanggar Norma,” http://komunitasgurupkn.blogspot.co.id/2014/08/pengertian-norma-macam- macam-norma-dan.html; diakses 15 Desember 2015. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih 145 norma itu adalah “suatu makna bahwa sesuatu harus ada atau harus dilakukan, meskipun dalam kenyataan bisa saja tidak dilakukan.” Lebih lanjut menurutnya, norma itu merupakan suatu tindak kehendak dari seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang memuat preskripsi (perintah dan larangan), perkenan, dan otorisasi (pemberian wewenang).15 Jadi oleh karena itu norma termasuk ke dalam dimensi dunia das sollen, sesuatu yang seharusnya ada. Norma bukan bagian dari dunia das sein, sesuatu yang senyatanya ada. Hans Kelsen menyatakan bahwa karena norma tidak merupakan suatu yang senyatanya ada (fakta), melainkan adalah makna dari fakta itu, maka eksistensinya berbeda dengan eksistensi fakta. Eksistensi norma itu adalah keabsahannya. Itu berarti bahwa norma itu harus terwujud, dalam pengertian bahwa setiap orang harus berperilaku sesuai dengan apa yang dipreskripsikan, diperkenankan, atau diotorisasikan untuk dilakukan manusia.16 Pertanyaan lebih lanjut yang diajukan Hans Kelsen adalah bahwa apabila eksistensi norma itu adalah keabsahannya, bukan kenyataannya ada, maka apakah dasar dari keabsahan tersebut, dengan kata lain mengapa suatu norma itu sah? Jawaban terhadap pertanyaan ini membawa kepada lahirnya teori hirarki norma. Menurut Hans Kelsen, keabsahan suatu norma itu ditentukan oleh suatu norma lain yang lebih tinggi dan norma lebih tinggi itu ditentukan pula keabsahannya oleh norma lain yang lebih tinggi lagi. Namun regresi (tasalsul) tersebut tidak mungkin berlangsung terus tanpa henti, melainkan, sebaliknya, harus berhenti pada suatu tingkat, yaitu suatu norma tertinggi yang keabsahannya tidak lagi didasarkan kepada norma lebih tinggi lagi. Norma tertinggi tersebut disebut oleh Kelsen sebagai norma dasar (grundnorm), suatu norma yang keabsahannya tidak dipertanyakan lagi, melainkan diterima jadi (taken for granted). Namun Kelsen mengingatkan bahwa kebsahan tersebut tidak dikarenakan norma lebih rendah itu telah diturunkan isinya dari muatan norma lebih tinggi secara logis dan benar. Akan tetapi keabsahan itu disebabkan oleh karena cara perumusan norma lebih rendah itu telah memenuhi prosedur-prosedur yang ditentukan oleh norma lebih tinggi. Apa pun isinya, maka selama suatu norma telah memenuhi prosedur yang ditentukan untuk 15 Kelson, “On the Basic Norm, California Law Refiew, vol. 47 (1959), h. 107. 16 Ibid. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 14 6 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih memformulasinya sebagaimana ditentukan oleh norma lebih tinggi, maka norma itu sah.17 Dengan demikian teori hirarki norma yang dikemukakan oleh Hans Kelsen ini menggambarkan adanya susunan norma bertingkat dalam suatu tatanan normatif di mana norma lebih rendah mendapatkan keabsahannya dari norma lebih tinggi secara formal, yakni dilihat dari sisi prosedur pembuatannya, bukan dari segi kandungan isinya. Ini berarti bahwa teori keabsahan norma hukum ala Kelsen ini adalah sebuah teori formal. Karena menekankan kebenaran formal dalam teori kebsahannya, maka unsur materi hukum tidak menjadi penting bagi keabsahan tersebut. Ini membawa Kelsen kepada suatu paham tentang teori hukum murni, di mana materi hukum harus dipisahkan dari segala sesuatu yang bukan hukum, seperti moralitas. Hukum adalah murni suatu tatanan peraturan yang lahir secara formal dari norma hukum lain yang mengotorisasi penciptaan norma tersebut. Tentu teori ini mendapat kritik dari banyak pihak, walaupun usaha Kelsen membangun teori hukum yang jelas mendapat pujian. Di antara kelemahan pokok teori hirarki norma Kelsen ini adalah tentang norma dasar (grundnorm). Mridushi Swarup meragukan konsep norma dasar Kelsen ini. Ia mengatakan, “Tidak jelas norma macam apa grundnorm (norma dasar) tersebut, dan tidak pula jelas di mana ia dapat ditemukan.”18 Sementara itu Ronald Dworkin mengkritik pandangan bahwa sistem hukum hanyalah sistem peraturan belaka, hanya melihat keabsahannya dari segi prosedur formal pembuatannya belaka dengan mengabaikan sisi isi dan memisahkan muatan moralitas dalam keabsahan norma hukum tersebut.19 Norma Hukum Islam dan Keabsahannya Dalam bahasa Arab untuk menyebut norma hukum digunakan istilah “al-qa‘idah al-qanuniyyah”. Namun istilah ini hanya dipakai dalam kajian hukum konvensional Arab dan tidak dipakai dalam kajian 17 Hans Kelsen, “The Dynamic Aspect of Law,” dalam Feinberg, dan Gross, ed., Philosophy of Law, cet. Ke-3 (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1986), hlm. 38-39. 18 Swarup, “Kelsen’s Theory of Grundnorm,” https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q= kelsen’s+theory+of+grundnorm (pdf article); h. 7. 19 Bix, “Legal Positivism,” dalam Golding dan Admundson, ed., The Blackwell Guide to the Philosophy of Law and Legal Theory (Malden, USA – Oxford, UK – Victoria, Australia: Blackwell Publishing, 2005), hlm. 42. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih 147 hukum Islam. Ada istilah “al-qaídah al-fiqhiyyah” dalam hukum Islam, namun, menurut penulis, tidak dapat diartikan kaidah (norma) hukum Islam, melainkan lebih merupakan asas hukum (Islam), misalnya kaidah hukum Islam “Tidak ada kerugian dan perugian,” artinya orang tidak boleh mengalami kerugian dan tidak boleh menimbulkan kerugian kepada orang lain. Istilah hukum Islam yang dapat dianggap sepadan dengan terma norma hukum adalah istilah “hukum syar‘i”. Para teoretisi hukum Islam (ahli-ahli usul fikih) mendefinisikan “hukum syar‘i” secara hampir sepakat sebagai “sapaan ilahi yang ditujukan kepada perbuatan manusia yang berisi preskripsi (perintah dan larangan), alternasi (pemberian pilihan), dan penetapan hubungan.”20 Sapaan ilahi berarti kehendak ilahi yang dikomunikasikan kepada manusia dan yang menghendaki agar tindakan manusia sesuai dengan tuntutan (preskripsi), perkenan dan ketetapan hubungan yang termuat dalam sapaan tersebut. Bagaimanakah keabsahan hukum (norma) syar‘i dalam teori hukum Islam. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu harus dijelaskan bahwa hukum Islam secara umum bukanlah hukum tertulis dalam pengertian bukan hukum yang dilegislasi dalam bentuk undang- undang dan berbagai peraturan turunannya oleh suatu negara. Bahwa kemudian, terutama di zaman modern, banyak dari norma hukum Islam yang diambilalih dan dilegislasi menjadi undang-undang oleh suatu negara seperti undang-undang wakaf, undang-undang zakat, dan lainnya, tidaklah merupakan bagian dari keabsahan hukum Islam itu sendiri secara esensial. Keabsahan hukum Islam tidak ditentukan oleh proses legislasi dengan melalui prosedur legislasi yang telah ditetapkan. Sebaliknya juga hukum Islam bukanlah hukum tidak tertulis seperti halnya beberapa hukum adat, karena dalam kenyataan hukum Islam itu tercatat dalam berbagai sumber baik dalam al-Quran sendiri, hadis- hadis Nabi saw, maupun dalam kitab-kitab fikih. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum tercatat. Dengan demikian keabsahan norma hukum (hukum syar‘i) dalam hukum Islam bukanlah keabsahan formal yang ditentukan oleh suatu norma lain lebih tinggi yang mengotorisasi penciptaan norma tersebut seperti halnya dalam teori keabsahan formal norma hukum menurut 20 Az-Zuḥailī, Usul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an- Nasyr wa at-Tauzi‘, 1406/1986), I: 37-38; Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Ttp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), h. 26; as-Subki, Raf‘u al-Hajib ‘an Mukhtasar Ibn al-Hajib, diedit oleh ‘Ali Muhammad Mu‘áwwaḍ dan ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Maujud (Beirut: ‘Alam al-Kutub li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1419/1999), I: 482-483.. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 14 8 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih Kelsen. Kebsahan norma hukum (hukum syar‘i) dalam hukum Islam terkait dengan sifat norma itu sendiri. Ada dua macam norma dilihat dari segi sifatnya, yaitu (1) norma-norma hukum non-ijtihadiah, dan (2) norma-norma hukum ijtihadiah. Norma hukum non-ijtihadiah adalah norma hukum yang langsung ditetapkan dalam dua sumber pokok hukum Islam, yaitu al-Quran dan Hadis, seperti wajibnya memenuhi akad (Q. 5: 1) dan berbagai norma lain yang telah ditetapkan oleh kedua sumber pokok itu. Norma-norma jenis ini keabsahannya adalah keabsahan dengan sendirinya. Khusus untuk norma yang ditetapkan dalam hadis, keabsahannya adalah keabsahan dengan sendirinya juga sepanjang hadis bersangkutan sah. Norma hukum ijtihadiah adalah norma hukum yang tidak ditentukan secara langsung dalam al-Quran dan Hadis, melainkan merupakan norma hasil perluasan dan interpretasi terhadap terhadap kedua sumber pokok itu dan melalui pemanfaatan sumber-sumber pendamping (paratekstual) seperti ijmak, qiyas maslahat dan lain-lain. Keabsahan norma ini ditentukan tiga faktor: (1) oleh sejauhmana ketepatan derivasi (istinbat) norma itu dari sumber-sumber hukum Islam, (2) oleh sejauhmana ketepatan penerapan prosedur derivasi (istinbat) yang ditetapkan dalam usul fikih, dan (3) ditentukan oleh kualifikasi pelaku derivasi. Suatu hukum syar‘i ijtihadiah sah apabila dapat dibuktikan bahwa norma hukum itu telah diderivasi (diturunkan / diistinbat) secara benar dari sumber-sumbernya (dalil-dalilnya). Meskipun dalam filsafat hukum Islam diperdebatkan apakah sumber-sumber hukum itu hanya wahyu ilahi saja atau juga meliputi alam dan masyarakat, namun usul fikih (teori hukum Islam) telah menetapkan, walaupun ada perbedaan pendapat, bahwa sumber-sumber hukum itu meliputi sumber-sumber tekstual (naṣṣiyyah) dan sumber-sumber paratekstual (gair naṣṣiyyah). Sumber-sumber tekstual yang juga dipandang sebagai sumber pokok meliputi al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Sumber-sumber paratekstual yang juga dipandang sebagai sumber-sumber instrumental meliputi ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, uruf (adat istiadat), tindakan preventif (sadduz-zari‘ah), fatwa Sahabat, dan hukum agama nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw.21 Derivasi norma hukum (hukum syar‘i) dari sumber-sumber itu harus pula mengikuti kaidah dan prosedur istinbat yang telah ditetapkan dalam usul fikih. Kegagalan memenuhi ketentuan itu atau 21 Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, II: 418; Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, hlm. 74. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih 149 penyimpangan daripadanya dapat menyebabkan norma hukum (hukum syar‘i) tersebut kehilangan legitimasi syariahnya. Bahkan dalam beberapa kitab undang-undang hukum perdata syariah yang ada dicantumkan pasal yang menegaskan, “Dalam memahami, mengkonstruksi, dan menafsirkan pasal-pasal undang-undang ini digunakan asas hukum dan usul fikih Islam.”22 Begitu pula dalam model KUH Perdata Islam yang dibuat oleh Komisi Ahli pada Sekretariat Jendral Liga Arab dirumuskan ketentuan, “dalam mengkonstruksi dan menafsirkan pasal-pasal undang-undang ini dirujuk kaidah-kaidah ilmu usul fikih Islam.”23 Ini menggambarkan bahwa keabsahan norma hukum dalam hukum Islam ditentuan oleh ketepatan penerapan kaidah dan prosedur derivasi hukum dari sumber- sumbernya. Derivasi norma hukum itu harus didasarkan kepada keahlian hukum Islam yang dimiliki. Orang yang memiliki keahlian itu dinamakan mujtahid. Seseorang penderivasi hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid. Walaupun syarat-syarat itu tidak bersifat eksak, tetapi merupakan kualifikasi yang apabila dipenuhi akan memberikan legitimasi syar‘i kepada norma hukum yang diderivasinya. Dengan demikian keabsahan norma hukum (hukum syar‘i) ijtihadiah tidak bersifat formal, melainkan bersifat koroboratif. Artinya keabsahan suatu norma hukum ditentukan oleh sejumlah faktor yang secara kumulatif saling mendukung eksistensi norma hukum tersebut, yaitu terpenuhinya tiga unsur yang disebutkan di atas. Oleh karena itu dalam hukum Islam terdapat gradasi nilai epistemik norma hukum. Dalam hukum Islam norma hukum itu dikelompokkan menjadi norma hukum (hukum syar‘i) yang qat‘i dan norma hukum (hukum syar‘i) yang zanni. Perlu dicatat bahwa nilai epistemik tersebut bukanlah pembedaan kategoris (hitam putih), melainkan merupakan jenjang nilai epistemik dan tingkat legitimasi norma hukum, dimulai dari norma hukum yang paling lemah (amat zanni) meningkat menjadi norma hukum yang lebih kuat sampai akhirnya mencapai tingkat norma hukum yang qat‘i (pasti). Sejauhmana tingkat kekuatan norma itu ditentukan oleh sejauh mana ia didukung oleh sebanyak mungkin sumber. Semakin minim dukungan sumber-sumber (dalil-dalil) semakin zanni suatu norma, dan semakin banyak dukungan sumber-sumber 22 Pasal 2 KUH Perdata Muamalat Uni Emirat Arab. 23 Pasal 89 dari model bersangkutan di bawah Bab Pemberlakuan Undang- undang. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016 15 0 Syamsul Anwar: Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih semakin mendekati qat‘i untuk pada suatu tahap tertentu mencapai tingkat qat‘i. Menurut asy-Syāṭibī, tidak terdapat keqat‘ian bagi suatu norma hukum syariah yang didasarkan kepada satu dalil berdiri sendiri. Keqat‘ian itu tercapai dengan koroborasi sejumlah dalil yang kesemuanya menuju kepada satu makna bersama.24 Konsep Kaidah Fikih, Asas Fikih dan Asas Umum Fikih 1. Kaidah Fikih Istilah “kaidah fikih” atau “kaidah hukum Islam” adalah serapan dari istilah “al-qa‘idah al-fiqhiyyah”, jamaknya “al-qawa‘id al-fiqhiyyah”. Kata “kaidah”, dalam bahasa Arab “qa‘idah”, secara harfiah berarti dasar, fundamen, fondasi, basis. Qawa‘id al-bait berarti fondasi rumah. Az-Zajjaj mengatakan “al-qawa‘id” berarti fondasi yang melandasi tegaknya bangunan.25 Selain itu kata “qāidah” juga berarti “dābith, yakni ukuran, standar, norma.26 Dalam istilah kajian hukum Islam terdapat beberapa definisi yang diberikan oleh ahli hukum Islam terhadap kaidah fikih, yaitu: 1. As-Subki (w. 771/1370) mendefinisikannya sebagai, “proposisi universal yang berlaku terhadap satuan-satuan yang banyak dan yang daripadanya diketahui hukum satuan itu.”27 2. Menurut al-Hamawi (w. 1089/1676) kaidah adalah “norma yang bersifat galib (pada umumnya), tidak bersifat menyeluruh, yang berlaku terhadap sebagian besar satuan dan yang daripadanya diketahui ketentuan-ketentuan mengenai satuan itu.”28 3. Humaid mendefinikannya sebagai “Norma yang bersifat galib melalui mana dapat diketahui ketentuan-ketentuan hukum kasus- kasus fikih secara langsung.”29 Bersifat galib (pada umumnya) maksudnya berlaku umum, tetapi tidak mutlak di mana mungkin 24 As-Syatibi, al-Muwafaqat, I: 27-28. 25 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.) hlm. 3689, kolom 1. 26 Al-Burnu, Mausu‘at al-Qawa‘id al-Fiqhiyyqh (Beirut: Mu’assasat ar-Risalah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1424/2003), I: 19; Baalbaki, al-Maurid Qamus ‘Arabi Inklizi, cet. Ke-20 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2006), hlm. 706. 27 Ibn as-Subki, al-Asybah wa an-Naza’ir, diedit oleh ‘Adil Ahmad ‘Abd al- Maujud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411/1991), I: 11. 28 Al-HamawI, Gamz ‘Uyun al-Basa’ir Syarh al-Asybah wa an-Naza’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1405/1985), I: 51. 29 Humaid, ed., dalam pengantar terhadap al-Maqqari, al-Qawa‘id, diedit oleh Ahmad Ibn ‘Abdullah Ibn Humaid (Mekah: Jami‘at Umm al-Qura, t.t.), I: 107. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 50, No. 1, Juni 2016
Description: